Dewi Hastuty
Bagian Neurologi FK Universitas Trisakti
PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyakit kematian kedua setelah penyakit jantung dan penyebab
disabilitas ketiga di dunia dan menurut data World Stroke Organization bahwa setiap tahunnya
terdapat 13,7 kasus baru stroke dan terdapat sekitar 5,5 juta kematian akibat penyakit stroke.1 Sekitar
70% kejadian penyakit stroke dan 87% disabilitas dan kematian karena stroke terjadi di Negara
berpendapatan rendah dan menengah. Sedangkan kejadian stroke di Indonesia menurut Data
Riskesdas 2013 prevalensi stroke nasional 12,1 per mil, sedangkan pada Riskesdas 2018 prevalensi
stroke 10,9 per mil, tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur (14,7 per mil), terendah di Provinsi Papua
(4,1 per mil). 2 Beberapa tahun terakhir, di negara-negara maju angka kejadian tersebut dapat ditekan
sehingga terjadi penurunan kejadian. Namun, di negara negara berkembang seperti Indonesia angka
tersebut cenderung meningkat. Hal ini disebabkan karena tata laksana faktor risiko yang masih belum
adekuat.3
Komplikasi medis seringkali ditemui pada pasien stroke akut. Komplikasi tersebut
menyebabkan lamanya waktu perawatan di rawat inap, luaran yang lebih buruk, mortalitas yang
tinggi, sulitnya rehabilitasi, kecacatan neurologi, tingginya insiden jatuh, dan semuanya menyebabkan
peningkatan biaya perawatan. Oleh karena itu, selain penyakit dasarnya, komplikasi medis akibat
stroke sangat penting untuk kita perhatikan dan atasi sedini mungkin. Pilihan yang terbaik untuk
perawatan pasien stroke guna menghindari komplikasi dan penatalaksanaan akibat komplikasi
tersebut adalah perawatan di unit khusus yang disebut Unit Stroke. Dengan dilakukannya deteksi dini,
tatataksana serta pencegahan komplikasi stroke di Unit Stroke, diharapkan pasien stroke
mendapatkan perawatan yang optimal untuk luaran yang lebuh baik.
Stroke menurut World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai tanda – tanda
klinis yang terjadi secara cepat atau mendadak berupa defisit fokal (atau global) pada fungsi otak,
dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa
penyebab yang jelas selain penyebab vaskular. Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) Tata Laksana Stroke 2019 mendefinisikan stroke sebagai manifestasi klinis akut akibat disfungsi
neurologis pada otak, medula spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap
selama 224 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh darah. Terdapat juga definisi
stroke berdasarkan American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA), dimana
stroke didefinisikan sebagai sindrom defisit neurologis yang bersifat akut akibat jejas pada otak,
medula spinalis, dan retina yang dapat dijelaskan dengan etiologi vaskular. Definisi stroke terbaru
tersebut mencakup seluruh komponen berikut:
1. Infark sistem saraf pusat (SSP), yakni kematian sel otak, medula spinalis, atau retina berdasarkan:
a. Bukti patologis, pencitraan, atau bukti objektif lain jejas iskemia fokal pada serebral, medula
spinalis, atau retina sesuai distribusi vaskular terkait, atau
b. Bukti klinis jejas iskemia fokal pada serebral, medula spinalis, atau retina yang menetap minimal
24 jam atau menyebabkan kematian dengan etiologi lain tereksklusi
2. Stroke iskemik, yaitu episode disfungsi neurologis akibat infark serebral, spinal, atau retina (sesuai
definisi poin 1a).
3. Infark silent SSP, yaitu adanya bukti pencitraan atau neuropatologis yang menunjukkan infark SSP
tanpa temuan disfungsi neurologis akut terkait lesi.
4. Perdarahan intraserebral, yaitu kumpulan darah fokal di parenkim otak atau sistem ventrikel yang
tidak disebabkan oleh trauma. Perdarahan parenkim tipe I dan II pascainfark SSP termasuk ke
dalam klasifikasi ini.
5. Stroke akibat perdarahan intraserebral, yaitu disfungsi neurologis yang berkembang cepat akibat
kumpulan darah fokal di parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma.
6. Perdarahan otak silent, yaitu kumpulan produk darah kronik di parenkim rongga subaraknoid, atau
sistem ventrikel yang terdeteksi secara pencitraan atau neuropatologis yang tidak disebabkan
oleh trauma dan tidak bermanifestasi ke dalam disfungsi neurologis akut terkait lesi.
7. Perdarahan subaraknoid, yaitu perdarahan pada rongga subaraknoid.
8. Stroke akibat perdarahan subaraknoid, yaitu disfungsi neurologis dan/atau nyeri kepala yang
berkembang cepat akibat perdarahan subaraknoid yang tidak pada rongga disebabkan oleh
trauma.
9. Stroke akibat trombosis vena otak, yaitu infark atau perdarahan pada otak, medula spinalis, atau
retina akibat trombosis pada struktur vena otak. Manifestasi klinis akibat edema reversibel tanpa
infark atau perdarahan tidak termasuk ke dalam definisi ini.
10. Stroke yang belum dapat digolongkan, yaitu episode defisit neurologis akut yang diduga akibat
iskemia atau perdarahan, berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, tetapi tanpa
bukti kuat untuk diklasifikasi ke dalam salah satu golongan di atas.
Terdapat juga kejadian vaskuler di otak namun berbeda dengan stroke, yaitu serangan infark transien
(SIT) atau transient ischemic attack (TIA) yang didefinisikan sebagai gejala transien fol iskemik arterial
yang berlangsung kurang dari 24 jam tanpa bukti adanya infark pada bukti patolog ataupun
pencitraan.4
PENGKAJIAN ABCDE
A = AIRWAY Lihat tanda-tanda peningkatan usaha napas: berkeringat, tidak
mampu berbaring pada posisi supinasi atau menelan ludah, dll.
Lihat kemampuan untuk batuk atau membersihkan sekret jalan napas
Lihat obstruksi total: tidak ada suara, tetapi terlihat gelisah dalam
usaha napas, terlihat pergerakan paradoksikal dada dan abdomen
Dengarkan tanda-tanda penurunan patensi (obstruksi parsial): stridor,
snoring / mendengkur, wheezing / mengi, gurgling / berkumur, tidak
mampu bicara
Perhatikan pergerakan udara keluar dari mulut atau hidung
B = BREATHING Lihat warna kulit penderita (contoh: bibir, mukosa mulut, jari-jari
untuk sianosis) dan posisi (contoh: tidak mampu berbaring datar pada
distres jantung atau respirasi)
Lihat penggunaan otot bantu napas, kedalaman dan ritme napas, dan
pernapasan paradoksikal (menandakan obstruksi jalan napas berat)
Ukur laju napas dan saturasi oksigen (catat persentase oksigen dan
metode pemberian)
Dengarkan apa apa yang penderita katakan dan seberapa mudah
penderita berbicara
Dengarkan masuknya udara secara bilateral dan pada seluruh lobus
paru dan adanya suara napas tambahan melalui auskultasi dada
dengan stetoskop
Raba ada tidaknya deviasi trakea, emfisema subkutan, area dengan
nyeri tekan di atas dinding dada, dihubungkan dengan pneumotoraks
tipe tension atau fraktur iga multiple
Palpasi ada tidaknya perubahan resonansi menggunakan kedua
tangan, seperti peningkatan resonansi pada pneumotoraks dan
hilangnya resonansi bila terdapat cairan
C = CIRCULATION Lihat: warna kulit penderita (contoh: pucat, sianosis), berkeringat,
peningkatan tekanan vena jugular, dan turgor
Perhatikan keadaan: penderita bingung, disorientasi, atau
mengantuk, mengeluhkan nyeri dada, nilai suara jantung
Raba: denyut nadi (contoh: laju, ritme, volume), temperatur perifer,
waktu pengisian kapiler, temperatur kulit (contoh: kulit basah, atau
hangat dan terdilatasi)
Ukur: tekanan darah, luaran urin, temperatur tubuh, tekanan vena
sentral (bila terpasang kateter vena sentral)
D = DISABILITY Gunakan AVPU atau GCS untuk menilai tingkat kesadaran secara
benar
Ukur gula darah, elektrolit (natrium, kalium), fungsi ginjal (urea
nitrogen/ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT, y-GT) sesuai
indikasi
E = EXPOSURE Observasi: penderita secara keseluruhan untuk menentukan adanya
area perdarahan, memar, bengkak, inflamasi, infeksi, atau nyeri; serta
posisi tubuh penderita
Inspeksi: luka; rongga hidung, telinga, dan mulut; jalur invasif (NGT,
kateter urin, akses vena perifer dan sentral)
Palpasi: tungkai bawah untuk menilai adanya trombosis vena dalam
(seperti nyeri, panas, kemerahan, dan bengkak)
NURSE EARLY WARNING SCORES (NEWS)
Nurse Early Warning Score (NEWS) maupun track-and-trigger systems dapat diutamakan
dalam mendukung kerja tenaga perawat mahir stroke untuk bertindak cepat dalam mengatasi segala
dampak emergensi yang terjadi pada saat perawatan penderita stroke di unit stroke. Penilaian
prioritas klinis terhadap kondisi yang mengancam nyawa haruslah menjadi pegangan utama perawat
mahir stroke dalam mencegah kegawatdaruratan medis tersebut (code blue).
PENILAIAN NEWS7
Skor 3 2 1 0 1 2 3
Nadi < 40 40 - 50 51 - 90 90 - 110 111 - 130 ≥ 131
Laju Napas <8 9 - 11 12 - 20 21 - 24 ≥ 25
Temperatur ≤ 35°C 35,1 - 36 36,1 – 38,0 38,1 - 39 ≥ 39,1
Tekanan darah ≥ 90 91 - 99 100 - 150 151 - 219 > 220
Sistolik
Saturasi oksigen < 88% 88-93% 94-95% >96% Udara Setiap
bebas insuflasi O2
Sistem saraf A=Alert/ VPU
pusat: gunakan sadar penuh
skala AVPU
PENILAIAN KESADARAN
Derajat kesadaran penderita stroke dapat dinilai dengan metode AVPU dan Skala Koma
Glasgow (SKG).8
PENILAIAN KESADARAN DENGAN AVPU DAN GCS
U Unresponsive/tidak Verbal
memberikan respon pada 5 Menjawab dalam kalimat dan orientasi tepat
seluruh stimulus 4 Bicara dalam kalimat, tetapi terdapat disorientasi
3 Mampu mengucapkan kata, tetapi tidak tepat
2 Mengeluarkan suara yang tidak dapat dimengerti
1 Tidak terdapat respons verbal
PENILAIAN MATA
Seorang perawat mahir stroke memperhatikan posisi kedua bola mata apakah simetris
berada di tengah yang menandakan fungsi nervus kranialis III, IV, dan VI berfungsi baik. Selain
itu, pupil dinilai dari ukuran, bentuk, dan refleks cahaya baik langsung dan tidak langsung. 9
PENILAIAN PUPIL9
Ukuran pupil (mm)
Bentuk pupil
Reaktivitas pupil terhadap cahaya
Kesamaan ukuran pupil
PENILAIAN AFASIA
Perawat mahir stroke mampu menilai kemampuan berbicara penderita dengan menanyakan
nama lengkap dan tanggal lahir. Yang dinilai antara lain kemampuan pemahaman terhadap
pertanyaan, kelancaran berbicara, dan kemampuan mengulang (repetisi).
PENILAIAN NYERI
Perawat mahir stroke mampu menilai ada tidaknya keluhan nyeri (lokasi, karakteristik,
durasi). Bila terdapat nyeri, derajat nyeri diukur dengan menggunakan Visual Analog Scale
(VAS) pada penderita sadar penuh, FALCC untuk penderita afasia, dan behavorial pain scale
(BPS) untuk penderita tidak sadar atau terpasang ventilator.
KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI PADA KASUS STROKE
1. PENURUNAN KESADARAN
Untuk tatalaksana awal seluruh kegawatdaruratan medis adalah sama, yaitu ABCDE
patensi jalan napas (airway patency). pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation),
disabilitas (disability), eksposur (exposure).6
Setelah menetapkan bahwa penderita tidak berada dalam kondisi henti jantung, posisikan
penderita dalam posisi pemulihan untuk mengoptimalkan jalan napas. Penurunan
kesadaran berpotensi mengancam nyawa dan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas
postural dan hilangnya refleks jalan napas seperti batuk, tersedak dan refleks menelan.
Tanpa refleks tersebut, penderita berisiko mengalami aspirasi sekret atau muntah. 6
Penggunan guedel (OPA) mungkin diperlukan jika posisi saja tidak dapat
mempertahankan jalan napas
Pemberian oksigen mula-mula dengan aliran tinggi (8-15 L/menit) via sungkup muka
non-rebreathing; ketika stabil, oksigen inspirasi dapat dititrasi untuk menjaga saturasi
oksigen dalam rentang normal
Rangkaian lengkap tanda-tanda vital harus dicatat
Penyebab menurunnya kesadaran membutuhkan diagnosis medis formal. Salah satu
penyebab tersering penurunan kesadaran adalah glukosa darah yang terlalu rendah
atau terlalu tinggi, sehingga pemeriksaan glukosa darah harus diperiksa secara rutin
pada penurunan kesadaran untuk mendeteksi hiper- atau hipoglikemia. Hipoglikemia
harus ditangani segera dengan glukosa intravena. Hiperglikemia dapat diturunkan
menggunakan skala luncur gula darah6
3. EDEMA SEREBRI
Diuretik osmotik seperti manitol dapat digunakan untuk mengobati edema serebri.
Manitol intravena (dosis 0,25 hingga 0,50 g/kgBB) diberikan lebih dari 20 menit dan dapat
diberikan setiap 6 jam. Yang perlu diperhatikan adalah tekanan darah, osmolalitas serum,
fungsi ginjal, dan produksi urin jika manitol digunakan. Furosemide 40 mg dapat
digunakan sebagai terapi tambahan, tetapi tidak boleh digunakan untuk jangka panjang.
Luaran urin/ urine output harus dipantau dengan cermat untuk mendeteksi adanya
poliuria dengan risiko dehidrasi sistemik yang menyertai. 6,14
4. KEJANG
Kejang adalah komplikasi yang mungkin dari stroke baik perdarahan dan iskemik. Yang
harus diperhatikan pada penderita dengan kejang adalah
1. Melakukan stabilisasi pada penderita dengan memastikan jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi, serta disabilitas neurologis;
2. Posisi penderita diatur sedemikian rupa untuk memastikan bahwa jalan napas bebas,
misalnya dimiringkan ke sisi kiri;
3. Memantau kondisi pernapasan dan saturasi oksigen;
4. Memasang jalur intravena dan mengambil sampel darah;
5. Memberikan diazepam intravena.
Perawat mahir stroke mampu menilai apakah kejang termasuk ke dalam status
epileptikus, tipe kejang, durasi kejang, dan kesadaran pasca-kejang.6,15
Setelah kontrol kejang tercapai, perawat harus tetap memantau laju pernapasan
penderita, saturasi O2, dan pola monitor. Denyut jantung yang meningkat, tekanan darah
dan suhu seharusnya kembali ke baseline, biasanya tanpa pengobatan. Faktanya,
penderita mungkin menjadi hipotensi setelah menjalani pengobatan antikonvulsan. Saat
penderita terbangun, perawat perlu mengorientasikan penderita pada lingkungannya dan
menjelaskan apa yang telah terjadi. EEG dapat dilakukan untuk memastikan tidak ada
aktivitas kejang yang sedang berlangsung. 6
UNIT STROKE