Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

SURROGATE MOTHER

Disusun oleh:

Dokter Muda RSUD Sidoarjo

NI ADE SHANIA MEGANTARI

(21710145)

Pembimbing:
dr. Meivy Isnoviana, SH., MH.

KEPANITRAAN KLINIK SMF ILMU KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA


KUSUMA SURABAYA

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya sehingga
Referat yang berjudul Surrogate Mother dapat diselesaikan meskipun jauh dari
sempurna. Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas dalam menempuh
masa dokter muda di Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada dr. Meivy Isnoviana., SH., MH., karena bimbingan, dukungan dan bantuan,
sehingga pembuatan referat ini dapat diselesaikan. Besar harapan penulis agar
Referat ini bisa memperluas wawasan dan menambah pengetahuan khususnya pada
para praktisi ilmu kedokteran forensik dan medikolegal serta pembaca pada
umumnya.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, maka dari
itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat
bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan kepanitraan klinik pada
khususnya, serta masyarakat pada umumnya.

Sidoarjo, 12 Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I JOURNAL READING ...............................................................................1

BAB II PENDAHULUAN .....................................................................................2

2.1 Latar Belakang .............................................................................................2


2.2 Rumusan masalah ........................................................................................4
2.3 Tujuan ..........................................................................................................4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................5

3.1 Sejarah Perkembangan Surrogate Mother ...................................................5


3.2 Teknik Surrogate Mother .............................................................................5
3.3 Aspek Sosial Surrogate Mother ...................................................................7
3.4 Aspek Etika Surrogate Mother ....................................................................7
3.5 Aspek Hukum Surrogate Mother .................................................................8
3.6 Status Hukum Anak ...................................................................................11

BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................14

4.1 Contoh Kasus ............................................................................................14


4.2 Analisa Kasus .............................................................................................15
4.2.1 Kaidah Dasar Moral .........................................................................15
4.2.2 Four Box Method ..............................................................................21
4.2.3 Prinsip Profesionalisme ....................................................................22
4.2.4 Ordinary dan Extraordinary ............................................................22

BAB V KESIMPULAN ......................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................24

iii
BAB I

JOURNAL READING

TINJAUAN SOSIAL, ETIKA DAN HUKUM SURROGATE MOTHER DI


INDONESIA

Nova Arikhman
STIKes Syedza Saintika Padang

ABSTRAK

Teknologi reproduksi buatan merupakan fertilisasi yang melibatkan


manipulasi gamet atau embrio di luar tubuh serta pemindahan gamet atau embrio
ke dalam tubuh manusia, surrogate mother termasuk dalam teknologi reproduksi
buatan ini. Persoalan muncul yaitu ibu pengganti tidak bersedia menyerahkan bayi,
orang tua genetik janin dapat meminta aborsi ketika komplikasi tak terduga muncul,
sedangkan ibu pengganti menentangnya. Perjanjian pada praktik surrogate mother
harus memenuhi persyaratan hukum, antara lain persyaratan tentang adanya sebab
yang halal. Penerapan surrogate mother di Indonesia belum mempunyai landasan
hukum yang adekuat, sehingga pelaksanaan di masyarakat mempunyai implikasi
hukum, etika dan sosial termasuk implikasi persepsi masyarakat dari sisi tradisi dan
agama. Pelaksanaannya akan berbenturan dengan berbagai permasalahan moral,
etika, dan hukum yang komplek sehingga memerlukan pertimbangan dan
pengaturan yang bijaksana, dalam rangka memberikan jaminan perlindungan
hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam penerapan, dengan tetap mengacu
kepada penghormatan harkat dan martabat serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia.

Kata kunci: Surrogate mother, sosial, hukum, etika, moral.

1
BAB II

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Membentuk sebuah keluarga dalam suatu ikatan perkawinan menjadi tujuan
bagi sebagian besar umat manusia, di dalam suatu perkawinan biasanya akan
menjadi lengkap apabila dapat melanjutkan keturunan. Namun tidak semua
orang dapat memiliki keturunan yang disebabkan oleh banyak faktor, orang-
orang yang tidak dapat memiliki keturunan ini disebut sebagai infertilitas yaitu
suatu kondisi dimana pasangan suami-istri belum mampu memiliki anak
walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu
dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam
bentuk apapun infertilitas pada wanita secara umum disebabkan oleh
menoupouse dini, kerusakan pada sel telur (tuba), sindrom ovarium polikistik
(PCOS), edrometriosis, ovarium jaringan parut, adhesi pelvis, masalah tiroid,
hingga gaya hidup seseorang juga mempengaruhi kesuburan baik bagi pria
maupun wanita. Sedangkan Infertilitas pada pria penyebab terbanyak yang
diketahui yaitu varikokel, hormon yang rendah, kelainan bawaan seperti testis
tidak turun, adanya tumor, sumbatan saluran sperma dan penyakit lainnya
(Abhimantra IB, 2018).
Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan yang semakin maju
dengan sangat pesat telah membawa berbagai manfaat dan permasalahan
dalam kehidupan manusia saat ini. Perkembangan teknologi kedokteran yang
begitu cepat tidak diimbangi dengan perkembangan hukum, sehingga banyak
masalah hukum di bidang kesehatan yang menuntut pemikiran dalam
menentukan regulasi pemecahannya. Salah satu teknologi di bidang kesehatan,
yaitu lahirnya metode pembuahan di luar rahim, di mana pembuahan suami
istri atau suami yang menanam benih kehidupan di dalam rahim yang bukan
istrinya yang disebut dengan sewa rahim / ibu pengganti / surrogate mother
melalui proses inkubasi. Sejak tahun 1970 In Vitro Fertilization (IVF) telah

2
dikembangkan yaitu dengan melakukan penyatuan benih laki-laki terhadap
benih perempuan dalam suatu wadah atau cawan petri (di laboratorium) yang
kemudian ditanam pada benih pasangannya atau pada perempuan yang tidak
mempunyai hubungan, ataupun sebaliknya seorang perempuan yang dibuahi
dengan benih lain yang bukan suaminya, dalam arti tidak terikat oleh hubungan
perkawinan. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan hukum, terutama
hukum pidana, karena perbuatan tersebut telah bertentangan dengan prinsip
dan norma-norma yang berlaku.
Surrogate mother merupakan praktek penyewaan rahim seorang
perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan pihak lain
dengan tujuan dapat hamil dan melahirkan bayi yang sebelumnya dilakukan
persenyawaan sperma dan ovum antara pasangan pihak lain, lalu hasil
persenyawaan tersebut ditanamkan ke dalam rahim perempuan tadi. Praktek
sewa rahim ini banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang
ditimbulkan disinyalir dapat membawa dampak negatif dalam masyarakat
terutama nasib dan nasab anak. Indikasi pelanggaran hak anak merupakan isu
penting dalam perdebatan sewa rahim ini. Hak anak yang seharusnya diberikan
menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa.
Anak disamarkan nasibnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak
disuramkan asal-usulnya (Arikhman N, 2016).
Surrogate mother terjadi karena seorang perempuan (istri) tidak
mempunyai harapan untuk mengandung secara normal, karena memiliki
penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung dan
melahirkan anak, tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan,
ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan / melahirkan /
menyusukan / menjaga kecantikannya, telah menopause, dan perempuan yang
menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan
memenuhi kebutuhan ekonominya. Sangat sedikit atau tidak ada data yang
menunjukkan bahwa perempuan memilih surrogate mother untuk alasan
estetika atau kenyamanan (Beck K, 2011 dalam Arikhman N, 2016).

3
Sebuah artikel dari Detik Health yang berjudul “Sewa Rahim di Indonesia
Dilakukan Diam-diam” menyatakan bahwa secara hukum penyewaan rahim
dilarang di Indonesia, tetapi praktik sewa rahim ternyata sudah banyak
dilakukan secara diam-diam dan tertutup di kalangan keluarga. Kasus sewa
rahim sebenarnya banyak terjadi di Indonesia hanya saja jarang muncul ke
publik karena tidak menimbulkan permasalahan. Akan tetapi permasalahan
akan muncul apabila ibu pengganti tidak mau atau enggan menyerahkan bayi
yang dikandung dan dilahirkannya sesuai dengan perjanjian.
Di beberapa negara seperti di India, Pakistan, Bangladesh, China, Thailand,
maupun Amerika Serikat, telah banyak terjadi penyewaan terhadap rahim
seorang wanita di sana dengan alasan faktor ekonomi yang sulit, sementara
oleh penyewa (sumber benih) yang biasanya berasal dari kalangan negara-
negara maju dengan alasan yang paling banyak adalah faktor estetika (takut
penampilan kurang indah akibat melahirkan).

2.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana aspek sosial, aspek etika dan aspek hukum tentang kelahiran
seorang anak melalui metode surrogate mother atau ibu pengganti?
2. Bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dengan menggunakan
metode surrogate mother atau ibu pengganti?

2.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui aspek sosial terhadap seseorang yang mempunyai anak
dengan menggunakan metode surrogate mother.
2. Untuk mengetahui aspek etika terhadap seseorang yang mempunyai anak
dengan menggunakan metode surrogate mother.
3. Untuk mengetahui aspek hukum terhadap seseorang yang mempunyai anak
dengan menggunakan metode surrogate mother.
4. Untuk mengetahui status anak terhadap anak yang dilahirkan dengan
menggunakan metode surrogate mother.

4
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sejarah Perkembangan Surrogate Mother


Perkembangan di bidang kedokteran, sosial dan hukum di seluruh dunia
membuka jalan bagi surrogate mother, sejarah surrogate mother dimulai pada
tahun 1870 di China. Pada tahun 1985 di Amerika Serikat, seorang perempuan
yang berhasil pertama hamil sebagai ibu pengganti dan melahirkan di tahun
1986, sekaligus memunculkan persoalan hukum pertama, dimana ibu
pengganti tidak mau menyerahkan bayi ke ibu genetik. Berbagai persoalan
muncul antara lain tahun 1990 di California, ibu pengganti tidak bersedia
menyerahkan bayi, juga ada kasus lain seperti orang tua genetik janin dapat
meminta aborsi ketika komplikasi yang tak terduga muncul, dan ibu pengganti
menentangnya (Merino F, 2010 dalam Arikhman N, 2016).

3.2 Teknik Surrogate Mother


Teknik ibu pengganti dapat diartikan sebagai penggunaan rahim wanita lain
untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah dibuahi oleh benih pria
(sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita lain tersebut. Perempuan yang
menggunakan rahimnya untuk hamil dimana janin yang dikandungnya tersebut
milik wanita lain dan setelah bayi lahir, hak kepemilikan atau hak asuh bayi
tersebut diserahkan kepada wanita lain dan ayah dari bayi tersebut. Praktek
surrogate mother atau ibu pengganti tergolong metode atau upaya kehamilan
di luar cara yang alamiah (Yendi, 2011 dalam Arikhman N, 2016). Ada
beberapa macam bentuk surrogate mother, diantaranya (Abhimantra IB,
2018):
1) Gestational Surrogate (adanya kelainan medis, ada imbalan);
2) Intrafamillie Surrogate (adanya kelainan medis, tanpa imbalan);
3) Commercial Surrogate (tidak ada kelainan medis, ada imbalan).

5
Surrogate mother juga dikenal dengan istilah sewa rahim karena pada
umumnya pasangan suami istri yang ingin memiliki anak ini akan memberikan
imbalan kepada ibu pengganti yang sanggup mengandung benih mereka,
dengan syarat ibu pengganti tersebut akan menyerahkan anak setelah
dilahirkan atau pada waktu yang telah ditetapkan sesuai perjanjian. Embrio
dibesarkan dan dilahirkan dari rahim wanita lain bukan istri walaupun bayi itu
menjadi milik pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak tersebut.
Secara umum terdapat lima tipe teknik sewa rahim (Yendi, 2011 dalam
Arikhman N, 2016), yaitu:

1) Sel telur istri dipertemukan dengan sperma suami, kemudian dimasukkan


ke dalam rahim wanita lain. Langkah ini digunakan dalam keadaan istri
memiliki sel telur yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan,
kecacatan, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2) Sama dengan tipe yang pertama, kecuali sel telur dan sperma yang telah
dipertemukan tersebut dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu
pengganti setelah kematian pasangan suami istri itu.
3) Sel telur istri dipertemukan dengan sperma laki-laki lain (bukan suaminya)
dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami
mandul dan istri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi sel telur
istri dalam keadaan baik.
4) Sperma suami dipertemukan dengan sel telur wanita lain, kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila istri
mengalami penyakit pada kandung telur dan rahimnya sehingga tidak
mampu menjalani kehamilan, atau istri telah mencapai tahap menopause.
5) Sperma suami dan sel telur istri dipertemukan, kemudian dimasukkan ke
dalam rahim istri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini istri
yang lain sanggup mengandung anak suaminya dari istri yang tidak boleh
hamil.

6
3.3 Aspek Sosial Surrogate Mother
Sebuah studi yang dilakuan Research Centre Psikologi Keluarga dan Anak
di University of City, London, Inggris pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa
ibu pengganti mengalami kesulitan melepaskan anak dan bahwa ibu
dimaksudkan menunjukkan kehangatan yang lebih besar pada anak dari ibu
hamil secara alami (Jadva V, et al., 2003; Golombok S, et al., 2004; Golombok
S, et al, 2011 dalam Arikhman N, 2016). Meskipun ibu pengganti umumnya
menyatakan merasa puas dengan pengalaman mereka sebagai pengganti, ada
kasus - kasus dimana tidak sesuai harapan yang terkait ketidakpuasan.
Beberapa wanita merasa pada tingkat tertentu merasa dihormati oleh pasangan
(Ciccarelli, etal., 2005 dalam Arikhman N, 2016).
Beberapa wanita memiliki reaksi psikologis ketika menjadi ibu pengganti.
Ini termasuk depresi ketika menyerahkan anak, kesedihan, dan bahkan
penolakan untuk melepaskan anak (Milliez J, 2008 dalam Arikhman N, 2016).
Sebuah studi dari Pusat Penelitian Keluarga di Universitas Cambridge
menemukan bahwa surrogate mother tidak memiliki dampak negatif pada
anak-anak dari ibu pengganti itu sendiri (Imrie S., et al., 2012 dalam Arikhman
N, 2016). Para peneliti tidak menemukan perbedaan secara negatif atau positif
penyesuaian anak pada ibu pengganti (Golombok S, et al., 2011 dalam
Arikhman N, 2016).

3.4 Aspek Etika Surrogate Mother


Masalah etika yang menjadi kekhawatiran yaitu tentang eksploitasi,
komodifikasi, dan paksaan ketika wanita dibayar untuk menjadi hamil dan
melahirkan, terutama dalam kasus dimana ada besar perbedaan kekuasaan
antara pihak pasangan dengan ibu pengganti, kepatutan pandangan masyarakat
untuk mengizinkan perempuan untuk membuat kontrak menggunakan tubuh,
perlindungan hak asasi perempuan sebagai ibu pengganti, kewajaran kontrak
sebagai ibu pengganti, kewenangan yuridiksi memutuskan yang bertentangan
dengan nurani ibu pengganti, insting seorang ibu (Schenker JG, 2008 dalam
Arikhman N, 2016).

7
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain
yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk surrogate mother, secara
hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam
UU Kesehatan yang lama, yang menegaskan bahwa kehamilan diluar cara
alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri
mendapat keturunan, dan Permenkes tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Teknologi Reproduksi Buatan, yang menegaskan bahwa pelayanan teknologi
reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang
terikat perkawinan yang sah, dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh
keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik (Arikhman N, 2016).
Kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang
menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan
suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan
tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim istri bukan wanita
lain atau menyewa rahim. Bahkan diancam sangsi pidana, hal ini dilakukan
untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami istri
(Arikhman N, 2016).

3.5 Aspek Hukum Surrogate Mother


Praktek ibu pengganti atau sewa menyewa rahim belum diatur di Indonesia.
Oleh karena itu, tidak ada perlindungan hukum bagi para pelaku perjanjian ibu
pengganti ataupun sewa menyewa rahim. Dalam pasal 1338 KUHPer memang
diatur mengenai kebebasan berkontrak, di mana para pihak dalam berkontrak
bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut
tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320
KUHPer yaitu: Kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, mengenai suatu
hal tertentu, dan sebab yang halal (Arikhman N, 2016).

8
Peraturan-peraturan yang dapat dikatakan secara tidak langsung
menyangkut mengenai surrogate mother atau ibu pengganti dapat dilihat dari
beberapa ketentuan sebagai berikut (Abhimantra IB, 2018) :
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 127 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
mengatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c) Pada fasilitas pelayanan tertentu.

Pasal 72 huruf b UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,


mengatakan bahwa setiap orang berhak menentukan kehidupan
reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan atau kekerasan
yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat
manusia sesuai dengan norma agama.

2. Peraturan Menteri Kesehatan No. 039 Menkes/SK/2010 tentang


Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan
Peraturan internal Departemen Kesehatan ini menyatakan bahwa:
a) Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur
istri dan sperma suami yang bersangkutan.
b) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan
infertile, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari
pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
c) Embrio yang dapat dipindahkan satu waktu ke dalam rahim istri tidak
lebih dari tiga; boleh dipindahkan empat embrio pada keadaan:
1) Rumah sakit memiliki tiga tingkat perawatan intensif BBL.
2) Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-
kurangnya 2 kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal atau

9
3) Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apa pun.
5) Dilarang melakukan jual beli embrio ovum dan spermatozoa.
6) Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk
penelitian. Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia
hanya dilakukan kalau tujuan penelitiannya dirumuskan dengan
sangat jelas.
7) Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan
menggunakan embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari
sejak tanggal fertilisasi.
8) Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia
tidak boleh di biak in vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-
hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah/simpan beku).
9) Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau
dengan menggunakan embrio, ovum atau spermatozoa manusia
tanpa izin khusus dari siapa telur atau spermatozoa itu diperoleh.
10) Dilarang melakukan fertilisasi transpesies kecuali apabila
fertilisasi transpesies itu diakui sebagai cara untuk mengatasi atau
mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang
terjadi akibat fertilisasi transpesies harus segera diakhiri
pertumbuhannya pada tahap biasa.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi
a) Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa reproduksi dengan bantuan atau
kehamilan di luar cara alamiah adalah upaya memperoleh kehamilan
di luar cara ilmiah tanpa melalui proses hubungan seksual antara
suami dan istri apabila cara alami tidak memperoleh hasil.
b) Pasal 40 menyatakan sebagai berikut:
Ayat (1) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat

10
perkawinan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau intertilitas
untuk memperoleh keturunan.
Ayat (2) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari
suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari
mana ovum berasal.
Ayat (3) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
Ayat (4) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
c) Pasal 43 Menyatakan bahwa:
Ayat (1) Kelebihan embrio hasil pembuahan di luar tubuh manusia
(ferlilisasi in vitro) yang tidak ditanamkan pada rahim harus disimpan
sampai lahirnya bayi hasil reproduksi dengan bantuan atau kehamilan
di luar cara alamiah. Ayat (3) Kelebihan embrio sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilarang ditanam pada:
1) Rahim ibu jika ayah embrio meninggal atau bercerai; atau
2) Rahim perempuan lain.

Ketentuan pasal 43 ayat 3 huruf b menegaskan bahwa tidak


dimungkinkan untuk menitipkan embrio pada rahim perempuan lain
(Surrogate mother).

3.6 Status Hukum Anak


Anak yang lahir dari perjanjian surrogate mother mempunyai kemungkinan
yang unik terkait dengan siapa yang dapat disebut sebagai orang tua anak.
kombinasi orang tua adalah sebagai berikut (Abhimantra IB, 2018) :

11
1) 2 orang tua: si pemberi sel telur dan yang menjadi ibu kandung adalah
sama serta sang ayah kandung tanpa ikatan pernikahan;
2) 3 orang tua: si pemberi sel telur dan yang menjadi ibu kandung adalah
sama, ayah kandung, serta istri dari sang ayah kandung;
3) 4 orang tua: si pemberi sel telur, ibu kandung, ayah kandung, dan istri dari
sang ayah kandung; atau
4) 5 orang tua: si pemberi sel telur, pemberi sperma, ibu kandung, ayah
angkat, dan ibu angkat.
Hukum Indonesia mempunyai peraturan dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU
Perkawinan) yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan Pasal
43 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Status anak yang lahir dari surrogate mother dalam kaitan dengan
pengaturan UU Perkawinan, bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari
surrogate mother, bukan anak dari orang tua yang menitipkan benih di rahim
surrogate mother. Terkait dengan anak yang lahir dari ibu pengganti atau
surrogate mother, maka apabila dihubungkan dengan peraturan di atas akan
terjadi status seperti berikut (Abhimantra IB, 2018) :
1) Apabila anak itu dilahirkan dari wanita surrogate mother yang terikat
dalam perkawinan (mempunyai suami) maka anak tersebut akan
berkedudukan sebagai anak sah dari wanita tersebut dan suaminya.
2) Apabila anak itu lahir dari wanita surrogate mother yang tidak terikat
dalam perkawinan, maka anak tersebut akan berkedudukan sebagai anak
luar kawin dari wanita tersebut

Dilihat dari uraian diatas dan terkait dengan UU Perkawinan maka dapat
disimpulkan, bahwa apabila anak itu dilahirkan dari wanita surrogate mother

12
yang terikat dalam perkawinan maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak
sah dari wanita tersebut dan suaminya, namun apabila anak itu lahir dari wanita
surrogate mother yang tidak terikat dalam perkawinan, maka anak tersebut
akan berkedudukan sebagai anak luar kawin dari wanita tersebut. Dalam
hukum positif di Indonesia khususnya terkait anak yang lahir dari perjanjian
surrogate mother ditinjau dari UU Perkawinan dapat disimpulkan bahwa anak
yang lahir dari perjanjian surrogate mother merupakan anak sah dari surrogate
mother atau ibu penggantinya tersebut dan bukan anak dari orang tua yang
menitipkan benih di rahim surrogate mother.

13
BAB IV

ANALISIS KASUS

4.1 Contoh Kasus


Pasangan selebriti Kim Kardashian dan Kanye West adalah pasangan
yang mendapatkan anak ketiga dan keempat lewat ibu pengganti. Ibu empat
orang anak ini mengunggah video di akun instagram pribadinya dan
bercerita tentang kesehatan serta kehamilannya. Kim Kardashian telah
melewati kehamilan yang sulit ketika mengandung dua anak pertamanya yaitu
NW dan SW. Saat mengandung NW, Kim Kardashian mengalami
preeklampsia sehingga harus melahirkan bayinya enam minggu lebih awal.
Setelah putri pertamanya lahir, Kim Kardashian melakukan proses
pembekuan sel telur sehingga ia bisa hamil putra keduanya. Setelah
melahirkan anak keduanya, Kim Kardarshian harus melakukan operasi
sebanyak lima kali dalam kurun waktu satu setengah tahun.
Kim Kardashian dan Kanye West ingin memiliki anak lagi agar mereka
mempunyai keluarga besar, tetapi dokter tidak ingin mengambil risiko karena
itu bisa menjadi malpraktrik, mengingat kondisi kehamilan sebelumnya. Maka
Kim Kardashian menggunakan dua embrio terakhir melalui metode ibu
pengganti atau sewa rahim dengan memiliki dua anak yaitu CW dan PW. Pada
kehamilan anak ketiga, Kim Kardhasian mengajukan sejumlah persyaratan
kepada ibu pengganti yaitu untuk tidak merokok, tidak minum obat-obatan,
tidak memakan ikan mentah, tidak minum kafein dan tidak melakukan
hubungan seksual menjelang kehamilan. Sang ibu pengganti dari anaknya
tersebut diberikan fasilitas pijat khusus hamil, koki pribadi, mobil mewah
hingga rumah di kawasan Los Angeles. Untuk menyewa rahim ibu pengganti,
Kim Kardashian harus mengeluarkan biaya sekitar 45.000 dolar atau 636
miliar rupiah.

Sumber kasus dari www.haibunda.com dan www.guesehat.com.

14
4.2 Analisa Kasus
4.2.1 Kaidah Dasar Moral
Pada kasus ini kaidah dasar moral yang terjadi yaitu:
1. Autonomi
Pada kasus ini, dokter mengambil tindakan setelah Kim
Kardashian mengambil keputusan dengan menggunakan metode
ibu pengganti untuk kelahiran anak ketiga dan keempat. Sehingga
ini memenuhi kaidah autonomi yaitu menghargai hak menentukan
nasib sendiri dan tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi
pasien.
 Tabel 1. Autonomi : Prinsip moral menghargai hak hak pasien
terutama hak otonomi pasien.

No Kriteria Ada Tidak Ada

1. Menghargai hak menentukan nasib 


sendiri, menghargai martabat pasien

2. Tidak mengintervensi pasien dalam 


membuat keputusan (pada kondisi
elektif)
3. Berterus terang 

4. Menghargai privasi 

5. Menjaga rahasia pribadi 

6. Menghargai rasionalitas pasien 

7. Melaksanakan informed consent 

8. Membiarkan pasien dewasa dan 


kompeten mengambil keputusan sendiri

15
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi 
outonomi pasien

10. Mencegah pihak lain mengintervensi 


pasien dan membuat keputusan,
termasuk keluarga pasien sendiri

11. Sabar menunggu keputusan yang akan 


diambil pasien pada kasus non
emergensi

12. Tidak berbohong ke pasien meskipun 


demi kebaikan pasien

13. Menjaga hubungan (kontrak) 

2. Beneficence
Pada kasus ini, dokter telah melakukan tindakan dengan baik
yaitu tidak menyarankan Kim Kardashian untuk hamil kembali,
karena mengingat kehamilan anak pertama dan kedua. Sehingga ini
memenuhi kaidah beneficence yaitu mengusahakan agar kebaikan
/ manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya
dan meminimallisasi akibat buruk.
 Tabel 2. Beneficence : Prinsip moral yg mengutamakan tindakan
yg ditujukan untuk kebaikan pasien.

No Kriteria Ada Tidak Ada

1. Utamakan alturisme (menolong tanpa 


pamrih, rela berkorban)

2. Menjamin nilai pokok harkat dan 


martabat manusia

16
3. Memandang pasien / keluarga dan 
sesuatu tak sejauh menguntungkan
dokter

4. Mengusahakan agar kebaikan / 


manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan keburukannya

5. Paternalisme bertanggung jawab / kasih 


sayang

6. Menjamin kehidupan baik minimal 


manusia

7. Pembatasan Goal - Based (sesuai tujuan / 


kebutuhan pasien)

8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / 


preferensi pasien

9. Minimalisasi akibat buruk 

10. Kewajiban menolong pasien gawat 


darurat

11. Menghargai hak pasien secara 


keseluruhan

12. Tidak menarik honorarium diluar 


kepantasan

13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara 


keseluruhan

14. Mengembangkan profesi secara terus- 


menerus

17
15. Memberikan obat berkhasiat namun 
murah

16. Menerapkan Golden Rule Principle 

3. Non-maleficence
Pada kasus ini, dokter telah melakukan tindakan untuk
mecegah hal yang membahayakan dan memperburuk kondisi Kim
Kardashian dengan membantu melakukan metode ibu pengganti
atau sewa rahim. Sehingga ini memenuhi kaidah non-maleficence
yaitu tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian.
 Tabel 3. Non Maleficence : Prinsip moral yang melarang tindakan
yang memperburuk keadaan pasien.

No Kriteria Ada Tidak Ada

1. Menolong pasien emergensi 

2. Kondisi untuk menggambarkan kriteria 


ini adalah:

a) Pasien dalam keadaan berbahaya


b) Dokter sanggup mencegah bahaya
atau kehilangan
c) Tindakan kedokteran tadi terbukti
efektif
d) Manfaat bagi pasien > kerugian
dokter (hanya mengalami risiko
minimal)
3. Mengobati pasien yang luka 

4. Tidak membunuh pasien (tidak 


melakukan euthanasia)

18
5. Tidak menghina / caci maki 

6. Tidak memandang pasien sebagai objek 

7. Mengobati secara tidak proporsional 

8. Tidak mencegah pasien secara berbahaya 

9. Menghindari misrepresentasi dari pasien 

10. Tidak membahayakan kehidupan pasien 


karena kelalaian

11. Tidak memberikan semangat hidup 

12. Tidak melindungi pasien dari serangan 

13. Tidak melakukan white collar dalam 


bidang kesehatan

4. Justice
Pada kasus ini, dokter memberlakukan segala sesuatu secara
universal artinya dokter memberikan penanganan yang sama pada
semua pasien, memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk
kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut.
 Tabel 4. Justice : Prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber
daya (distributive justice).

No Kriteria Ada Tidak Ada

1. Memberlakukan segala sesuatu secara 


universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses 
membagi yang telah ia lakukan

19
3. Memberi kesempatan yang sama 
terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien 
(affordability, equality, accessibility,
availability, quality)
5. Menghargai hak hukum pasien 

6. Menghargai hak orang lain 

7. Menjaga kelompok yang rentan (yang 


paling dirugikan)
8. Tidak melakukan penyalahgunaan 

9. Bijak dalam makro alokasi 

10. Memberikan kontribusi yang relatif sama 


dengan kebutuhan pasien

11. Meminta partisipasi pasien seusai dengan 


kemampuan

12. Kewajiban mendistribusi keuntungan 


dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil

13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya 


pada saat yang tepat dan kompeten

14. Tidak memberi beban berat secara tidak 


merata tanpa alasan sah / tepat

15. Menghormati hak populasi yang sama- 


sama rentan penyakit/ gangguan
kesehatan

20
16. Tidak membedakan pelayanan pasien 
atas dasar SARA, status sosial dll.

4.2.2 Four Box Method

Medical Indications Client Preferences

1. Pasien mengalami 1. Pasien dan suami sepakat untuk


preeklampsia pada menggunakan metode ibu
kehamilan anak pertama. pengganti atau sewa rahim
2. Setelah melahirkan anak untuk bisa mendapatkan anak
kedua pasien melakukan ketiga dan keempat.
operasi sebanyak lima kali 2. Tindakan yang dilakukan
dalam kurun waktu satu sesuai dengan kondisi pasien
setengah tahun. saat itu yang tidak
3. Pasien dan suaminya ingin memungkinkan untuk hamil
memiliki anak lagi. kembali.
Quality of Life Contextual Features

1. Pasien sangat senang karena 1. Pasien yang berprofesi sebagai


bisa mempunyai anak ketiga artis tidak masalah dalam hal
dan keempat dengan metode biaya untuk melakukan sewa
ibu pengganti. rahim dan memberikan
2. Permasalahan yang dialami perlakuan khusus kepada ibu
pasien dapat di selesaikan pengganti tersebut.
dengan metode ibu 2. Dalam kehidupan sosial sekitar
pengganti atau sewa rahim. pasien tidak menentang, karena
di negara tersebut sudah
memperbolehkan dilakukannya
surrogate mother.

21
4.2.3 Prinsip Profesionalisme
1. Altruism (+)
Dokter dengan tanggap dan teliti menangani kasus tersebut,
sehingga pasien bisa memiliki anak sesuai dengan keinginannya.
2. Duty (+)
Dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur.
3. Excellence (+)
Sikap dokter tersebut sangat menjaga pasien dan kualitasnya
sebagai seorang dokter.
4. Accountability (+)
Dokter telah memeriksa pasien, kemudian membuat keputusan
untuk mengambil sebuah tindakan yang tepat dan membantu pasien
untuk membuat keputusan.
5. Resfect for others (+)
Dokter melalukan tindakan dengan timnya dan menghormati
pasien maupun ibu pengganti.
6. Humanity (+)
Dokter melakukan tindakan sesuai keputusan yang telah diambil
oleh pasien.

4.2.4 Ordinary dan Extraordinary


Pada kasus ini termasuk dalam Extraordinary, karena pada
kehamilan anak pertama dan kedua pasien mengalami gangguan
kesehatan yaitu preeklampsia yang sangat berisiko, tetapi pasien masih
ingin memiliki anak sehingga dokter menyarakan pasien untuk
melakukan tindakan IVF dengan menggunakan metode ibu pengganti
pada kelahiran anak ketiga dan keempat. Kim Kardashian dan Kanye
West memilih menggunakan metode ini, tetapi Kim Kardashian dan
Kanye West harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak dalam
tindakan IVF dan biaya untuk merawat atau memfasilitasi kehidupan ibu
pengganti.

22
BAB V

KESIMPULAN

Indonesia masih belum memiliki peraturan yang khusus mengatur


mengenai surrogate mother atau ibu pengganti, oleh sebab itu pelaksanaan
surrogate mother yang terkait dengan perjanjian sewa rahim tidak dimungkinkan
dilakukan di wilayah hukum Indonesia karena bertentangan dengan UU, tidak
memenuhi unsur 1320 KUHPerdata, serta melanggar kesusilaan dan ketertiban
umum yang berlaku di Indonesia.
Status anak-anak yang lahir dari ibu pengganti di Indonesia dalam kaitan
dengan pengaturan UU Perkawinan, bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari
surrogate mother atau ibu pengganti, bukan anak dari pasangan suami - istri atau
orang tua yang menitipkan benih di rahim ibu pengganti atau surrogate mother.
Pada contoh kasus diatas, dokter melakukan tindakan sesuai prosedur
dengan memberikan saran kepada pasien untuk melakukan metode surrogate
mother atau ibu pengganti dan pasien menyetujuai hal tersebut sehingga tindakan
ini sangat membantu pasien untuk mempunyai anak kembali. Karena pasien
mengalami masalah dalam kandungan saat kehamilan sebelumnya yang tidak
memungkinkan untuk pasien hamil kembali karena risiko yang sangat tinggi.
Dilihat dari kaidah dasar moral, tindakan dokter tersebut tidak melanggar kaidar
dasar moral dan tindakan tersebut termasuk dalam extraordinary. Kasus diatas
termasuk tipe Gestational Surrogate karena pasien mengalami kesehatan pada
kandungannya dan memberikan beberapa fasilitas / uang kepada ibu pengganti.
Sehubungan dengan banyaknya praktik yang dilakukan oleh masyarakat
dengan diam-diam dan secara kekeluargaan terkait dengan surrogate mother atau
ibu pengganti, maka sebaiknya perlu dibuat peraturan-peraturan yang akan
berperan sebagai panduan atau memuat larangan dalam pelaksanaan surrogate
mother atau ibu pengganti yang dimaksudkan untuk adanya ketertiban dan
kepastian hukum.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abhimantra, IB. 2018. Akibat Hukum Anak Yang Lahir Dari Perjanjian Surrogate
Mother. Notaire : Universitas Airlanga. Vol. 1, No. 1, Hal. 39-52.

Arikhman, N. 2016. Tinjauan Sosial, Etika Dan Hukum Surrogate Mother Di


Indonesia. Jurnal Kesehatan Medika Saintika : STIKes Syedza Saintika
Padang. Vol. 7, No. 2, Hal. 140-150.

Sulistio, M. 2020. Status Hukum Anak Yang Lahir Dari Surrogate Mother (Ibu
Pengganti) Di Indonesia. Jurnal Education and Development : Institut
Pendidikan Tapanuli Selatan. Vol. 8, No. 2, Hal. 141-146.

https://www.haibunda.com/kehamilan/20210401234729-49-202948/kim
kardashian-dan-4-selebriti-dunia-lain-yang-punya-anak-lewat-ibu-
pengganti.

https://www.guesehat.com/kim-kardashian-nantikan-kehadiran-bayi-keempat-hasil-
sewa-rahim.

24

Anda mungkin juga menyukai