Anda di halaman 1dari 10

Mengoptimalkan Pembagian Beban Unit

Pembangkit Untuk Menurunkan Biaya


Bahan Bakar
Apabila anda mengoperasikan PLTU dengan kapasitas 2 x 100 MW net. Saat terjadi perubahan
total load demand dari 100 MW menjadi 140 MW, bagaimana cara anda membagi beban tiap
unit? Apabila plant anda mempunyai fleksibilitas dalam mengatur beban tiap unit. Apakah sama
rata masing-masing 70 MW? Atau salah satu unit 100 MW dan unit lainnya 40 MW? Ataukah
ada opsi lainnya? Apa yang menjadi pertimbangan anda mengatur beban setiap unit?

Tentunya yang menjadi pertimbangan kita dalam mengoperasikan pembangkit adalah safety,
handal, dan efisien. Apabila faktor safety dan handal sudah terpenuhi, bagaimana cara kita
membagi beban unit yang efisien sehingga biaya bahan bakar yang diperoleh paling minimal?

Metode untuk membagi beban unit agar memperoleh biaya bahan bakar terendah biasa dikenal
dengan Economic Dispatch (ED). ED umumnya digunakan dalam system transmisi oleh
dispatcher untuk menentukan beban masing-masing unit pembangkit yang terhubung ke grid
untuk memenuhi total load demand dengan beroperasi dalam range minimum dan maksimum
load setiap unit untuk memperoleh biaya bahan bakar terendah. ED juga dapat diterapkan pada
pembangkit thermal yang mempunyai lebih dari satu unit dan mempunyai fleksibilitas dalam
mengatur beban setiap unit.

Setiap unit pasti mempunyai kurva karakteristik NPHR (Net Plant Heat Rate), dan saat
performance acceptance test biasanya kurva NPHR semua unit identik, meskipun tidak sama
persis. Sedangkan dalam kondisi actual normal operasi, biasanya kurva NPHR setiap unit mulai
berbeda. Perubahan kurva NPHR ini dapat disebabkan oleh faktor performa peralatan utama,
konsistensi parameter operasi, dan kualitas bahan bakar. Apabila unit 1 dan 2 mempunyai kurva
NPHR yang berbeda, maka membagi beban unit sama rata bukanlah cara yang optimal.

Dalam perhitungan ED kita memerlukan fungsi biaya bahan bakar (Rp/h) dengan melakukan
perkalian antara daya neto (kwh), harga energy bahan bakar (Rp/kCal), dan NPHR (kCal/kWh).
Bentuk tipikal dari persamaan biaya bahan bakar adalah persamaan polynomial orde dua dan
direpresentasikan sebagai berikut:
Fi (Pi) = a*Pi^2 + b*Pi + c

Di mana Fi adalah biaya pembangkitan di pembangkit listrik ke-i (Rp/h), Pi adalah daya keluaran
dari generator ke-i (MW). a adalah koefisiensi order 2, b adalah koefisien orde 1, dan c adalah
konstanta.

Kombinasi daya keluaran yang dihasilkan oleh setiap unit harus memenuhi persyaratan Pd atau
kebutuhan beban (equality constraint), serta memenuhi batas minimum dan maksimum kapasitas
pembangkit (inequality constraint). Karena kerumitan masalah ini, ED hanya dapat dilakukan
dengan metode iterasi. Equality dan inequality constraint yang telah dijelaskan di atas dapat
direpresentasikan dalam persamaan berikut:

Min ∑ Fi (Pi) = Min ∑ (a*Pi^2 + b*Pi + c)

Pi min < Pi < Pi max

∑ Pi = Pd

Ada berbagai macam algoritma dalam perhitungan ED, antara lain: Iterasi Lambda, Particle
Swarm Optimization, Genethic Algorithm, Artificial Neural Network, dan lain-lain. Algoritma
Iterasi Lambda adalah cara yang paling mudah dan mempunyai waktu perhitungan yang cepat,
serta dapat dilakukan perhitungan secara manual. Workflow metode iterasi lambda sebagai
berikut:
Dimana ai adalah koefisien Increment Cost orde 2 unit ke-i, dan bi adalah koefisien Increment
Cost orde 1 unit ke-i.
Dengan menerapkan metode ED kita dapat membagi beban setiap unit untuk memperoleh biaya
bahan bakar terendah. Cara ini juga dapat digunakan untuk mengurangi heat rate loss karena
faktor pembebanan unit.

Syarat implementasi ED adalah pembangkit thermal dengan jumlah lebih dari satu unit dan
mempunyai fleksibilitas dalam mengatur beban setiap unit.

Tentunya melakukan perhitungan ED secara manual seperti contoh di atas membutuhkan waktu


yang lama dan ketelitian yang tinggi, sehingga diperlukan metode perhitungan menggunakan
software untuk mempermudah dan mempercepat perhitungan ED, seperti software MATLAB
atau Excel.

kita telah membahas cara untuk mengoptimalkan pola pembagian beban unit pembangkit untuk
memperoleh total biaya bahan bakar yang paling rendah melalui economic dispatch (ED).
Perhitungan ED yang digunakan pada artikel sebelumnya adalah metode iterasi lambda yang
dilakukan secara manual.

Ada komentar menarik pada artikel sebelumnya, "Unit dengan kurva NPHR terendah pasti
akan dibebani lebih tinggi dibandingkan unit lainnya, karena biaya bahan bakar unit
tersebut paling rendah ". Apakah pernyataan ini fakta atau mitos?

Pada artikel kali ini saya akan mencoba untuk mensimulasikan 3 unit pembangkit dengan
kapasitas sama yang mempunyai kurva NPHR yang sangat berbeda antara satu unit dengan unit
lainnya. Simulasi ini saya lakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kurva NPHR
terhadap hasil perhitungan ED. Untuk mempermudah dan mempercepat proses perhitungan, kali
ini saya menggunakan fitur Solver pada Ms Excel, untuk menentukan kombinasi pembagian
beban antara 3 unit untuk memperoleh total biaya bahan bakar terendah.
Dari gambar di atas terlihat bahwa Unit-1 mempunyai kurva NPHR paling rendah atau paling
efisien, sedangkan Unit-3 mempunyai kurva NPHR paling tinggi atau paling boros. Dalam
perhitungan ED kita memerlukan fungsi biaya bahan bakar (Rp/h) dengan melakukan perkalian
antara daya neto (kwh), harga energy bahan bakar (Rp/kCal), dan NPHR (kCal/kWh).
Incremental Cost (Rp/kWh) adalah biaya tambahan yang diperlukan (Rp/jam) untuk setiap
kenaikan beban (kW)
Pada artikel ini saya menggunakan persamaan linear pada fungsi biaya bahan bakar, seperti pada
gambar kurva di bawah ini.

Dari grafik di atas diperoleh Unit-3 mempunyai persamaan garis linear yang paling tinggi
(boros), sedangkan Unit-1 mempunyai persamaan garis linear yang paling rendah (efisien).
Semua unit mempunyai batasan minimum load 50 MW dan maksimum load 100 MW.

Contoh studi kasus pertama: Bila total beban saat ini 180 MW. Berapakah beban masing-
masing unit untuk memperoleh total biaya bahan bakar terendah? Kita bisa mencoba
memvariasikan salah satu unit dibebani maksimum, untuk mengetahui kombinasi terbaik untuk
menghasilkan biaya bahan bakar terendah
Dari ketiga opsi pada tabel di atas menunjukkan bahwa opsi-3, dengan membebani unit-3 lebih
tinggi dari unit lain akan menghasilkan total biaya bahan bakar yang lebih rendah.

Selanjutnya kita akan coba mensimulasikan pembagian beban setiap unit dari total beban 160
MW sampai 280 MW, dengan kenaikan setiap 30 MW. Hasil simulasi menggunakan Excel
Solver dapat dilihat pada grafik berikut

Dari hasil simulasi di atas diperoleh, unit-3 akan dinaikkan beban lebih dulu sampai maksimum,
selanjutnya unit-2 mulai dibebani sampai maksimum, selanjutnya barulah unit-1 dinaikkan
bebannya sampai maksimum.

Contoh studi kasus kedua, saya akan merubah kurva NPHR unit-3 menjadi yang paling rendah,
sedangkan kurva NPHR unit-1 dan unit-2 tetap seperti gambar berikut
Selanjutnya kita akan coba mensimulasikan pembagian beban setiap unit dari total beban 160
MW sampai 280 MW, dengan kenaikan setiap 30 MW seperti pada studi kasus pertama. Hasil
simulasi menggunakan Excel Solver dapat dilihat pada grafik berikut

Ternyata, output simulasi yang diperoleh dari studi kasus kedua sama dengan output
simulasi studi kasus pertama. unit-3 akan dinaikkan beban lebih dulu sampai maksimum,
selanjutnya unit-2 mulai dibebani sampai maksimum, selanjutnya barulah unit-1 dinaikkan
bebannya sampai maksimum.

Dari kedua contoh studi kasus di atas diperoleh bahwa prioritas menaikkan beban unit bukan
didasarkan seberapa efisien unit tersebut. Unit dengan NPHR tertinggi ataupun terendah,
masih memungkinkan untuk menjadi prioritas dalam pembebanan unit.

Yang menjadi faktor utama prioritas pembebanan unit adalah koefisien incremental cost (A)
yang menunjukkan tingkat kemiringan persamaan garis biaya bahan bakar perunit. Unit dengan
nilai A terkecil (kemiringan kurva increment cost landai) akan menjadi prioritas utama untuk
naik beban, karena kenaikan biaya bahan bakarnya terendah. Sebaliknya, unit dengan nilai A
terbesar (kemiringan kurva increment cost curam) akan menjadi prioritas utama untuk turun
beban, karena penurunan biaya bahan bakarnya terbesar.

Unit yang mempunyai kurva NPHR yang curam akan menghasilkan kurva increment cost
yang landai. Begitu pula sebaliknya jika unit yang mempunya kurva NPHR yang landai
akan menghasilkan kurva increment cost yang curam.

Selain itu, dengan kurva NPHR yang sama, namun dengan harga batubara yang berbeda juga
akan menghasilkan kurva increment cost yang berbeda. Unit yang mempunyai harga batubara
lebih rendah, akan menghasilkan kurva increment cost yang lebih landai. Grafik perubahan
kurva increment cost akibat variasi perubahan harga batubara (Rp/kCal) dengan kurva NPHR
tetap, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Koefisien incremental cost (A) akan menjadi dasar penyusunan peringkat merit order.
Pembangkit dengan peringkat merit order yang tinggi akan diprioritaskan naik beban lebih
dahulu dan turun beban paling akhir.

Menurut anda unit dengan kurva NPHR terendah pasti akan dibebani lebih tinggi dibandingkan
unit lainnya, adalah fakta atau mitos?

Anda mungkin juga menyukai