Anda di halaman 1dari 16

STROKE DAN KOMPLIKASI NEUROLOGI

Dewi Hastuty
Bagian Neurologi FK Universitas Trisakti

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit kematian kedua setelah penyakit jantung dan penyebab
disabilitas ketiga di dunia dan menurut data World Stroke Organization bahwa setiap tahunnya
terdapat 13,7 kasus baru stroke dan terdapat sekitar 5,5 juta kematian akibat penyakit stroke.1 Sekitar
70% kejadian penyakit stroke dan 87% disabilitas dan kematian karena stroke terjadi di Negara
berpendapatan rendah dan menengah. Sedangkan kejadian stroke di Indonesia menurut Data
Riskesdas 2013 prevalensi stroke nasional 12,1 per mil, sedangkan pada Riskesdas 2018 prevalensi
stroke 10,9 per mil, tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur (14,7 per mil), terendah di Provinsi Papua
(4,1 per mil). 2 Beberapa tahun terakhir, di negara-negara maju angka kejadian tersebut dapat ditekan
sehingga terjadi penurunan kejadian. Namun, di negara negara berkembang seperti Indonesia angka
tersebut cenderung meningkat. Hal ini disebabkan karena tata laksana faktor risiko yang masih belum
adekuat.3

Komplikasi medis seringkali ditemui pada pasien stroke akut. Komplikasi tersebut
menyebabkan lamanya waktu perawatan di rawat inap, luaran yang lebih buruk, mortalitas yang
tinggi, sulitnya rehabilitasi, kecacatan neurologi, tingginya insiden jatuh, dan semuanya menyebabkan
peningkatan biaya perawatan. Oleh karena itu, selain penyakit dasarnya, komplikasi medis akibat
stroke sangat penting untuk kita perhatikan dan atasi sedini mungkin. Pilihan yang terbaik untuk
perawatan pasien stroke guna menghindari komplikasi dan penatalaksanaan akibat komplikasi
tersebut adalah perawatan di unit khusus yang disebut Unit Stroke. Dengan dilakukannya deteksi dini,
tatataksana serta pencegahan komplikasi stroke di Unit Stroke, diharapkan pasien stroke
mendapatkan perawatan yang optimal untuk luaran yang lebuh baik.

DEFINISI STROKE DAN KLASIFIKASI STROKE

Stroke menurut World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai tanda – tanda
klinis yang terjadi secara cepat atau mendadak berupa defisit fokal (atau global) pada fungsi otak,
dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa
penyebab yang jelas selain penyebab vaskular. Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) Tata Laksana Stroke 2019 mendefinisikan stroke sebagai manifestasi klinis akut akibat disfungsi
neurologis pada otak, medula spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap
selama 224 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh darah. Terdapat juga definisi
stroke berdasarkan American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA), dimana
stroke didefinisikan sebagai sindrom defisit neurologis yang bersifat akut akibat jejas pada otak,
medula spinalis, dan retina yang dapat dijelaskan dengan etiologi vaskular. Definisi stroke terbaru
tersebut mencakup seluruh komponen berikut:
1. Infark sistem saraf pusat (SSP), yakni kematian sel otak, medula spinalis, atau retina berdasarkan:
a. Bukti patologis, pencitraan, atau bukti objektif lain jejas iskemia fokal pada serebral, medula
spinalis, atau retina sesuai distribusi vaskular terkait, atau
b. Bukti klinis jejas iskemia fokal pada serebral, medula spinalis, atau retina yang menetap minimal
24 jam atau menyebabkan kematian dengan etiologi lain tereksklusi
2. Stroke iskemik, yaitu episode disfungsi neurologis akibat infark serebral, spinal, atau retina (sesuai
definisi poin 1a).
3. Infark silent SSP, yaitu adanya bukti pencitraan atau neuropatologis yang menunjukkan infark SSP
tanpa temuan disfungsi neurologis akut terkait lesi.
4. Perdarahan intraserebral, yaitu kumpulan darah fokal di parenkim otak atau sistem ventrikel yang
tidak disebabkan oleh trauma. Perdarahan parenkim tipe I dan II pascainfark SSP termasuk ke
dalam klasifikasi ini.
5. Stroke akibat perdarahan intraserebral, yaitu disfungsi neurologis yang berkembang cepat akibat
kumpulan darah fokal di parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma.
6. Perdarahan otak silent, yaitu kumpulan produk darah kronik di parenkim rongga subaraknoid, atau
sistem ventrikel yang terdeteksi secara pencitraan atau neuropatologis yang tidak disebabkan
oleh trauma dan tidak bermanifestasi ke dalam disfungsi neurologis akut terkait lesi.
7. Perdarahan subaraknoid, yaitu perdarahan pada rongga subaraknoid.
8. Stroke akibat perdarahan subaraknoid, yaitu disfungsi neurologis dan/atau nyeri kepala yang
berkembang cepat akibat perdarahan subaraknoid yang tidak pada rongga disebabkan oleh
trauma.
9. Stroke akibat trombosis vena otak, yaitu infark atau perdarahan pada otak, medula spinalis, atau
retina akibat trombosis pada struktur vena otak. Manifestasi klinis akibat edema reversibel tanpa
infark atau perdarahan tidak termasuk ke dalam definisi ini.
10. Stroke yang belum dapat digolongkan, yaitu episode defisit neurologis akut yang diduga akibat
iskemia atau perdarahan, berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, tetapi tanpa
bukti kuat untuk diklasifikasi ke dalam salah satu golongan di atas.
Terdapat juga kejadian vaskuler di otak namun berbeda dengan stroke, yaitu serangan infark transien
(SIT) atau transient ischemic attack (TIA) yang didefinisikan sebagai gejala transien fol iskemik arterial
yang berlangsung kurang dari 24 jam tanpa bukti adanya infark pada bukti patolog ataupun
pencitraan.4

ANATOMI ALIRAN DARAH KE OTAK


 2/3 depan kedua belahan hemisfer otak & struktur subkortikal mendapat darah dari sepasang
Arteri karotis interna yang dinamakan Sirkulasi anterior / Sistem karotis
 1/3 bag belakang ( serebelum, korteks oksipital bag posterior, batang otak ) memperoleh darah
dari sepasang Arteri vertebralis yg bersatu menjadi Arteri basilaris yang dinamakan Sirkulasi
posterior / Sistem vertebrobasilar. 5
MENGENAL DAN MENILAI TANDA DAN GEJALA STROKE

Banyak perangkat yang dikembangkan dalam membantumengenali gejala stroke di


masyarakat umum. Hal ini semata-mata bertujuan agar penderita stroke dikenali secepatnya dan
segera dibawa ke Rumah sakit untuk mendapatkan penanganan selanjutnya. Perangkat penilaian
tersebut adalah SEGERA (SEnyum GErak bicaRA) yang merupakan perangkat pengenalan masyarakat
yang telahdikembangkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan FAST (Face Arm Speech
Time) dikembangkan pertama kali di Inggris.6
Perawat mahir stroke diharapkan mampu mengenali tanda dan gejala stroke yang menjadi
dasar keberhasilan terapi stroke secara cepat dan tepat. Gejala stroke merupakan manifestasi
gangguan fungsi otak yang timbul secara mendadak dan proses perburukannya dapar berlangsung
perlahan lahan dan menjadi maksimal dalam waktu singkat. Penilaian ini kana diikuti dengan prinsip
dan penatalaksaan ABCDE di samping tanda vital dan menifestasi gejala neurologis lainnya.6

PENGKAJIAN PENILAIAN ABCDE PENDERITA STROKE


Pada perawatan di Unit Stroke, kondisi perburukan penderita stroke dapat dilakukan
pemantauan yang baik, sehingga perburukan secara klinis dapat terdeteksi lebih awal. Berbagai
parameter perburukan secara klinis harus dipantau secara rutin untuk mencegah terjadinya
perburukan yang berat dan mengancam nyawa.

PRIORITAS PENILAIAN PADA PENDEKATAN ABCDE

A Airway/jalan napas. Perhatikan ada tidaknya gangguan jalan napas


B Breathing/pernapasan. Perhatikan irama napas, tipe pernapasan, frekuensi pernapasan,
dan keterlibatan otot-otot pernapasan
C Circulation/sirkulasi. Perhatikan tekanan darah, nadi, warna dan turgor kulit.
otot pernapasan
D Disabilitas. Adanya gangguan fungsi dari bagian tubuh baik ekstremitas maupun indera
khusus seperti penglihatan, pendengaran, dan sebagainya.
E Exposure. Perhatikan risiko timbulnya injuri akibat perlakuan seperti membiarkan kondisi
penderita mengalami tekanan yang lama pada sisi imobilisasi atau memasang IV line pada
sisi yang mengalami kelemahan, dsb.

PENGKAJIAN ABCDE
A = AIRWAY  Lihat tanda-tanda peningkatan usaha napas: berkeringat, tidak
mampu berbaring pada posisi supinasi atau menelan ludah, dll.
 Lihat kemampuan untuk batuk atau membersihkan sekret jalan napas
 Lihat obstruksi total: tidak ada suara, tetapi terlihat gelisah dalam
usaha napas, terlihat pergerakan paradoksikal dada dan abdomen
Dengarkan tanda-tanda penurunan patensi (obstruksi parsial): stridor,
snoring / mendengkur, wheezing / mengi, gurgling / berkumur, tidak
mampu bicara
 Perhatikan pergerakan udara keluar dari mulut atau hidung
B = BREATHING  Lihat warna kulit penderita (contoh: bibir, mukosa mulut, jari-jari
untuk sianosis) dan posisi (contoh: tidak mampu berbaring datar pada
distres jantung atau respirasi)
 Lihat penggunaan otot bantu napas, kedalaman dan ritme napas, dan
pernapasan paradoksikal (menandakan obstruksi jalan napas berat)
 Ukur laju napas dan saturasi oksigen (catat persentase oksigen dan
metode pemberian)
 Dengarkan apa apa yang penderita katakan dan seberapa mudah
penderita berbicara
 Dengarkan masuknya udara secara bilateral dan pada seluruh lobus
paru dan adanya suara napas tambahan melalui auskultasi dada
dengan stetoskop
 Raba ada tidaknya deviasi trakea, emfisema subkutan, area dengan
nyeri tekan di atas dinding dada, dihubungkan dengan pneumotoraks
tipe tension atau fraktur iga multiple
 Palpasi ada tidaknya perubahan resonansi menggunakan kedua
tangan, seperti peningkatan resonansi pada pneumotoraks dan
hilangnya resonansi bila terdapat cairan
C = CIRCULATION  Lihat: warna kulit penderita (contoh: pucat, sianosis), berkeringat,
peningkatan tekanan vena jugular, dan turgor
 Perhatikan keadaan: penderita bingung, disorientasi, atau
mengantuk, mengeluhkan nyeri dada, nilai suara jantung
 Raba: denyut nadi (contoh: laju, ritme, volume), temperatur perifer,
waktu pengisian kapiler, temperatur kulit (contoh: kulit basah, atau
hangat dan terdilatasi)
 Ukur: tekanan darah, luaran urin, temperatur tubuh, tekanan vena
sentral (bila terpasang kateter vena sentral)
D = DISABILITY  Gunakan AVPU atau GCS untuk menilai tingkat kesadaran secara
benar
 Ukur gula darah, elektrolit (natrium, kalium), fungsi ginjal (urea
nitrogen/ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT, y-GT) sesuai
indikasi
E = EXPOSURE  Observasi: penderita secara keseluruhan untuk menentukan adanya
area perdarahan, memar, bengkak, inflamasi, infeksi, atau nyeri; serta
posisi tubuh penderita
 Inspeksi: luka; rongga hidung, telinga, dan mulut; jalur invasif (NGT,
kateter urin, akses vena perifer dan sentral)
 Palpasi: tungkai bawah untuk menilai adanya trombosis vena dalam
(seperti nyeri, panas, kemerahan, dan bengkak)
NURSE EARLY WARNING SCORES (NEWS)

Nurse Early Warning Score (NEWS) maupun track-and-trigger systems dapat diutamakan
dalam mendukung kerja tenaga perawat mahir stroke untuk bertindak cepat dalam mengatasi segala
dampak emergensi yang terjadi pada saat perawatan penderita stroke di unit stroke. Penilaian
prioritas klinis terhadap kondisi yang mengancam nyawa haruslah menjadi pegangan utama perawat
mahir stroke dalam mencegah kegawatdaruratan medis tersebut (code blue).

DERAJAT NURSE EARLY WARNING SCORES7

PENILAIAN NEWS7
Skor 3 2 1 0 1 2 3
Nadi < 40 40 - 50 51 - 90 90 - 110 111 - 130 ≥ 131
Laju Napas <8 9 - 11 12 - 20 21 - 24 ≥ 25
Temperatur ≤ 35°C 35,1 - 36 36,1 – 38,0 38,1 - 39 ≥ 39,1
Tekanan darah ≥ 90 91 - 99 100 - 150 151 - 219 > 220
Sistolik
Saturasi oksigen < 88% 88-93% 94-95% >96% Udara Setiap
bebas insuflasi O2
Sistem saraf A=Alert/ VPU
pusat: gunakan sadar penuh
skala AVPU

PENILAIAN DERAJAT RESPONSE STRATEGY SYSTEM


PENILAIAN DERAJAT RESPONSE STRATEGY SYSTEM 8

Skor NEWS Risiko Klinis Tindakan


Total skor 0-2 Rendah (Hijau)  Minimal tiap 12 jam observasi
Total skor 3-5  Peringatkan perawat penanggung jawab. Tingkatkan perawatan
bila diperlukan
 Tingkatkan frekuensi observasi menjadi tiap 4 jam
Total skor 6 Sedang (Kuning)  Peringatkan perawat penanggung jawab dan dokter
 Dokter harus datang dalam 1 jam
 Informasikan kepada tim medis utama yang merawat penderita
dan tim pemantau
Total skor 7-8 Sedang/tinggi (Oranye)  Peringatkan perawat penanggung jawab dan dokter
Sistolik  Dokter harus datang dalam 30 menit
 Informasikan kepada tim medis utama yang merawat penderita
 Dokter berdiskusi dengan dokter senior dan/atau tim pemantau
 Observasi berkala: setidaknya tiap jam; pertimbangkan
pemantauan kontinu
Total skor 9 atau Tinggi (Merah)  Peringatkan perawat penanggung jawab dan dokter
lebih  Dokter datang dalam 15 menit
 Dokter berdiskusi dengan dokter senior
 Tim emergensi/ICU dengan kompetensi perawatan kritikal,
keterampilan diagnostik, tata laksana jalan napas lanjut dan
kemampuan resusitasi
 Pemantauan kontinu
Catatan: Skor <9 dirawat di unit stroke, skor ≥ 9 dirawat di Neuro ICU
PENILAIAN STATUS NEUROLOGIS
Perburukan status neurologis dini (dalam 48-72 jam pertama) setelah stroke akut terjadi pada
25 hingga 49% penderita.8 Seorang perawat mahir stroke harus mampu melakukan pengkajian status
neurologis yang meliputi:
 Penilaian kesadaran (contoh: AVPU, Skala Koma Glasgow)
 Penilaian mata: kesimetrisan posisi bola mata (nervus III, IV, VI), ukuran pupil, bentuk, kesamaan
dan reflex cahaya langsung dan tidak langsung
 Penilaian fungsi menelan (nervus IX, X, XII)
 Penilaian fungsi motorik (pergerakan anggota gerak)
 Penilaian fungsi sensorik
 Penilaian fungsi otonom (kandung kemih)
 Penilaian afasia
 Penilaian nyeri
Keseluruhan pemeriksaan ini terangkum dalam NIHSS.

PENILAIAN KESADARAN
Derajat kesadaran penderita stroke dapat dinilai dengan metode AVPU dan Skala Koma
Glasgow (SKG).8
PENILAIAN KESADARAN DENGAN AVPU DAN GCS

AVPU Skala Koma Glasgow.


A Alert/sadar penuh Eye
4 Membuka mata spontan
V Memberikan respon 3 Membuka mata terhadap stimulus suara
terhadap voice/suara 2 Membuka mata terhadap stimulus nyeri
1 Tidak membuka mata

P Memberikan respon pada Motor


stimulus painful/nyeri 6 Mengikuti perintah
5 Mampu melokalisasi stimulus nyeri
4 Reaksi fleksi atau menghindar terhadap nyeri
3 Reaksi fleksi (sikap dekortikasi) terhadap nyeri
2 Reaksi ekstensi (sikap deserebrasi) terhadap nyeri
1 Tidak ada gerakan

U Unresponsive/tidak Verbal
memberikan respon pada 5 Menjawab dalam kalimat dan orientasi tepat
seluruh stimulus 4 Bicara dalam kalimat, tetapi terdapat disorientasi
3 Mampu mengucapkan kata, tetapi tidak tepat
2 Mengeluarkan suara yang tidak dapat dimengerti
1 Tidak terdapat respons verbal
PENILAIAN MATA
Seorang perawat mahir stroke memperhatikan posisi kedua bola mata apakah simetris
berada di tengah yang menandakan fungsi nervus kranialis III, IV, dan VI berfungsi baik. Selain
itu, pupil dinilai dari ukuran, bentuk, dan refleks cahaya baik langsung dan tidak langsung. 9

PENILAIAN PUPIL9
Ukuran pupil (mm)
Bentuk pupil
Reaktivitas pupil terhadap cahaya
Kesamaan ukuran pupil

PENILAIAN FUNGSI MENELAN


Kemampuan menelan penderita dinilai dengan uji penapisan (skrining) menelan Massey yang
dapat dilakukan secara bedside.10

PENILAIAN FUNGSI MOTORIK


Perawat mahir stroke mampu menentukan sisi kelemahan pada penderita baik satu sisi atau
bilateral. Kekuatan otot dilaporkan dengan skala dari 5 (normal), 4 (mampu melawan gravitasi
dan tahanan ringan pemeriksa), 3 (mampu melawan gravitasi), 2 (mampu bergeser), 1
(mampu berkontraksi), hingga O (tidak ada gerakan sama sekali).

PENILAIAN FUNGSI SENSORIK


Perawat mahir stroke mampu menilai fungsi sensibilitas wajah dan anggota gerak dinilai
apakah ada perbedaan antara kedua sisi. Penilaian dilakukan terhadap rasa nyeri (tusuk gigi
disposable) dan raba halus (kapas berpilin).

PENILAIAN FUNGSI OTONOM


Perawat mahir stroke melakukan palpasi pada daerah suprapubik untuk merasakan adanya
distensi kandung kemih, serta menilai ada tidaknya rasa nyeri akibat retensi urin dan
menanyakan kapan terakhir kali penderita buang air kecil. Apabila terdapat tanda-tanda
retensi urin, dilakukan kateterisasi intermiten.

PENILAIAN AFASIA
Perawat mahir stroke mampu menilai kemampuan berbicara penderita dengan menanyakan
nama lengkap dan tanggal lahir. Yang dinilai antara lain kemampuan pemahaman terhadap
pertanyaan, kelancaran berbicara, dan kemampuan mengulang (repetisi).

PENILAIAN NYERI
Perawat mahir stroke mampu menilai ada tidaknya keluhan nyeri (lokasi, karakteristik,
durasi). Bila terdapat nyeri, derajat nyeri diukur dengan menggunakan Visual Analog Scale
(VAS) pada penderita sadar penuh, FALCC untuk penderita afasia, dan behavorial pain scale
(BPS) untuk penderita tidak sadar atau terpasang ventilator.
KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI PADA KASUS STROKE
1. PENURUNAN KESADARAN

Untuk tatalaksana awal seluruh kegawatdaruratan medis adalah sama, yaitu ABCDE
patensi jalan napas (airway patency). pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation),
disabilitas (disability), eksposur (exposure).6

Setelah menetapkan bahwa penderita tidak berada dalam kondisi henti jantung, posisikan
penderita dalam posisi pemulihan untuk mengoptimalkan jalan napas. Penurunan
kesadaran berpotensi mengancam nyawa dan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas
postural dan hilangnya refleks jalan napas seperti batuk, tersedak dan refleks menelan.
Tanpa refleks tersebut, penderita berisiko mengalami aspirasi sekret atau muntah. 6

 Penggunan guedel (OPA) mungkin diperlukan jika posisi saja tidak dapat
mempertahankan jalan napas
 Pemberian oksigen mula-mula dengan aliran tinggi (8-15 L/menit) via sungkup muka
non-rebreathing; ketika stabil, oksigen inspirasi dapat dititrasi untuk menjaga saturasi
oksigen dalam rentang normal
 Rangkaian lengkap tanda-tanda vital harus dicatat
 Penyebab menurunnya kesadaran membutuhkan diagnosis medis formal. Salah satu
penyebab tersering penurunan kesadaran adalah glukosa darah yang terlalu rendah
atau terlalu tinggi, sehingga pemeriksaan glukosa darah harus diperiksa secara rutin
pada penurunan kesadaran untuk mendeteksi hiper- atau hipoglikemia. Hipoglikemia
harus ditangani segera dengan glukosa intravena. Hiperglikemia dapat diturunkan
menggunakan skala luncur gula darah6

Unsur-unsur spesifik asuhan keperawatan bervariasi tergantung tingkat kesadaran


penderita. Seluruh aspek aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of daily living, ADL)
dapat terpengaruh.6,11

2. PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL


Tujuan rencana asuhan keperawatan adalah untuk
(1) mengenali tanda dan gejala TIK meningkat,
(2) mencegah peningkatan TIK,
(3) mempertahankan tekanan perfusi serebral untuk mencegah perburukan iskemia
serebral,
(4) mencegah cedera otak sekunder
KEWASPADAAN KEPERAWATAN: MENGENALI PENINGKATAN TIK12
TANDA DAN GEJALA PENINGKATAN TIK  Tanda awal: penurunan tingkat kesadaran, penurunan fungsi
KEDARURATAN MEDIS: motorik, sakit kepala, gangguan penglihatan, perubahan tekanan
darah atau laju denyut jantung, perubahan pola pernapasan
 Tanda lanjut: abnormalitas pupil, perubahan tanda vital yang lebih
persisten, perubahan pola pernapasan dengan perubahan gas darah
arteri
 Intervensi: penilaian neurologis menyeluruh, segera memberitahu
dokter, pencitraan otak darurat, pertahankan ABC
LANGKAH UMUM UNTUK MENCEGAH  Bagian kepala tempat tidur ditinggikan 30° atau sesuai dengan
PENINGKATAN TIK: petunjuk dokter; posisi reverse Trendelenburg dapat digunakan jika
tekanan darah stabil. Posisi kepala mungkin merupakan salah satu
modalitas keperawatan tunggal yang paling penting untuk
mengontrol peningkatan TIK
 Pengaturan posisi kepala dan tubuh yang baik: mencegah
peningkatan tekanan intratorakal dan memungkinkan drainase vena
 Manajemen nyeri: menyediakan kontrol nyeri yang baik secara
konsisten
 Jaga suhu tubuh normal penderita

Penderita dengan penurunan atau tingkat kesadaran berfluktuasi memiliki


risiko aspirasi jika refleks jalan napas hilang. 13 Elevasi dada sampai kepala di tempat
tidur sampai dengan 30° menurunkan risiko ini. Meninggikan kepala juga
meningkatkan drainase vena dari kepala, sehingga membantu mengontrol volume
darah serebral dan menurunkan TIK.6
Memiringkan kepala ke samping harus dihindari untuk memastikan aliran vena
tidak terganggu. Untuk penderita dengan peningkatan TIK akut, fleksi pinggang dan
lutut yang ekstrem merupakan kontraindikasi karena ha ini dapat meningkatkan
tekanan intraabdomen yang menyebabkan peningkatan tekanan torakal dan tekanan
intrakranial.6

(Sumber: PEARSON EDUCATION, Instructor Resources for Pearson Titles)


Oksigen diberikan untuk menjaga PaO, lebih dari 11 kPa (- 80 mmHg) atau
saturasi oksigen lebih dari 96%,14 Oksigen dapat diberikan bila SaO, <96% dan dititrasi
sesuai kebutuhan.6
Kemampuan autoregulasi otak dipertahankan jika tekanan darah rerata
berada di antara 60 hingga 150 mmHg. Perawat perlu melakukan pemantauan
tekanan darah secara rutin dan menilai apakah perubahan tekanan darah merupakan
gejala peningkatan TIK.6

3. EDEMA SEREBRI
Diuretik osmotik seperti manitol dapat digunakan untuk mengobati edema serebri.
Manitol intravena (dosis 0,25 hingga 0,50 g/kgBB) diberikan lebih dari 20 menit dan dapat
diberikan setiap 6 jam. Yang perlu diperhatikan adalah tekanan darah, osmolalitas serum,
fungsi ginjal, dan produksi urin jika manitol digunakan. Furosemide 40 mg dapat
digunakan sebagai terapi tambahan, tetapi tidak boleh digunakan untuk jangka panjang.
Luaran urin/ urine output harus dipantau dengan cermat untuk mendeteksi adanya
poliuria dengan risiko dehidrasi sistemik yang menyertai. 6,14

4. KEJANG
Kejang adalah komplikasi yang mungkin dari stroke baik perdarahan dan iskemik. Yang
harus diperhatikan pada penderita dengan kejang adalah
1. Melakukan stabilisasi pada penderita dengan memastikan jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi, serta disabilitas neurologis;
2. Posisi penderita diatur sedemikian rupa untuk memastikan bahwa jalan napas bebas,
misalnya dimiringkan ke sisi kiri;
3. Memantau kondisi pernapasan dan saturasi oksigen;
4. Memasang jalur intravena dan mengambil sampel darah;
5. Memberikan diazepam intravena.
Perawat mahir stroke mampu menilai apakah kejang termasuk ke dalam status
epileptikus, tipe kejang, durasi kejang, dan kesadaran pasca-kejang.6,15

OBAT ANTIKONVULSAN YANG DIGUNAKAN SAAT KEJANG

Diazepam 0,15-0,20 mg/kgBB/kali (maksimal 10 mg) intravena bolus pelan hingga


kejang berhenti, dapat diulangi 15 menit kemudian bila kejang masih
berlanjut
Fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena
Diberikan dengan kecepatan maksimal 50 mg/menit.
Fenobarbital 15 mg/kgBB intravena dengan kecepatan 60 mg/menit dosis maksimal
1500 mg
Asam valproat 20-40 mg/kgBB per NGT/intravena
Sumber: Indrawati LA, et al. Status epileptikus. Dalam: Aninditha T, Wiratman W, eds. Buku ajar neurologi. Buku
L. Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017.
5. STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus didefinisikan sebagai aktivitas kejang berkelanjutan selama 20 hingga
30 menit, atau kejang yang terjadi berturut-turut selama 20 hingga 30 menit tanpa
pemulihan kesadaran. Terdapat tiga kategori umum penyebab status epileptikus, Pada
sekitar sepertiga kasus, penderita memiliki gangguan kejang yang telah diketahui. Pada
sepertiga kasus lainnya, episode status epileptikus adalah kejang pertama yang dialami
penderita.
1. Obat pilihan awal adalah benzodiazepin (lorazepam, midazolam, diazepam) karena
obat itu menghentikan 60-80% kejang. Dosis dapat diulang setelah 5 sampai 10 menit
jika kejang tidak berhenti. Perawat harus memantau tekanan darah penderita,
pernapasan, dan saturasi O2, karena efek samping utama adalah depresi pernapasan,
hipotensi, dan sedasi.
2. Fenitoin: Loading dose harus diberikan IV jika penderita tidak pernah mendapatkan
fenitoin sebelumnya. Fenitoin mungkin tidak segera mengontrol kejang dalam 24 jam
pertama. Keuntungan utama fenitoin adalah fungsinya dalam mencegah berulangnya
status epileptikus untuk waktu yang lama. Injeksi fenitoin harus diikuti dengan injeksi
salin steril untuk mencegah iritasi vena lokal karena alkalinitas larutan. Memasukkan
fenitoin parenteral pada cairan infus intravena tidak dianjurkan karena dapat
menimbulkan presipitasi. Injeksi paravena harus dihindari untuk mencegah
kerusakan parah pada jaringan lunak. Pemantauan EKG berkelanjutan dan
pengukuran tekanan darah secara teratur sangat penting. Penderita harus
diobservasi untuk tanda-tanda depresi pernapasan.
3. Barbiturat (contoh: fenobarbital atau pentobarbital) memberikan kontrol kejang yang
sangat baik, namun dapat membutuhkan ventilasi mekanik dan dapat menyebabkan
hipotensi.
4. Asam valproat, diberikan dengan dosis 20-40 mg/kgBB iv atau per oral antara 5-10
menit, maksimal pemberian 4000 mg. Apabila masih ada serangan dapat
ditambahkan 20mg/kgBB iv (maksimal 2000 mg) yang dapat diberikan dalam 5 menit.
5. Propofol secara kimia tidak berhubungan dengan antikonvulsan lainnya. Propofol
menghentikan aktivitas kejang dengan cepat tetapi menyebabkan hipotensi dan
depresi pernapasan.

Setelah kontrol kejang tercapai, perawat harus tetap memantau laju pernapasan
penderita, saturasi O2, dan pola monitor. Denyut jantung yang meningkat, tekanan darah
dan suhu seharusnya kembali ke baseline, biasanya tanpa pengobatan. Faktanya,
penderita mungkin menjadi hipotensi setelah menjalani pengobatan antikonvulsan. Saat
penderita terbangun, perawat perlu mengorientasikan penderita pada lingkungannya dan
menjelaskan apa yang telah terjadi. EEG dapat dilakukan untuk memastikan tidak ada
aktivitas kejang yang sedang berlangsung. 6
UNIT STROKE

Unit Stroke pertama di Indonesia/Asia didirikan pada 21 Agustus 1994 di


RSCM. Unit ini merupakan suatu sistem pengorganisasian tata laksana stroke akut,
yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat stroke. Disini
diselenggarakan tata laksana stroke secara komprehensif dan terpadu. Adapun prinsip
kerja di Unit Stroke meliputi:
 Kerja sama multi disiplin dari disiplin terkait
 Asuhan keperawatan khusus stroke
 Stimulasi dan program rehabilitasi dini
 Keterlibatan keluarga16

Dalam asuhan keperawatan stroke, perawat memiliki peran penting dalam


dalam diagnosis dan tatalaksana keperawatan baik pada fase hiperkaut, fase akut dan
fase pemulihan. Hal ini yang mendasari diperlukannya perawat mahir stroke untuk
menjadi penanggung jawab asuhan keperawatan stroke pada unit pelayanan khusus
stroke baik unit stroke dan pojok stroke (Stroke corner).6
Unit Stroke (terakreditasi) merupakan fasilitas pelayanan penderita stroke
yang terkoordinasi secara interdisiplin dan komprehensif dalam pelayanan penderita
stroke dan pencegahan berulangnya kejasian stroke dari sejak awla hingga penderita
dalam perawatan rumah/rawat jalan yang mempuntai panduan dalam pelayanan
yang telah tersusun secara baku.6
Dengan adanya Unit Stroke dan pearwat mahor stroke yang menjadi satu
kesatuan dalam pelayanan stroke secara komprehensif, diharapkan akan menurunkan
angka kecacatan, kematian dan meningkatkan aktivitas penderita stroke sehari-hari
dengan baik.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Stroke. 2019
2. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta: Kemenkes RI; 2018.

3. Hankey GJ. Stroke your questions answered. Churchill Livingstone; 2002.


4. Anindita T, Harris S, Wiratman W, Buku Ajar Neurologi, Edisi Kedua, Volume 1, Departemen
Neurologi FKUI-RSCM, 2022. 103-121
5. Baehr Mathias, Frotscher Michael, Duus' Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy -
Physiology - Signs - Symptoms 5th edition,
6. Harris S, Kustiowati E, Al Rasyid, et all, Protokol tatalaksana Stroke untuk perawat, Kelompok
studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Edisi pertama, 2018
7. Based on Dutton 2012m p.12 f; modifiedaccording to stroke specific considerations
8. Chang , CW, Neurointensive care medicine as an emergencing ICU Subspecialty, Text book of
Neurointensive care, Springer, London, 2013, 19-30
9. Creed F,Neurological care, Care of the Acutely III Adult. Oxford University Press, New Yorl,
106-142
10. Balla, A. Early Neirological Deterioration, Management of post stroke complication, Springer
cham, 7-20.
11. Geraghty, Nursing the unconscious patient, in Nursing standard, 2005, 54-64
12. Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Guidlines for the Early
13. Jevon P, Ewns B, Monitoring the Critical III Patient, West Sussex, Chapter Base on Scales, 2012,
230.
14. Kellum JA, Gunn SR, Singer M, Webb AR, Oxford America Handbook of Critical Care, Oxford
University Press, New Yory, 2008
15. Marik PE, Handbook of Evidence Base Critical Care, Springer, New Yprk, 2010
16. Al Rasyid, Misbach J, Harris S, Stroke, Komplikasi Medis dan Tatalaksana, Badan Penerbit FKUI,
Jakarta, 2015

Anda mungkin juga menyukai