Anda di halaman 1dari 4

ETIKA BISNIS

STUDI KASUS FLEXING DARI PERSPEKTIF

NAMA :RAMGAN ANANTA.R

KELAS: 4A2

NIM : 1961201293

MATKUL: ETIKA BISNIS


FLEXING DARI PERSPEKTIF

Dengan adanya media sosial membuat fenomena flexing jadi makin marak. Apabila sebelumnya

pamer dianggap tabu, dilarang, dan tidak pantas, tapi kini jadi hal yang umum. Beberapa hal yang

sering dipamerkan seperti saldo ATM, uang yang bertumpuk, pakaian mahal, jet pribadi, liburan ke

luar negeri, tas mewah, mobil mewah, dan sederet barang mewah lainnya. Maka belakangan

muncul istilah, sultan dan crazy rich. flexing atau pamer dilakukan untuk mencapai beragam tujuan,

di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan

menunjukan kemampuan. Menurut pakar bisnis Rhenald Kasali, flexing banyak digunakan sebagai

strategi pemasaran. Flexing secara halus umumnya dilakukan para pembicara, lewat CV mereka

akan menjelaskan latar belakang pendidikan, pencapaian, penghargaan dan lain-lain. Hal itu

bertujuan agar pendengar atau peserta yang hadir yakin dengan kapasitas dan kemampuan

pembicara. Sebagian orang juga melakukan flexing dengan memamerkan prestasi, hasil

pencapaian pekerjaan, penghargaan di media sosial mereka. Alih-alih promosi diri malah

mendapatkan kesan norak, sombong, yang akhirnya merugikan diri sendiri, tandas Rhenald Kasali.

"Walaupun flexing jadi salah satu strategi marketing yang dilakukan untuk menarik konsumen, tetapi

masih banyak strategi lain yang "jauh lebih baik" dibanding flexing berlebihan

Pertama, pamer karena memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan hanya sekadar

membagikannya ke orang lain.

Flexing dan menghargai keberhasilan Sebab Stefany juga menyebut flexing merupakan salah satu

cara untuk menghargai keberhasilan seseorang, tetapi bisa jadi bermasalah apabila dilakukan

secara berlebihan. "Kan enggak semua hal dipamerkan. Ada batasan-batasan tertentu yang

memisahkan mana flexing yang wajar dan tidak," jelas dia. "Misalnya habis selesai kuliah terus bisa

lulus, terus memamerkan itu kan boleh aja, sebagai salah satu bentuk apresiasi diri juga. Jadi tak

melulu dimaknai negatif," tambahnya. Stefany menjelaskan, selama barang yang dipamerkan

adalah milik pribadi dan hasil pencapaian diri, itu merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, apabila

flexing dilakukan untuk menutupi kekurangan dirinya, justru ia tidak akan mengatasi

akarmasalahnya.
Sebagai tugas Ujian Akhir Sementer, silakan teman-teman melakukan analisa dengan memberikan

pedapat berdasarkan perspektif etika bisnis. Analisa yang dibedah berdasarkan pada poin-poin

berikut ini:

1. Jika flexing adalah upaya marketing, apakah metode tersebut dianggap tidak melanggar

aturan sehat dalam menjalankan bisnis?

2. Jika flexing adalah upaya marketing, mengapa ada pelaku bisnis yang melakukannya justru

kekayaanya bertambah?

3. Jika flexing adalah upaya marketing, mengapa ada pelaku bisnis yang melakukannya malah

berhadapan pada kasus hukum dengan tuntutan pidana dan perdata?

4. Jika flexing dianggap boleh dari tinjauan etika bisnis, apa yang harus dilakukan oleh korporasi

atau pelaku usaha sebagai wujud dari tata kelola bisnis yang sehat?

5. Mengapa banyak orang yang terpengaruh dan akhirnya memutuskan untuk melakukan

kerjasama dan beriventasi?


JAWABAN

1. Jika flexing adalah upaya marketing, apakah metode tersebut dianggap tidak melanggar

aturan sehat dalam menjalankan bisnis?

Belakangan kita dihebohkan oleh beberapa video tentang anak muda yang disebut sultan atau crazy rich bahkan

ada anak muda membeli mobil sport dengan harga 3M dan mengatakan murah

Anda mungkin juga menyukai