Sejarah Gereja Bab Ii
Sejarah Gereja Bab Ii
Di sini ditampilkan beberapa kutipan dari ensiklik itu. Dalam Kata Pendahuluan, Paus
menggambarkan bagaiman tugas misi dari abad ke abad dilaksanakan oleh gereja. Dua bab
berikutnya menyajikan “berbagai pedoman pelaksanaan bagi mereka yang memimpin misi” dan
“berbagai pedoman pelaksanaan bagi para misionaris”
Berdasarkan kutipan-kutipan itu, tampak jelas bagaimana gereja yang resmi menyatakan
posisinya dalam perdebatan sekitar misi dan kolonisasi. Sering sekali para misionaris
menampilkan sikap-sikap menurut visi itu.
Terlepas dari beberapa istilah seperti “rohaniwan pribumi”, yang harus menerima
pembinaan juga seperti imam-imam dari “negeri-negeri yang beradab”, teks-teks itu harus dapat
dipahami sebagai naskah-naskah Konsili Vatikan II. Tetapi, sudah pada tahun 1919 visi
supanasional itu ditetapkan! Dapat dianggap bahwa teks-teks itu diketahui oleh semua misonaris,
yang diutus sesudah tahun 1919. Pendek kata: dalam perdebatan apakah misi katholik itu produk
colonial, secara tepat siapa saja boleh kembali pda pendirian asasi kewibawaan yang tertinggi.
Berkaitan dengan itulah masalah pendirian misi katolik berkenaan dengan munculnya
nasionalisme di Nusantara”. Masalah itu diuraikan dalam bagian berikut.
Unsur-unsur tingkat nasional yang meletakan basis Indonesia sebelum perang itu meliputi:
Unsur-unsur itu, yang masih akan diuraikan, perlu diletakan pada latar belakang visi
supranasional misi Katolik.
Pendirian beberapa perintis Katolik sehubungan dengan munculnya nasionalisme
sebelum perang diuraikan secara panjang lebar dalam dua karya tulis Belanda, yakni : studi
Dr.M.Muskens dan Dr.J.Bank. Juga di pihak Indonesia periode itu mendapat banyak perhatian.
Akan berlebihan kalau persoalan itu diuraikan di sini secara mendalam. Karena itu, hanya akan
disajikan beberapa kutipan, yang secara khusus menampilkan peranan pastor F.Van Lith,SJ
(1863-1926) sebagai perintis ulung. Yesuit itu, yang pada tahun 1896-1926 berkarya di Jawa
Tengah dengan bertolak dari Muntilan, adalah seorang yang sungguh mengenal orang dan
kebudayaan Jawa. Karena keahliannya; kepadanya ditawarkan tempat dalam komisi untuk
merevisi tata susunan Negara Hindia Belanda Timur, yang ditetapkan pada tahun 1918. Di situ ia
menempatkan diri pada posisi yang kuat meawan usulan : supaya kepada orang-orang Belanda
yang tinggal di Hindia diberikan mayoritas kursi dalam Dewan Rakyat (Volksraad). Tulisnya : ia
hendak membuka masa depan bagi
gerejanya dalam jajahan Belanda itu :
“Setiap orang sekarang tahu, kami,
para misionaris, ingin bertindak sebagai
penengah; tetapi setiap orang tahu juga,
bahwa seandainya terjadi suatu perpecahan,
meskipun hal itu tidak kami harapkan,
sedangkan kami terpaksa memilih, kami
akan berdiri di pihak golongan Pribumi”.
Pasti akan jelas bahwa banyak
orang Katolik Eropa di pulau Jawa tidak
senang menghadapi posisi itu.
Masih tegas lagi pernyataannya:
“Lewatlah sudah masa penjajahan
bangsa kulit putih. Seorang Bule tidak akan
dapat bertahan berhadapan dengan 100 ribu
orang Asia untuk selama-lamanya.
Janganlah bermain api dengan hati sombong menjajah orang Jawa, melulu karena dia itu orang
Jawa. Akuilah hak-hak bangsa pribumi, agar lambat laun hak-hakmu sendiri juga diakui.
Tinggalkanlah hak-hak khayalanmu, lepaskanlah hak-hak istimewamu yang dibenci. Di dalam
Gereja Kristus tidak ada orang Yahudi, tidak ada orang Romawi, tidak ada orang Yunani. Jadi
juga tidak ada Belanda, tidak ada Jawa. Apa yang sejak semula di dalam Gereja merupakan
undang-undang, sekarang di luar Gereja pun dijadikan peraturan pula: Belanda (totok), Indo, dan
Jawa, mulai saat ini akan hidup rukun sebagai saudara di dalam satu rumah; jika tidak, tidak
lama lagi mereka tidak akan hidup bersama-sama”.
Agaknya tidak semua misionaris di luar pulau Jawa mendengarkan bahasa eksplisit pastor
Van Lith. Pasti elite nasional Indonesia untuk masa mendatang telah mendengarkannya. Demi
pembinaan mereka, pastor Van Lith, yang pada tahun 1906 telah membuka sekolah guru di
Muntilan memberi sumbangan yang besar bukan hanya di bidang pendidikan, tetapi juga di
bidang politik dan gerejawi. Dua diantara siswanya yang kemudian bernama Mgr.Albertus
Soegijapranata,SJ, uskup pertama di Semarang dan Ignasius Kasimo tokoh Katolik ulung di
Indonesia telah menangkap seruannya yang terakhir (dalam suatu brosur pada tahun 1922, yang
dialamatkan kepada rakyat pribumi) sebagai cita-cita hidup pribadi mereka:
“Jika persetujuan kalian menguatkan suara saya yang lemah ini, maka saya yakin, bahwa
suara saya itu akan serentak membangkitkan seluruh Nederland dan menghantarkan apa yang
dinanti-nantikan jiwa hati kalian: bahwa tanah Jawa akan berkembang menjadi Hindia, ya
menjadi seluruh Nusantara, akan menikmati kembali masa kejayaannya dan akhirnya akan
timbul, untuk menduduki tempat terhormat di kalangan bangsa-bangsa”.
Ignasius Kasimo menjadi tokoh
pemimpin Katolik nasional yang ulung.
Tergabung dalam Persatuan Politik Katolik
Indonesia, ia memperjuangkan perwujudan
kemerdekaan. Ia adalah salah seorang di
antara 6 penandatangan Petisi Soetardjo yang
terkenal. Tokoh itu meminta pada tanggal 15
Juli 1936 di Dewan rakyat agar
diselenggarakan Konferensi para wakil
Belanda dan Hindia Belanda, untuk
menyusun rencana berdasarkan kesetaraan
martabat, supaya secepat mungkin
kemandirian Hindia Belanda diwujudkan.
Maka Ir.Soekarno bersama dengan M.Hatta, bapak Proklamator tahun 1945, pada tahun
1930-an juga sudah mengetahui apa yang dapat diharapkan dalam hal itu dari kelompok kecil
sesama bangsanya yang beragama Katolik. Pada tahun 1930 ternyata Soekarno dapat
membedakan antara orang-orang Indonesia Katolik dan orang-orang Belanda Katolik, ketika
dalam tahanannya membaca brosur Van Lith tahun 1922.
Juga persahabatan pribadi Soekarno dengan pastor-pastor Belanda ketika dikucilkan di
Ende pulau Flores (1935-1938), sudah membuka matanya bagi praktek katolisisme dan makna
social serta edukatif gereja Katolik bagi penduduk di sana. Itu dialaminya juga di Bengkulu,
tempat ia selama tahun-tahun akhir pembuangannya menjalin kontak-kontak yang baik dengan
pastor setempat. Ia bahkan sempat berkenalan dengan Fatmawati, siswi sekolah
kerumahtanggaan para suster, perempuan yang kelak menjadi isterinya!
Dengan kata lain,menjelang perang dunia II sudah ada basis Indonesia yang jelas,yang
menjadi landasan pembangunan selanjutnya.Basis itu masih dikukuhkan dengan kenyataan
berikut:
Pada bulan Mei 1940 Mgr.P.J.Willekens,SJ di Batavia mengadakan perundingan terakhir
di Roma: supaya daerah Jawa Tengah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Semarang,dan pada
tanggal 1 Agustus Mgr.Albrtus Soegijapranata,SJ diangkat menjadi Uskup asli Indonsia yang
pertama.Seorang pribadi Jawa memimpin gereja di Jawa Tengah beserta 41.152 umat Eropa!
Ketika Perang Dunia II di Eropa sudah mengamuk dengan dahsyat,dan ikatan-ikatan dengan
Hindia kenyataanya sudah terputus,berkat penyelenggaraan ilahi seorang putra Indonesia
memimpin keuskupan, padahal di situ keputusan-keputusan politik yang penting sekali tetang
masa depan Indonesia akan diambil tahun-tahun berikutnya. Dalam situsi itu,
Mgr.Soegijapranata tidak akan menonton saja dari luar secara netral, tetapi secara aktif
melibatkan diri demi kemerdekaan dan demi kepentingan-kepentingan seluruh gereja di
Indonesia. Seperti diungkapkannya, ia “100 % Katolik dan 100 % warga negara Indonesia”.
Sebagai ilustrasi, kenyataan bahwa Mgr.Soegijapranata di pandang di Indonesia sebagai
tokoh nasional dapat dilihat dari kejadian berikut ini: Ketika pada tanggal 22 Juli 1963 beliau
tiba-tiba meninggal di Belanda-dalam perjalanan ke Konsili Vatikan II di Roma – Presiden
Soekarno memaklumkan beliau sebagai pahlawan nasional. Jenasah beliau diterbangkan ke
Indonesia untuk pemakaman resmi kenegaraan.
Dalam museum di Monument Nasional (Jakarta), dipaparkan sejarah nasional berupa
diorama-diorama. Dalam diorama nomor 36, agama Roma
Katolik ditampilkan sebagai salah satu factor pemersatu
Indonesia : “Melalui misi-misinya Gereja Roma Katolik
telah menghimpun kaum muda dari pelbagai suku dan
daerah dalam naungan agamanya. Begitulah terbentuk
masyarakat Roma Katolik, dan di situpun entusiasme
nasionalisme Indonesia ditaburkan. Selanjutnya, diorama
itu menggambarkan perayaan natal di Semarang, ketika
Mgr.Soegijapranata menerima tamu-tamu dari semua
golongan masyarakat.
Pada tanggal 10 November 1983, yang bertepatan
dengan hari pahlawan, isteri Presiden menyerahkan
kepada Gubernur Jawa Tengah suatu piagam untuk
mengenangkan Mgr.Soegijapranata sebagai pahlawan
nasional.
Khususnya tokoh-tokoh nasional itulah yang mengimbangi wajah Belanda Gereja
Katolik, dan sekaligus melengkapinya dengan wajah nasional serta prestise Indonesia.
Landasan Indonesia sebelum perang masih menampakkan suatu faktor yang penting.
Itulah mulainya proses pembinaan kader gerejawi pribumi. Surat Apostolik Maksimum Illud
tahun 1919 telah mendorongnya, tetapi realisasinya terbentur pada masalah-masalah yang cukup
rumit. Masalah yang utama ialah kekurangan kader kepemimpinan untuk mendirikan seminari-
seminari. Semula dipilih pemecahan yang paling mudah. Calon-calon yang dianggap cocok
langsung diutus ke Belanda misalnya: Mgr.Segijapranata pada tahun 1919 diutus ke Kolese Salib
Suci di Uden, untuk menjalani tahun terakhir Sekolah Menengah. Pada tahun 1920 beliau masuk
Novisiat Yesuit di Grave. Sesudah pendidikan filsafat ia dikirim pulang ke Hindia untuk
berkarya sebagai frater selama beberapa tahun di Muntilan. Pada tahun 1928 ia memulai studi
teologinya di Maastricht. Di sana ia ditahbiskan pada tahun 1931, sesudah itu masih setahun
“tertiat” di Belgia dan pada tahun 1933 pulang ke Hindia. Juga calon-calon dari daerah-daerah
lain sebelum diutus ke rumah-rumah studi ordo atau kongregasi di Belanda.
Pada tahun 1913 dimulailah pendidikan calon imam di Seminari Menengah di Muntilan.
(Siswa-siswa Seminari Menengah sukar diutus ke Belanda!). Di antara 6 siswa pertama yang
mulai studi di sana, akhirnya ditahbiskan 3 imam Yesuit, yakni Romo F.X. Satiman pada tahun
1926 serta Romo A.Djajasepoetra dan Romo A.Prawirapratama pada tahun 1928. Pertambahan
jumlah calon menunjukkan bahwa Seminari Tinggi harus dimulai sendiri di Indonesia. Pada
tahun 1922 para Yesuit membuka Novisiat di Yogyakarta. Pada tahun 1936 dibuka Seminari
Tinggi di Muntilan untuk para imam
Diosesan, yang kemudian
dipindahkan di Metroyudan.
Di Sikka pulau Flores
dimulai pendidikan Seminari
Menengah pada tahun 1926. Pada
tahun 1933 SVD membuka
pembinaan novisiat sendiri, dan
pada tahun 1937 secara resmi
dimulai Seminari Tinggi di
Ledalero. 2 calon Flores pertama
ditahbiskan imam di sana pada tahun
1941. Menurut seminarist di
Seminari Menengah dan Seminari
Tinggi pada tahun 1940 ternyata
bahwa ketika itu sudah ada 254
siswa Seminari Menengah dan 80
mahasiswa Seminari Tinggi, semua
berasal dari nusantara. Semua calon
imam Indonesia itu merupakan modal awal pertumbuhan menuju Gereja Indonesia yang mandiri.
Satu lagi unsur yang bermakna nasional sebelum perang perlu disebutkan di sini :
meningkatnya kerja sama antara berbagai wilayah gerejawi. Sesudah “Nadere Regeling” pada
tahun 1913 mengakui berbagai vikaris apostolik dan prefek apostolik sebagai pemimpin
wilayah gerejawi mereka, para wali gereja itu merasa perlu mengadakan musyawarah bersama.
Itu diilhami oleh keinginan untuk dapat merumuskan satu pendirian bersama menghadapi
Pemerintah perihal “kebebasan berkotbah” dan posisi pendidikan swasta Katolik.
Jarak yang jauh dan transportasi yang serba kurang, berbagai kesibukan intern dan
pokok-pokok kepedulian setempat, semua itu semula memperlambat pertemuan. Pada
kesempatan tahbisan uskup Van Velsen, para vikaris dan perfect apostolik di Kalimantan,
kepulauan Sunda Kecil, Maluku sampai Sulawesi, dan New Guinea diundang ke Batavia. Di
sana pada tanggal 15 Mei 1924 diangsungkan “Sidang Episkopat Hindia Belanda untuk pertama
kalinya. Salah satu keputusan pertama ialah pengangkatan utusan misi di Batavia yang harus
mengelola komunikasi dengan instansi-instansi Pemerintah khususnya dengan Departemen
Pendidikan dan Peribadatan. Selain itu, dibicarakan subsidi para guru, pendidikan imam,
masalah artikel 1,2,3 yang melarang pengizinan misi di wilayah-wilayah tertentu, penerbitan
Surat Kabar Katolik dalam bahasa melayu, dan tentang satu katekismus untuk seluruh Hindia
Belanda. Juga pihak Roma mendororng supaya berbagai wali Gereja harus meningkatkan kerja
sama. Oleh kerena itu, sudah sejak tahun 1925 diselenggarakan siding kedua semua waligereja
yang dipimpin oleh utusan khusus Paus. Tema-tema dari tahun sebelumnya sekali lagi
dibicarakan, tetapi sekaigus pokok-pokok aktual saat ini akn dikelompokan ke dalam masalah
inkulturasi, seperti penyesuaian pendidikan imam, penyesuaian hidup religious, penyesaian
liturgi dan kesenian gerejawi. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda telah memaklumkan
harapannya utusan misi sebagai wakil Gereja Katolik dapat bertindak seperti konsul “zending”
mewakili gereja-gereja Protestan. Oleh karena itu, para waligereja memutuskan untuk
mendirikan Biro Misi Pusat. Baru pada tahun 1931 biro itu tersedia. Dengan biro pusat
“nasional” itu, diletakan dasar bagi pelayanan yang terus-menerus kepada semua wilayah misi
yang beragam. Sebab para Waligereja sendiri tidak dapat bersidang untuk mengatur segalanya
setiap tahun. Pada tahun 1925 dicapai kesepakatan bahwa sidang selanjutnya akan diadakan
sekali dalam lima tahun. Sebelum perang, sidang itu terjadi pada tahun 1929, 1934, dan 1939.
Peristiwa yang menarik perhatian bahwa pada tahun 1924 dan 1925 diputuskan untuk
menyampaikan surat kepada semua pimpinan ordo dan kongregasi, yang menggaribawahi bahwa
gereja Katolik di Hindia terutama harus bersifat misionaris: diarahkan kepada rakyat pribumi.
Tentu saja perlu diperhatikan juga umat Katolik Eropa di Nusantara, tetapi kepentingan-
kepentingan misioner harus diprioritaskan.
“Bagi banyak orang Indonesia baik yang Katolik maupun non-Katolik, pasti
dalam tahun-tahun itu sudah menjadi jelas bahwa menjadi Katolik dan menjadi orang
Barat tidak bertepatan. Bukan hanya Uskup mereka di Semarang dan imam-imam, para
bruder dan suster-suster mereka sendiri tetap bekerja dan mewartakan iman, seperti telah
mereka jalankan selalu; tetapi imam-imam dan uskup-uskup Jepang pun ternyata toh
bekerja persis seperti imam-imam dan uskup-uskup Indonesia.”
Mengenai kehadiran 2 Jepang dan sejumlah imam, yang dari tahun 1943-1945 datang ke
Pulau Flores untuk membantu pelayanan misi di sana.
Di Jawa Tengah, posisi Mgr. A.Soegijapranata yang bersikap tidak mau bekerja sama
dengan penjajahan Jepang sangat berarti. Pihk Jepang mencoba menarik perhatian Uskup dengan
mengundangnya untuk menghadiri berbagai upacara penting, namun menolak untuk hadir dan
hanya mengirim karangan bunga agar tidak dianggap menentang Jepang. Demikian juga ketika
Jepang meminta agar Kathedral Semarang untuk dijadikan sebagai kantor administrasi
pemerintahan pendudukan, Uskup menolak dengan tegas: “Ini tempat yang kudus beserta alat
perlengkapan yang dikuduskan. Saya tidak akan dapat mengizinkan. Anda dapat memenggal
kepala saya dulu, baru sesudah itu Anda dapat memakai tempat itu”.
Pedudukan Jepang memang menimbulkan banyak kesulitan bagi karya misi Gereja
Katolik. Ada 74 imam, 47 bruder, dan 161 suster yang meninggal di tempat-tempat tahanan
(interniran). Tidak sedikit gereja dan sekolah yang ditutup dan dihancurkan. Namun, Gereja
Katolik masih tetap bertahan. .
Bagi umat beriman Katolik, penerimaan Pancasila berarti pemberian prinsipiil hak-hak
yang sama. Kebebasan sejati beragama diterima. Itu merupakan suatu anugerah, yang selama
350 tahun kekuasaan kolonial hanyalah semacam mimpi yang sulit terwujudkan. Untuk rakyat di
Jawa, mereka segera bergabung dengan Republik yang baru dibentuk itu. Tetapi bagi masyarakat
luar Jawa, akibat sulitnya komunikasi membuat mereka baru bisa bergabung kemudian. Pada
tanggal 29 Agustus 1945, Ignasius Kasimo seorang tokoh Katolik, terpilih menjadi salah satu
anggota Komite Nasional Pusat yang bertugas menyusun garis-garis besar strategi nasional.
Belanda baru mengakui Republik yang baru itu empat tahun kmudian.
Sesudah kekalahan tentara Jepang di wilayah Asia Tenggara pada tanggal 12 September
1945, mendaratlah pasukan Sekutu dan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang
pertama di Jawa pada tanggal 29 September 1945. Tugasnya adalah untuk mengangkut tentara
Jepang keluar dan membantu membebaskan para tahanan Belanda. Di kamp-kamp tahanan
terdapat sekitar 150.000 orang
Belanda, yang kebanyakan dari
mereka adalah misionaris. Panglima
meminta pemimpin Republik
membantu dalam menjalankan tugas
tersebut. Di sini terlihat adanya
pengakuan dari pihak Inggris terhadap
eksistensi Republik. Letnan Gubernur
Jenderal Hundia Belanda, van Mook,
datang ke Batavia pada tanggal 2
Oktober 1945. Namun, tentara
Belanda tidak diizinkan Inggris untuk
memasuki Pulau Jawa. Oleh karena
itu, tentara Belanda harus mendarat di
Malaka dan tinggal di sana sampai
bulan Maret 1946.
Van Mook melakukan perundingan dengan pihak Republik untuk mencoba memulihkan
kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk itu, diajukan rencana pembentukkan Republik
Indonesia Serikat yang ikut dalam Federasi Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Usulan tersebut
ditolak pihak Republik karena menghendaki Indonesia yang merdeka dari Sabang sampai
Merauke. Partai katolik Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 8 Desember sebagai
kelanjutan dari Partai Politik Katolik Indonesia (PPKI), menjadikan “membela Republik dan
memantapkan eksistensinya” adalah program kerja pertamanya.
Untuk sementara waktu, Van Mook berhasil menempatkan kawasan-kawasan luas
Indonesia di luar Jawa di bawah pemerintah Belanda. Pada tanggal 16 Juli berlangsung
Konferensi di Malino (Sulawesi Selatan), diikuti oleh berbagai utusan dari Kalimantan, Timor
Raya, Bangka-Belitung, dan Kepuluan Riau. Waktu itu, gagasan federal mencapai kerangka
yang kuat dan awal organisasi yang jelas. Pada tanggal 15 November disetujui Perjanjian
Linggarjati antara Belanda dengan Republik. Belanda mengakui bahwa Republik de facto
menjalankan kekuasaan atas Jawa, Madura,
dan Sumatera. Sementara itu Republik sepakat
untuk bekerja sama agar sesegera mungkin
mendirikan Negara Indonesia Serikat di dalam
Uni Indonesia-Belanda. Namun, perjanjian
tersebut menjadi tidak jelas karena
pertentangan-pertentangan politik partai di
Belanda. Perundingan-perundingan baru
menyusul pada tahun 1947. Khususnya tokoh-
tokoh “Katholieke Volks Partij” (KVP: Partai
Rakyat Katolik), yang menjurus ke arah
konfrontasi dalam bentuk tindakan-tindakan
politik. dalam hal itu tokoh-tokoh politik
Katolik Belanda langsung berlawanan dengan
tokoh-tokoh politik Indonesia. Gambaran
mengnai situasi politik itu memang diperlukan agar dapat memahami situasi misi Katolik di
berbagai daerah di Indonesia.
Di tinjau dari sudut nasional, terdapat dua lingkup kekuasaan yang berbeda. Di Pulau
Jawa dan Sumatera, rakyat hidup dalam lingkup pengaruh kekuasaan Republik, sedangkan di
luarnya dalam lingkup pengaruh berbagai Negara-negara bagian, yang kenyataannya berada di
bawah kekuasaan Belanda. Untuk penyerahan kedaulatan, direncanakan 17 negara bagian akan
mewujudkan Negara Indonesia Serikat.
Pada kebanyakan daerah di luar Pulau Jawa, keadaan Umat Katolik pada periode 1945-
1949, umumya berada dalam situasi yang tenang karena di sana tidak ada perjuangan kebebasan.
Perjuangan tersebut terutama berlangsung di Jawa Tengah, sebab Republik mempunyai markas
utamanya di Yogyakarta. Para pejuang Republik di Sumatera Utara menduduki daerah-daerah
tertentu. Oleh karena itu, komandan-komandan militer melarang para misionaris Belanda untuk
kembali bekerja di paroki-paroki di wilayah Batak sebab keamanan mereka tidak dapat dijamin.
Akibatnya, paroki-paroki yang ada di pedalaman tidak dilayani sampai sekitar tahun 1950.
Namun, agak berbeda dengan Situasi di vikariat Semarang. Seperti yang sudah
dikemukakan terdahulu, bahwa di wilayah Semarang berlangsung tindakan-tindakan
pengamanan pada tahun 1947, 1948, dan 1949. Di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada
umumnya diadakan perang gerilya melawan tentara Belanda. Juga Gereja Katolik terpaksa
mengalami kesulitan di berbagai tempat. Semarang dikuasai oleh tentara Belanda, daerah-daerah
lain berada di bawah pemerintahan Indonsia. Guna menunjukkan posisi Gereja Katolik, Uskup
Semarang, Mgr. A. Soegijapranata mengungsi ke Jogya sejak bulan Februari 1947 dan tinggal di
sana sampai bulan Agustus 1949. Di Yogyakarta Uskup memelihara hubungan baik dengan
tokoh-tokoh revolusi. Ketika Soekarno, pemimpin Republik, pada masa tindakan pengamanan
kedua ditahan oleh tentara Belanda, dan dalam bulan Desember 1948 disekap di Parapat
(Sumatera Utara), Mgr. Soegijapranata secara pribadi melindungi keluarga Presiden.
Ketika Uskup Semarang menunjukkan dengan jelas posisinya, Uskup Jakarta, Mgr. P.J.
Willekens, juga menunjukkan hal yang sama. Tentang sikap dan posisi Gereja Katolik pada
masa-masa awal kemerdekaan itu, D.Van der Meulen menulis: “Mgr. Willekens tidak
menampakan diri dikementerian (Kementerian Pendidikan dan Peribadatan yang dipimpin oleh
Van der Meulen 1946) ), bahkan pada hari di mana Ratu Belanda hendak menyerahkan lencana
kehormatan, beliau tidak bersedia menerimanya (…). Akhirnya paada tanggal 26 September
1946, beliau berkunjung ke kantor kerja saya di kementerian dan bertemu dengan saya. Dengan
perlahan-perlahan dan berhati-hati beliau menjlaskan kepada saya tentang lencana kehormatan
itu, yang toh diterimanya, meskipun beliau dengan tegas sekali menolaknya. Ketika itu beliau
juga tidak mengubah pendiriannya; ia tidak akan menciptakan komplikasi sedikitpun dalam
sikap kaum rohaniwan Katolik sekarang ini dan selanjutnya terhadap ‘Republik’. Jadi, jelas itu
visi berbeda dengan visi para politisi Katolik di tanah air. Pendirian Uskup itu menunjukkan
pengertian tentang situasi dan memang itulah sikap pendirian Gereja semesta yang sungguh
tepat”.
Baik di Yogyakarta maupun di Jakarta para wakil resmi Gereja Katolik mengusahakan
hubungan-hubungan yang tepat. Justru hubungan pribadi dalam masyarakat Indonesia
menentukan makna yang definitif. Hal ini terlihat misalnya adanya hubungan yang baik antara
Jenderal Sudirman dengan para suster Belanda yang merawatnya di Rumah Sakit Panti Rapih
ketika beliau harus menjalani operasi, atau juga Soekarno dan Hatta yang melakukan
perundingan rahasia dengan Jenderal Sudirman di rumah sakit tersebut. Soekarno juga secara
pribadi membawa surat-surat para suster Belanda ke Jakarta untuk dikirim melalui pos di sana.
Hubungan baik tersebut di atas, tidak berarti bahwa selama revolusi mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan Republik tidak ada kerugian yang dialami oleh pihak umat dan
kepentingan-kepentingan Gereja Katolik. Imam Indonesia yang baru ditahbiskan, Rm. Sandjaja,
Pr dan Frater Belanda, H. Bouwens SJ, diculik oleh sekelompok kecil Muslim fanatik dan
dibunuh pada tanggal 20 Desember 1948, dan pada hari yang sama pusat misi Jawa di Muntilan
juga dibakar.
Kenyataan politik lain di tingkat internasional juga sangat relevan bagi posisi Gereja
Katolik di Indonesia dalam periode revolusi itu. Pada tanggal 1 Juni 1947 Vatikan menunjuk
delegatus apostolik untuk Indonesia sebagai wakil diplomatik Paus. Sampai saat itu Hindia
Belanda atau Indonesia termasuk kawasan gerejawi Australia: Australia, Kawasan Samudera
Pasifik Selatan, dan Hindia Belanda. Delegarus apostolik untuk kawasan tersebut berkedudukan
di kota Sydney, Australia. Penunjukkan dan pemindahan Mgr. De Jonghe d’Ardoye ke Jakarta
berarti de facto adanya pengakuan Vatikan terhadap Republik Indonesia.
Sementara itu, Biro Misi Pusat di Jakarta di dalam situasi yang kacau-balau itu, berusaha
memelihara kontak dengan semua wilayah gerejawi, dan sedapat mungkin menasehatkan
pendirian bersama. Menghadapi kemungkinan bahwa Negara-negara bagian akan mengambil
keputusan-keputusan yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Biro Misi Pusat
menyusun suatu “Program Minimal”. Di situ digariskan sejumlah hak dasar yang fundamental.
Yang diharapkan ialah: supaya Negara-negara bagian menghargai hak-hak dasar itu ketika
menyusun Undang-Undang Dasar yang baru: “Misi memandang penting sekali bahwa semua
pribadi yang bersangkutan atau berpengaruh besar pada usaha mewujudkan Undang-Undang
Dasar beroleh pengertian tentang harapan-harapan dan keinginan-keinginan yang konket
berkenaan dengan program minimal, yang harus diajukan ke muka”.
Ternyata, semua kecemasan dan seruan itu tidak diperlukan karena pada bulan Agustus
1950 semua negara bagian dibatalkan. Lagah-langkah konkret Biro Misis Pusat itu menjelaskan
betapa penting sekali satu pusat Gereja Katolik bagi semua bagian wilayah dan bagaimana biro
itu berusaha memajukan kesatuan.
Pada tahun-tahun 1950-an diadakan pelbagai upaya pada tingkat nasional dalam rangka
Indonesianisasi (proses atau tindakan, cara untuk menjadikan sesuatu sungguh bersifat
Indonesia) kepentingan-kepentingan ekonomis. Semua sektor penting dalam kehidupan ekonomi,
keuangan, sosial-budaya harus beralih ke tangan Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan dalam
Gereja Katolik. Pada tahun 1950-an diambil berbagai keputusan oleh Departemen Agama,
Pendidikan, Kehakiman, dan bagian imigrasi Departemen Dalam Negeri. Sejumlah di antaranya
juga menyangkut para misionaris, yang sebagai warga negara asing tetap berkarya di Indonesia.
Kenyataannya misi Katolik berada dalam posisi yang sukar dipertahankan. Pada tahun 1950,
ditinjau dari sudut kebangsaan, ada 90 % tenaga misi yang terdiri dari orang-orang Belanda.
Meskipun pemimpin Republik beritikad baik terhadap tenaga misi, beberapa kekuatan lain
bersikap berbeda. Titik sentralnya ialah: meskipun para misionaris Belanda loyal terhadap
Negara Indonesia, namun mereka belum warga Negara Indonesia dengan semua hak-haknya.
Status yuridis “orang asing” merupakan titik rawan yang mudah terluka.
Karena permasalahan yang kompleks sekitar kewarganegaraan, izin masuk, izin tinggal,
izin bekerja, dan lain-lain, telah memainkan peranan yang penting (juga bersifat emosional) di
kalangan gerejawi Katolik sampai sekarang ini, persoalan itu akan ditempatkan dalam konteks
historis sejak tahun-tahun 1950-an.
Suatu memorandung inter Kawali pada tahun 1959 menyatakan sebagai berikut: “Jelaslah
bahwa kebangsaan tenag-tenaga misi di Indonesia memainkan peranan yang penting sekali.
Antara tahun 1949 dan 1951 ditawarkan kepada orang asing cara yang cukup sederhana bila
hendak menjadi warga negara Indonesia. Berapa orang misionaris yang menggunakan
kesempatan itu, sudah tidak dapat ditelusuri lagi. Pada tahun 1959 Kawali memperkirakan
jumlah mereka sekitar seperempat di antara semua imam, bruder, dan suster (disebutkan 992
orang).
Menurut hukum, mereka yang tidak menjadi warga negara Indonesia sejak tahun 1950
termasuk bukan penduduk. Artinya, mereka harus memiliki izin tinggal dan izin menetap
dandalam kaitan dengan kerja, mereka harus memiliki izin kerja dari departemen yang
bersangkutan. Bagi tenag-tenaga gerejawi, izin tersebut harus diperoleh dari Departemen Agama.
Misionaris-misionaris baru yang hendak memasuki Indonesia selanjutnya harus meminta visum,
yang hanya diberikan jika ada rekomendasi dari Departemen Agama yang memiliki peranan
sentral.
Untuk memahami peranan Departemen Agama pada masa itu, kami mengutip prasaran
Mgr. Soegijapranata yang disajikan pada Sidang para Waligereja pada tanggal 2-5 Juni 1952:
“Kementerian Agama didirikan di Yogya sebagai kompromi pemerintah dengan partai
Masyumi, untuk melibatkannya dengan pemerintah. Itu kompromi antara tokoh-tokoh
pendukung Negara Islam dan lawan-lawannya. Maka lawan-lawan itu ketika mengadakan
kompromi jelas memaksudkan juga untuk mencegah Negara Islam bagi masa depan. Jadi,
kalau Kementerian Agama toh memperjuangkan Negara Islam, itu bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yang menyatakan diri negara demokrasi.
Negara Islam menjadi Negara teokrasi. Praktek ialah: Islam dengan cara yang mungkin
mana pun juga diuntungkan. Kebebratan-keberatan melawan Kementerian Agama ialah
berikut: 1. tidak ada kesetaraan hak-hak; 2. tidak pula kebebasan agama, sebab a) dalam
organisasi segala kekuatan hanya diserahkan kepada Islam; b) dalam menjalankan
tugasnya Kementerian itu mengakukan pada dirinya seluruh lapangan agama, seperti
pendidikan guru-guru agama, pengajaran agama”.
Mudah dimengerti para Waligereja menjadi prihatin tentang urusan itu, apalagi karena
Sekretaris Jenderal Departemen Agama pada bulan September 1953 menyatakan bahwa tidak
ada lagi misionaris asing yang akan diizinkan masuk. Juga di kalangan gerejawi Belanda,
padahal banyak misionaris yang sudah bertahun-tahun menunggu visa, masih berkembang
ketidaktenangan. Para pejabat tinggi di Indonesia diberiahu mengenai keresahan itu: menyusul
pernyataan-pernyataan resmi, tetapi tidak menghilangkan keresahan itu. Para Waligereja Pulau
Jawa, yang bersidang di Lawang pada tanggal 26-30 April 1954, membicarakan hal itu dan
mempertimbangkan untuk menempuh langkah-langkah yang tidak formal. Mereka menyesalkan
surat Kongregasi Propaganda Fide yang baru saja diterbitkan kepada para pemimpin umum ordo
dan kongregasi, yang meninmbulkan kondisi tidak tenang di Belanda. Surat itu menyampikan
pertimbangan supayasedapat mungkin mengutus misonari yang tidak berkebangsaan Belanda ke
Indonesia. Berita sekitar surat tersebut telah melemahkan semangat sejumlah kongregasi bruder
dan suster untuk mengutus tenaga-tenaga baru. Juga para provinsial tarekat imam di Belanda,
yang telah dipengaruhi olehnya, sesudah mengadakan musyawarah bersama telah mengambil
“keputusan-keputusan yang tidak menguntungkan sehubungan dengan pengutusan misionaris ke
Indonesia”. Oleh karena itu, para Waligereja memutuskan: mengirim surat-surat kepada semua
saja yang bersangkutan; di situ dicantumkan bahwa nasehat Kongregasi Propaganda Fide
memang dapat dipahami, tetapi tidaklah mungkin perubahan haluan yang secepat itu, selain itu
juga merugikan misi. Demikianlah pandangan Waligereja Pulau Jawa.
Namun, bukan hanya atas dorongan Roma sehingga berlangsung internasionalisasi pada
tahun 1950-an. Para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) sendiri juga sudah mengutus
misionaris berkebangsaan non-Belanda memasuki Indonesia sejak sebelum perang revolusi. Pada
tahun 1950 kongregasi itu mengambil keputusan yang prinsipiil, bahwa kelompok mereka perlu
“di-internasionalisasi-kan” di Indonesia; dalam Kapitel Umum tahun 1947 usaha itu sungguh
dianjurkan. Pada tahun 1950-an, dilatarbelakangi seluruh masalah diperbolehkannya para
misionaris Belanda memasuki Indonesia, ketegangan sekitar status Papua memainkan peranan.
Bagian wilayah itu pada tahun 1949 dibiarkan tetap berada di luar “penyerahan kedaulatan”
kepada Indonesia. Menurut persetujuan Konferensi Meja Bundar, status wilayah itu akan
ditetapkan melalui perundingan dalam waktu satu tahun sesudahnya. Tetapi, Belanda menolak
untuk melaksanakannya secara serius. Masalah itu diajukan oleh Indonesia pada tahun 1954 pada
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Usaha itu tidak berhasil pada kesempatan itu, begitu
pula pada tahun 1957, ketika suatu resolusi tentang persoalan Papua tidak berhasil. Sebagai
reaksi terhadap perkara itu, pada tanggal 6 Desember 1957 pemerintah Indonesia memerintahkan
kepada orang Belanda yang jumlahnya 50.000 orang supaya meninggalkan Indonesia. Tiga hari
setelah itu, menyusullah dekrit bahwa perusahaan Belanda yang berjumlah 500 buah diawasi
oleh Indonesia. Pada tanggal 31 Desember produk perusahaan Belanda dilarang ekspor ke negeri
Belanda. Pada tahun 1958 berlangsunglah nasionalisasi semua perusahaan Belanda. Mulailah
proses Indonesianisasi dalam arti yang sempit.
Kendati ada ketetapan-ketetapan itu, para misionaris Belanda masih tetap berkarya seperti
biasa, tetapi tidak diuruskan lagi visa. Biro Misi Pusat menganjurkan kepada ordo dan
kongregasi supaya membiarkan anggota non-Belanda untuk mengajukan permohonan visa.
Kenyataannya prose situ sudah mulai: pada tahun 1958 sudah ada permintaan visa untuk 35
misionaris non-Belanda. Untuk tahun-tahun sesudah itu, diharapkan ada lebih banyak
permohonan, sebab berbagai ordo/kongregasi sedang menjalin “pertukaran internasional”.
Misalnya: para Kapusin Belanda mengadakan persetujuan timbal-balik dengan para Kapusin
Swiss. Misonaris Belanda yang baru, yang tida dapat memasuki Indonesia, diutus ke misi Swiss
di Tanzania, imam-imam Swiss mengutus tenaga-tenaga mereka yang baru ke Indonesia. Banyak
ordo/kongregasi internasional mengadakan berbagai persetujuan dalam tahun-tahun itu. Jadi,
kiranya misi dapat berlangsung terus , dilayani oleh tenaga-tenaga baru yang non-Belanda.
Pada tahun 1958 diberlakukan juga undang-undang baru mengenai naturalisasi orang-
orang luar negeri (yakni no. 62 Agustus 1958). Berdasarkan undang-undang tersebut, banyak
imam dan religius mengajukan pemohonan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia. Mereka
memang hendak terus bekerja, dan dengan tidak menghadapi risiko, jangan-jangan peraturan-
peraturan baru itu akan memaksa para misionaris “luar negeri” meninggalkan Indonesia.
Memorandum pada tahun 1959 mnyebutkan angka-angka misionaris lur negeri: 81 % imam (504
orang), 79 % bruder (218 orang), dan 71 % suster (693 orang) telah mengajukan permohonan.
Seluruhnya ada 1.415 orang tersebar ke seluruh pelosok tanah air. Jumlah yang lumayan besar.
Namun, ada satu pertanyaan besar: berapa banyak di antara permohonan-permohonan itu yang
akan dikabulkan, dan kapan? Berdasarkan informasi pada tahun 1961, dapat digambarkan bahwa
85 misionaris dalam bulan September tahun itu akan dapat menerima kewarganegaraan
Indonesia: yakni 6 % dari kelompok yang mengajukan permohonan pada tahun 1959.
Ketika ketegangan dengan Belanda mengenai masalah Papua makin meningkat pada tahun
1958, Mgr. Soegijapranata mengadakan wawancara dengan agen pers Amerika. Beliau
menyesalkan bahwa Partai Rakyat Katolik (Katholieke Volks Partij/KVP) di Belanda sebagian
besar bertanggung jawab atas buruknya hubungan antara Indonesia dan Belanda:
“Saya hendak menyampaikan kepada Belanda: Belalah hak-hak Anda, tetapi jangan lupa
mengasihi sesama! Bagi banyak orang Indonesia, sikap KVP tidak dapat dimengerti karena
mereka tidak melihat perbedaan antara Partai Katolik dan Gereja Katolik. Suatu permulaan
baru, berdasarkan keadilan dan cinta kasih, akan menciptakan itikad baik yang memadai
untuk membangun kerja sama yang baru, di bidang politik maupun ekonomi. Konflik
tentang New Guinea juga pasti akan diatasi. Kesukaran-kesukaran politik antara Indonesia
dan Belanda dapat merugikan Gereja menyangkut izin masuk bagi para misionaris. Bagi
para misionaris, yang sudah lebih lama tinggal di Indonesia, tidak usah diharapkan akan
muncul kesukaran-kesukaran, karena mereka tidak menikmati simpati pemerintah kolonial
di masa lampau. Tetapi, pejabat-pejabat Indonesia merasa takut, jangan-jangan para
misionaris muah dijangkiti dengan permusuhan, yang di Belanda sekarang merajalela
terhadap Indonesia (..).
Uskup Indonesia itu menyampaikan seruan keras kepada para politikus di Belanda: “Saya
hendak mengajukan satu pertanyaan saja kepada KVP di Belanda: Ketika dahulu berlangsung
perundingan tentang kedaulatan, Anda telah menanyakan, bagaimanakah itu akan mempengaruhi
posisi Gereja di Indonesia. Mengapa sekarang anda tidak menanyakan, manakah akibat-akibat
dari politik Anda sekarang yang akan mempengaruhi Gereja di Indonesia?”
Seperti diharapkan, Prof. Mr. Romme memberikan jawaban berupa permenungan di harian
De Volkskrant, tanggal 5 Juli 1958: “akan mengikis habis salah paham di Indonesia!”Pendirian
itu menyarankan bahwa politik Belanda jelas mengetahui apa yang baik bagi Indonesia dan
Gereja Katolik Indonesia! Sepuluh tahun sebelum itu pun sudah ada gagasan itu pada tahap
dekolonisasi antara 1945-1950. Penilaian J.Bank pada akhir karya tulisnya tentang periode itu
cukup jelas: “Bahwa khususnya orang-orang Katolik Belanda melibatkan diri dalam
pertentangan politik melawan kedaulatan Indonesia sepenuhnya, bahwa emansipasi Katolik di
Belanda segera dapat merintangi emansipasi Indonesia, itu semua telah dibuktikan melalui studi
ini.” Penilaian itu juga kiranya dapat dijatuhkan pada tahap terakhir dekolonisasi di Indonesia
skitar masalah Papua. Para politikus Belanda itu juga tetap belum mengerti apa yang sebenarnya
sedang terjadi di Indonesia.
Indonesia tidak begitu mempedulikan pendirian-pendirian (Katolik) Belanda, tetapi
menempuh arahnya sendiri. Para misionaris mengalami masalah. “Proses nasionalisasi”
berlangsung biasa saja. Pada tanggal 1 Agustus 1959 tenaga-tenaga pengajar luar negeri dilarang
supaya jangan lagi mengajar di sekolah-sekolah Indonesia. Secara khusus hal itu berlaku bagi
sekolah-sekolah misi: banyak bruder dan suster Belanda tidak boleh mengajar. Peraturan itu
merupakan konsekuensi peraturan setahun sebelumnya. Dulu ada pengumuman: sekolah-sekolah
yang bahasanya dari luar negeri, atau tenaga-tenaganya sebagian besar terdiri dari orang-orang
luar negeri, tidak akan menerima subsidi lagi. Jadwal pelajaran dan buku-buku pegangan
memerlukan persetujuan pemerintah. dapat dianggap bahwa peraturan itu langsung dimaksudkan
untuk melawan sekolah-sekolah Cina di daerah-daerah tertentu di Indonesia, tetapi secara tidak
langsung merupakan ancaman terhadap sekolah-sekolah misi.
Jadi, peraturan Menteri Pendidikan, Mr. Prayono, untuk menyingkirkan semua guru asing
mulai tanggal 1 Agustus 1959 bukanlah peraturan anti-Katolik, meskipun beberapa misionaris
mengiranya demikian. Ada pemikiran nasionalis pada tingkat nasional. Pada tingkat regional
adakalanya pemikiran berbeda. Misalnya, penguasa setempat di Padang membiarkan sekolah
menengah yang subur asuhan para frater dari Tilburg tetap terbuka, sedangkan sekolah para
suster di Makasar ditutup.
Pada tanggal 8 Juli 1960 Partai Katolik mengirimkan pesan terakhir kepada KVP di
Belanda. Masalah sekitar Papua menjadi pusat. Diperkirakan bahwa Belanda hendak mengambil
resiko perang, dan dipertanyakan secara terbuka: “Tidak tololkah kalau sekarang ini orang-orang
muda Belanda masih harus menjadi korban untuk mempertahankan pemerintah kolonial?
Kemudian orang-orang Katolik Indonesia menyapa “perasaan Katolik” KVP: “Umat Katolik
Beanda dulu dan sekarang hanya mempunyai satu kepentingan di Indonesia: misi,…. Di tinjau
dari sudut itu, memang pernah timbul kesan seolah-olah Anda ikut berperan untuk mempersukar
Gereja di sini”. Kemudian KVP bersaksi: “Cara meragukan, yaitu surat terbuka itu mengaitkan
Gereja Roma Katolik dan Iman Roma Katolik dalam perselisihan politik seperti sekarang ini,
menampilkan kurang pengertian akan hubungan yang tepat antara agama dan politik, dan akan
kurangnya gaya serta selera yang tepat yang sampai sekarang ini tidak ditemukan di antara para
politikus Indonesia”. Ternyata di negeri Belanda tidak mengerti, reaksi seperti itu di Indonesia
dianggap menunjukkan sikap sombong dan meremehkan!
“Pada sidang semua Waligereja Indonesia (27), yang berlangsung pada buan Mei 1960 di
Girisonta, saya hadir atas nama Internunsius, …Dalam konferensi, jelas terasa sekali
ketegangan mengenai hubungan hubungan Indonesia dengan Belanda. Orang-orang
bukannya kuatir tentang kepastian tinggalnya para misionaris Belanda. Rasa takut
diakibatkan oleh pendapat yang meluas di kalangan yang lebih besar, bahwa umat Katolik
(KVP) dengan tegas menolak penyerahan Papua kepada Indonesia. Ketegangan itu makin
mencuat ketika justru pada hari-hari sidang itu kapal penjelajah Karel Doorman dengan
sengaja berlayar sepanjang pantai Jawa meneruskan perjalanan ke Papua. Salah satu
keputusan pada musyawarah itu ialah: saya diutus untuk berunding dengan para uskup
Belanda”.
“Berdasarkan informasi dari pelbagai pihak, para uskup Indonesia mengetahui adanya
perubahan Amerika di bawah kepemimpinan Presiden Kennedy. Secara skeptis mereka
menghadapi ungkapan-ungkapan tertentu Menteri Negeri Belanda untuk Daerah-Daerah di
Seberang. Mereka mepertanyakan, apakah hak-hak Belanda atas Papua masih dapat
dipertanggungjawabkan pada zaman ini”.
“Dengan kepastian yang menyakitkan hati, mereka menyaksikan bahwa sikap orang-orang
Katolik Belanda menimbulkan kerugian yang serius bagi karya misi. Mereka sebenarnya
menganggap keuntungan yang besar seandainya masalah itu dapat dirundingkan dengan
jujur antara Indonesia dan Belanda”.
“Dengan sendirinya internuntius diberi informasi tentang kontak-kontak saya mengenai hal
itu. Dan atas nama Konferensi para Waligereja Indonesia, saya memohon beliau supaya
memberitahukan pandangan mereka tentang Papua kepada pemerintah Indonesia. Pada
hemat saya, Internuntius melaksanakan itu dengan senang hati.”
“Pada bulan Agustus 1961 saya diberitahu di Roma atas nama ‘charge d’affair bahwa
mereka akan sangat menghargainya bila di negeri saya sendiri masih melibatkan diri lagi
untuk mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh berpengaruh, yang akan dapat menciptakan
suasana yang menguntungkan bagi perundingan tentang Papua”.
“Sesudah mengadakan konsultasi yang mendalam dengan beberapa pihak yang berwenang
dan sejumlah kolega, saya menerima undangan itu. Ada seorang pejabat Indonesia yang
banyak membantu untuk mendapat paspor Vatikan. Dengan paspor saya sebagai warga
Negara Indonesia, saya tidak dapat memasuki Belanda. Pemerintah Indonesia juga
menggantikan biaya perjalanan. Pada tanggal 28 Agustus sampai 4 September
dilaksanakan maksud-maksud itu melalui kunjungan-kunjungan saya, antara lain kepada
Perdana Menteri, ketua fraksi KVP di “Tweede Kamer”, sekretaris Negara untuk New
Guinea, beberapa politikus lain juga profesor-profesor universitas (Schlichting, Duynstee)
dan wartawan-wartawan (Mgr. v.d. Kallen, De Tijd). Pada hari-hari itu Menteri Luns tidak
saya jumpai; ia berada di Amerika Srikat”.
“Sejauh pengalaman saya, di mana-mana saya diterima dengan sikap yang ramah. Tetapi,
di sana-sini saya merasa ada pemahaman yang kurang baik tentang situasi yang
sesungguhnya, berapa sikap yang tidak biasa, dan kekurangan informasi. Entah
bagaimanakah hasil kedua – yang dapat saya katakan: misi – itu, bagi pemerintah
Indonesia sikap loyal dan itikad baik hierarki Indonesia telah menjadi jelas: sikap kita
dihargai”.
Kendati ada berbagai usaha intervensi politik dan gerejawi untuk menampung kelanjutan
dekolonisasi, Belanda mengadakan aksi militer. Pada tanggal 17 Agustus 1960 Soekarno
memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Mr. Dr. Smit mengungkapkan situasi baru
yang terjadi sebagai berikut: “Demikian berakhirlah ikatan, yang terjadi lebih dari tiga setengah
abad antara Belanda dan Indonesia.”
Memang demikian kalau ditinjau dari sudut politik, tetapi tidak dari sudut gerejawi!
Konflik senjata tidak terhindarkan. Tokoh kedua Angkatan Laut Indonesia, yakni Yos Sudarso
yang beragama Katolik Roma, gurur dan dinyatakan sebagai Pahlawan nasional. Frans Seda,
ketua baru Partai katolik, secara rahasia bertolak ke Belanda atas izin pemerintah Indonesia. Ia
mendorong KVP supaya menerima apa yang disebut rencana “bunker”. Akhirnya, pemerintah
Belanda menandatangani suatu persetujuan dengan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962 di
New York. Melalui tahap peralihan “United Nations Temporary Executive Authority” (UNTEA),
kepemimpinan New Guinea akan diserahkan kepada Indonesia sebelum tahun 1969, sesudah
diadakan pemungutan suara (jajak pendapat).
Pada tanggal 22 April 1963 pemerintahan Belanda atas New Guinea diserahkan kepada
UNTEA. Pada hari itu juga para Vikaris Apostolik di Irian Barat mengeluarkan surat gembala.
Di situ mereka merumuskan gagasan “gerejawi” tentang masa depan Irian.
1. “Pertama, kami, para Usup Gereja Katolik di negeri ini, hendak memberitahukan kepada
Anda bahwa pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden sekarang ialah
kepemimpinan yang sah di negeri ini, dan bahwa pemerintah itu harus Anda semua akui dan
hormati justru sebagai Pemerintah. Oleh karena itu, kami menganjurkan supaya Anda
bersikap hormat dan terbuka terhadap semua pengemban kewenangan dari atas hingga
bawah. Di lain pihak, kami percaya bahwa Pemerintah yang baru ini akan memerintah
bagian Republik Indonesia ini sesuai dengan sifat-perangai dan keperluan-keperluan negeri
serta rakyat ini; bahwa sejak permulaan Pemerintah akan menampilkan dengan jelas, betapa
keamanan seluruh rakyat tanpa kecuali, begitu pula semua harta benda di bawah
kepemimpinannya juga dijamin, dan bahwa Pemerintah dengan tegas akan bertindak
melawan orang perorangan atau kelompok-
kelompok dari kebangsaan manapun yang merasa
dapat bermain hakimdalam lingkungannya”.
2. “Selanjutnya, menyusul apa saja yang sebelum ini
sudah diuraikan oleh para Uskup lainnya, kami
hendak menyatakan bahwa kami mengakui
sepenuhnya lima asas masyarakat Indonesia (…)”.
Tidak itu saja, Paus dengan demikian membuktikan keyakinannya akan kesejahteraan
negara Republik Indonesia, teristimewa akan sikap Pemerintah terhadap agama dan kehidupan
beragama. Hal ini merupakan tanda penghargaan dan pengertian baik dari pihak pimpinan
tertinggi Gereja Katolik terhadap Indonesia. Sakaligus juga merupakan bukti keinginan Paus
agar Gereja makin lama makin tahu menempatkan diri dan berakar di dalam ikim kehidupan
bangsa Indonesia yang majemuk.
Keuskupan bukan hanya wilayah administratif Gereja, melainkan bagian umat Allah
yang berbagai iman dan hidup sacramental yang sama. Umat dipercayakan oleh Allah (bukan
oleh Paus) kepada seorang Uskup supaya hidup dan bergerak sebagai suatu satuan otonom dalam
persatuan Gereja seluruhnya. Batas-batas wilayah hanyalah hal yang sekunder, dan merupakan
sarana yang menurut prinsip teritorial menentukan dengan jelas bagian umat Allah mana yang
ada di bawah kegembalaan Uskup tertentu dan membentuk Gereja partikular tertentu.
Keuskupan dipimpin oleh seorang uskup diosesan, yang dibantu oleh (para) Uskup bantu,
Vikaris Jenderal, Vikaris Episkopal (bila perlu), Staf Keuskupan, Dewan Imam, Dewan Pastoral
Keuskupan dan para Pastor Kepala Paroki yang
memimpin paroki tertentu dalam keuskupan
bersangkutan.
Selain 25 keuskupan (agung) di atas, masih ada dua wilayah gerejawi yang mempunyai
status prefektur apostolik lama, yakni: Weetabula (didirikan pada tanggal 20 Oktober 1959) dan
Sibolga (pada tanggal 17 Nopember 1959) menjadi wilayah prefektur apostolik tersendiri.
Jika dicermati, dari ke-25 keuskupan yang ada, ternyata hanya tiga yang dipimpin oleh
uskup Indonesia, yakni: Semarang, Jakarta, dan Ende. Sementara yang lainnya dipimpin oleh
Uskup Belanda, kecuali Padang yang dipimpin oleh Uskup Italia. Meskipun demikian, semua
mereka telah dipercayakan untuk menjadi pemimpin Gereja Katolik Indonesia. Sejak
pembentukan keuskupan-keuskupan tersebut, menurut Dr. H.J.W.M. Boelaars OFM Cap, maka
sejak itu pula Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia yang memiliki
wewenang dan hak serta tanggung jawab penuh, resmi, pribadi dan langsung mewakili Yesus
Kristus sendiri dan menggantikan para Rasul (bukan mewakili Paus).
Dalam suatu Negara, dalam wadah kerja sama yang dinamakan Konferensi para Uskup,
para Uskup bekerja sama dalam membicarakan, merundingkan, dan akhirnya memutuskan
sesuatu mengenai umat Katolik di negara bersangkutan. Sebagai pimpinan Gereja setempat
seorang Uskup adalah Wali Gereja. Oleh karena itu, Konferensi para Uskup juga disebut
Konferensi para Wali Gereja.
Di Indonesia, Konferensi para Uskup itu lebih dikenal dengan sebutan Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI). Sebelumnya, diberi nama Majelis Agung Wali Gereja Indonesia
(MAWI). Bahkan jauh sebelumnya, sudah ada berbagai nama yang diberikan sehingga terjadi
perubahan dari waktu ke waktu. Berikut ini
dikemukakan secara singkat mengenai sejarah
pembentukan KWI dan juga bentuk serta struktur
kepengurusannya.
Namun, pada tahun 1926 “Komisi Misi Pusat” diubah namanya menjadi “Biro Misi
Pusat”, yang terbagi atas dua bagian besar sesuai urusan yang ditangani, yaitu: Urusan Umum
dan Urusan Pendidikan. Biro Pusat ini, pada tahun 1931, diubah menjadi suatu Yayasan dengan
pengurusnya adalah para Wali Gereja. Yayasan ini dipimpin oleh seorang direktur, yakni Vikaris
Apostolik Betawi. Pengurus harian ialah direktur dan para Kepala Bagian. Biro tersebut telah
memiliki Anggaran Dasar yang disahkan pada tahun 1932 dan menangani Urusan Umum,
Urusan Pendidikan dan Pengajaran, serta Urusan Keuangan. Pada tahun 1949 dibangun sebuah
Kantor untuk memperlancar kegiatannya.
Dalam perjalanannya, Biro Misi Pusat ini diubah menjadi Majelis Agung Wali Gereja
Indonesia, pada tahun 1955, yang disingkat dengan MAWI. Bersamaan dengan itu, dibentuk pula
suatu badan baru, yakni Dewan Wali Gereja Pusat (DEWAP) dengan anggotanya 6 orang dan
dipimpin oleh seorang Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Ditetapkan pula bahwa MAWI
bersidang sekali dalam lima tahun, sedangkan DEWAP bersidang sekali dalam setahun
bertempat di Kantor yang dibangun (perluasan dari kantor Misi Pusat) pada tahun 1956. MAWI
memiliki 6 panitia dengan urusan-urusan tertentu, yakni: Panitia Sosial, Panitia Aksi Katolik dan
Kerasulan Awam, Panitia Seminari, Panitia Pendidikan dan Pengajaran Agama, Panitia Katekese
dan Penyebaran Iman, serta Panitia Pers dan Propaganda. Pada tahun 1970, terjadi perubahan
penting dalam struktur MAWI. Sebagai suatu badan resmi MAWI kemudian disahkan oleh
Propaganda Fide. Sejak itu MAWI mengalami penyempurnaan terus-menerus, dilengkapi
dengan pelbagai komisi dan ketentuan yang ditetapkan dalam statuta.
Dalam upaya penyempurnaan oganisasi dan terlebih untuk memenuhi tuntutan Hukum
Kanonik yang baru serta Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun tahun 1985 mengenai
Organisasi Kemasyarakatan, maka MAWI diganti namanya menjadi Konferensi Wali Gereja
Indonesia (KWI). Nama ini memang sesuai dengan nama yang digunakan dalam bahasa Latin
dan bahasa-bahasa lain di seluruh dunia.
Adapun strukur KWI sebagai berikut: Kekuasaan tertinggi da pada tangan Sidang para
Wali Gereja Indonesia, yang diadakan baik setiap tahun bila bersifat lebih sederhana (sidang
simpleks) maupun setiap tiga tahun (sidang sinodal) untuk tujuan-tujuan yang lebih prinsipial.
Pimpinan KWI dijalankan oleh suatu Presidium yang terdiri dari 5 orang, yakni: Ketua
Presidium, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, Sekretaris / Ketua Sekretaris Jenderal, Bendahara /
Ketua Moneter.
1. Kantor / Departemen:
- Kantor Keuangan/Umum
- Dokumentasi dan Penerangan
- Personalia Gereja
- Pendidikan
2. Komisi-komisi:
- Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi
- Komisi Seminari
- Komisi Liturgi
- Komisi Kateketik
- Komisi Pendidikan/MNPK
- Komisi Kerasulan Awam
- Komisi Komunikasi Soial
- Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan
- Komisi Karya Misioner
- Komisi Kepemudaan
- Komisi Teologi
3. Lembaga-lembaga:
- Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial
- Lembaga Biblika Indonesia
- Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia
- Sekretariat Keadilan dan Perdamaian
Seretariat Jenderal KWI diketuai oleh Seretaris KWI. Dlam tugasnya sehari-hari ia
dibantu oleh seorang Prosekretaris yang purna waktu. Masa jabatan pimpinan/Presidium KWI
lamanya 3 tahun. Sesudah 3 tahun dipilih kembali dalam sidang sinodal.
2.2.3. UNIO
Unio adalah suatu bentuk kerja sama para Imam Praja. Sebagai sebuah organisasi, Unio
memiliki struktur dan kepengurusan yang terdiri dari: Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Setiap
keuskupan yang memiliki jumlah imam Praja yang cukup banyak perlu membentuk suatu wadah
persaudaraan antara mereka berupa (Sub) –Unit UNIO IMAM PRAJA se keuskupan. Unit-unit
dari tiap keuskupan ini lalu membentuk kelompok yang lebih luas menjadi Unio Indonesia.
Pada skala nasional, pimpinan Unio Indonesia terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua,
Sekretaris 1 dan 2, serta Bendahara 1 dan 2, yang menjalankan masa jabatannya selama 3 tahun.
Mereka didampingi oleh seorang penasihat atau lebih. Hal yang sama juga berlaku untuk di tiap-
tiap unit di tingkat keuskupan atau sub unit di tingkat kevikepan / dekenat.
Menjadi anggota unio tidak merupakan keharusan klerikal atau kanonis, dan sama sekali
mempengaruhi status keimaman seseorang dan ikatan inkardinasi dengan uskupnya. Juga tidak
mempengaruhi keanggotaannya dalam dewan imam, badan pensihat/konsultor uskup, atau juga
jabatan yuridisnya serta wewenang yurisdiksinya. Unio imam praja sebenarnya terutama
berkaitan dengan kepentingan dirinya dan karyanya sebagai imam praja, dalam hubungannya
dengan sesama imam praja sekeuskupan.
Namun demikian, sekalipun tidak wajib, setiap imam praja yang tidak diikat dan diatur
oleh semacam peraturan hidup bersama seperti konstitusinya para imam biara, dan yang
hidupnya hanya bergantung kepada kesetiaan pribadinya kepada Yesus Kristus, kepada martabat
imamatnya, kepada Kitab Suci / Injil, kepada Kitab Hukum Kanonik, kepada Uskupnya dan
karena itu sangat mengandalkan kemandirian pribadi yang mantap, sangat dianjurkan untuk
menggabungkan diri dalam “persekutuan persaudaraan imamat” seperti itu. Solidaritas imamiah
seperti itu akan sangat membantu memantapkan kemandiriannya sebagai imam praja. Karena
Unio Imam Praja memang diadakan untuk saling meneguhkan, saling mendukung, dan saling
membantu. Itulah sifat khas Unio.
Kegiatan-kegiatan Unio antara lain mengatur rekoleksi dan retret bersama, pertemuan-
pertmuan pastoral bersama, menyusun program pastoral bersama, memecahkan masalah pastoral
bersama dan mencari jalan keluar bersama, menyelenggarakan rekreasi bersama, membentuk
team kerja bersama, saling mengunjungi dan menggalang usaha bersama.
Untuk mengikat hidup dan kegiatan bersama, Unio Praja Indonesia memiliki suatu
statuta, yang berisikan tentang pelbagai ketetapan yang berhubungan dengan Unio. Demi
kelancaran kerja bersama itu, dibutuhkan juga uang yang ditarik berupa iuran dari setiap
anggotanya.
KOPTARI bertujuan untuk membina kerja sama dan saling meneguhkan dalam hidup
dan karya antar tarekat-tarekat religius berdasarkan kolegalitas demi peningkatan pelayanan
kaum religius kepada Gereja dan masyarakat. Atas nama tarekat-tarekat religius, KOPTARI juga
membina hubungan baik dengan pihak-phak lain, baik kemasyarakatan maupun gerejawi,
terutama dalam Koferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan masing-masing uskup demi
koordinasi yang serasi, demikin pula dengan lembaga-lembaga serupa dalam lingkup yang lebih
luas.
Struktur pimpinan KOPTARI dan MATRIDA terdiri dari Ketua, Waki Ketua, Sekretaris
dan Bendahara.
Sidang pleno yang diadakan untuk sekaligus memilih badan pimpinan baru, diadakan
setiap tahun sekali. Sidang rutin untuk tingkat KOPTARI diadakan setiap tahun, sedangkan
untuk tingkat MATRIDA diadakan setiap tiga bulan.
Untuk kelangsungan hidupnya dan untuk menunjang kegiatan-kegiatan rutinya, baik di
tingkat MATRIDA maupun di tingkat KOPTARI disepakati untuk dikumpulkan iuran dari setiap
rumah/komunitas (untuk MATRIDA) dan dari setiap tarekat anggota (untuk tingkat KOPTARI).