SURROGATE MOTHER
Disusun oleh:
(21710145)
Pembimbing:
dr. Meivy Isnoviana, SH., MH.
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya sehingga
Referat yang berjudul Surrogate Mother dapat diselesaikan meskipun jauh dari
sempurna. Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas dalam menempuh
masa dokter muda di Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada dr. Meivy Isnoviana., SH., MH., karena bimbingan, dukungan dan bantuan,
sehingga pembuatan referat ini dapat diselesaikan. Besar harapan penulis agar
Referat ini bisa memperluas wawasan dan menambah pengetahuan khususnya pada
para praktisi ilmu kedokteran forensik dan medikolegal serta pembaca pada
umumnya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, maka dari
itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat
bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan kepanitraan klinik pada
khususnya, serta masyarakat pada umumnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................................. i
iii
BAB I
JOURNAL READING
Nova Arikhman
STIKes Syedza Saintika Padang
ABSTRAK
1
BAB II
PENDAHULUAN
2
dikembangkan yaitu dengan melakukan penyatuan benih laki-laki terhadap
benih perempuan dalam suatu wadah atau cawan petri (di laboratorium) yang
kemudian ditanam pada benih pasangannya atau pada perempuan yang tidak
mempunyai hubungan, ataupun sebaliknya seorang perempuan yang dibuahi
dengan benih lain yang bukan suaminya, dalam arti tidak terikat oleh hubungan
perkawinan. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan hukum, terutama
hukum pidana, karena perbuatan tersebut telah bertentangan dengan prinsip
dan norma-norma yang berlaku.
Surrogate mother merupakan praktek penyewaan rahim seorang
perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan pihak lain
dengan tujuan dapat hamil dan melahirkan bayi yang sebelumnya dilakukan
persenyawaan sperma dan ovum antara pasangan pihak lain, lalu hasil
persenyawaan tersebut ditanamkan ke dalam rahim perempuan tadi. Praktek
sewa rahim ini banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang
ditimbulkan disinyalir dapat membawa dampak negatif dalam masyarakat
terutama nasib dan nasab anak. Indikasi pelanggaran hak anak merupakan isu
penting dalam perdebatan sewa rahim ini. Hak anak yang seharusnya diberikan
menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa.
Anak disamarkan nasibnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak
disuramkan asal-usulnya (Arikhman N, 2016).
Surrogate mother terjadi karena seorang perempuan (istri) tidak
mempunyai harapan untuk mengandung secara normal, karena memiliki
penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung dan
melahirkan anak, tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan,
ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan / melahirkan /
menyusukan / menjaga kecantikannya, telah menopause, dan perempuan yang
menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan
memenuhi kebutuhan ekonominya. Sangat sedikit atau tidak ada data yang
menunjukkan bahwa perempuan memilih surrogate mother untuk alasan
estetika atau kenyamanan (Beck K, 2011 dalam Arikhman N, 2016).
3
Sebuah artikel dari Detik Health yang berjudul “Sewa Rahim di Indonesia
Dilakukan Diam-diam” menyatakan bahwa secara hukum penyewaan rahim
dilarang di Indonesia, tetapi praktik sewa rahim ternyata sudah banyak
dilakukan secara diam-diam dan tertutup di kalangan keluarga. Kasus sewa
rahim sebenarnya banyak terjadi di Indonesia hanya saja jarang muncul ke
publik karena tidak menimbulkan permasalahan. Akan tetapi permasalahan
akan muncul apabila ibu pengganti tidak mau atau enggan menyerahkan bayi
yang dikandung dan dilahirkannya sesuai dengan perjanjian.
Di beberapa negara seperti di India, Pakistan, Bangladesh, China, Thailand,
maupun Amerika Serikat, telah banyak terjadi penyewaan terhadap rahim
seorang wanita di sana dengan alasan faktor ekonomi yang sulit, sementara
oleh penyewa (sumber benih) yang biasanya berasal dari kalangan negara-
negara maju dengan alasan yang paling banyak adalah faktor estetika (takut
penampilan kurang indah akibat melahirkan).
2.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui aspek sosial terhadap seseorang yang mempunyai anak
dengan menggunakan metode surrogate mother.
2. Untuk mengetahui aspek etika terhadap seseorang yang mempunyai anak
dengan menggunakan metode surrogate mother.
3. Untuk mengetahui aspek hukum terhadap seseorang yang mempunyai anak
dengan menggunakan metode surrogate mother.
4. Untuk mengetahui status anak terhadap anak yang dilahirkan dengan
menggunakan metode surrogate mother.
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
5
Surrogate mother juga dikenal dengan istilah sewa rahim karena pada
umumnya pasangan suami istri yang ingin memiliki anak ini akan memberikan
imbalan kepada ibu pengganti yang sanggup mengandung benih mereka,
dengan syarat ibu pengganti tersebut akan menyerahkan anak setelah
dilahirkan atau pada waktu yang telah ditetapkan sesuai perjanjian. Embrio
dibesarkan dan dilahirkan dari rahim wanita lain bukan istri walaupun bayi itu
menjadi milik pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak tersebut.
Secara umum terdapat lima tipe teknik sewa rahim (Yendi, 2011 dalam
Arikhman N, 2016), yaitu:
6
3.3 Aspek Sosial Surrogate Mother
Sebuah studi yang dilakuan Research Centre Psikologi Keluarga dan Anak
di University of City, London, Inggris pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa
ibu pengganti mengalami kesulitan melepaskan anak dan bahwa ibu
dimaksudkan menunjukkan kehangatan yang lebih besar pada anak dari ibu
hamil secara alami (Jadva V, et al., 2003; Golombok S, et al., 2004; Golombok
S, et al, 2011 dalam Arikhman N, 2016). Meskipun ibu pengganti umumnya
menyatakan merasa puas dengan pengalaman mereka sebagai pengganti, ada
kasus - kasus dimana tidak sesuai harapan yang terkait ketidakpuasan.
Beberapa wanita merasa pada tingkat tertentu merasa dihormati oleh pasangan
(Ciccarelli, etal., 2005 dalam Arikhman N, 2016).
Beberapa wanita memiliki reaksi psikologis ketika menjadi ibu pengganti.
Ini termasuk depresi ketika menyerahkan anak, kesedihan, dan bahkan
penolakan untuk melepaskan anak (Milliez J, 2008 dalam Arikhman N, 2016).
Sebuah studi dari Pusat Penelitian Keluarga di Universitas Cambridge
menemukan bahwa surrogate mother tidak memiliki dampak negatif pada
anak-anak dari ibu pengganti itu sendiri (Imrie S., et al., 2012 dalam Arikhman
N, 2016). Para peneliti tidak menemukan perbedaan secara negatif atau positif
penyesuaian anak pada ibu pengganti (Golombok S, et al., 2011 dalam
Arikhman N, 2016).
7
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain
yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk surrogate mother, secara
hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam
UU Kesehatan yang lama, yang menegaskan bahwa kehamilan diluar cara
alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri
mendapat keturunan, dan Permenkes tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Teknologi Reproduksi Buatan, yang menegaskan bahwa pelayanan teknologi
reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang
terikat perkawinan yang sah, dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh
keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik (Arikhman N, 2016).
Kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang
menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan
suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan
tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim istri bukan wanita
lain atau menyewa rahim. Bahkan diancam sangsi pidana, hal ini dilakukan
untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami istri
(Arikhman N, 2016).
8
Peraturan-peraturan yang dapat dikatakan secara tidak langsung
menyangkut mengenai surrogate mother atau ibu pengganti dapat dilihat dari
beberapa ketentuan sebagai berikut (Abhimantra IB, 2018) :
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 127 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
mengatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c) Pada fasilitas pelayanan tertentu.
9
3) Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apa pun.
5) Dilarang melakukan jual beli embrio ovum dan spermatozoa.
6) Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk
penelitian. Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia
hanya dilakukan kalau tujuan penelitiannya dirumuskan dengan
sangat jelas.
7) Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan
menggunakan embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari
sejak tanggal fertilisasi.
8) Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia
tidak boleh di biak in vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-
hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah/simpan beku).
9) Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau
dengan menggunakan embrio, ovum atau spermatozoa manusia
tanpa izin khusus dari siapa telur atau spermatozoa itu diperoleh.
10) Dilarang melakukan fertilisasi transpesies kecuali apabila
fertilisasi transpesies itu diakui sebagai cara untuk mengatasi atau
mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang
terjadi akibat fertilisasi transpesies harus segera diakhiri
pertumbuhannya pada tahap biasa.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi
a) Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa reproduksi dengan bantuan atau
kehamilan di luar cara alamiah adalah upaya memperoleh kehamilan
di luar cara ilmiah tanpa melalui proses hubungan seksual antara
suami dan istri apabila cara alami tidak memperoleh hasil.
b) Pasal 40 menyatakan sebagai berikut:
Ayat (1) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat
10
perkawinan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau intertilitas
untuk memperoleh keturunan.
Ayat (2) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari
suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari
mana ovum berasal.
Ayat (3) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
Ayat (4) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
c) Pasal 43 Menyatakan bahwa:
Ayat (1) Kelebihan embrio hasil pembuahan di luar tubuh manusia
(ferlilisasi in vitro) yang tidak ditanamkan pada rahim harus disimpan
sampai lahirnya bayi hasil reproduksi dengan bantuan atau kehamilan
di luar cara alamiah. Ayat (3) Kelebihan embrio sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilarang ditanam pada:
1) Rahim ibu jika ayah embrio meninggal atau bercerai; atau
2) Rahim perempuan lain.
11
1) 2 orang tua: si pemberi sel telur dan yang menjadi ibu kandung adalah
sama serta sang ayah kandung tanpa ikatan pernikahan;
2) 3 orang tua: si pemberi sel telur dan yang menjadi ibu kandung adalah
sama, ayah kandung, serta istri dari sang ayah kandung;
3) 4 orang tua: si pemberi sel telur, ibu kandung, ayah kandung, dan istri dari
sang ayah kandung; atau
4) 5 orang tua: si pemberi sel telur, pemberi sperma, ibu kandung, ayah
angkat, dan ibu angkat.
Hukum Indonesia mempunyai peraturan dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU
Perkawinan) yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan Pasal
43 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Status anak yang lahir dari surrogate mother dalam kaitan dengan
pengaturan UU Perkawinan, bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari
surrogate mother, bukan anak dari orang tua yang menitipkan benih di rahim
surrogate mother. Terkait dengan anak yang lahir dari ibu pengganti atau
surrogate mother, maka apabila dihubungkan dengan peraturan di atas akan
terjadi status seperti berikut (Abhimantra IB, 2018) :
1) Apabila anak itu dilahirkan dari wanita surrogate mother yang terikat
dalam perkawinan (mempunyai suami) maka anak tersebut akan
berkedudukan sebagai anak sah dari wanita tersebut dan suaminya.
2) Apabila anak itu lahir dari wanita surrogate mother yang tidak terikat
dalam perkawinan, maka anak tersebut akan berkedudukan sebagai anak
luar kawin dari wanita tersebut
Dilihat dari uraian diatas dan terkait dengan UU Perkawinan maka dapat
disimpulkan, bahwa apabila anak itu dilahirkan dari wanita surrogate mother
12
yang terikat dalam perkawinan maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak
sah dari wanita tersebut dan suaminya, namun apabila anak itu lahir dari wanita
surrogate mother yang tidak terikat dalam perkawinan, maka anak tersebut
akan berkedudukan sebagai anak luar kawin dari wanita tersebut. Dalam
hukum positif di Indonesia khususnya terkait anak yang lahir dari perjanjian
surrogate mother ditinjau dari UU Perkawinan dapat disimpulkan bahwa anak
yang lahir dari perjanjian surrogate mother merupakan anak sah dari surrogate
mother atau ibu penggantinya tersebut dan bukan anak dari orang tua yang
menitipkan benih di rahim surrogate mother.
13
BAB IV
ANALISIS KASUS
14
4.2 Analisa Kasus
4.2.1 Kaidah Dasar Moral
Pada kasus ini kaidah dasar moral yang terjadi yaitu:
1. Autonomi
Pada kasus ini, dokter mengambil tindakan setelah Kim
Kardashian mengambil keputusan dengan menggunakan metode
ibu pengganti untuk kelahiran anak ketiga dan keempat. Sehingga
ini memenuhi kaidah autonomi yaitu menghargai hak menentukan
nasib sendiri dan tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi
pasien.
Tabel 1. Autonomi : Prinsip moral menghargai hak hak pasien
terutama hak otonomi pasien.
4. Menghargai privasi
15
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi
outonomi pasien
2. Beneficence
Pada kasus ini, dokter telah melakukan tindakan dengan baik
yaitu tidak menyarankan Kim Kardashian untuk hamil kembali,
karena mengingat kehamilan anak pertama dan kedua. Sehingga ini
memenuhi kaidah beneficence yaitu mengusahakan agar kebaikan
/ manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya
dan meminimallisasi akibat buruk.
Tabel 2. Beneficence : Prinsip moral yg mengutamakan tindakan
yg ditujukan untuk kebaikan pasien.
16
3. Memandang pasien / keluarga dan
sesuatu tak sejauh menguntungkan
dokter
17
15. Memberikan obat berkhasiat namun
murah
3. Non-maleficence
Pada kasus ini, dokter telah melakukan tindakan untuk
mecegah hal yang membahayakan dan memperburuk kondisi Kim
Kardashian dengan membantu melakukan metode ibu pengganti
atau sewa rahim. Sehingga ini memenuhi kaidah non-maleficence
yaitu tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian.
Tabel 3. Non Maleficence : Prinsip moral yang melarang tindakan
yang memperburuk keadaan pasien.
18
5. Tidak menghina / caci maki
4. Justice
Pada kasus ini, dokter memberlakukan segala sesuatu secara
universal artinya dokter memberikan penanganan yang sama pada
semua pasien, memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk
kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut.
Tabel 4. Justice : Prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber
daya (distributive justice).
19
3. Memberi kesempatan yang sama
terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
(affordability, equality, accessibility,
availability, quality)
5. Menghargai hak hukum pasien
20
16. Tidak membedakan pelayanan pasien
atas dasar SARA, status sosial dll.
21
4.2.3 Prinsip Profesionalisme
1. Altruism (+)
Dokter dengan tanggap dan teliti menangani kasus tersebut,
sehingga pasien bisa memiliki anak sesuai dengan keinginannya.
2. Duty (+)
Dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur.
3. Excellence (+)
Sikap dokter tersebut sangat menjaga pasien dan kualitasnya
sebagai seorang dokter.
4. Accountability (+)
Dokter telah memeriksa pasien, kemudian membuat keputusan
untuk mengambil sebuah tindakan yang tepat dan membantu pasien
untuk membuat keputusan.
5. Resfect for others (+)
Dokter melalukan tindakan dengan timnya dan menghormati
pasien maupun ibu pengganti.
6. Humanity (+)
Dokter melakukan tindakan sesuai keputusan yang telah diambil
oleh pasien.
22
BAB V
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
Abhimantra, IB. 2018. Akibat Hukum Anak Yang Lahir Dari Perjanjian Surrogate
Mother. Notaire : Universitas Airlanga. Vol. 1, No. 1, Hal. 39-52.
Sulistio, M. 2020. Status Hukum Anak Yang Lahir Dari Surrogate Mother (Ibu
Pengganti) Di Indonesia. Jurnal Education and Development : Institut
Pendidikan Tapanuli Selatan. Vol. 8, No. 2, Hal. 141-146.
https://www.haibunda.com/kehamilan/20210401234729-49-202948/kim
kardashian-dan-4-selebriti-dunia-lain-yang-punya-anak-lewat-ibu-
pengganti.
https://www.guesehat.com/kim-kardashian-nantikan-kehadiran-bayi-keempat-hasil-
sewa-rahim.
24