Anda di halaman 1dari 28

EFEKTIVITAS ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY DALAM

MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA SINGLE MOTHER DI KELURAHAN


KARANGPILANG SURABAYA

Disusun Oleh:

Aulia Tiffany Latief Putri 11010120007

Badrut Tamam Nur 1010120008

Dwi Ratna Ummu Fadilah 11010120012

Novika Putri Nur 11010120024

Pingkan Putri Aulia 11010120026

G1.6
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
202
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era modern ini banyak individu menghadapi berbagai tantangan psikologis yang
berkaitan dengan regulasi emosi. Regulasi emosi merujuk pada kemampuan seseorang untuk
mengenali, memahami, dan mengatur perasaan mereka dengan efektif. Gangguan regulasi emosi
dapat menyebabkan masalah kesejahteraan mental, seperti depresi, kecemasan, dan stres kronis
(ANI 2022). Garofalo, Velotti, dan Zavattini (2018) mengemukakan bahwa ciri orang yang
memiliki regulasi emosi yang baik diantaranya adalah toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi
dan pengelolaan amarah; berkurangnya kekerasan, baik secara fisik maupun verbal; dan perasaan
yang lebih positif tentang diri sendiri dan lingkungan (Garofalo, Velotti, and Zavattini 2018).
Young, Sandman, dan Craske (2019) menambahkan bahwa individu yang memiliki regulasi emosi
yang baik ditunjukkan dengan ciri seperti lebih baik dalam menangani konflik dan berkurangnya
perasaan emosi negatif seperti kecemasan berlebihan (Young, Sandman, and Craske 2019).

De Castella dkk (2018) mengemukakan bahwa individu yang memiliki regulasi emosi yang
rendah cenderung melibatkan emosi yang terlalu kuat dibandingkan dengan situasi yang
memicunya. Hal ini membawa individu kepada perasaan yang tidak bisa tenang, menghindari
emosi yang sulit, atau memusatkan perhatian pada hal negative (De Castella et al. 2018). Regulasi
emosi yang baik sangat penting bagi seorang ibu single. Kemampuan untuk mengenali,
memahami, dan mengelola perasaan dengan efektif dapat membantu mereka mengatasi tekanan,
menghindari kelelahan mental, dan menjaga kesejahteraan mereka sendiri dan anak-anak.
kematian seorang suami hingga periode keadaan yang berubah. Pada tahap awal transisi ini,
serangkaian emosi negatif yang kuat dialami singgel mom yaitu seperti kemarahan, kecemasan,
kesedihan, depresi, dan frustrasi. Merasa terkilir dan tersesat tanpa pasangan yang bisa diandalkan
adalah pengalaman yang menguras tenaga, membuat para wanita ini merasa lemah(Fenner 2020).

Penelitian dari (Meier et al. 2019) ibu tunggal kurang mampu secara emosional
dibandingkan orang tua yang menikah; misalnya, orang tua tunggal memiliki tingkat depresi yang
lebih tinggi kurang puas dalam mengasuh anak dan tingkat kebahagiaan yang lebih rendah, ibu
tunggal menerima dukungan sosial yang lebih sedikit dan mengalami ketegangan yang lebih besar
daripada ibu yang menikah. Penelitian oleh (Thompson dalam Yanti, 2019) mengatakan bahwa
single mother merasakan adanya tekanan dalam dirinya, sehingga imdividu akan cenderung tidak
mampu dalam mengontrol emosi negatifnya. Sedangkan dalam penelitian dari (Girisken 2021)
mengatkan bahwa ibu tunggal yang bekerja juga merasa lelah dan kehilangan kepribadian.
Kelelahan emosional meningkat seiring bertambahnya usia, sementara depersonalisasi terlihat
lebih tinggi pada kelompok usia yang lebih muda. Oleh karena itu, regulasi emosi memiliki
beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi, yaitu budaya, religiusitas,
kemampuan individu atau tipe kepribadian, usia, jenis kelamin, dan kondisi psikologis.

Menurut (Larasati, Hidayat, Muliyadi, 2022) single mother mengalami keterpurukan dan
kondisi yang traumatis sesaat berpisah dengan pasangannya. Sehingga menimbulkan emosi
negatif. beberapa single mother terbebani dengan keadaannya. Mereka mengalami emosi negatif
dan kelelahan fisik. (Zuhdi, 2019) (Kisworowati dalam Sari dkk, 2019) juga mengatakan
mengatakan bahwa individu yang menjadi single parents mengalami kesulitan dalam mengasuh
anaknya seorang diri tanpa adanya suami. Regulasi emosi pada ibu single parent terlihat naik turun
dengan mudah dikarenakan mereka seringkali terpancing emosi saat mengasuh anaknya sendirian.
(mariana, tambunan, salim, Dkk, 2022). Di Indonesia terdapat sejumlah data perempuan Indonesia
sebagai kepala rumah tangga adalah sebesar 15,46%, seperti yang dijelaskan dalam situs resmi
Kemestrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Single parent berperan sebagai
kepala rumah tangga guna mempertahankan rumah tangga agar berjalan dengan baik, khususnya
guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2020 ; Mariana Dina, dkk 2022). Seorang single mom sangat rentan
mengalami stress dan depresi, terutama saat fase pasca baru bercerai. Mereka yang tidak mendapat
dukungan yang kuat dari lingkungan sekitar akan sangat sulit menjalani kehidupan sehari-hari nya
karena harus membagi waktu untuk bkerja, mengurus rumah, dan mengurus anak. (validnews.id,
2022). Dilansir dari kumparan.com dampak dari perceraian dapat menyebabkan timbulnya rasa
trauma atas pernikahan, serta adanya peraasaan merasa bersalah, cemas, takut, dan rasa tidak
Bahagia bagi perempuan. (kumparan.com, 2022). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan
oleh peneliti pada single mother berinisial Y, B dan S di panti jompo Surabaya menunjukkan
bahwasannya mereka seringkali mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya, dikarenakan
keterbatasan ekonomi dan menjadi orang tua tunggal untuk anaknya
Menurut penelitian (Meier et al. 2019) ibu tunggal kurang mampu secara emosional
dibandingkan orang tua yang menikah; misalnya, orang tua tunggal memiliki tingkat depresi yang
lebih tinggi kurang puas dalam mengasuh anak dan tingkat kebahagiaan yang lebih rendah. Banyak
ibu tunggal menghadapi stres dan gangguan emosi dari peran ganda dalam keluarga. Berdasarkan
wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti pada single mother berinisial Y dan S di panti jompo
Surabaya menunjukkan bahwasannya mereka seringkali mengalami kesulitan dalam mengelola
emosinya.

Pendekatan yang digunakan adalah Acceptance and Commitment Therapy (ACT). ACT
adalah terapi berbasis bukti yang dikembangkan oleh Steven C. Hayes (1980) telah membuktikan
secara efektif dalam mengatasi berbagai masalah psikologis, termasuk masalah regulasi emosi.
Terapi ACT bertujuan untuk membantu orang untuk belajar bagaimana menangani pikiran-pikiran
yang menyakitkan dan menghubungkannya dengan kegiatan yang berorientasi pada tujuan dimana
ACT menyebabkan peningkatan regulasi kognitif positif, resiliensi, kontrol diri, dan penurunan
regulasi kognitif negatif pada perempuan single parent (Mahmoudpour, Rayesh,
Ghanbarian, Rezaee; 2021; Ali Ghorbani, Moradi, Aref, Ahmadian; 2019). Dalam konteks ibu
single, ACT dapat membantu mereka menghadapi perasaan kesepian, stres, kekhawatiran
keuangan, rasa rendah diri, dan kecemasan yang mungkin mereka hadapi. Dengan mempraktikkan
konsep penerimaan dalam ACT, ibu single dapat belajar untuk menerima kondisi hidup mereka
tanpa menyalahkan diri sendiri. Setelah melakukan terapi, individu belajar untuk menghadapi
pikiran negatif dengan menerimanya sebagai pikiran bukan kenyataan serta belajar untuk
mengelola pikiran dan emosi negatif mereka dan menerima apa yang terjadi pada masa sekarang
serta fokus pada kehidupan sekarang (Mahtab, Saeed, Rezvan, Zahra; 2022)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas, maka peneliti
mengidentifikasi permasalahan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut.

1. Apa pengaruh penggunaan Acceptamce and commitment Therapy terhadap


regulasi emosi terhadap single mom

2. Bagaimana regulasi emosi pada single mom setelah diberikan intervensi


Acceptamce and commitment Therapy
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan
mengetahui kefektifan intervensi Acceptance and Commitment Therapy dalam meningkatkan
regulasi emosi yang dialami oleh Single Mom. Kajian ini sangat penting mengetahui bahwa Single
Mom sebagai orang tua tunggal akan menanggung beban menjadi orang tua seorang diri. Yang
mana hal ini akan mempengaruhi kesehatan mental Single Mom.
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Regulasi Emosi

2.1.1 Definisi Regulasi Emosi

Menurut Gross & Thompson (2007) regulasi emosi dapat didefinisikan sebagai rangkaian
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang digunakan untuk memonitor emosinya,
mengetahui emosinya dan mengevaluasi emosinya dalam memenuhi target tertentu (Choirunissa
and Ediati 2020; Gross 2007). Kemampuan mengelola emosi yang tinggi akan membuat individu
menigkatkan kekuatannya dalam menghadapi ketegangan hidup (Astuti, Wasidi, and Sinthia
2019). Sejalan dengan hal itu, menurut Reivich & Shatte (2002) regulasi emosi didefinisikan
sebagai kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk tetap tenang di bawah tekanan. Hal ini
dikatakan bahwa individu yang mempunyai kemampuan dalam mengatur emosi yang ada dalam
dirinya mampu mengendalikan perasaan marah, sedih, cemas dan mempersingkat diri individu
dalam menemukan problem solving dari permasalahan tersebut (Rusmaladewi et al. 2020).
Dampak dari individu yang dapat meregulasi emosinya, maka akan memunculkan adanya dampak
positif, baik itu untuk kesehatan fisik, tingkah laku, dan hubungan sosial (Endaryani, Yuniardi, and
Syakarofath 2020).

2.1.2 Faktor Pembentuk Regulasi Emosi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi, antara lain
sebagai berikut.
a. Budaya: Kepercayaan yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat
mempengaruhi cara individu menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu
respon emosi. Dalam hal regulasi emosi berarti culturally permissible (apa yang dianggap sesuai)
dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam
cara ia meregulasi emosi (Ma, Tamir, and Miyamoto 2018).
b. Religiusitas: Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol
emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi
yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah
(Vishkin et al. 2019).
c. Kemampuan individu atau tipe kepribadian: Kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu
pada apa yang dapat individu lakukan dalam meregulasi emosinya. Kemampuan seseorang dalam
mengontrol perilaku terutama ketika seseorang lebih memilih untuk menahan dirinya (sabar)
merupakan ketrampilan regulasi emosi yang dapat mengatur emosi positif maupun emosi negatif
(Barańczuk 2019).
d. Usia: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan
dengan adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang
semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang
menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan
bahwasanya semakin bertambahnya umur, individu memiliki kemampuan regulasi emosi yang
semakin baik (Sanchis-Sanchis et al. 2020).
e. Jenis kelamin: Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda
dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan gendernya.
Perempuan menunjukkan sifat feminimnya dengan mengekspresikan emosi marah dan bangga
yang menunjukkan sifat maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi sedih, takut,
cemas dan menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat
maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi dihubungkan dengan perbedaan dalam
tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi
untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak berdaya.
Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan
menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih dapat melakukan
regulasi terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas
(Goubet and Chrysikou 2019).
f. Kondisi psikologis: Kondisi psikologis yang dimiliki oleh masing-masing individu
berbeda-beda, tergantung pada permasalahan yang dialami oleh masing- masing individu.
Sejatinya, setiap individu memiliki reaksi psikologis pada saat menghadapi sebuah masalah atau
cobaan, ada yang sudah mampu mengontrol permasalahan yang dihadapi, namun ada juga yang
tidak mampu mengontrol permasalahan yang dihadapi. Bentuk-bentuk ketidakmampuan dari
seseorang ini mendasari banyaknya perilaku beresiko dan self-destructive yang dilakukan.
Sehingga tidak diragukan lagi memberikan kontribusi peningkatan self-criticism, perasaan
terisolasi dan over identification dengan emosi yang dirasakan (Greenier, Derakhshan, and Fathi
2021).

2.1.3 Aspek Regulasi Emosi

James J. Gross & Thompson (2007) mengatakan regulasi emosi memiliki tiga aspek (Gross 2007),
yakni :

a) Kemampuan memodifikasi emosi (emotions modification) yaitu kemampuan individu


untuk meruba emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika
individu berada dalam putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini membuat individu
mampu bertahan dalam masalah yang sedang dihadapinya.
b) Kemampuan mengevaluasi emosi (emotions evaluating) yaitu kemampuan individu untuk
mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan untuk
mengelola emosi khususnyan emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa,
dendam dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam
yang dapat mengakibatkan indiviodu tidak dapat berfikir secara rasional.
c) Kemampuan memonitor emosi (emotions monitoring) yaitu kemampuan individu untuk
menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya, perasaannya,
pikirannya dan latarbelakang dari tindakannya.

2.2 Acceptance and Commitment Therapy (ACT)

2.2.1 Definisi Acceptance and Commitment Therapy (ACT)

Acceptance and Commitment Therapy atau ACT menurut Hayes (2004) adalah terapi
psikologis yang mendorong klien guna mengubah hubungan mereka dengan pikiran serta sensasi
fisik melalui proses penerimaan, kesadaran, dan tindakan yang berbasis nilai. Terapi ini memiliki
tujuan untuk meningkatkan fleksibilitas psikologi yang mana kemampuan dengan mencermati
pada pengalaman sekarang, caranya yaitu dengan menerima segala sesuatu yang terjadi dan tidak
menghakimi sendiri hal tersebut (Bai Zhenggang dkk, 2019). Sejalan dengan itu, Psikolog Steven
Hayes (2011) mengatakan bahwa Acceptance and Commitment Therapy (ACT) adalah terapi yang
digunakan untuk mengaplikasikan penerimaan (Acceptance) dalam menghadapi semua
permasalahan individu dan membantu individu untuk fokus mempunyai komitmen dalam
melakukan berbagai tindakan yang bernilai terhadap permasalahan yang dihadapi. Pada konsep
terssbut, individu bisa mengenali pikiran, perasaan dan menerima kondisi serta perubahan yang
terjadi dalam kehidupannya (Nuraini Afifah & Nurul Hartini, 2021). Harris (2011) mengatakan
bahwa delama terapi ACT klien akan diminta secara sadar untuk merencanakan kegiatan yang
akan dikerjakan agar Waktu, energi, dan sumber daya klien tidak terbuang dengan sia-sia untuk
mengontrol emosi negative serta melakukan hal yang sia-sia (Harris, 2011; Nova Anindita
Ardhani&Sri Kandariyah Nawangsih, 2020).

2.2.2 Tujuan Acceptance and Commitment Therapy (ACT)

Menurut Strosahl (2002) tujuan ACT adalah :

1) Membantu klien menentukan pengalaman mana yang dapat individu tersebut gunakan
untuk mendapatkan respon yang efektif, sehingga individu tersebut dapat bertahap hidup.
2) Mengontrol kesulitan yang dihadapi oleh individu.
3) Mampu mengetahui bahwa penerimaan dan kesadaran adalah upaya alternatif agar
individu dapat bertahan dalam kondisi yang dialaminya.
4) Mampu mengetahui jika penerimaan terbentuk karena adanya pikiran dan ucapan individu
tersebut.
5) Menyadari jika diri individu merupakan tempat penerimaan serta berkomitmen dengan
tujuan melakukan kegiatan yang dialami olehnya.
6) Individu mengerti jika tujuan perjalanan hidup adalah untuk memilih nilai agar mencapai
hidup yang lebih berharga.(Widuri, 2012)

2.2.3 Komponen Acceptance and Commitment Therapy (ACT)

Komponen Acceptance and Commitment Therapy (ACT) menurut swatson, yaitu :

a.) Accept (Meneria)


Klien menerima pikiran serta perasaan termasuk pada hal-hal yang tidak diinginkan dan
peristiwa yang tidak menyenangkan. Hal yang tidak diinginkan seperti rasa bersalah, rasa
malu, rasa cemas dan tidak berdaya. Klien akan diminta untuk berusaha menerima kondisi
yang dihadapinya dengan tujuan untuk menyelesaikan penderitaan yang dialami klien.
b.) Choose Direction (Memilih Arah)
Klien diminta untuk memilih tujuan hidup mereka dengan melakukan identifikasi dan
memfokuskan diri pada tujuan yang mereka inginkan. Pembimbing kemudian membantu
klien untuk melakukan identifikasi mengenai hal-hal yang penting bagi klien. Terakhir,
klien akan diminta untuk mengurutkan dari hal yang paling penting hingga tidak penting.
c.) Take Action (Melakukan kegiatan/perilaku)
Pembimbing akan meminta klien untuk memilih jalan atau arah hidup yang diinginkannya.
Selama proses ini klien akan belajar bahwa terdapat perbedaan antara dirinya dengan
individu lain (pikiran dan perasaan) (Hayes et al, 2009).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen.
Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang menggunakan pengumpulan dan analisis
data numerik untuk menjawab pertanyaan penelitian dan menguji hipotesis. Kuantitatif
berfokus pada pengukuran, penghitungan, dan analisis statistik untuk menggeneralisasi
hasil penelitian ke populasi yang lebih luas,sedangkan menurut Creswell (2014): "Metode
penelitian kuantitatif melibatkan penggunaan instrumen pengumpulan data terstruktur,
analisis statistik, dan generalisasi hasil untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah yang
objektif dan dapat diuji. Penelitian kuantitatif memiliki beberapa jenis, salah satunya
penelitian eksperimen.(Unaradjan 2019)
Metode penelitian eksperimen merupakan pendekatan ilmiah yang digunakan
untuk menguji hubungan sebab-akibat antara variabel-variabel tertentu. Dalam
eksperimen, peneliti secara sengaja memanipulasi variabel independen (faktor yang
dianggap menjadi penyebab) untuk melihat dampaknya terhadap variabel dependen (faktor
yang dianggap menjadi hasil atau efek) (Jaedun 2011).

3.2 Definisi operasional variabel yang diteliti


Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yang dipergunakan yakni variabel
independen dan variabel dependen, yakni:
a. Variabel Independen (X) : Acceptance and Commitment Therapy(ACT)
Acceptance and Commitment Therapy atau ACT menurut Hayes (2004) adalah
terapi psikologis yang mendorong klien guna mengubah hubungan mereka
dengan pikiran serta sensasi fisik melalui proses penerimaan, kesadaran, dan
tindakan yang berbasis nilai.
b. Variabel Dependen (Y) :Regulasi emosi
Menurut Gross & Thompson (2007) regulasi emosi dapat didefinisikan
sebagai rangkaian kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang
digunakan untuk memonitor emosinya, mengetahui emosinya dan
mengevaluasi emosinya dalam memenuhi target tertentu (Gross 2007;
Choirunissa and Ediati 2020). Kemampuan mengelola emosi yang tinggi akan
membuat individu menigkatkan kekuatannya dalam menghadapi ketegangan
hidup (Astuti, Wasidi, and Sinthia 2019). Sejalan dengan hal itu, menurut
Reivich & Shatte (2002) regulasi emosi didefinisikan sebagai kemampuan
yang dimiliki oleh individu untuk tetap tenang di bawah tekanan. Hal ini
dikatakan bahwa individu yang mempunyai kemampuan dalam mengatur emosi
yang ada dalam dirinya mampu mengendalikan perasaan marah, sedih, cemas
dan mempersingkat diri individu dalam menemukan problem solving dari
permasalahan tersebut (Rusmaladewi et al. 2020). Dampak dari individu yang
dapat meregulasi emosinya, maka akan memunculkan adanya dampak positif,
baik itu untuk kesehatan fisik, tingkah laku, dan hubungan sosial (Endaryani,
Yuniardi, and Syakarofath 2020).

3.3 Subjek Penelitian


Subjek dalam penelitian ini ialah singgel mom yang diambil di panti jompo
Surabaya beberapa kriteria pengambilan subjek Cerai mati dan cerai hidup, usia 20-40
tahun.

3.4 Desain eksperimen


Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen .Quasi eksperimen adalah
metode penelitian yang digunakan untuk menguji hipotesis atau mencari hubungan sebab-
akibat antara variabel tanpa menggunakan randomisasi penuh seperti pada eksperimen
sejati. Dalam quasi eksperimen, peneliti tidak dapat secara acak mengalokasikan peserta
atau objek penelitian ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.(Hastjarjo 2019)
Quasi Eksperimen dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan terapi ACT
dengan kelompok yang tidak diberikan terapi ACT. Enam Proses Inti Acceptance and
Commitment Therapy (ACT)
1. Mengembangkan Penerimaan dan Kesediaan
Penerimaan bukan berarti menyukai atau menginginkan suatu pengalaman atau suatu
kondisi. Sebaliknya, pengalaman berarti bersedia untuk mengalami suatu pengalaman
secara penuh dan tanpa penolakan. Ketika terhubung dengan saat ini, konseli akan lebih
fleksibel, responsif, dan sadar akan kemungkinan dan berusaha untuk meraih kesempatan
yang ada. Dibandingkan dengan hidup dimasa lalu atau masa depan, kesadaran akan saat
ini lebih berguna, kemungkinan rendah untuk mengalami fusi dan lebih responsif. Tanpa
kontak yang menyukupi dengan saat sekarang, perilaku yang dilakukan lebih didominasi
oleh fusi, penghindaran, dan pemberian alasan, hasil yang diperoleh lebih banyak seperti
perilaku yang terjadi dimasa lalu.
2. Defusi Kognitif (Cognitive Defusion)
Defusi kognitif berarti belajar untuk memisahkan atau melepaskan diri dari pikiran, gambar
dan kenangan. Dibanding dengan terjebak dalam pikiran, dan dikuasai oleh pikiran
tersebut. Menjadikan pikiran sebagai pikiran tidak lebih atau kurang
3. Kontak dengan saat ini (Contacting the Present Moment)
Kontak dengan saat ini berarti secara sadar terhubung dengan dan terlibat pada setiap hal
yang terjadi pada saat ini. Tujuan dari strategi ini adalah kesadaran akan saat ini. Ketika
terhubung dengan saat ini, konseli akan lebih fleksibel, responsif, dan sadar akan
kemungkinan dan berusaha untuk meraih kesempatan yang ada. Dibandingkan dengan
hidup dimasa lalu atau masa depan, kesadaran akan saat ini lebih berguna, kemungkinan
rendah untuk mengalami fusi dan lebih responsif. Tanpa kontak yang menyukupi dengan
saat sekarang, perilaku yang dilakukan lebih didominasi oleh fusi, penghindaran, dan
pemberian alasan, hasil yang diperoleh lebih banyak seperti perilaku yang terjadi dimasa
lalu.
4. Diri sebagai Konteks (Self as Context)
Dalam bahasa sehari-hari, terdapat dua elemen dari mind (pikiran) yaitu, pikiran diri dan
pengamatan diri .Pikiran diri adalah bagian dari selalu berpikir ±membangkitkan pikiran,
kepercayaan, fantasi, rencana dan lain-lain. Banyak orang yang tidak familiar dengan
pengamatan diri, yaitu aspek diri yang sadar mengenai apapun yang dipikirkan, dirasakan,
atau dilakukan pada beberapa kejadian. Pada ACT hal ini disebut dengan diri sebagai
konteks.
5. Mendefinisikan Arah Nilai (Defining Value Directions)
Nilai adalah keinginan kualitas dari perilaku yang tengah terjadi. Atau lebih jelasnya nilai
menjelaskan bagaimana individu ingin untuk berperilaku pada sebuah dasar yang sedang
berlangsung . Klarifikasi nilai adalah sebuah langkah penting untuk menciptakan sebuah
hidup yang bermakna. Nilai dalam ACT diibaratkan sebagai kompas yang memberikan
arah dan membimbing selama perjalanan.
6. Komitmen untuk Bertindak (Commited Action)
Akhirnya, ACT mendorong pengembangan pola yang lebih besar dan lebih
besar dari tindakan efektif terkait dengan nilai-nilai yang dipilih. Dalam hal ini,
ACT terlihat mirip seperti konseling perilaku tradisional, dan hampir semua
metode perubahan perilaku dapat dipasang ke protokol ACT seperti
perngalaman langsung, shaping, dll. Tidak seperti nilai, yang terus-menerus
dipakai tetapi tidak pernah dicapai sebagai objek, tujuan konkret merupakan
nilai-nilai yang konsisten dapat dicapai.
3.5 Instrumen Pengukuran
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Difficulties in Emotion
regulation atau DERS yang digagas oleh Gratz dan Roemer (2004). Dimana diukur
berdasarkan 6 dimensi regulasi emosi (1) non acceptance of emotional responses yaitu
(“Saya menjadi jengkel dengan diri saya sendiri ketika saya marah”), (2) difficulties
engaging in goal-directed behavior (“Saya mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaan
ketika saya marah”), (3) impulse control difficulties (“Saya mengalami kesulitan
memikirkan hal lain ketika saya marah”), (4) lack of emotional awareness (“Saya merasa
kewalahan saat saya kesal”), (5) limited access to strategies (“Saya percaya bahwa saya
akan tetap seperti itu untuk waktu yang lama saat saya kesal”) dan (6) lack of emotional
clarity (“Saya kesulitan memahami perasaan saya.”) (Adira dkk, 2022). Berikut merupakan
alat ukur Difficulties in Emotion Regulation (DERS) yang digagas oleh Gratz dan Roemer
(2004):
3.6 Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data Uji-T dengan pendekatan analisis
kuantitatif deskriptif dan inferensial untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara hasil
rata – rata kelompok yang diberi perlakuan dan kelompok yang tidak diberikan perlakuan.
Adapun kegiatan dalam analisis data adalah : mengelompokkan data berdasarkan variabel dan
jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan
data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan
melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. Analisis data pada
penelitian ini berbantuan software SPSS 17 for windows (Sugiyono, 2021).

3.7 Prosedur Pelaksanaan Acceptance And Commitment Therapy


Sesi 1
Mengidentifikasi kejadian, pikiran dan perasaaan yang muncul serta dampak perilaku
yang muncul akibat pikiran dan perasaan.
A. Tujuan
Klien mampu :
a) Membina hubungan saling percaya dengan experimenter.
b) Mengidentifikasi kejadian tidak menyenangkan yang dialami sampai saat
ini.
c) Mengidentifikasi pikiran yang muncul dari kejadian tersebut.
d) Mengidentifikasi respon yang timbul dari kejadian tersebut.
e) Mengidentifikasi upaya yang muncul dari pikiran dan perasaan yang ada
mengenai kejadian tersebut.
B. Setting
Klien diminta untuk duduk bersama dengan experimenter dalam suatu ruangan
yang tenang dan nyaman
C. Alar dan Bahan
Lembar kertas, daily report dan evaluasi klien
D. Metode
Diskusi disertai curah pendapat
E. Langkah-langkah
1. Persiapan
a) Melakukan seleksi terhadap klien sesuai dengan problem klien.
b) Mengingatkan klien sehari sebelum treatment.
c) Menyiapkan alat dan tempat pertemuan yang nyaman dan tenang.
2. Tahap Orientasi
a) Salam terapeutik
 Memperkenalkan nama dan panggilan experimenter (menggunakan
papan nama)
 Menanyakan nama dan panggilan klien.
b) Evaluasi atau validasi
 Menanyakan perasaan klien hari ini.
 Menanyakan apakah ada kejadian yang mengganggu klien saat ini.
 Bagaimana pikiran dan perasaan yang muncul mengenai kejadian
tersebut dan apa yang dilakukan klien sehubungan dengan pikiran
dan perasaan tersebut.
c) Kontrak
 Menjelaskan pengertian regulasi emosi dan tujuan terapi yaitu
membantu klien untuk mengontrol emosi (pikiran, perasaan dan
perilaku) dari kejadian tidak menyenangkan yang dialami oleh
klien.
 Menjelaskan mengenai peraturan dalam proses treatment yaitu klien
diharapkan dapat berpartisipasi dan bekerja sama dari sesi awal
hingga sesi akhir treatment.
 Pada pertemuan sesi 1 ini, disepakati tujuannya adalah menjalin
hubungan saling percaya dan mengidentifikasi kejadian tidak
menyenangkan yang dialami, pikiran yang dialami atau dirasakan
dan respon perasaan (emosi dan perilaku) akibat dari kejadian
tersebut.
3. Tahap Kerja
a) Terapis mendiskusikan bersama klien tentang :
 Kejadian buruk /tidak menyenangkan yang dialami klien pada saat
ini.
 Pikiran yang muncul serta respon perasaan klien terkait dengan
kejadian/ peristiwa yang terjadi.
 Perilaku yang dilakukan terkait dengan pikiran dan perasaan yang
terjadi terkait kejadian.
b) Meminta klien menuliskan kejadian/ peristiwa yang dialami, pikiran,
perasaan yang muncul akibat kejadian ke dalam lembar yang telah
disediakan.
c) Meminta klien untuk menuliskan perilaku yang dilakukan terkait dengan
kejadian dan pikiran yang dirasakan.
d) Memberikan reinforcement positif atas kemampuan klien.
4. Tahap Terminasi
a. Evaluasi
1. Menanyakan perasaan klien setelah selesai sesi 1
2. Meminta klien untuk menyebutkan Kembali kejadian/peristiwa yang
dialami, kiranya muncul dan perasaan yang timbul di kejadian tersebut
serta respon waktu yang dilakukan terkait pikiran dan perasaan klien
3. Memberikan reinforment positif atas kerja sama dan kemmpuian klien
dalam menyampaikan kejadian/peristiwa yang dialami
b. Tindakan lanjutan
Menganjurkan klien untuk mengidentifikasi kejadian buruk atau yang tidak
menyenangkan yang dialami saat ini.
c. Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati topik sesi 2 yaitu mengidentifikasi nilai klien berdasarkan
pengalaman klien
2. Menyepakati waktu dan tempat untuk sesi 2

Sesi 2

Mengidentifikasi nilai berdasarkan pengalaman klien

A. Tujuan
1. Klien mampu mengidentifikasi kejadian buruk atau tidak menyenangkan
2. Klien mampu menceritakan apa saja yang dilakukan terkait dengan kejadian
berdasarkan pada pengalamannnya.
B. Setting
Klien diminta untuk duduk bersama dengan experimenter dalam suatu ruangan
yang tenang dan nyaman
C. Alat dan Bahan
Lembar kertas, daily report dan evaluasi klien
D. Metode
Diskusi disertai curah pendapat
E. Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan klien minimal satu hari sebelum dilakukan sesi 2
b. Mempersiapkan diri tempat dan waktu
2. Tahap orientasi
a. Salam terapeutik
 Memperkenalkan nama dan panggilan experimenter (menggunakan
papan nama)
 Menanyakan nama dan panggilan klien.
b. Evaluasi atau validasi
 Menanyakan perasaan klien hari ini.
 Menanyakan apakah ada kejadian yang mengganggu klien saat ini.
 Bagaimana pikiran dan perasaan yang muncul mengenai kejadian
tersebut dan apa yang dilakukan klien sehubungan dengan pikiran dan
perasaan tersebut.
c. Kontrak
1. Menyepakati topik pertemuan sesi 2 yaitu mengidentifikasi nilai klien
berdasarkan pengalaman klien
2. Mengidentifikasi upaya yang dilakukan terkait dengan kejadian yang
dialami berdasarkan pengalaman klien
3. Lama waktu pertemuan 30 menit
4. Mengingatkan Kembali peraturan terapi yaitu klien diharapkan
berpartisipasi dalam diskusi dan mengikuti sesi dari awal sampai akhir
3. Tahap kerja
a. Klien dapat mendiskusikan kejadian buruk atau tidak menyenangkan dan
menceritakan upaya yang dilakukan terkait dengan kejadian yang dialami
b. Menentukan apa yang dilakukan klien sudah sesuai dan baik
c. Memberikan reinfoment positif untuk membantu klien menyadari perilaku
yang belum tepat serta mennetukan perilaku yang belum konstruktif atau
belum baik.
4. Tahap terminasi
1. Evaluasi
a. Menanyakan perasaan klien setelah sesi 2 selesai
b. Mengevaluasi kemampuan klien dalam mengidentifikasi upaya yang
dilakukan terkait dengan kejadian yang dialami
c. Mengevaluasi perilaku klien
d. Memberikan reinforment positif atas Kerjasama klien ynag baik dan
kemampuan klien
2. Tindakan lanjutan
Menuliskan upaya yang dilakukan terkait dengan kejadian yang dialami
berdasarkan pengalaman klien
3. Kontrak
a. Menyepakati topik sesi 3 yaitu berlatih menerima kejadian dengan nilai
yang dipilih
b. Menyepakati tempat dan waktu untuk sesi ke-3

Sesi 3

Berlatih menerima kejadian dengan nilai yang dipilih

A. Tujuan
1. Klien mampu memiliki salah satu perilaku akibat dari pikiran dan perasaan
yang ditumbulkan terkait kejadian yang tidak menyenagkan
2. Untuk mengatasi perilaku yang kurang baik yang sudah dipilih
3. Memasukkan Latihan kedalam jadwal kegiatan harian klien
B. Setting
Klien diminta untuk duduk bersama dengan experimenter dalam suatu ruangan
yang tenang dan nyaman
C. Alat dan Bahan
Lembar kertas, daily report dan evaluasi klien
D. Metode
Diskusi disertai curah pendapat
E. Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan klien minimal 1 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri tempat dan waktu
2. Tahap orientasi
a. Salam terapeutik
 Memperkenalkan nama dan panggilan experimenter (menggunakan
papan nama)
 Menanyakan nama dan panggilan klien.
b. Evaluasi atau validasi
 Menanyakan perasaan klien hari ini.
 Menanyakan apakah ada kejadian yang mengganggu klien saat ini.
 Bagaimana pikiran dan perasaan yang muncul mengenai kejadian
tersebut dan apa yang dilakukan klien sehubungan dengan pikiran
dan perasaan tersebut.
c. Kontrak
Menyepakati topik pertemuan pada sesi 3 yaitu berlatih menerima kejadian
dengan nilai yang dipilih klien
1. Lama waktu pertemuan 30 menit
2. Mengingatkan klien peraturan terapi
3. Tahap kerja
a. Terapis meminta klien untuk
1. menentukan salah satu perilaku yang masih perlu ditingkatkan untuk
dilatih bersama
2. Mengikuti dan mengulang Kembali cara yang sudah dilakukan terapis
3. Berlatih berperilaku sesuai nilai yang dipilih
4. Memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian
b. Memberikan reinforment positif pada klien
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Menanyakan perasaan klien setelah sesi 3 selesai
2. Mengevaluasi kemampuan klien untuk berlatih berperilaku yang baik
dan mengevaluasi perasaan klien setlah berlatih
3. Memberikan reinforment positif atas Kerjasama klien yang baik dan
kemampuan klien
b. Tindak lanjutan
Menganjurkan klien untuk terus melakuakan berlatih cara yang sudah
diajarkan terapis tentang berlatih berperilaku yang baik dalam menerima
kejadian
c. Kontrak
1. Menyepakati topik sesi 4 yaitu berkomitmen melakukan Tindakan
sesuai dengan nilai yang sudah dipilih klien dan mencegah terulangnya
kejadian
2. Menyiapkan tempat dan waktu untuk sesi ke 4

Sesi 4

Komitmen dan mencegah kekambuhan

A. Tujuan
1. Klien mampu mendiskusikan tentang apa yang dilakukan untuk menghindari
berulangnya perilaku buruk
2. Mengidentifikasi rencana yang akan dilakukan klien untuk mempertahanklan
perilaku yang baik
3. Mengidentifikasi apa yang dilakukakan klien untuk meningkatkan kemmapuan
berperilaku baik
4. Menyebutkan keuntungan memanfaatkan pelayanan konseling
5. Menyebutkan akibat jika stress tidak ditangani segera
6. Menyebutkan manfaat pengobatan
7. Menyebutkan manfaat terapi dan kesembuhan
B. Setting
Klien diminta untuk duduk bersama dengan experimenter dalam suatu ruangan
yang tenang dan nyaman
C. Alat dan Bahan
Lembar kertas, daily report dan evaluasi klien
D. Metode
Diskusi disertai curah pendapat
E. Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan klien minimal 1 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri tempat dan waktu
2. Tahap orientasi
a. Salam terapeutik
 Memperkenalkan nama dan panggilan experimenter (menggunakan
papan nama)
 Menanyakan nama dan panggilan klien.
b. Evaluasi atau validasi
 Menanyakan perasaan klien hari ini.
 Menanyakan apakah ada kejadian yang mengganggu klien saat ini.
 Bagaimana pikiran dan perasaan yang muncul mengenai kejadian
tersebut dan apa yang dilakukan klien sehubungan dengan pikiran
dan perasaan tersebut.
c. Kontrak
1. Menyepakati topik pertemuan pada sesi 4 yaitu menentukan komitmen
dan mempertahankan kemampuan yang telah dikuasai
2. Lama waktu pertemuan 20 menit
3. Mengingtakan Kembali pertemuan terapi
3. Tahap kerja
a. Terapis menanyakan kepada klien tentang komitmen yang dilakukan klien
yaitu apa yang dilakukan untuk menghindari berulangnya perilaku buruk
b. Terapis menganjurkan klien untuk mendiskusikan tentang apa yang akan
dilakukan untuk menghindari berulangnya perilaku buruk
c. Terapis kemudian meminta klien untuk menuliskan kedalam lembar kertas
kolom dua
d. Terapis menanyakan apa yang dilakukan klien untuk mempertahankan
perilaku baik
e. Terapis kemudian meminta klien untuk menuliskan kedalam lembar kertas
kolom tiga
f. Terapis menanyakan apa yang dilakukan klien untuk meningkatkan
kemampuan berperilaku baik
g. Terapis kemudian meminta klien untuk menuliskan kedalam lembar kertas
kolom empat
h. Terapis menanyakan pada klien apa keuntungan memanfaatkan pelayanan
konseling
i. Terapis meminta klien untuk mengungkapkan akibat stress
j. Terapis meminta klien mengungkapkan manfaat pengobatan bagi klien
k. Terapis meminta klien untuk menyebutkan manfaat terapi untuk
kesembuihan dan memberikan reinforment posutif atas kemampuan klien
berlatih
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Menanyakan perasaan klien setelah sesi 4 selesai
2. Mengevaluasi kemampuan klien dalam mengidentifikasi upaya yang
dilakukan terkait dengan kejadian yang dialami
3. Mengevaluasi perilaku klien
4. Memberikan reinforment positif atas Kerjasama klien ynag baik dan
kemampuan klien
b. Tindakan lanjutan
1. Menganjurkan klien untuk mempertahankan komitmen menjalani
kegiatan sesuai nilai yang dipilih klien
2. Menuliskan setiap pikiran, perasaan atau kejadian dan upaya yang
dilakukan klien
c. Kontrak
Mengakhiri pertemuan untuk ACT.
Daftar Pustaka

ANI, ZULAIKHAH. 2022. “IMPLEMENTASI BIMBINGAN PRIBADI MELALUI PROGRAM


TAHFIDZ AL-QUR’AN TERHADAP KEMAMPUAN REGULASI EMOSI PESERTA
DIDIK DI MA MUHAMMADIYAH SUKARAME.” UIN RADEN INTAN LAMPUNG.

Astuti, Dwi, Wasidi, and Rita Sinthia. 2019. “HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI
DENGAN PERILAKU MEMAAFKAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
PERTAMA.” Jurnal Consilia 2 (1): 66–74.

Azara, Fyana, Aryudho Widyatno, Mohammad Bisri, and Ayu Dyah Hapsari. 2022. “The
Relationship Between Emotion Regulation and Resilience in Single Mothers Possessing
Multiple Roles in Malang City” 2021 (ICoPsy 2021): 222–29.
https://doi.org/10.18502/kss.v7i1.10213.

Barańczuk, Urszula. 2019. “The Five Factor Model of Personality and Emotion Regulation: A
Meta-Analysis.” Personality and Individual Differences 139(November 2018):217–27. doi:
10.1016/j.paid.2018.11.025.

Choirunissa, Rachel, and Annastasia Ediati. 2020. “Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal
Remaja-Orangtua Dengan Regulasi Emosi Pada Siswa Smk.” Jurnal EMPATI 7 (3): 1068–
75. https://doi.org/10.14710/empati.2018.21856.

De Castella, Krista, Michael J. Platow, Maya Tamir, and James J. Gross. 2018. “Beliefs about
Emotion: Implications for Avoidance-Based Emotion Regulation and Psychological Health.”
Cognition and Emotion 32(4):773–95. doi: 10.1080/02699931.2017.1353485.

Endaryani, Vera Suci, Muhammad Salis Yuniardi, and Nandy Agustin Syakarofath. 2020.
“Pelatihan Antecedent-Focused & Response-Focused Untuk Meningkatkan Regulasi Emosi
Pada Remaja Panti Asuhan.” Gadjah Mada Journal of Professional Psychology (GamaJPP)
6 (1): 18. https://doi.org/10.22146/gamajpp.55232.

Fenner, Patricia. 2020. “UNDERSTANDING EMOTIONAL EXPERIENCES OF SINGLE


MOTHERS USING” 11 (6): 1687–97. https://doi.org/10.34218/IJM.11.6.2020.155.

Garofalo, Carlo, Patrizia Velotti, and Giulio Cesare Zavattini. 2018. “Emotion Regulation and
Aggression: The Incremental Contribution of Alexithymia, Impulsivity, and Emotion
Dysregulation Facets.” Psychology of Violence 8(4):470–83. doi: 10.1037/vio0000141.

Ghani, Faizah Abd, and Farah Adibah Ibrahim. 2015. “Relationship between the Belief System
and Emotional Well-Being of Single Relationship between the Belief System and Emotional
Well-Being of Single Mothers,” no. November. https://doi.org/10.5539/ass.v11n27p28.

Girisken, Arzu. 2021. “Understanding Work-Life Balance, Resilience and Emotional Endurance
of Single Working Mothers in the Workplace: A Qualitative Study.” Pressacademia 8 (1):
64–75. https://doi.org/10.17261/pressacademia.2021.1387.

Goubet, K. E., and Evangelia G. Chrysikou. 2019. “Emotion Regulation Flexibility: Gender
Differences in Context Sensitivity and Repertoire.” Frontiers in Psychology 10(APR). doi:
10.3389/fpsyg.2019.00935.

Greenier, Vincent, Ali Derakhshan, and Jalil Fathi. 2021. “Emotion Regulation and Psychological
Well-Being in Teacher Work Engagement: A Case of British and Iranian English Language
Teachers.” System 97:102446. doi: 10.1016/j.system.2020.102446.

Gross, James J. 2007. Handbook of Emotion Regulation. Vol. 15.

Hastjarjo, T Dicky. 2019. “Rancangan Eksperimen-Kuasi.” Buletin Psikologi 27 (2): 187.


https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38619.

Jaedun, Amat. 2011. “Metodologi Penelitian Eksperimen.” Fakultas Teknik UNY 12.

Ma, Xiaoming, Maya Tamir, and Yuri Miyamoto. 2018. “Socio-Cultural Instrumental Approach
to Emotion Regulation: Culture and the Regulation of Positive Emotions.” Emotion
18(1):138–52. doi: 10.1037/emo0000315.

Meier, Ann, Kelly Musick, Sarah Flood, and Rachel Dunifon. 2019. “Mothering Experiences:
How Single Parenthood and Employment Structure the Emotional Valence of Parenting.”
Demography 53 (3): 649–74. https://doi.org/10.1007/s13524-016-0474-x.

Ratnasari, Shinantya, and Julia Suleeman. 2017. “Perbedaan Regulasi Emosi Perempuan Dan
Laki-Laki Di Perguruan Tinggi.” Jurnal Psikologi Sosial 15 (1): 35–46.

Rusmaladewi, Dewi Rosaria Indah, Intan Kamala, and Henny Anggraini. 2020. “Regulasi Emosi
Pada Mahasiswa Selama Proses Pembelajaran Daring Di Program Studi PG-PAUD FKIP
UPR.” Jurnal Pendidikan Dan Psikologi Pintar Harati 16 (2): 43.

Sanchis-Sanchis, Alejandro, Ma Dolores Grau, Adoración Reyes Moliner, and Catalina Patricia
Morales-Murillo. 2020. “Effects of Age and Gender in Emotion Regulation of Children and
Adolescents.” Frontiers in Psychology 11(May). doi: 10.3389/fpsyg.2020.00946.

Unaradjan, Dominikus Dolet. 2019. Metode Penelitian Kuantitatif. Penerbit Unika Atma Jaya
Jakarta.

Vishkin, Allon, Pazit Ben-Nun Bloom, Shalom H. Schwartz, Nevin Solak, and Maya Tamir. 2019.
“Religiosity and Emotion Regulation.” Journal of Cross-Cultural Psychology 50(9):1050–
74. doi: 10.1177/0022022119880341.

Visted, Endre, Jon Vøllestad, Morten Birkeland Nielsen, and Elisabeth Schanche. 2018. “Emotion
Regulation in Current and Remitted Depression: A Systematic Review and Meta-Analysis.”
Frontiers in Psychology 9(MAY). doi: 10.3389/fpsyg.2018.00756.

Widuri, E. (2012). Pengaruh acceptance and commitment therapy terhadap respon ketidak
berdayaan klien gagal ginjal kronik di RSUP Fatmawati Jakarta. Depok: Universitas
Indonesia.

Young, Katherine S., Christina F. Sandman, and Michelle G. Craske. 2019. “Positive and Negative
Emotion Regulation in Adolescence: Links to Anxiety and Depression.” Brain Sciences 9(4).
doi: 10.3390/brainsci9040076.

Anda mungkin juga menyukai