Anda di halaman 1dari 31

BAB II

ERA GEREJA HIRARKI

2.1. Dari Misi Menuju Gereja Mandiri (1940 - 1960)


2.1.1. Visi Supranasional Misi Katolik
Hampir semua misionris sebelum perang berasal dari Belanda dan berbangsa Belanda.
Sebab, pemerintah Hindi-Belanda tidak mengisinkan misionaris-misionaris dari kebangsaan lain.
Tetapi, meskipun semua imam, bruder dan suster
itu berbangsa Belanda, kenyataan itu sendiri tidak
berarti bahwa seakan-akan mereka secara
otomatis merupakan perpanjangan politik
kolonial Belanda. Justru sebaliknya, banyaknya
hambatan pejabat-pejabat setempat mengeni
perluasan misi sudah menunjukkan hal itu.

Lebih penting dalam kaitan itu ialah visi


supranasional, tempat cangkokan misi. Kerajaan
Allah yang diwartakan tidak berasal dari Belanda,
juga bukan perkara kolonial. Ilustrasi bagi
penyusunan supranasional misi katholik ialah visi
yang diungkapkan dalam Surat Apostolik
Maksimum Illud Paus Benediktus ke XV, tanggal
30 November 1919 tentang penyebaran iman Katolik di seluruh dunia. Naskah gerejawi yang
diterbitkan langsung setelah Perang Dunia I itu banyak menentukan suasana bagi penempatan
para misionaris dalam periode sebelum Perang Dunia II .

Di sini ditampilkan beberapa kutipan dari ensiklik itu. Dalam Kata Pendahuluan, Paus
menggambarkan bagaiman tugas misi dari abad ke abad dilaksanakan oleh gereja. Dua bab
berikutnya menyajikan “berbagai pedoman pelaksanaan bagi mereka yang memimpin misi” dan
“berbagai pedoman pelaksanaan bagi para misionaris”

- Kepada para misionaris “biasa” di lapangan, disampaikan bahwa mereka selalu


“harus mengindahkan keluhuran tugas mereka, dan jangan menganut nasionalisme
palsu”. “Diresapi oleh sabda Tuhan, yang diamanatkan kepada siapa saja diantara
kamu : lupakanlah bangsamu dan rumah ayahmu, hendaklah kamu ingat bahwa
tugasmu ialah menyebarluaskan kearajaan Kristus, bukan kerajaan manusia; lagipula
memperoleh warga negara - warga negara, bukan bagi tanah air di dunia, tetapi bagi
tanah air surgawi. Pasti akan sangat disesalkan seandainya beberapa misionaris
sedemikian rupa melupakannya, sehingga lebih memikirkan tanah air duniawi
mereka, bahkan menampilkan semangat yang tidak pantas, untuk memperbesar
kekuasaan tanah air mereka, dan terutama memperluas kemasyhurannya”.
- “Andaikan saja ada misionaris yang untuk maksud tertentu melayani rencana-rencana
duniawi; ia membawakan diri tidak sebagai rasul dalam segala hal, tetapi hendak
memajukan kepentingan-kepentingan tanah airnya; selueuh karyanya lngsung
dicurigai oleh rakyat. Mudah saja rakyat akan menyerah bahwa Kristianitas itu agama
nasional bangsa asing, seolah-olah memeluk Kristianitas sama saja dengan
menempatkan diri di bawah perlindungan kedaulatan bangsa asing, dan megingkari
tanah airnya sendiri”.

Berdasarkan kutipan-kutipan itu, tampak jelas bagaimana gereja yang resmi menyatakan
posisinya dalam perdebatan sekitar misi dan kolonisasi. Sering sekali para misionaris
menampilkan sikap-sikap menurut visi itu.

- Kepada mereka yang memimpin misi, Paus menyampaikan pedoman-pedoman


pelaksanaan berikut : “tugas utama pemimpin suatu misi seharusnya terus-menerus
menyebarluaskan dan mengembangkan sepenuhnya ( ….). Jadi, untuk menyampaikan
pewartaan injil secara lebih pesat dan berhasil dengan lebih baik sehigga didengarkan
oleh siapa saja tanp kecuali, akan berguna sekali mendirikan stasi-stasi misi dan
tempat-tempat misi yang baru; semuanya itu bagaikan sekian banyak inti bagi
vikariat-vikariat dan prefektur-prefektur yang baru; lagi di situ pada saatnya misi
dapat dibagi-bagi (……).
Betapa layak dikecam perilaku seorang pemimpin misi yang memandang sebagian
ladang Tuhan – termasuk ladang kerjanya – sebagai milik pribadinya sendiri; lagi
tidak dapat membiarkan jangan sampai sesamanya ikut campur tangan (……).
Sungguh benar pemimpin suatu misi katholik, bila diperlukan dimana-mana berusaha
untuk menemukan pembantu-pembantu bagi tugasnya yang kudus tanpa memandang
kongregasinya atau kebangsaannya”
- “Masih suatu hal, yang hendaknya merupakan pokok usaha-usaha yang utama bagi
tiap pemimpin misi, ialah : pembinaan dan organisasi klerus pribumi. Disitulah
sumber utama bagi harapan akan jemaat-jemaat baru. Sebab, imam pribumi, karena
asal-usulnya, karunia-karunia rohaninya, pandangan serta kecenderunganya untuk
berhubungan erat dengan sesama warga rakyatnya, secara sungguh istimewah ialah
pribadi yang cocok untuk merasukan iman di antara mereka”.
- “Pembinaan para rohaniwan pribumi harus merupakan pendidikan yag sungguh
mantap (….). Hendaknya itu merupakan pembinaan yang sempurna dan dalam segala
aspeknya diatur dengan baik; pembinaan yang sama, seperti lazimnya diterima oleh
para imam di negeri-negeri yang beradab. Sebab, para rohaniwan pribumi jangan
melulu dimaksudkan untuk membantu para misionaris asing, seraya menolong
menjalankan pelayanan-pelayanan yang lebih rendah, tetapi harus dimaksudkan agar
suatu ketika sepenuhnya mampu menjalankan pelayanan ilahi, mebimbing umatnya
sendiri sebagaimana mestinya. Gereja Allah itu Katolik. Bagi rakyat atau bangsa
mana pun juga, gereja tidak asing.

Terlepas dari beberapa istilah seperti “rohaniwan pribumi”, yang harus menerima
pembinaan juga seperti imam-imam dari “negeri-negeri yang beradab”, teks-teks itu harus dapat
dipahami sebagai naskah-naskah Konsili Vatikan II. Tetapi, sudah pada tahun 1919 visi
supanasional itu ditetapkan! Dapat dianggap bahwa teks-teks itu diketahui oleh semua misonaris,
yang diutus sesudah tahun 1919. Pendek kata: dalam perdebatan apakah misi katholik itu produk
colonial, secara tepat siapa saja boleh kembali pda pendirian asasi kewibawaan yang tertinggi.
Berkaitan dengan itulah masalah pendirian misi katolik berkenaan dengan munculnya
nasionalisme di Nusantara”. Masalah itu diuraikan dalam bagian berikut.

2.1.2. Basis Misi Katolik di Indonesia Sejak Sebelum Perang


Pada panorama misi tahun 1940 telah tampil ke muka gerejawi yang bercorak “Belanda”.
Itu berlaku baik bagi kepemimpinannya, para pelayannya (para imam, bruder dan suster),
maupun juga bagi sebagian umat Katolik. Meskipun ada 84 % orang Katolik yang asli Indonesia,
ternyata di kota-kota besar (khususnya di Pulau Jawa) gereja bercorak Eropa atau Cina. Kendati
begitu, sebelum perang sudah ada basis Indonesia, yang merangkum unsur-unsur nasionalistis
yang memadai, untuk tetap lestari melewati masa perang dan periode sesudahnya. Itu bukan
sekadar “tetap lestari”, melainkan juga menempatkan diri secara sungguh layak dalam Indonesia
yang baru, baik menurut Undang-Undang Dasar, maupun kenyataannya.

Unsur-unsur tingkat nasional yang meletakan basis Indonesia sebelum perang itu meliputi:

- Beberapa perintis menentukan pendirian yang jelas terhadap munculnya nasionalisme di


Hindia Belanda.
- Beberapa perintis Indonesia yang beriman Katolik bertindak pada tingkat nasional di bidang
politik maupun gerejawi, sehingga wajah Belanda gereja cukup dikompensasikan.
- Proses pembinaan kader gerejawi pribumi sedang berlangsung.
- Mulai berlangsung kerja sama antara berbagai wilayah gerejawi dalam Biro Misi Nasional di
Batavia, yang memperhatikan kerja sama antara berbagai Wali Gereja di Nusantara.

Unsur-unsur itu, yang masih akan diuraikan, perlu diletakan pada latar belakang visi
supranasional misi Katolik.
Pendirian beberapa perintis Katolik sehubungan dengan munculnya nasionalisme
sebelum perang diuraikan secara panjang lebar dalam dua karya tulis Belanda, yakni : studi
Dr.M.Muskens dan Dr.J.Bank. Juga di pihak Indonesia periode itu mendapat banyak perhatian.
Akan berlebihan kalau persoalan itu diuraikan di sini secara mendalam. Karena itu, hanya akan
disajikan beberapa kutipan, yang secara khusus menampilkan peranan pastor F.Van Lith,SJ
(1863-1926) sebagai perintis ulung. Yesuit itu, yang pada tahun 1896-1926 berkarya di Jawa
Tengah dengan bertolak dari Muntilan, adalah seorang yang sungguh mengenal orang dan
kebudayaan Jawa. Karena keahliannya; kepadanya ditawarkan tempat dalam komisi untuk
merevisi tata susunan Negara Hindia Belanda Timur, yang ditetapkan pada tahun 1918. Di situ ia
menempatkan diri pada posisi yang kuat meawan usulan : supaya kepada orang-orang Belanda
yang tinggal di Hindia diberikan mayoritas kursi dalam Dewan Rakyat (Volksraad). Tulisnya : ia
hendak membuka masa depan bagi
gerejanya dalam jajahan Belanda itu :
“Setiap orang sekarang tahu, kami,
para misionaris, ingin bertindak sebagai
penengah; tetapi setiap orang tahu juga,
bahwa seandainya terjadi suatu perpecahan,
meskipun hal itu tidak kami harapkan,
sedangkan kami terpaksa memilih, kami
akan berdiri di pihak golongan Pribumi”.
Pasti akan jelas bahwa banyak
orang Katolik Eropa di pulau Jawa tidak
senang menghadapi posisi itu.
Masih tegas lagi pernyataannya:
“Lewatlah sudah masa penjajahan
bangsa kulit putih. Seorang Bule tidak akan
dapat bertahan berhadapan dengan 100 ribu
orang Asia untuk selama-lamanya.
Janganlah bermain api dengan hati sombong menjajah orang Jawa, melulu karena dia itu orang
Jawa. Akuilah hak-hak bangsa pribumi, agar lambat laun hak-hakmu sendiri juga diakui.
Tinggalkanlah hak-hak khayalanmu, lepaskanlah hak-hak istimewamu yang dibenci. Di dalam
Gereja Kristus tidak ada orang Yahudi, tidak ada orang Romawi, tidak ada orang Yunani. Jadi
juga tidak ada Belanda, tidak ada Jawa. Apa yang sejak semula di dalam Gereja merupakan
undang-undang, sekarang di luar Gereja pun dijadikan peraturan pula: Belanda (totok), Indo, dan
Jawa, mulai saat ini akan hidup rukun sebagai saudara di dalam satu rumah; jika tidak, tidak
lama lagi mereka tidak akan hidup bersama-sama”.
Agaknya tidak semua misionaris di luar pulau Jawa mendengarkan bahasa eksplisit pastor
Van Lith. Pasti elite nasional Indonesia untuk masa mendatang telah mendengarkannya. Demi
pembinaan mereka, pastor Van Lith, yang pada tahun 1906 telah membuka sekolah guru di
Muntilan memberi sumbangan yang besar bukan hanya di bidang pendidikan, tetapi juga di
bidang politik dan gerejawi. Dua diantara siswanya yang kemudian bernama Mgr.Albertus
Soegijapranata,SJ, uskup pertama di Semarang dan Ignasius Kasimo tokoh Katolik ulung di
Indonesia telah menangkap seruannya yang terakhir (dalam suatu brosur pada tahun 1922, yang
dialamatkan kepada rakyat pribumi) sebagai cita-cita hidup pribadi mereka:
“Jika persetujuan kalian menguatkan suara saya yang lemah ini, maka saya yakin, bahwa
suara saya itu akan serentak membangkitkan seluruh Nederland dan menghantarkan apa yang
dinanti-nantikan jiwa hati kalian: bahwa tanah Jawa akan berkembang menjadi Hindia, ya
menjadi seluruh Nusantara, akan menikmati kembali masa kejayaannya dan akhirnya akan
timbul, untuk menduduki tempat terhormat di kalangan bangsa-bangsa”.
Ignasius Kasimo menjadi tokoh
pemimpin Katolik nasional yang ulung.
Tergabung dalam Persatuan Politik Katolik
Indonesia, ia memperjuangkan perwujudan
kemerdekaan. Ia adalah salah seorang di
antara 6 penandatangan Petisi Soetardjo yang
terkenal. Tokoh itu meminta pada tanggal 15
Juli 1936 di Dewan rakyat agar
diselenggarakan Konferensi para wakil
Belanda dan Hindia Belanda, untuk
menyusun rencana berdasarkan kesetaraan
martabat, supaya secepat mungkin
kemandirian Hindia Belanda diwujudkan.
Maka Ir.Soekarno bersama dengan M.Hatta, bapak Proklamator tahun 1945, pada tahun
1930-an juga sudah mengetahui apa yang dapat diharapkan dalam hal itu dari kelompok kecil
sesama bangsanya yang beragama Katolik. Pada tahun 1930 ternyata Soekarno dapat
membedakan antara orang-orang Indonesia Katolik dan orang-orang Belanda Katolik, ketika
dalam tahanannya membaca brosur Van Lith tahun 1922.
Juga persahabatan pribadi Soekarno dengan pastor-pastor Belanda ketika dikucilkan di
Ende pulau Flores (1935-1938), sudah membuka matanya bagi praktek katolisisme dan makna
social serta edukatif gereja Katolik bagi penduduk di sana. Itu dialaminya juga di Bengkulu,
tempat ia selama tahun-tahun akhir pembuangannya menjalin kontak-kontak yang baik dengan
pastor setempat. Ia bahkan sempat berkenalan dengan Fatmawati, siswi sekolah
kerumahtanggaan para suster, perempuan yang kelak menjadi isterinya!
Dengan kata lain,menjelang perang dunia II sudah ada basis Indonesia yang jelas,yang
menjadi landasan pembangunan selanjutnya.Basis itu masih dikukuhkan dengan kenyataan
berikut:
Pada bulan Mei 1940 Mgr.P.J.Willekens,SJ di Batavia mengadakan perundingan terakhir
di Roma: supaya daerah Jawa Tengah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Semarang,dan pada
tanggal 1 Agustus Mgr.Albrtus Soegijapranata,SJ diangkat menjadi Uskup asli Indonsia yang
pertama.Seorang pribadi Jawa memimpin gereja di Jawa Tengah beserta 41.152 umat Eropa!
Ketika Perang Dunia II di Eropa sudah mengamuk dengan dahsyat,dan ikatan-ikatan dengan
Hindia kenyataanya sudah terputus,berkat penyelenggaraan ilahi seorang putra Indonesia
memimpin keuskupan, padahal di situ keputusan-keputusan politik yang penting sekali tetang
masa depan Indonesia akan diambil tahun-tahun berikutnya. Dalam situsi itu,
Mgr.Soegijapranata tidak akan menonton saja dari luar secara netral, tetapi secara aktif
melibatkan diri demi kemerdekaan dan demi kepentingan-kepentingan seluruh gereja di
Indonesia. Seperti diungkapkannya, ia “100 % Katolik dan 100 % warga negara Indonesia”.
Sebagai ilustrasi, kenyataan bahwa Mgr.Soegijapranata di pandang di Indonesia sebagai
tokoh nasional dapat dilihat dari kejadian berikut ini: Ketika pada tanggal 22 Juli 1963 beliau
tiba-tiba meninggal di Belanda-dalam perjalanan ke Konsili Vatikan II di Roma – Presiden
Soekarno memaklumkan beliau sebagai pahlawan nasional. Jenasah beliau diterbangkan ke
Indonesia untuk pemakaman resmi kenegaraan.
Dalam museum di Monument Nasional (Jakarta), dipaparkan sejarah nasional berupa
diorama-diorama. Dalam diorama nomor 36, agama Roma
Katolik ditampilkan sebagai salah satu factor pemersatu
Indonesia : “Melalui misi-misinya Gereja Roma Katolik
telah menghimpun kaum muda dari pelbagai suku dan
daerah dalam naungan agamanya. Begitulah terbentuk
masyarakat Roma Katolik, dan di situpun entusiasme
nasionalisme Indonesia ditaburkan. Selanjutnya, diorama
itu menggambarkan perayaan natal di Semarang, ketika
Mgr.Soegijapranata menerima tamu-tamu dari semua
golongan masyarakat.
Pada tanggal 10 November 1983, yang bertepatan
dengan hari pahlawan, isteri Presiden menyerahkan
kepada Gubernur Jawa Tengah suatu piagam untuk
mengenangkan Mgr.Soegijapranata sebagai pahlawan
nasional.
Khususnya tokoh-tokoh nasional itulah yang mengimbangi wajah Belanda Gereja
Katolik, dan sekaligus melengkapinya dengan wajah nasional serta prestise Indonesia.
Landasan Indonesia sebelum perang masih menampakkan suatu faktor yang penting.
Itulah mulainya proses pembinaan kader gerejawi pribumi. Surat Apostolik Maksimum Illud
tahun 1919 telah mendorongnya, tetapi realisasinya terbentur pada masalah-masalah yang cukup
rumit. Masalah yang utama ialah kekurangan kader kepemimpinan untuk mendirikan seminari-
seminari. Semula dipilih pemecahan yang paling mudah. Calon-calon yang dianggap cocok
langsung diutus ke Belanda misalnya: Mgr.Segijapranata pada tahun 1919 diutus ke Kolese Salib
Suci di Uden, untuk menjalani tahun terakhir Sekolah Menengah. Pada tahun 1920 beliau masuk
Novisiat Yesuit di Grave. Sesudah pendidikan filsafat ia dikirim pulang ke Hindia untuk
berkarya sebagai frater selama beberapa tahun di Muntilan. Pada tahun 1928 ia memulai studi
teologinya di Maastricht. Di sana ia ditahbiskan pada tahun 1931, sesudah itu masih setahun
“tertiat” di Belgia dan pada tahun 1933 pulang ke Hindia. Juga calon-calon dari daerah-daerah
lain sebelum diutus ke rumah-rumah studi ordo atau kongregasi di Belanda.
Pada tahun 1913 dimulailah pendidikan calon imam di Seminari Menengah di Muntilan.
(Siswa-siswa Seminari Menengah sukar diutus ke Belanda!). Di antara 6 siswa pertama yang
mulai studi di sana, akhirnya ditahbiskan 3 imam Yesuit, yakni Romo F.X. Satiman pada tahun
1926 serta Romo A.Djajasepoetra dan Romo A.Prawirapratama pada tahun 1928. Pertambahan
jumlah calon menunjukkan bahwa Seminari Tinggi harus dimulai sendiri di Indonesia. Pada
tahun 1922 para Yesuit membuka Novisiat di Yogyakarta. Pada tahun 1936 dibuka Seminari
Tinggi di Muntilan untuk para imam
Diosesan, yang kemudian
dipindahkan di Metroyudan.
Di Sikka pulau Flores
dimulai pendidikan Seminari
Menengah pada tahun 1926. Pada
tahun 1933 SVD membuka
pembinaan novisiat sendiri, dan
pada tahun 1937 secara resmi
dimulai Seminari Tinggi di
Ledalero. 2 calon Flores pertama
ditahbiskan imam di sana pada tahun
1941. Menurut seminarist di
Seminari Menengah dan Seminari
Tinggi pada tahun 1940 ternyata
bahwa ketika itu sudah ada 254
siswa Seminari Menengah dan 80
mahasiswa Seminari Tinggi, semua
berasal dari nusantara. Semua calon
imam Indonesia itu merupakan modal awal pertumbuhan menuju Gereja Indonesia yang mandiri.
Satu lagi unsur yang bermakna nasional sebelum perang perlu disebutkan di sini :
meningkatnya kerja sama antara berbagai wilayah gerejawi. Sesudah “Nadere Regeling” pada
tahun 1913 mengakui berbagai vikaris apostolik dan prefek apostolik sebagai pemimpin
wilayah gerejawi mereka, para wali gereja itu merasa perlu mengadakan musyawarah bersama.
Itu diilhami oleh keinginan untuk dapat merumuskan satu pendirian bersama menghadapi
Pemerintah perihal “kebebasan berkotbah” dan posisi pendidikan swasta Katolik.
Jarak yang jauh dan transportasi yang serba kurang, berbagai kesibukan intern dan
pokok-pokok kepedulian setempat, semua itu semula memperlambat pertemuan. Pada
kesempatan tahbisan uskup Van Velsen, para vikaris dan perfect apostolik di Kalimantan,
kepulauan Sunda Kecil, Maluku sampai Sulawesi, dan New Guinea diundang ke Batavia. Di
sana pada tanggal 15 Mei 1924 diangsungkan “Sidang Episkopat Hindia Belanda untuk pertama
kalinya. Salah satu keputusan pertama ialah pengangkatan utusan misi di Batavia yang harus
mengelola komunikasi dengan instansi-instansi Pemerintah khususnya dengan Departemen
Pendidikan dan Peribadatan. Selain itu, dibicarakan subsidi para guru, pendidikan imam,
masalah artikel 1,2,3 yang melarang pengizinan misi di wilayah-wilayah tertentu, penerbitan
Surat Kabar Katolik dalam bahasa melayu, dan tentang satu katekismus untuk seluruh Hindia
Belanda. Juga pihak Roma mendororng supaya berbagai wali Gereja harus meningkatkan kerja
sama. Oleh kerena itu, sudah sejak tahun 1925 diselenggarakan siding kedua semua waligereja
yang dipimpin oleh utusan khusus Paus. Tema-tema dari tahun sebelumnya sekali lagi
dibicarakan, tetapi sekaigus pokok-pokok aktual saat ini akn dikelompokan ke dalam masalah
inkulturasi, seperti penyesuaian pendidikan imam, penyesuaian hidup religious, penyesaian
liturgi dan kesenian gerejawi. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda telah memaklumkan
harapannya utusan misi sebagai wakil Gereja Katolik dapat bertindak seperti konsul “zending”
mewakili gereja-gereja Protestan. Oleh karena itu, para waligereja memutuskan untuk
mendirikan Biro Misi Pusat. Baru pada tahun 1931 biro itu tersedia. Dengan biro pusat
“nasional” itu, diletakan dasar bagi pelayanan yang terus-menerus kepada semua wilayah misi
yang beragam. Sebab para Waligereja sendiri tidak dapat bersidang untuk mengatur segalanya
setiap tahun. Pada tahun 1925 dicapai kesepakatan bahwa sidang selanjutnya akan diadakan
sekali dalam lima tahun. Sebelum perang, sidang itu terjadi pada tahun 1929, 1934, dan 1939.
Peristiwa yang menarik perhatian bahwa pada tahun 1924 dan 1925 diputuskan untuk
menyampaikan surat kepada semua pimpinan ordo dan kongregasi, yang menggaribawahi bahwa
gereja Katolik di Hindia terutama harus bersifat misionaris: diarahkan kepada rakyat pribumi.
Tentu saja perlu diperhatikan juga umat Katolik Eropa di Nusantara, tetapi kepentingan-
kepentingan misioner harus diprioritaskan.

2.1.3. Pendudukan Jepang dan Keberadaan Gereja Katolik Indonesia


Penyerbuan Jerman terhadap Belanda pada tanggal 10 Mei 1940 memicu terjadinya
Perang Dunia II di wilayah itu. Pemerintah Hindia Belanda segera bereaksi: sekitar 2.600 orang
Jerman yang bekerja di Nusantara ditawan, begitu juga sekelompok NSB yang aktif di Hindia.
Di wilayah Flores dan Timor ada sekitar 60 orang misionaris asli Jerman yang ditawan.
Sejumlah di antara mereka disalurkan ke tempat-tempat tahanan di India. Salah satu kapal yang
membawa para tahanan itu, yakni Van Imhoff, terkena terpedo dekat Pulau Nias dan
menewaskan 18 orang misionaris di dalammya.
Gubernur Jenderal Van Starkenborgh berharap agar pemerintah Belanda beserta Ratu
Wilhelmina dari kota London berevakuasi ke Hindia Belanda. Dengan demikian, Hindia Belanda
diharapkan menjadi pusat pertahanan dalam melawan Jerman. Namun, ternyata harapan tersebut
tidak terpenuhi sehingga Hindia Belanda harus berjuang sendiri. Pada tanggal 7 Desember 1941
Pearl Harbour diserang oleh tentara Jepang, lalu meletuslah Perang Dunia II di wilayah Asia
Tenggara. dalam beberapa bulan, Jepang menerobos masuk sampai keseluruh pelosok Nusantara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Hindia Belanda Timur
menyerah kalah. Melalui siaran radio di Bandung, siaran
Belanda yang terkahir ditutup dengan pernyataan:
“Kami berakhir sekarang. Selamat jalan sampai masa-
masa yng lebih baik. Hidup Sri Ratu”. Ketika itu, misi
Katolik pun menutup periodenya. Kekalahan tentara
Hindia Belanda, penawanan semua orang Belanda, dan
penyitaan segala harta milik rakyat Hindia merupakan
pelecehan yang dahsyat terhadap penguasa kolonial.
Zaman penjajahan diakhiri secara definitif. Kesadaran
diri rakyat
Indonesia makin
kuat selama
penjajahan
Jepang,
meskipun untuk sementara waktu gagasan-gagasan
tentang kebebasan tetap menjadi sebuah perjuangan.

Selama masa Jepang, Gereja Katolik mengalami


krisis yang hebat. Para misionaris Belanda hampir semua
ditahan sementata para misioaris Jerman dibebaskan. Di
semua bagian wilayah, kecuali pantai selatan New
Guinea, para imam, bruder, dan suster selama tahun
1942 ditangkap dan diinternir. Kebanyakan wilayah ditinggalkan tanpa pelayanan gerejawi,
khususnya di tempat-tempat generasi Indonesia yang pertama berkembang dan mengalami
pembinaan. Karena orang-orang Jepang, di samping menuntut penyerahan politik, juga menuntut
ketaatan rakyat terhadap Tenno, Kaisar Jepang, maka umat beriman Katolik dicurigai dan
diawasi oleh Kempetai, dinas rahasia Jepang. Uskup Maluku-New Guinea, Mgr. Aerts, beserta
tiga belas imam dan bruder dituduh memiliki senjata sehingga dieksekusi pada tanggal 30 Juli
1942. Uskup Batavia, Mgr. Willekens, dan Uskup Ende, Mgr. Leven dibebaskan. Kebanyakan
sekolah Katolik dibekukan oleh pemerintah Jepang, karena berasal dari Belanda, dan agama
Kristen datang dari Barat. Sementara para suster yang berkarya di tempat penampungan lepra di
Singkawang, di Lembaga Tunarungu di Wonosobo, dan di berbagai tempat perawatan dibiarkan
untuk tetap bekerja.
Namun, pada masa-masa sulit saat itu gereja Katolik Indonesia masih memiliki “basis”
sejak sebelum perang, yakni putra-putri asli Indonesia: Mgr. A.Soegijapranata SJ, 19 imam, 60
bruder, dan 206 suster. Dari jumlah imam yang ada masing-masing: 14 imam berkarya di Pulau
Jawa, 2 di Flores, 2 di Kalimantan Barat, dan 1 di Pulau Bangka. Medan kerja yang terlalu luas
dan keterbatasan tenaga misionaris akibat penginterniran, membuat karya misi pelayanan gereja
Katolik terhambat. Untuk mengisi kekosongan tenaga itu, ada 14 orang di Jawa dan 11 orang di
Flores dipercepat pentahbisannya. Umat Katolik di Sumatera, Kalimantan Timur, Kepulauan
Kei, Kepulauan Tanimbar, dan Pulau Timor tidak dapat dilayani selama 4 tahun. Dalam situasi
darurat tersebut, para katekis dan guru setempat harus diperdayakan dan berkarya secara mandiri.
Tentang masa ini Muskens menulis sebagai berikut:

“Bagi banyak orang Indonesia baik yang Katolik maupun non-Katolik, pasti
dalam tahun-tahun itu sudah menjadi jelas bahwa menjadi Katolik dan menjadi orang
Barat tidak bertepatan. Bukan hanya Uskup mereka di Semarang dan imam-imam, para
bruder dan suster-suster mereka sendiri tetap bekerja dan mewartakan iman, seperti telah
mereka jalankan selalu; tetapi imam-imam dan uskup-uskup Jepang pun ternyata toh
bekerja persis seperti imam-imam dan uskup-uskup Indonesia.”

Mengenai kehadiran 2 Jepang dan sejumlah imam, yang dari tahun 1943-1945 datang ke
Pulau Flores untuk membantu pelayanan misi di sana.

Di Jawa Tengah, posisi Mgr. A.Soegijapranata yang bersikap tidak mau bekerja sama
dengan penjajahan Jepang sangat berarti. Pihk Jepang mencoba menarik perhatian Uskup dengan
mengundangnya untuk menghadiri berbagai upacara penting, namun menolak untuk hadir dan
hanya mengirim karangan bunga agar tidak dianggap menentang Jepang. Demikian juga ketika
Jepang meminta agar Kathedral Semarang untuk dijadikan sebagai kantor administrasi
pemerintahan pendudukan, Uskup menolak dengan tegas: “Ini tempat yang kudus beserta alat
perlengkapan yang dikuduskan. Saya tidak akan dapat mengizinkan. Anda dapat memenggal
kepala saya dulu, baru sesudah itu Anda dapat memakai tempat itu”.

Pedudukan Jepang memang menimbulkan banyak kesulitan bagi karya misi Gereja
Katolik. Ada 74 imam, 47 bruder, dan 161 suster yang meninggal di tempat-tempat tahanan
(interniran). Tidak sedikit gereja dan sekolah yang ditutup dan dihancurkan. Namun, Gereja
Katolik masih tetap bertahan. .

2.1.4. Kemerdekaan dan Perjuangan Kemerdekaan


Bagi Belanda, Perang Dunia II berakhir pada tanggal 5 Mei 1945. Di Asia Tenggara
perjuangan masih berlangsung terus hingga pertengahan Agustus 1945. Pada bulan-bulan
terakhir perang terebut, tentara Jepang berusaha untuk menarik simpati rakyat pendudukan
dengan propaganda janji kemerdekaan untuk wilayah-wilayah pendudukannya. Di Indonesia
pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atas izin Jepang. Dalam badan itulah Soekarno menyampaikan pidatonya
mengenai Pancasila dan gagasan-gagasan tentang masa depan Negara Indonesia. Setelah Jepang
menyerah kalah, pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerkdekaannya, dan mengesahkan Undang-Undang Dasar yang baru pada keesokan harinya.

Bagi umat beriman Katolik, penerimaan Pancasila berarti pemberian prinsipiil hak-hak
yang sama. Kebebasan sejati beragama diterima. Itu merupakan suatu anugerah, yang selama
350 tahun kekuasaan kolonial hanyalah semacam mimpi yang sulit terwujudkan. Untuk rakyat di
Jawa, mereka segera bergabung dengan Republik yang baru dibentuk itu. Tetapi bagi masyarakat
luar Jawa, akibat sulitnya komunikasi membuat mereka baru bisa bergabung kemudian. Pada
tanggal 29 Agustus 1945, Ignasius Kasimo seorang tokoh Katolik, terpilih menjadi salah satu
anggota Komite Nasional Pusat yang bertugas menyusun garis-garis besar strategi nasional.
Belanda baru mengakui Republik yang baru itu empat tahun kmudian.

Sesudah kekalahan tentara Jepang di wilayah Asia Tenggara pada tanggal 12 September
1945, mendaratlah pasukan Sekutu dan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang
pertama di Jawa pada tanggal 29 September 1945. Tugasnya adalah untuk mengangkut tentara
Jepang keluar dan membantu membebaskan para tahanan Belanda. Di kamp-kamp tahanan
terdapat sekitar 150.000 orang
Belanda, yang kebanyakan dari
mereka adalah misionaris. Panglima
meminta pemimpin Republik
membantu dalam menjalankan tugas
tersebut. Di sini terlihat adanya
pengakuan dari pihak Inggris terhadap
eksistensi Republik. Letnan Gubernur
Jenderal Hundia Belanda, van Mook,
datang ke Batavia pada tanggal 2
Oktober 1945. Namun, tentara
Belanda tidak diizinkan Inggris untuk
memasuki Pulau Jawa. Oleh karena
itu, tentara Belanda harus mendarat di
Malaka dan tinggal di sana sampai
bulan Maret 1946.

Van Mook melakukan perundingan dengan pihak Republik untuk mencoba memulihkan
kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk itu, diajukan rencana pembentukkan Republik
Indonesia Serikat yang ikut dalam Federasi Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Usulan tersebut
ditolak pihak Republik karena menghendaki Indonesia yang merdeka dari Sabang sampai
Merauke. Partai katolik Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 8 Desember sebagai
kelanjutan dari Partai Politik Katolik Indonesia (PPKI), menjadikan “membela Republik dan
memantapkan eksistensinya” adalah program kerja pertamanya.
Untuk sementara waktu, Van Mook berhasil menempatkan kawasan-kawasan luas
Indonesia di luar Jawa di bawah pemerintah Belanda. Pada tanggal 16 Juli berlangsung
Konferensi di Malino (Sulawesi Selatan), diikuti oleh berbagai utusan dari Kalimantan, Timor
Raya, Bangka-Belitung, dan Kepuluan Riau. Waktu itu, gagasan federal mencapai kerangka
yang kuat dan awal organisasi yang jelas. Pada tanggal 15 November disetujui Perjanjian
Linggarjati antara Belanda dengan Republik. Belanda mengakui bahwa Republik de facto
menjalankan kekuasaan atas Jawa, Madura,
dan Sumatera. Sementara itu Republik sepakat
untuk bekerja sama agar sesegera mungkin
mendirikan Negara Indonesia Serikat di dalam
Uni Indonesia-Belanda. Namun, perjanjian
tersebut menjadi tidak jelas karena
pertentangan-pertentangan politik partai di
Belanda. Perundingan-perundingan baru
menyusul pada tahun 1947. Khususnya tokoh-
tokoh “Katholieke Volks Partij” (KVP: Partai
Rakyat Katolik), yang menjurus ke arah
konfrontasi dalam bentuk tindakan-tindakan
politik. dalam hal itu tokoh-tokoh politik
Katolik Belanda langsung berlawanan dengan
tokoh-tokoh politik Indonesia. Gambaran
mengnai situasi politik itu memang diperlukan agar dapat memahami situasi misi Katolik di
berbagai daerah di Indonesia.

Di tinjau dari sudut nasional, terdapat dua lingkup kekuasaan yang berbeda. Di Pulau
Jawa dan Sumatera, rakyat hidup dalam lingkup pengaruh kekuasaan Republik, sedangkan di
luarnya dalam lingkup pengaruh berbagai Negara-negara bagian, yang kenyataannya berada di
bawah kekuasaan Belanda. Untuk penyerahan kedaulatan, direncanakan 17 negara bagian akan
mewujudkan Negara Indonesia Serikat.

Pada kebanyakan daerah di luar Pulau Jawa, keadaan Umat Katolik pada periode 1945-
1949, umumya berada dalam situasi yang tenang karena di sana tidak ada perjuangan kebebasan.
Perjuangan tersebut terutama berlangsung di Jawa Tengah, sebab Republik mempunyai markas
utamanya di Yogyakarta. Para pejuang Republik di Sumatera Utara menduduki daerah-daerah
tertentu. Oleh karena itu, komandan-komandan militer melarang para misionaris Belanda untuk
kembali bekerja di paroki-paroki di wilayah Batak sebab keamanan mereka tidak dapat dijamin.
Akibatnya, paroki-paroki yang ada di pedalaman tidak dilayani sampai sekitar tahun 1950.

Namun, agak berbeda dengan Situasi di vikariat Semarang. Seperti yang sudah
dikemukakan terdahulu, bahwa di wilayah Semarang berlangsung tindakan-tindakan
pengamanan pada tahun 1947, 1948, dan 1949. Di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada
umumnya diadakan perang gerilya melawan tentara Belanda. Juga Gereja Katolik terpaksa
mengalami kesulitan di berbagai tempat. Semarang dikuasai oleh tentara Belanda, daerah-daerah
lain berada di bawah pemerintahan Indonsia. Guna menunjukkan posisi Gereja Katolik, Uskup
Semarang, Mgr. A. Soegijapranata mengungsi ke Jogya sejak bulan Februari 1947 dan tinggal di
sana sampai bulan Agustus 1949. Di Yogyakarta Uskup memelihara hubungan baik dengan
tokoh-tokoh revolusi. Ketika Soekarno, pemimpin Republik, pada masa tindakan pengamanan
kedua ditahan oleh tentara Belanda, dan dalam bulan Desember 1948 disekap di Parapat
(Sumatera Utara), Mgr. Soegijapranata secara pribadi melindungi keluarga Presiden.

Ketika Uskup Semarang menunjukkan dengan jelas posisinya, Uskup Jakarta, Mgr. P.J.
Willekens, juga menunjukkan hal yang sama. Tentang sikap dan posisi Gereja Katolik pada
masa-masa awal kemerdekaan itu, D.Van der Meulen menulis: “Mgr. Willekens tidak
menampakan diri dikementerian (Kementerian Pendidikan dan Peribadatan yang dipimpin oleh
Van der Meulen 1946) ), bahkan pada hari di mana Ratu Belanda hendak menyerahkan lencana
kehormatan, beliau tidak bersedia menerimanya (…). Akhirnya paada tanggal 26 September
1946, beliau berkunjung ke kantor kerja saya di kementerian dan bertemu dengan saya. Dengan
perlahan-perlahan dan berhati-hati beliau menjlaskan kepada saya tentang lencana kehormatan
itu, yang toh diterimanya, meskipun beliau dengan tegas sekali menolaknya. Ketika itu beliau
juga tidak mengubah pendiriannya; ia tidak akan menciptakan komplikasi sedikitpun dalam
sikap kaum rohaniwan Katolik sekarang ini dan selanjutnya terhadap ‘Republik’. Jadi, jelas itu
visi berbeda dengan visi para politisi Katolik di tanah air. Pendirian Uskup itu menunjukkan
pengertian tentang situasi dan memang itulah sikap pendirian Gereja semesta yang sungguh
tepat”.

Baik di Yogyakarta maupun di Jakarta para wakil resmi Gereja Katolik mengusahakan
hubungan-hubungan yang tepat. Justru hubungan pribadi dalam masyarakat Indonesia
menentukan makna yang definitif. Hal ini terlihat misalnya adanya hubungan yang baik antara
Jenderal Sudirman dengan para suster Belanda yang merawatnya di Rumah Sakit Panti Rapih
ketika beliau harus menjalani operasi, atau juga Soekarno dan Hatta yang melakukan
perundingan rahasia dengan Jenderal Sudirman di rumah sakit tersebut. Soekarno juga secara
pribadi membawa surat-surat para suster Belanda ke Jakarta untuk dikirim melalui pos di sana.

Hubungan baik tersebut di atas, tidak berarti bahwa selama revolusi mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan Republik tidak ada kerugian yang dialami oleh pihak umat dan
kepentingan-kepentingan Gereja Katolik. Imam Indonesia yang baru ditahbiskan, Rm. Sandjaja,
Pr dan Frater Belanda, H. Bouwens SJ, diculik oleh sekelompok kecil Muslim fanatik dan
dibunuh pada tanggal 20 Desember 1948, dan pada hari yang sama pusat misi Jawa di Muntilan
juga dibakar.

Kenyataan politik lain di tingkat internasional juga sangat relevan bagi posisi Gereja
Katolik di Indonesia dalam periode revolusi itu. Pada tanggal 1 Juni 1947 Vatikan menunjuk
delegatus apostolik untuk Indonesia sebagai wakil diplomatik Paus. Sampai saat itu Hindia
Belanda atau Indonesia termasuk kawasan gerejawi Australia: Australia, Kawasan Samudera
Pasifik Selatan, dan Hindia Belanda. Delegarus apostolik untuk kawasan tersebut berkedudukan
di kota Sydney, Australia. Penunjukkan dan pemindahan Mgr. De Jonghe d’Ardoye ke Jakarta
berarti de facto adanya pengakuan Vatikan terhadap Republik Indonesia.

Sementara itu, Biro Misi Pusat di Jakarta di dalam situasi yang kacau-balau itu, berusaha
memelihara kontak dengan semua wilayah gerejawi, dan sedapat mungkin menasehatkan
pendirian bersama. Menghadapi kemungkinan bahwa Negara-negara bagian akan mengambil
keputusan-keputusan yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Biro Misi Pusat
menyusun suatu “Program Minimal”. Di situ digariskan sejumlah hak dasar yang fundamental.
Yang diharapkan ialah: supaya Negara-negara bagian menghargai hak-hak dasar itu ketika
menyusun Undang-Undang Dasar yang baru: “Misi memandang penting sekali bahwa semua
pribadi yang bersangkutan atau berpengaruh besar pada usaha mewujudkan Undang-Undang
Dasar beroleh pengertian tentang harapan-harapan dan keinginan-keinginan yang konket
berkenaan dengan program minimal, yang harus diajukan ke muka”.

Dalam bentuk perumusan-perumusan Undang-Undang Dasar yang konkret dalam


program minimal itu, dituangkan: kebebasan agama, kebebasan pendidikan, da kebebasan untuk
mengembangkan kegiatan-kegiatan guna meningkatkan kesejahteraan sosial, merawat pasien-
pasien dan penyandang cacat mental serta cacat-cacat lain. Itu merupakan seruan yang jelas
supaya hak-hak asasi dihargai.

Ternyata, semua kecemasan dan seruan itu tidak diperlukan karena pada bulan Agustus
1950 semua negara bagian dibatalkan. Lagah-langkah konkret Biro Misis Pusat itu menjelaskan
betapa penting sekali satu pusat Gereja Katolik bagi semua bagian wilayah dan bagaimana biro
itu berusaha memajukan kesatuan.

Jadi, selama masa awal kemerdekaan dan perjuangan untuk mempertahankan


kemerdekaan, umat Katolik terutama dalam diri para tokohnya (tertahbis dan terbaptis) telah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi bangsa dan negara baru itu. Mereka ikut serta
dalam pemerintahan, atau pembentukan partai-partai politik yang bercirikan Katolik. Di tingkat
pusat, Ignasius Kasimo berperan dalam beberapa konferensi Indonesia-Belanda. Pada tahun 1947
beliau menjadi anggota kabinet, sebagai Menteri Persediaan Makanan Rakyat. Sedangkan di luar
Pulau Jawa seperti Negara Bagian Indonesia Timur dan Kalimantan Barat, para tokoh Katolik
menduduki kursi-kursi Katolik dalam parlemen atau mendirikan partai-partai Katolik.

2.1.5. Tahap Dekolonisasi dalam Gereja Katolik


Pada tahun 1950, sesudah berakhirnya persoalan dengan Belanda dan pengakuan Indonesia
secara de facto, keadaan Gereja Katolik Indonesia tampak baik. Ada kebebasan yang prinsipiil
bagi agama, tidak ada halangan lagi dari pihak pemeritah, atau hambatan bagi perkembangan
misi selanjutnya. Tetapi, Indonesia sendiri membawa warisan struktur-struktur dan kepentingan
dari zaman kolonial yang mau dihilangkan. Hal inilah yang menjadi alasan bagi dekolonisasi.

Pada tahun-tahun 1950-an diadakan pelbagai upaya pada tingkat nasional dalam rangka
Indonesianisasi (proses atau tindakan, cara untuk menjadikan sesuatu sungguh bersifat
Indonesia) kepentingan-kepentingan ekonomis. Semua sektor penting dalam kehidupan ekonomi,
keuangan, sosial-budaya harus beralih ke tangan Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan dalam
Gereja Katolik. Pada tahun 1950-an diambil berbagai keputusan oleh Departemen Agama,
Pendidikan, Kehakiman, dan bagian imigrasi Departemen Dalam Negeri. Sejumlah di antaranya
juga menyangkut para misionaris, yang sebagai warga negara asing tetap berkarya di Indonesia.
Kenyataannya misi Katolik berada dalam posisi yang sukar dipertahankan. Pada tahun 1950,
ditinjau dari sudut kebangsaan, ada 90 % tenaga misi yang terdiri dari orang-orang Belanda.

Meskipun pemimpin Republik beritikad baik terhadap tenaga misi, beberapa kekuatan lain
bersikap berbeda. Titik sentralnya ialah: meskipun para misionaris Belanda loyal terhadap
Negara Indonesia, namun mereka belum warga Negara Indonesia dengan semua hak-haknya.
Status yuridis “orang asing” merupakan titik rawan yang mudah terluka.

Karena permasalahan yang kompleks sekitar kewarganegaraan, izin masuk, izin tinggal,
izin bekerja, dan lain-lain, telah memainkan peranan yang penting (juga bersifat emosional) di
kalangan gerejawi Katolik sampai sekarang ini, persoalan itu akan ditempatkan dalam konteks
historis sejak tahun-tahun 1950-an.

Suatu memorandung inter Kawali pada tahun 1959 menyatakan sebagai berikut: “Jelaslah
bahwa kebangsaan tenag-tenaga misi di Indonesia memainkan peranan yang penting sekali.
Antara tahun 1949 dan 1951 ditawarkan kepada orang asing cara yang cukup sederhana bila
hendak menjadi warga negara Indonesia. Berapa orang misionaris yang menggunakan
kesempatan itu, sudah tidak dapat ditelusuri lagi. Pada tahun 1959 Kawali memperkirakan
jumlah mereka sekitar seperempat di antara semua imam, bruder, dan suster (disebutkan 992
orang).

Menurut hukum, mereka yang tidak menjadi warga negara Indonesia sejak tahun 1950
termasuk bukan penduduk. Artinya, mereka harus memiliki izin tinggal dan izin menetap
dandalam kaitan dengan kerja, mereka harus memiliki izin kerja dari departemen yang
bersangkutan. Bagi tenag-tenaga gerejawi, izin tersebut harus diperoleh dari Departemen Agama.
Misionaris-misionaris baru yang hendak memasuki Indonesia selanjutnya harus meminta visum,
yang hanya diberikan jika ada rekomendasi dari Departemen Agama yang memiliki peranan
sentral.

Untuk memahami peranan Departemen Agama pada masa itu, kami mengutip prasaran
Mgr. Soegijapranata yang disajikan pada Sidang para Waligereja pada tanggal 2-5 Juni 1952:
“Kementerian Agama didirikan di Yogya sebagai kompromi pemerintah dengan partai
Masyumi, untuk melibatkannya dengan pemerintah. Itu kompromi antara tokoh-tokoh
pendukung Negara Islam dan lawan-lawannya. Maka lawan-lawan itu ketika mengadakan
kompromi jelas memaksudkan juga untuk mencegah Negara Islam bagi masa depan. Jadi,
kalau Kementerian Agama toh memperjuangkan Negara Islam, itu bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yang menyatakan diri negara demokrasi.
Negara Islam menjadi Negara teokrasi. Praktek ialah: Islam dengan cara yang mungkin
mana pun juga diuntungkan. Kebebratan-keberatan melawan Kementerian Agama ialah
berikut: 1. tidak ada kesetaraan hak-hak; 2. tidak pula kebebasan agama, sebab a) dalam
organisasi segala kekuatan hanya diserahkan kepada Islam; b) dalam menjalankan
tugasnya Kementerian itu mengakukan pada dirinya seluruh lapangan agama, seperti
pendidikan guru-guru agama, pengajaran agama”.

Pada Sidang Waligereja tahun 1952 itu


dibicarakan tentang masalah actual “perturan quota”
bagi imigran-imigran luar negeri (termasuk para
misionaris). Peraturan itu sendiri bukanlah sesuatu
yang baru. Pada zaman Hindia Belanda dikenal
dengan “keputusan supaya masuk” dan
“ordonansi/peraturan tentang izin masuk”. Itu
dimaksudkan agar arus pendatang luar negeri dapat
dibatasi sehingga sebagai sebuah negara yang masih
mudah perlu mengatur dan menertibkan segala hal.
Peraturan “quota” membuka kemungkinan
manipulasi seperti terbukti dalam korespondensi
resmi berikut.

- Pada tanggal 17 Maret 1952 Biro Misi Pusat


meminta kepada Dinas Imigrasi “keputusan
supaya masuk” (pernyataan urgensi) untuk 500 misionaris baru.
- Ditanya tentang macam orang-orang luar negeri itu, Biro Misi Pusat menjawab: orang-orang
Belanda. Pada tanggal 18 April Dinas Imigrasi memberitakan hal itu kepada Departemen
Kehakiman, disertai catatan supaya dipertimbangkan bahwa perizinan “quota” bagi orang-
orang Belanda pada umumnya hampir semuanya tercapai.
- Departemen Kehakiman pada tanggal 20 Mei menyampaikan surat kepada Kementerian
Agama berkaitan dengan rekomendasi yang dituntut.
- Pada tanggal 14 Juni Sekretaris Jenderal kementerian Agama mengirim surat kepada
Kementerian Kehakiman: 1. Berkenaan dengan imigrasi 500 tenaga kerja bagi misi Roma
Katolik, kami merasa tidak perlu adanya pernyataan urgensi. Pada hemat kami, pekerjaan di
sini dapat dijalankan oleh tenaga-tenaga misi yang sudah ada. 2. “Quota” untuk orang-orang
Belanda sudah hampir seluruhnya terpenuhi. Jadi, berdasarkan kedua pokok itu, kami tidak
mengizinkan imigrasi 500 tenaga misi itu.
- Pada tanggal 10 Juli Departemen Kehakiman menjawab Dinas Imigrasi, dan melampirkan
“surat rahasia” Kementerian Agama. Jadi, dengan demikian Dinas Imigrasi sudah
menyelesaikan urusan itu, dengan kata lain “tidak menyelesaikan”.

Mudah dimengerti para Waligereja menjadi prihatin tentang urusan itu, apalagi karena
Sekretaris Jenderal Departemen Agama pada bulan September 1953 menyatakan bahwa tidak
ada lagi misionaris asing yang akan diizinkan masuk. Juga di kalangan gerejawi Belanda,
padahal banyak misionaris yang sudah bertahun-tahun menunggu visa, masih berkembang
ketidaktenangan. Para pejabat tinggi di Indonesia diberiahu mengenai keresahan itu: menyusul
pernyataan-pernyataan resmi, tetapi tidak menghilangkan keresahan itu. Para Waligereja Pulau
Jawa, yang bersidang di Lawang pada tanggal 26-30 April 1954, membicarakan hal itu dan
mempertimbangkan untuk menempuh langkah-langkah yang tidak formal. Mereka menyesalkan
surat Kongregasi Propaganda Fide yang baru saja diterbitkan kepada para pemimpin umum ordo
dan kongregasi, yang meninmbulkan kondisi tidak tenang di Belanda. Surat itu menyampikan
pertimbangan supayasedapat mungkin mengutus misonari yang tidak berkebangsaan Belanda ke
Indonesia. Berita sekitar surat tersebut telah melemahkan semangat sejumlah kongregasi bruder
dan suster untuk mengutus tenaga-tenaga baru. Juga para provinsial tarekat imam di Belanda,
yang telah dipengaruhi olehnya, sesudah mengadakan musyawarah bersama telah mengambil
“keputusan-keputusan yang tidak menguntungkan sehubungan dengan pengutusan misionaris ke
Indonesia”. Oleh karena itu, para Waligereja memutuskan: mengirim surat-surat kepada semua
saja yang bersangkutan; di situ dicantumkan bahwa nasehat Kongregasi Propaganda Fide
memang dapat dipahami, tetapi tidaklah mungkin perubahan haluan yang secepat itu, selain itu
juga merugikan misi. Demikianlah pandangan Waligereja Pulau Jawa.

Usaha yang diusulkan, yakni “internasionalisasi” tenaga-tenaga misi, memang berjalan di


berbagai daerah di luar Jawa. Seandainya di bawah pemerintah Hindia Belanda tidak mungkin,
bahwa ditinjau dari sudut gerejawi wilayah-wilayah “Belanda” dapat dipercayakan kepada
tenaga-tenaga luar negeri, itu sudah bukan masalah lagi dalam Republik Indonesia. Pada tahun
1951 imam-imam Xaverian Italia dari Parma mengambil alih seluruh daerah gerejawi Padang.
Daerah itu dipisahkan dari Vikariat Apostolik Medan. Seorang Italia menjadi Uskup, yakni Mgr.
Pasquale de Martino, SX. Pada tahun 1955 sekelompok imam Kapusin Jerman, yang diusir dari
Cina, tiba di Sumatera Utara. Mereka mengambil alih daerah yang sekarang disebut Keuskupan
Sibolga. Uskup di situ ialah Mgr. Grimm, berasal dari Jerman.

Juga daerah-daerah gerejawi di kawasan lain di Indonesia mengalami “internasionalisasi”.


Para Redemtoris Jerman pada tahun 1956 diserahi Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba) sebagai
daerah misi. Para imam Ordo Salib Suci dari Amerika pada tahun 1958 mengambil alih sebagian
wilayah Merauroke, yang sekarang menjadi Keuskupan Agats. Para imam Pasionis dari Italia
datang ke Kalimantan Barat pada tahun 1960, dan diserahi daerah Sekadau sebagai daerah misi.
Sejak tahun 1982 sebagai daerah itu masuk keuskupan baru Senggau. Memperlihatkan contoh-
contoh itu, kiranya jelas bahwa atas rangsangan dari Roma terjadi terobosan dalam warisan
gerejawi yang semula melulu Belanda.

Namun, bukan hanya atas dorongan Roma sehingga berlangsung internasionalisasi pada
tahun 1950-an. Para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) sendiri juga sudah mengutus
misionaris berkebangsaan non-Belanda memasuki Indonesia sejak sebelum perang revolusi. Pada
tahun 1950 kongregasi itu mengambil keputusan yang prinsipiil, bahwa kelompok mereka perlu
“di-internasionalisasi-kan” di Indonesia; dalam Kapitel Umum tahun 1947 usaha itu sungguh
dianjurkan. Pada tahun 1950-an, dilatarbelakangi seluruh masalah diperbolehkannya para
misionaris Belanda memasuki Indonesia, ketegangan sekitar status Papua memainkan peranan.
Bagian wilayah itu pada tahun 1949 dibiarkan tetap berada di luar “penyerahan kedaulatan”
kepada Indonesia. Menurut persetujuan Konferensi Meja Bundar, status wilayah itu akan
ditetapkan melalui perundingan dalam waktu satu tahun sesudahnya. Tetapi, Belanda menolak
untuk melaksanakannya secara serius. Masalah itu diajukan oleh Indonesia pada tahun 1954 pada
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Usaha itu tidak berhasil pada kesempatan itu, begitu
pula pada tahun 1957, ketika suatu resolusi tentang persoalan Papua tidak berhasil. Sebagai
reaksi terhadap perkara itu, pada tanggal 6 Desember 1957 pemerintah Indonesia memerintahkan
kepada orang Belanda yang jumlahnya 50.000 orang supaya meninggalkan Indonesia. Tiga hari
setelah itu, menyusullah dekrit bahwa perusahaan Belanda yang berjumlah 500 buah diawasi
oleh Indonesia. Pada tanggal 31 Desember produk perusahaan Belanda dilarang ekspor ke negeri
Belanda. Pada tahun 1958 berlangsunglah nasionalisasi semua perusahaan Belanda. Mulailah
proses Indonesianisasi dalam arti yang sempit.

Kendati ada ketetapan-ketetapan itu, para misionaris Belanda masih tetap berkarya seperti
biasa, tetapi tidak diuruskan lagi visa. Biro Misi Pusat menganjurkan kepada ordo dan
kongregasi supaya membiarkan anggota non-Belanda untuk mengajukan permohonan visa.
Kenyataannya prose situ sudah mulai: pada tahun 1958 sudah ada permintaan visa untuk 35
misionaris non-Belanda. Untuk tahun-tahun sesudah itu, diharapkan ada lebih banyak
permohonan, sebab berbagai ordo/kongregasi sedang menjalin “pertukaran internasional”.
Misalnya: para Kapusin Belanda mengadakan persetujuan timbal-balik dengan para Kapusin
Swiss. Misonaris Belanda yang baru, yang tida dapat memasuki Indonesia, diutus ke misi Swiss
di Tanzania, imam-imam Swiss mengutus tenaga-tenaga mereka yang baru ke Indonesia. Banyak
ordo/kongregasi internasional mengadakan berbagai persetujuan dalam tahun-tahun itu. Jadi,
kiranya misi dapat berlangsung terus , dilayani oleh tenaga-tenaga baru yang non-Belanda.

Pada tahun 1958 diberlakukan juga undang-undang baru mengenai naturalisasi orang-
orang luar negeri (yakni no. 62 Agustus 1958). Berdasarkan undang-undang tersebut, banyak
imam dan religius mengajukan pemohonan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia. Mereka
memang hendak terus bekerja, dan dengan tidak menghadapi risiko, jangan-jangan peraturan-
peraturan baru itu akan memaksa para misionaris “luar negeri” meninggalkan Indonesia.
Memorandum pada tahun 1959 mnyebutkan angka-angka misionaris lur negeri: 81 % imam (504
orang), 79 % bruder (218 orang), dan 71 % suster (693 orang) telah mengajukan permohonan.
Seluruhnya ada 1.415 orang tersebar ke seluruh pelosok tanah air. Jumlah yang lumayan besar.
Namun, ada satu pertanyaan besar: berapa banyak di antara permohonan-permohonan itu yang
akan dikabulkan, dan kapan? Berdasarkan informasi pada tahun 1961, dapat digambarkan bahwa
85 misionaris dalam bulan September tahun itu akan dapat menerima kewarganegaraan
Indonesia: yakni 6 % dari kelompok yang mengajukan permohonan pada tahun 1959.

Ketika ketegangan dengan Belanda mengenai masalah Papua makin meningkat pada tahun
1958, Mgr. Soegijapranata mengadakan wawancara dengan agen pers Amerika. Beliau
menyesalkan bahwa Partai Rakyat Katolik (Katholieke Volks Partij/KVP) di Belanda sebagian
besar bertanggung jawab atas buruknya hubungan antara Indonesia dan Belanda:

“Saya hendak menyampaikan kepada Belanda: Belalah hak-hak Anda, tetapi jangan lupa
mengasihi sesama! Bagi banyak orang Indonesia, sikap KVP tidak dapat dimengerti karena
mereka tidak melihat perbedaan antara Partai Katolik dan Gereja Katolik. Suatu permulaan
baru, berdasarkan keadilan dan cinta kasih, akan menciptakan itikad baik yang memadai
untuk membangun kerja sama yang baru, di bidang politik maupun ekonomi. Konflik
tentang New Guinea juga pasti akan diatasi. Kesukaran-kesukaran politik antara Indonesia
dan Belanda dapat merugikan Gereja menyangkut izin masuk bagi para misionaris. Bagi
para misionaris, yang sudah lebih lama tinggal di Indonesia, tidak usah diharapkan akan
muncul kesukaran-kesukaran, karena mereka tidak menikmati simpati pemerintah kolonial
di masa lampau. Tetapi, pejabat-pejabat Indonesia merasa takut, jangan-jangan para
misionaris muah dijangkiti dengan permusuhan, yang di Belanda sekarang merajalela
terhadap Indonesia (..).

Uskup Indonesia itu menyampaikan seruan keras kepada para politikus di Belanda: “Saya
hendak mengajukan satu pertanyaan saja kepada KVP di Belanda: Ketika dahulu berlangsung
perundingan tentang kedaulatan, Anda telah menanyakan, bagaimanakah itu akan mempengaruhi
posisi Gereja di Indonesia. Mengapa sekarang anda tidak menanyakan, manakah akibat-akibat
dari politik Anda sekarang yang akan mempengaruhi Gereja di Indonesia?”

Seperti diharapkan, Prof. Mr. Romme memberikan jawaban berupa permenungan di harian
De Volkskrant, tanggal 5 Juli 1958: “akan mengikis habis salah paham di Indonesia!”Pendirian
itu menyarankan bahwa politik Belanda jelas mengetahui apa yang baik bagi Indonesia dan
Gereja Katolik Indonesia! Sepuluh tahun sebelum itu pun sudah ada gagasan itu pada tahap
dekolonisasi antara 1945-1950. Penilaian J.Bank pada akhir karya tulisnya tentang periode itu
cukup jelas: “Bahwa khususnya orang-orang Katolik Belanda melibatkan diri dalam
pertentangan politik melawan kedaulatan Indonesia sepenuhnya, bahwa emansipasi Katolik di
Belanda segera dapat merintangi emansipasi Indonesia, itu semua telah dibuktikan melalui studi
ini.” Penilaian itu juga kiranya dapat dijatuhkan pada tahap terakhir dekolonisasi di Indonesia
skitar masalah Papua. Para politikus Belanda itu juga tetap belum mengerti apa yang sebenarnya
sedang terjadi di Indonesia.
Indonesia tidak begitu mempedulikan pendirian-pendirian (Katolik) Belanda, tetapi
menempuh arahnya sendiri. Para misionaris mengalami masalah. “Proses nasionalisasi”
berlangsung biasa saja. Pada tanggal 1 Agustus 1959 tenaga-tenaga pengajar luar negeri dilarang
supaya jangan lagi mengajar di sekolah-sekolah Indonesia. Secara khusus hal itu berlaku bagi
sekolah-sekolah misi: banyak bruder dan suster Belanda tidak boleh mengajar. Peraturan itu
merupakan konsekuensi peraturan setahun sebelumnya. Dulu ada pengumuman: sekolah-sekolah
yang bahasanya dari luar negeri, atau tenaga-tenaganya sebagian besar terdiri dari orang-orang
luar negeri, tidak akan menerima subsidi lagi. Jadwal pelajaran dan buku-buku pegangan
memerlukan persetujuan pemerintah. dapat dianggap bahwa peraturan itu langsung dimaksudkan
untuk melawan sekolah-sekolah Cina di daerah-daerah tertentu di Indonesia, tetapi secara tidak
langsung merupakan ancaman terhadap sekolah-sekolah misi.

Berkembangnya nasionalisme di Indonesia tidak langsung anti-Belanda, tetapi pada


umumnya ditujukan melawan pengaruh-pengaruh yang non-Indonesia. Ada sikap anti Cina
(melawan minoritas Cina, yang sungguh-sungguh secara otonom melestarikan kebudayaan Cina
di Indonesia), anti-Arabia (melawan abjad Arab yang diajarkan melalui agama Islam), dan anti-
Barat (melawan film-film Barat yang merongrong tata susila dan nilai-nilai Indonesia).

Jadi, peraturan Menteri Pendidikan, Mr. Prayono, untuk menyingkirkan semua guru asing
mulai tanggal 1 Agustus 1959 bukanlah peraturan anti-Katolik, meskipun beberapa misionaris
mengiranya demikian. Ada pemikiran nasionalis pada tingkat nasional. Pada tingkat regional
adakalanya pemikiran berbeda. Misalnya, penguasa setempat di Padang membiarkan sekolah
menengah yang subur asuhan para frater dari Tilburg tetap terbuka, sedangkan sekolah para
suster di Makasar ditutup.

Semua “peraturan dekolonisasi” dari pemerintah Indonesia pada tahun-tahun itu


dimaksudkan untuk memberi rakyat Indonesia wajah nasionalnya sendiri. Suka atau tidak, misi
Katolik harus ikut. Warisan misi Katolik Belanda di Indonesia perlu dihancurkan bukan karena
Belanda, tetapi karena tidak berwajah Indonesia.

Pada tanggal 8 Juli 1960 Partai Katolik mengirimkan pesan terakhir kepada KVP di
Belanda. Masalah sekitar Papua menjadi pusat. Diperkirakan bahwa Belanda hendak mengambil
resiko perang, dan dipertanyakan secara terbuka: “Tidak tololkah kalau sekarang ini orang-orang
muda Belanda masih harus menjadi korban untuk mempertahankan pemerintah kolonial?
Kemudian orang-orang Katolik Indonesia menyapa “perasaan Katolik” KVP: “Umat Katolik
Beanda dulu dan sekarang hanya mempunyai satu kepentingan di Indonesia: misi,…. Di tinjau
dari sudut itu, memang pernah timbul kesan seolah-olah Anda ikut berperan untuk mempersukar
Gereja di sini”. Kemudian KVP bersaksi: “Cara meragukan, yaitu surat terbuka itu mengaitkan
Gereja Roma Katolik dan Iman Roma Katolik dalam perselisihan politik seperti sekarang ini,
menampilkan kurang pengertian akan hubungan yang tepat antara agama dan politik, dan akan
kurangnya gaya serta selera yang tepat yang sampai sekarang ini tidak ditemukan di antara para
politikus Indonesia”. Ternyata di negeri Belanda tidak mengerti, reaksi seperti itu di Indonesia
dianggap menunjukkan sikap sombong dan meremehkan!

Juga pihak gerejawi di Indonesia sangat memprihatinkan meningkatnya ketegangan.


Mengenai hal itu, ada kesaksian pribadi Mgr. Tarsisius van Valenberg, OFM Cap.

“Pada sidang semua Waligereja Indonesia (27), yang berlangsung pada buan Mei 1960 di
Girisonta, saya hadir atas nama Internunsius, …Dalam konferensi, jelas terasa sekali
ketegangan mengenai hubungan hubungan Indonesia dengan Belanda. Orang-orang
bukannya kuatir tentang kepastian tinggalnya para misionaris Belanda. Rasa takut
diakibatkan oleh pendapat yang meluas di kalangan yang lebih besar, bahwa umat Katolik
(KVP) dengan tegas menolak penyerahan Papua kepada Indonesia. Ketegangan itu makin
mencuat ketika justru pada hari-hari sidang itu kapal penjelajah Karel Doorman dengan
sengaja berlayar sepanjang pantai Jawa meneruskan perjalanan ke Papua. Salah satu
keputusan pada musyawarah itu ialah: saya diutus untuk berunding dengan para uskup
Belanda”.

“Berdasarkan informasi dari pelbagai pihak, para uskup Indonesia mengetahui adanya
perubahan Amerika di bawah kepemimpinan Presiden Kennedy. Secara skeptis mereka
menghadapi ungkapan-ungkapan tertentu Menteri Negeri Belanda untuk Daerah-Daerah di
Seberang. Mereka mepertanyakan, apakah hak-hak Belanda atas Papua masih dapat
dipertanggungjawabkan pada zaman ini”.

“Dengan kepastian yang menyakitkan hati, mereka menyaksikan bahwa sikap orang-orang
Katolik Belanda menimbulkan kerugian yang serius bagi karya misi. Mereka sebenarnya
menganggap keuntungan yang besar seandainya masalah itu dapat dirundingkan dengan
jujur antara Indonesia dan Belanda”.

“Perundingan antara uskup-uskup Belanda berlangsung dan menghasilkan surat Kardinal


Alfrink yang sekaligus mengatasnamakan mereka. Jawaban itu menyenangkan dan
memberikan dukungan bagi para uskup Indonesia dalam menghadapi kesulitan-kesulitan
mereka”.

“Dengan sendirinya internuntius diberi informasi tentang kontak-kontak saya mengenai hal
itu. Dan atas nama Konferensi para Waligereja Indonesia, saya memohon beliau supaya
memberitahukan pandangan mereka tentang Papua kepada pemerintah Indonesia. Pada
hemat saya, Internuntius melaksanakan itu dengan senang hati.”

“Pada bulan Agustus 1961 saya diberitahu di Roma atas nama ‘charge d’affair bahwa
mereka akan sangat menghargainya bila di negeri saya sendiri masih melibatkan diri lagi
untuk mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh berpengaruh, yang akan dapat menciptakan
suasana yang menguntungkan bagi perundingan tentang Papua”.
“Sesudah mengadakan konsultasi yang mendalam dengan beberapa pihak yang berwenang
dan sejumlah kolega, saya menerima undangan itu. Ada seorang pejabat Indonesia yang
banyak membantu untuk mendapat paspor Vatikan. Dengan paspor saya sebagai warga
Negara Indonesia, saya tidak dapat memasuki Belanda. Pemerintah Indonesia juga
menggantikan biaya perjalanan. Pada tanggal 28 Agustus sampai 4 September
dilaksanakan maksud-maksud itu melalui kunjungan-kunjungan saya, antara lain kepada
Perdana Menteri, ketua fraksi KVP di “Tweede Kamer”, sekretaris Negara untuk New
Guinea, beberapa politikus lain juga profesor-profesor universitas (Schlichting, Duynstee)
dan wartawan-wartawan (Mgr. v.d. Kallen, De Tijd). Pada hari-hari itu Menteri Luns tidak
saya jumpai; ia berada di Amerika Srikat”.

“Sejauh pengalaman saya, di mana-mana saya diterima dengan sikap yang ramah. Tetapi,
di sana-sini saya merasa ada pemahaman yang kurang baik tentang situasi yang
sesungguhnya, berapa sikap yang tidak biasa, dan kekurangan informasi. Entah
bagaimanakah hasil kedua – yang dapat saya katakan: misi – itu, bagi pemerintah
Indonesia sikap loyal dan itikad baik hierarki Indonesia telah menjadi jelas: sikap kita
dihargai”.

Kendati ada berbagai usaha intervensi politik dan gerejawi untuk menampung kelanjutan
dekolonisasi, Belanda mengadakan aksi militer. Pada tanggal 17 Agustus 1960 Soekarno
memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Mr. Dr. Smit mengungkapkan situasi baru
yang terjadi sebagai berikut: “Demikian berakhirlah ikatan, yang terjadi lebih dari tiga setengah
abad antara Belanda dan Indonesia.”

Memang demikian kalau ditinjau dari sudut politik, tetapi tidak dari sudut gerejawi!
Konflik senjata tidak terhindarkan. Tokoh kedua Angkatan Laut Indonesia, yakni Yos Sudarso
yang beragama Katolik Roma, gurur dan dinyatakan sebagai Pahlawan nasional. Frans Seda,
ketua baru Partai katolik, secara rahasia bertolak ke Belanda atas izin pemerintah Indonesia. Ia
mendorong KVP supaya menerima apa yang disebut rencana “bunker”. Akhirnya, pemerintah
Belanda menandatangani suatu persetujuan dengan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962 di
New York. Melalui tahap peralihan “United Nations Temporary Executive Authority” (UNTEA),
kepemimpinan New Guinea akan diserahkan kepada Indonesia sebelum tahun 1969, sesudah
diadakan pemungutan suara (jajak pendapat).

Pada tanggal 22 April 1963 pemerintahan Belanda atas New Guinea diserahkan kepada
UNTEA. Pada hari itu juga para Vikaris Apostolik di Irian Barat mengeluarkan surat gembala.
Di situ mereka merumuskan gagasan “gerejawi” tentang masa depan Irian.

1. “Pertama, kami, para Usup Gereja Katolik di negeri ini, hendak memberitahukan kepada
Anda bahwa pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden sekarang ialah
kepemimpinan yang sah di negeri ini, dan bahwa pemerintah itu harus Anda semua akui dan
hormati justru sebagai Pemerintah. Oleh karena itu, kami menganjurkan supaya Anda
bersikap hormat dan terbuka terhadap semua pengemban kewenangan dari atas hingga
bawah. Di lain pihak, kami percaya bahwa Pemerintah yang baru ini akan memerintah
bagian Republik Indonesia ini sesuai dengan sifat-perangai dan keperluan-keperluan negeri
serta rakyat ini; bahwa sejak permulaan Pemerintah akan menampilkan dengan jelas, betapa
keamanan seluruh rakyat tanpa kecuali, begitu pula semua harta benda di bawah
kepemimpinannya juga dijamin, dan bahwa Pemerintah dengan tegas akan bertindak
melawan orang perorangan atau kelompok-
kelompok dari kebangsaan manapun yang merasa
dapat bermain hakimdalam lingkungannya”.
2. “Selanjutnya, menyusul apa saja yang sebelum ini
sudah diuraikan oleh para Uskup lainnya, kami
hendak menyatakan bahwa kami mengakui
sepenuhnya lima asas masyarakat Indonesia (…)”.

Pada bulan April 1963 Irian barat de facto tergabung


dalam Republik. Cita-cita lama, yakni sutu Indonesia
dari Sabang sampai Merauke, tampaknya sudah
terwujudkan. Dalam seluruh proses dekolonisasi
Indonesia, itulah rintangan terakhir yang masih harus
diatasi. Juga dalam hal itu pendirian Gereja Katolik
jelas sekali. Episkopat Irian Barat (nama Indonesia yang baru) setelah itu secara resmi bergabung
dengan konferensi para uskup Indonesia.

2.2. Organisasi Gereja Katolik Indonesia


Salah satu momen terpenting dalam proses kemandirian wilayah gerejawi adalah
didirikannya hierarki. Dalam bahasa Belanda “Hierarchie” yaitu tatacara organisasi (manusia,
benda, atau faham) menurut tinggi rendahnya pangkat dan kedudukan. Dalam konteks
pembahasan ini, “hirarki” adalah tatacara organisasi Gereja Katolik yang sengaja dibentuk oleh
Roma di Indonesia karena Gereja Katolik Indonesia sudah dianggap mampu untuk mengurus
“dirinya sendiri” secara otonom meski tetap dalam kerangka gereja semesta.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Gereja Katolik di Indonesia perlahan-lahan bertumbuh


menjadi Gereja Lokal yang mandiri. Indikasi pertumbuhan tersebut dapat terlihat dengan
bertambahnya jumlah umat Katolik dari waktu ke waktu, lahirnya tenaga-tenaga petugas Gereja
pribumi, yakni imam-imam, dan kaum biarawan-biarawati (bruder dan suster), untuk
menggantikan tenaga-tenaga misionais dari luar negeri. Mengenai penambahan jumlah umat,
imam, biarawan-biarawati pribumi akan dibicarakan tersendiri dalam bab 3 nanti. Seperti yang
sudah dikemukaan sebelumnya, bahwa pada tanggal 1 Agustus 1940, salah satu putera terbaik
pertama bangsa Indonesia, Pastor Albertus Soegijapranata SJ, diangkat menjadi Vikaris Apotolik
Semarang, Jawa Tengah. Ketika hirarki Gereja Katolik Indonesia didirikan, beliau kemudian
diangkat menjadi Uskup Agung Semarang yang pertama.
Berdasarkan Dekrit Quod Christus Adorandus tertanggal 3 Januari 1961, Paus Yohanes
XXIII mendirikan hirarki Gereja Katolik Indonesia. Tindakan tersebut merupakan bukti bahwa
Paus memandang Gereja di Indonesia sudah dewasa, dank arena itu patut memperoleh bentuk
organisasi yang sama seperti Gereja Katolik di negara-negara lain di dunia, tempat agama
Katolik sudah lama berakar.

Tidak itu saja, Paus dengan demikian membuktikan keyakinannya akan kesejahteraan
negara Republik Indonesia, teristimewa akan sikap Pemerintah terhadap agama dan kehidupan
beragama. Hal ini merupakan tanda penghargaan dan pengertian baik dari pihak pimpinan
tertinggi Gereja Katolik terhadap Indonesia. Sakaligus juga merupakan bukti keinginan Paus
agar Gereja makin lama makin tahu menempatkan diri dan berakar di dalam ikim kehidupan
bangsa Indonesia yang majemuk.

2.2.1. Pembentukan Keuskupan-Keuskupan Di Indonesia


Keuskupan merupakan bagian dari umat Allah yang dipercayakan kepada Uskup untuk
digembalakan dalam kerja sama dengan para imam, sedemikian rupa sehingga dengan mengikuti
gembalanya dan dihimpun olehnya dengan Injil dan Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk
Gereja Partikular, di mana sungguh-sungguh terwujud dan berkarya Gereja Kristus yang satu,
kudus, katolik dan apostolik. Terutama dalam dan dari keuskupan-keuskupanlah terwujud Gereja
Katolik yang satu, udus, dan apostolik.

Keuskupan bukan hanya wilayah administratif Gereja, melainkan bagian umat Allah
yang berbagai iman dan hidup sacramental yang sama. Umat dipercayakan oleh Allah (bukan
oleh Paus) kepada seorang Uskup supaya hidup dan bergerak sebagai suatu satuan otonom dalam
persatuan Gereja seluruhnya. Batas-batas wilayah hanyalah hal yang sekunder, dan merupakan
sarana yang menurut prinsip teritorial menentukan dengan jelas bagian umat Allah mana yang
ada di bawah kegembalaan Uskup tertentu dan membentuk Gereja partikular tertentu.

Di Keuskupan, Uskup diosesan merupakan pemersatu ke dalam dan keluar dengan


seluruh Gereja Katolik. Ia mewakili Gereja seluruhnya. Ia juga mewakili umat keuskupannya
dalam Gereja Universal dengan menjadi anggoa Dewan Uskup. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai gembala, guru dan imam, uskup tidak menjalankan sendirian, melainkan dalam kesatuan
dengan para imamnya sebagai suatu presbyterium dalam Gereja partikular, dan mewujudkan
prinsip hirarkis yang dilengkapi prinsip kolegial.

Keuskupan dipimpin oleh seorang uskup diosesan, yang dibantu oleh (para) Uskup bantu,
Vikaris Jenderal, Vikaris Episkopal (bila perlu), Staf Keuskupan, Dewan Imam, Dewan Pastoral
Keuskupan dan para Pastor Kepala Paroki yang
memimpin paroki tertentu dalam keuskupan
bersangkutan.

Pada keuskupan tertentu, untuk memupuk reksa


pastoral dengan kegiatan-kegiatan bersama, beberapa
paroki berdekatan digabungkan menjadi kesatuan-
kesatuan khusus yakni dekenat atau kevikepan. (Lihat:
lampiran tentang skema Struktur Keuskupan!).

Wilayah Gereja Katolik Indonesia yang dalam


tahun 1808 hanya satu Prefektur Apostolik (di bawah
pimpinan Mgr. Yakobus Nelissen, berkedudukan di
Batavia, sekarang Jakarta), kini dengan kebijakan baru
yakni pembentukan hirarki Gereja Katolik di Indonesia
1961 itu, wilayah gerejawi Indonesia dibagi ke dalam 6 provinsi gerejawi dengan 6 keuskupan
agung dan 19 keuskupan sufragan. Adapun keuskupan-keuskupan itu adalah:

I. Provinsi gerejawi Semarang:


1. Keuskupan Agung Semarang: Mgr. A.Soegijapranata, SJ.
2. Keuskupan Purwokerto : Mgr. W. Schoemaker, MSC.
3. Keuskupan Surabaya : Mgr. J. Klooster, CP.
4. Keuskupan Malang : Mgr. A.E.J. Aibers, O.Carm.

II. Provinsi gerejawi Jakarta:


1. Keuskupan Agung Jakarta : Mgr. A. Djajasepoetra, SJ.
2. Keuskupan Bandung : Mgr. P.M. Arntz, OSC.
3. Keuskupan Bogor : Mgr. N. Geise, OFM.

III. Provinsi gerejawi Pontianak:


1. Keuskupan Agung Pontianak: Mgr. H.J.M.v.d. Burgt, OFM Cap.
2. Keuskupan Banjarmasing : Mgr. J. Demarteau, MSF.
3. Keuskupan Samarinda : Mgr. J.E. Romeijn, MSF.
4. Keuskupan Ketapang : Mgr. W. Sillekens, CP.
5. Keuskupan Sintang : Mgr. L. van Kessel, SMM.
IV. Provinsi gerejawi Makasar:
1. Keuskupan Agung Makasar : Mgr. N.M. Schneiders, CICM.
2. Keuskupan Manado : Mgr. N. Verhoeven, MSC.
3. Keuskupan Amboina : Mgr. J. Grent, MSC.

V. Provinsi gerejawi Medan:


1. Keuskupan Agung Medan : Mgr. A.A.H. van den Hurk, OFM Cap.
2. Keuskupan Palembang : Mgr. H. Mekkelholt, SCJ.
3. Keuskupan Pangkal Pinang : Mgr. N.P. van der Westen, SSCC.
4. Keuskupan Tanjung Karang : Mgr. A. Hermelink, SCJ.
5. Keuskupan Padang : Mgr. P. de Martino, SX.

VI. Provinsi gerejawi Ende:


1. Keuskupan Agung Ende : Mgr. G. Manek, SVD.
2. Keuskupan Atambua : Mgr. Th. van den Tillaert, SVD.
3. Keuskupan Larantuka : Mgr. A. Thijssen, SVD.
4. Keuskupan Ruteng : Mgr. W. van Bekkum, SVD.
5. Keuskupan Denpasar : Mgr. H. Hermens, SVD.

Selain 25 keuskupan (agung) di atas, masih ada dua wilayah gerejawi yang mempunyai
status prefektur apostolik lama, yakni: Weetabula (didirikan pada tanggal 20 Oktober 1959) dan
Sibolga (pada tanggal 17 Nopember 1959) menjadi wilayah prefektur apostolik tersendiri.

Jika dicermati, dari ke-25 keuskupan yang ada, ternyata hanya tiga yang dipimpin oleh
uskup Indonesia, yakni: Semarang, Jakarta, dan Ende. Sementara yang lainnya dipimpin oleh
Uskup Belanda, kecuali Padang yang dipimpin oleh Uskup Italia. Meskipun demikian, semua
mereka telah dipercayakan untuk menjadi pemimpin Gereja Katolik Indonesia. Sejak
pembentukan keuskupan-keuskupan tersebut, menurut Dr. H.J.W.M. Boelaars OFM Cap, maka
sejak itu pula Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia yang memiliki
wewenang dan hak serta tanggung jawab penuh, resmi, pribadi dan langsung mewakili Yesus
Kristus sendiri dan menggantikan para Rasul (bukan mewakili Paus).

2.2.2. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)


Seorang Uskup, karena tahbisannya, adalah bagian jajaran para Uskup se dunia, dan
bersama dengan rekan-rekan uskupnya itu di bawah pimpinan Paus, ia bertanggung jawab atas
seluruh Gereja Katolik.

Dalam suatu Negara, dalam wadah kerja sama yang dinamakan Konferensi para Uskup,
para Uskup bekerja sama dalam membicarakan, merundingkan, dan akhirnya memutuskan
sesuatu mengenai umat Katolik di negara bersangkutan. Sebagai pimpinan Gereja setempat
seorang Uskup adalah Wali Gereja. Oleh karena itu, Konferensi para Uskup juga disebut
Konferensi para Wali Gereja.

Di Indonesia, Konferensi para Uskup itu lebih dikenal dengan sebutan Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI). Sebelumnya, diberi nama Majelis Agung Wali Gereja Indonesia
(MAWI). Bahkan jauh sebelumnya, sudah ada berbagai nama yang diberikan sehingga terjadi
perubahan dari waktu ke waktu. Berikut ini
dikemukakan secara singkat mengenai sejarah
pembentukan KWI dan juga bentuk serta struktur
kepengurusannya.

2.2.2.1. Sejarah Singkat


Sidang pertama para Wali Gereja Indonesia
berlangsung pada tahun 1924. Pada waktu itu
belum ada nama dan masih belum jelas fungsinya.
Namun, pada pertemuan ini para Wali Gereja
Katolik Indonesia merasa perlu adanya suatu badan
tetap yang mengurus kepentingan para Wali Gereja
dengan Pemerintah, khususnya dengan Departemen
Pendidikan dan Pengajaran. Sebagai tindak lanjut
dari pertemuan tersebut maka pada tahun 1925
dibentuk suatu “Komisi Misi Pusat”, dengan ketetapan masa sidang setiap 5 tahun sekali.

Namun, pada tahun 1926 “Komisi Misi Pusat” diubah namanya menjadi “Biro Misi
Pusat”, yang terbagi atas dua bagian besar sesuai urusan yang ditangani, yaitu: Urusan Umum
dan Urusan Pendidikan. Biro Pusat ini, pada tahun 1931, diubah menjadi suatu Yayasan dengan
pengurusnya adalah para Wali Gereja. Yayasan ini dipimpin oleh seorang direktur, yakni Vikaris
Apostolik Betawi. Pengurus harian ialah direktur dan para Kepala Bagian. Biro tersebut telah
memiliki Anggaran Dasar yang disahkan pada tahun 1932 dan menangani Urusan Umum,
Urusan Pendidikan dan Pengajaran, serta Urusan Keuangan. Pada tahun 1949 dibangun sebuah
Kantor untuk memperlancar kegiatannya.

Dalam perjalanannya, Biro Misi Pusat ini diubah menjadi Majelis Agung Wali Gereja
Indonesia, pada tahun 1955, yang disingkat dengan MAWI. Bersamaan dengan itu, dibentuk pula
suatu badan baru, yakni Dewan Wali Gereja Pusat (DEWAP) dengan anggotanya 6 orang dan
dipimpin oleh seorang Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Ditetapkan pula bahwa MAWI
bersidang sekali dalam lima tahun, sedangkan DEWAP bersidang sekali dalam setahun
bertempat di Kantor yang dibangun (perluasan dari kantor Misi Pusat) pada tahun 1956. MAWI
memiliki 6 panitia dengan urusan-urusan tertentu, yakni: Panitia Sosial, Panitia Aksi Katolik dan
Kerasulan Awam, Panitia Seminari, Panitia Pendidikan dan Pengajaran Agama, Panitia Katekese
dan Penyebaran Iman, serta Panitia Pers dan Propaganda. Pada tahun 1970, terjadi perubahan
penting dalam struktur MAWI. Sebagai suatu badan resmi MAWI kemudian disahkan oleh
Propaganda Fide. Sejak itu MAWI mengalami penyempurnaan terus-menerus, dilengkapi
dengan pelbagai komisi dan ketentuan yang ditetapkan dalam statuta.

Dalam upaya penyempurnaan oganisasi dan terlebih untuk memenuhi tuntutan Hukum
Kanonik yang baru serta Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun tahun 1985 mengenai
Organisasi Kemasyarakatan, maka MAWI diganti namanya menjadi Konferensi Wali Gereja
Indonesia (KWI). Nama ini memang sesuai dengan nama yang digunakan dalam bahasa Latin
dan bahasa-bahasa lain di seluruh dunia.

2.2.2.2. Bentuk dan Struktur Kepengurusannya


KWI merupakan Federasi para Wali Gereja (Uskup) se-Indonesia, yang bertujuan
menggalang persatuan dan kerja sama dalam tugas pastoral mereka memimpin umat Katolik
Indonesia. Namun KWI tidak “di atas” atau membawahi para Uskup. Masing-masing Uskup
tetap otonom. Yang menjadi anggota KWI adalah para Uskup Indonesia yang masih aktif.

Adapun strukur KWI sebagai berikut: Kekuasaan tertinggi da pada tangan Sidang para
Wali Gereja Indonesia, yang diadakan baik setiap tahun bila bersifat lebih sederhana (sidang
simpleks) maupun setiap tiga tahun (sidang sinodal) untuk tujuan-tujuan yang lebih prinsipial.

Pimpinan KWI dijalankan oleh suatu Presidium yang terdiri dari 5 orang, yakni: Ketua
Presidium, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, Sekretaris / Ketua Sekretaris Jenderal, Bendahara /
Ketua Moneter.

Sekretariat Jenderal KWI terdiri dari 3 unsur, yakni:

1. Kantor / Departemen:
- Kantor Keuangan/Umum
- Dokumentasi dan Penerangan
- Personalia Gereja
- Pendidikan
2. Komisi-komisi:
- Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi
- Komisi Seminari
- Komisi Liturgi
- Komisi Kateketik
- Komisi Pendidikan/MNPK
- Komisi Kerasulan Awam
- Komisi Komunikasi Soial
- Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan
- Komisi Karya Misioner
- Komisi Kepemudaan
- Komisi Teologi
3. Lembaga-lembaga:
- Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial
- Lembaga Biblika Indonesia
- Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia
- Sekretariat Keadilan dan Perdamaian

Seretariat Jenderal KWI diketuai oleh Seretaris KWI. Dlam tugasnya sehari-hari ia
dibantu oleh seorang Prosekretaris yang purna waktu. Masa jabatan pimpinan/Presidium KWI
lamanya 3 tahun. Sesudah 3 tahun dipilih kembali dalam sidang sinodal.

Selain komisi-komisi, Lembaga-lembaga serta serta Kantor-kantor KWI juga mempunyai


Panitia Ahli untuk pelbagai bidang yang tidak termasuk struktur resmi KWI tetapi swaktu-
waktu, bila dibutuhkan, dipanggil untuk turut mengikuti sidang dan memberikan nasihat-
nasihatnya. Antara lain: Penasihat Bidang Teologi, Bidang Moral, Bidang Hukum, Bidang
Politik baik imam, rohaniwan maupun awam, sesuai keahlian masing-masing. Selain itu, dalam
sidang KWI diundang pula ahli awam jika topic-topik tertentu membutuhkan sumbangan pikiran
mereka.

2.2.3. UNIO
Unio adalah suatu bentuk kerja sama para Imam Praja. Sebagai sebuah organisasi, Unio
memiliki struktur dan kepengurusan yang terdiri dari: Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Setiap
keuskupan yang memiliki jumlah imam Praja yang cukup banyak perlu membentuk suatu wadah
persaudaraan antara mereka berupa (Sub) –Unit UNIO IMAM PRAJA se keuskupan. Unit-unit
dari tiap keuskupan ini lalu membentuk kelompok yang lebih luas menjadi Unio Indonesia.

Pada skala nasional, pimpinan Unio Indonesia terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua,
Sekretaris 1 dan 2, serta Bendahara 1 dan 2, yang menjalankan masa jabatannya selama 3 tahun.
Mereka didampingi oleh seorang penasihat atau lebih. Hal yang sama juga berlaku untuk di tiap-
tiap unit di tingkat keuskupan atau sub unit di tingkat kevikepan / dekenat.

Menjadi anggota unio tidak merupakan keharusan klerikal atau kanonis, dan sama sekali
mempengaruhi status keimaman seseorang dan ikatan inkardinasi dengan uskupnya. Juga tidak
mempengaruhi keanggotaannya dalam dewan imam, badan pensihat/konsultor uskup, atau juga
jabatan yuridisnya serta wewenang yurisdiksinya. Unio imam praja sebenarnya terutama
berkaitan dengan kepentingan dirinya dan karyanya sebagai imam praja, dalam hubungannya
dengan sesama imam praja sekeuskupan.

Namun demikian, sekalipun tidak wajib, setiap imam praja yang tidak diikat dan diatur
oleh semacam peraturan hidup bersama seperti konstitusinya para imam biara, dan yang
hidupnya hanya bergantung kepada kesetiaan pribadinya kepada Yesus Kristus, kepada martabat
imamatnya, kepada Kitab Suci / Injil, kepada Kitab Hukum Kanonik, kepada Uskupnya dan
karena itu sangat mengandalkan kemandirian pribadi yang mantap, sangat dianjurkan untuk
menggabungkan diri dalam “persekutuan persaudaraan imamat” seperti itu. Solidaritas imamiah
seperti itu akan sangat membantu memantapkan kemandiriannya sebagai imam praja. Karena
Unio Imam Praja memang diadakan untuk saling meneguhkan, saling mendukung, dan saling
membantu. Itulah sifat khas Unio.

Kegiatan-kegiatan Unio antara lain mengatur rekoleksi dan retret bersama, pertemuan-
pertmuan pastoral bersama, menyusun program pastoral bersama, memecahkan masalah pastoral
bersama dan mencari jalan keluar bersama, menyelenggarakan rekreasi bersama, membentuk
team kerja bersama, saling mengunjungi dan menggalang usaha bersama.

Untuk mengikat hidup dan kegiatan bersama, Unio Praja Indonesia memiliki suatu
statuta, yang berisikan tentang pelbagai ketetapan yang berhubungan dengan Unio. Demi
kelancaran kerja bersama itu, dibutuhkan juga uang yang ditarik berupa iuran dari setiap
anggotanya.

2.2.4. Konferensi Pemimpin Tarekat-Tarekat Religius Indonesia (KOPTARI)


Para pemimpin tarekat-tarekat, teristimewa yang berkarya di Indonesia tergabung di
dalam satu bentuk kerja sama yang dinamakan Konferensi Pemimpin Tarekat-Tarekat Religius
Indonesia (KOPTARI). Wadah ini sebelumnya bernama MASRI, yakni Majelis Srikat Religius
Indoneia. Dalam KOPTARI tergabung Majelis Serikat Imam (MASI), Majelis Bruder Indonesia
(MABRI), dan Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI).

KOPTARI bertujuan untuk membina kerja sama dan saling meneguhkan dalam hidup
dan karya antar tarekat-tarekat religius berdasarkan kolegalitas demi peningkatan pelayanan
kaum religius kepada Gereja dan masyarakat. Atas nama tarekat-tarekat religius, KOPTARI juga
membina hubungan baik dengan pihak-phak lain, baik kemasyarakatan maupun gerejawi,
terutama dalam Koferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan masing-masing uskup demi
koordinasi yang serasi, demikin pula dengan lembaga-lembaga serupa dalam lingkup yang lebih
luas.

Di tingkat daerah sub-koordinasi dari KOPTARI adalah MATRIDA, yang merupakan


singkatan dari Majelis Serikat Religius Daerah.

Struktur pimpinan KOPTARI dan MATRIDA terdiri dari Ketua, Waki Ketua, Sekretaris
dan Bendahara.

Sidang pleno yang diadakan untuk sekaligus memilih badan pimpinan baru, diadakan
setiap tahun sekali. Sidang rutin untuk tingkat KOPTARI diadakan setiap tahun, sedangkan
untuk tingkat MATRIDA diadakan setiap tiga bulan.
Untuk kelangsungan hidupnya dan untuk menunjang kegiatan-kegiatan rutinya, baik di
tingkat MATRIDA maupun di tingkat KOPTARI disepakati untuk dikumpulkan iuran dari setiap
rumah/komunitas (untuk MATRIDA) dan dari setiap tarekat anggota (untuk tingkat KOPTARI).

Anda mungkin juga menyukai