Anda di halaman 1dari 18

Apakah yang dimaksud dengan pelayanan yang kontekstual?

Pelayanan yang kontekstual adalah


pelayanan yang disesuaikan dengan orang-orang yang menjadi target pelayanan. Beberapa ratus
tahun yang lalu, saat berita Injil mulai dibawa ke Indonesia, para pemberita Injil dari Eropa
bukan hanya menjadi pembawa berita Injil, tetapi juga menjadi pembawa budaya Barat. Orang-
orang Indonesia yang percaya kepada berita Injil harus menyesuaikan diri dengan budaya Barat,
sehingga kekristenan dikenal sebagai agama Barat, padahal kekristenan sebenarnya berasal dari
Timur (Timur Tengah), bukan dari Barat. Cap kekristenan sebagai agama Barat itu amat
merugikan usaha pemberitaan Injil, yaitu bahwa seringkali berita Injil ditolak bukan karena isi
beritanya, melainkan karena kekristenan dianggap sebagai tidak cocok bagi orang Timur.

Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus mengajarkan agar kita menyesuaikan diri dengan
orang-orang yang kita layani, bukan sebaliknya. Hal ini menuntut kita untuk memilah antara hal-
hal yang esensial (mendasar, tidak boleh diubah) dengan hal-hal yang tidak esensial (sepele,
tidak penting). Dalam hal-hal yang esensial, kita tidak boleh berkompromi, tetapi kita harus
menyesuaikan diri dalam hal-hal yang tidak esensial. Penyesuaian diri ini penting agar berita
Injil tidak ditolak karena hal-hal yang tidak esensial. Untuk bisa menyesuaikan diri dengan
orang-orang yang kita layani, kerendahhatian merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar.

Bagaimana cara Anda melayani? Apakah Anda siap merendahkan diri dan menyesuaikan diri
dengan orang-orang yang Anda layani? Tanpa penyesuaian diri, pelayanan kita akan sulit untuk
diterima!

PELAYANAN KONTEKSTUAL

Iskak Sugiyarto

LATAR BELAKANG

Indonesia dikenal dengan keanekaragaman kebudayaan dan ratusan suku yang tersebar di
ribuan pulau. Di antara pulau-pulau di Indonesia, pulau Bali mungkin paling terkenal akan
kekayaan adatnya, keseniannya, dan tariannya, namun sebenarnya setiap suku di Indonesia
memiliki ciri khas, selain kaya dalam tradisi serta keindahan alamnya. Namun, di balik semua
senyum, kesenian, dan keanekaragaman kebudayaan itu ada banyak orang yang hidup tanpa
harapan dan tanpa memiliki Juruselamat. Banyak suku terhalang di balik tembok yang tak
tampak serta dinding pemisah kebudayaan yang menganggap bahwa kekristenan ialah agama
asing, agama penjajah atau sesuatu yang diimpor dari Barat.

Menurut Amanat Agung, kita diperintahkan untuk melintasi pemisah budaya itu untuk
menjangkau semua suku ini. Yang dimaksudkan dengan istilah “bangsa” ialah suku bangsa
(ethnic group). Kata bangsa mengandung arti etnis atau suku dalam Alkitab. Jadi sebaiknya,
Amanat Agung itu dibaca atau ditafsirkan demikian: “Jadikanlah semua suku bangsa (ta ethne)
murid-Ku.” [1]

Orang Kristen menganggap bahwa tujuan Allah untuk menjangkau dunia ini hanya berdasarkan
Amanat Agung yang diberikan kepada jemaat Kristus dalam Matius 28:18-20; Markus 16:15-18;
Lukas 24:44-49; Yohanes 20:21; Kisah Para Rasul 1:8. Memang lima nas itu merupakan dasar
yang kokoh untuk penginjilan dunia. Namun demikian, pandangan ini masih kurang lengkap
sebab tidak mencakup seluruh isi firman Allah. Dari Kitab Kejadian sampai Kitab Wahyu misi
Allah untuk memberkati semua suku ditekankan berulangkali. Misalnya, lima kali dalam kitab
pertama dari Alkitab, tujuan Allah bagi suku-suku bangsa diungkapkan. Setelah Kejatuhan
manusia ke dalam dosa, Allah mengungkapkan rencana-Nya untuk memberkati semua suku oleh
perjanjian-Nya dengan Abraham.

● “Olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3)

● “Oleh dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat” (Kej. 18:18)

● “Oleh keturunanmulah semua bangsa...akan mendapat berkat” (Kej. 22:18; 26:4)

● “Olehmu...semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 28:14)

Rencana Allah bagi semua suku bangsa juga menjadi tema yang penting dalam Kitab Mazmur.

● “Beritakanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa” (Mzm. 9:12)

● “Kiranya Allah...memberkati kita...supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu


di antara segala bangsa” (Mzm. 67:2,3)

● “Segala bangsa yang Kau jadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan,
dan akan memuliakan nama-Mu” (Mzm. 86:9)

● “Ceritakanlah kemualian-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya...di


antara segala suku bangsa” (Mzm. 96:3)

● “Pujilah TUHAN, hai segala suku bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa!”
(Mzm. 117:1)

Tujuan Allah untuk memberkati semua suku bangsa juga jelas terlihat dalam pemberitaan para
nabi dalam Perjanjian Lama.

● “Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa” (Yes. 49:6)
● “Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa: (Yes. 56:7)

● “Aku akan membuat kuasa kemuliaan-Ku berlaku atas bangsa-bangsa” (Yes. 39:21)

● “Orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepada-Nya [Sang
Mesias]” (Dan. 7:14)

● “Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari Nama-Ku besar di antara
bangsa-bangsa” (Mal. 1:11).

Dari ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pelayanan lintas budaya merupakan suatu
keharusan, sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Kita harus melintasi jurang pemisah kebudayaan
dan memberitakan Injil kepada segala suku bangsa jika kita ingin menjadi murid-murid yang taat
kepada kehendak Allah yang tersingkap dalam Firman-Nya.

TEOLOGI KONTEKSTUAL DALAM TEOLOGI PENGINJILAN

Setiap gereja atau orang Kristen yang taat kepada Amanat Agung harus melibatkan diri
dalam pelayanan lintas budaya dengan memakai kontekstualisasi.[2] Istilah kontekstual sendiri
telah digunakan secara populer dalam dunia pendidikan teologi pada dekade-dekade akhir abad
XX ini.[3] Tetapi sebelum dapat melaksanakannya dengan tepat kontekstualisasi, kita seharusnya
mengerti teologi kebudayaan, yaitu yang diajarkan dalam Firman Allah tentang kebudayaan.
Bagaimana Allah sendiri memandang keanekaragaman kebudayaan manusia?

Penjelasan yang paling singkat dan seksama terdapat dalam Ikrar Lausanne tahun 1974
(Wagner, tth:173-183). Pada tahun 1974 di Lausanne, Swiss diadakan suatu konferensi
internasional mengenai penginjilan dunia. Tokoh-tokoh Kristen seluruh dunia dipimpin oleh
Billy Graham berkumpul untuk bertukar pikiran dan menggumuli berbagai soal berkaitan dengan
penginjilan. Mereka menyusun suatu ikrar mengenai penginjilan. Dalam pasal 10 ikrar itu
tertulis:

10. Pekabaran Injil Dan Kebudayaan:

Perkembangan strategi untuk penginjilan dunia menuntut visi dan

metode-metode baru. Di bawah bimbingan Allah, akan timbul


gereja-gereja yang berakar di dalam Kristus dan erat hubungan dengan

kebudayaannya. Kebudayaan memiliki keindahan dan kebaikan.

Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, maka seluruh kebudayaannya

dinodai oleh dosa dan sebagian lagi dikuasai roh jahat. Injil tidak

menganggap kebudayaan yang satu lebih unggul daripada yang lain,

tetapi Injil menilai semua kebudayaan menurut ukuran kebenaran dan

keadilannya sendiri, dan menuntut moral yang tinggi dalam setiap kebudayaan.

Badan-badan pekabaran Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing

bersama dengan Injil, dan gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada

kebudayaan daripada Alkitab. Penginjil-penginjil Kristus harus rendah hati mengosongkan


dirinya dari segala sesuatu, kecuali keaslian kepribadiannya,

untuk menjadi pelayan bagi orang lain, dan gereja-gereja harus berusaha

mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu dilakukan

demi kemuliaan Allah. (Mrk. 7:8,9,13; Kej. 4:21,22; 1Kor. 9:19-23;

Flp. 2:5-7; 2Kor. 4:5).

Ikrar ini sedikitnya memaparkan tiga pokok yang terpenting tentang teologi kebudayaan:

v Kebudayaan memiliki dimensi ilahi dan dimensi setani.

v Tidak ada suatu kebudayan yang lebih unggul dari kebudayaan yang lain.

v Kita harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apa pun.

Pertama, pasal 10 ini menjabarkan bahwa kebudayaan memiliki dua dimensi.


Keanekaragaman kebudayaan manusia memiliki unsur-unsur positif dan negatif, unsur-unsur
ilhai dan setani. Kebudayaan manusia penuh dengan keindahan dan kebaikan sekaligus dinodai
oleh dosa dan dikuasai Iblis.
Kedua, pasal 10 ini mengajarkan bahwa tidak ada “kebudayaan yang lebih unggul
daripada yang lain”. Sadar atau tidak, pada umumnya, para penginjil cenderung menganggap
bahwa kebudayaan mereka lebih baik daripada kebudayan para penerima. Tetapi menurut
Firman Allah, kita tidak boleh bermegah tentang adat kita sendiri. Kita hanya boleh bermegah
tentang Yesus, Pencipta dan Hakim adat kita.

Ketiga, pasal 10 ini memaparkan bahwa kita harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa
tambahan apapun. “Badan-badan pekabar Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing ke
dalam Injil dan gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada kebudayaan dari Alkitab.” Kita harus
memberitakan Injil semata tanpa tambahan tata ibadah tertentu atau kebudayaan yang berasal
dari si pemberita Injil.

Harvie Conn, ahli misiologi dari Westminster Theological Seminary, menggambarkan


proses ini sebagai berikut. Menurutnya kontekstualisasi adalah “seni menabur benih Injil dalam
beraneka ragam kebudayaan tanpa membawa potnya” (Conn 1982:12). Dalam definisi ini, “pot”
yang biasanya dibawa si penginjil itu melambangkan kebudayaan, adat, dan tradisinya.

Pokok ketiga ini sesuai dengan pendapat. P. Octavianus. Ia menyatakan rintangan


kebudayan merupakan pengahalang utama bagi penginjilan. Itulah sebabnya, kita harus
membawa Injil itu kepada orang yang belum percaya tanpa perlu menambah-nambahi dengan
“syarat-syarat atau cara kekristenan yang terikat kepada si utusan Injil” (Octavianus 1985:35,54).

Kita harus ingat bahwa persoalan “sinkretisme” tidak hanya terjadi kalau kita
menyesuaikan diri terlalu banyak sehingga arti Injil itu menjadi kabur, tetapi juga bila Injil itu
disampaikan bersama dengan kebudayaan si penginjil itu sehingga dianggap asing oleh
pendengarnya. Hal seperti ini pun dapat menimbulkan masalah “sinkretisme” sebab dalam
pemikiran para pendengarnya Injil itu dicampur dengan unsur-unsur asing (dari penginjil)
sehingga mengaburkan makna dari Injil itu sendiri.[4]

INKARNASI YESUS SEBAGAI DASAR

PELAYANAN KONTEKSTUAL[5]

a. Inkarnasi Yesus dalam Konteks Hebraic

Inkarnasi Yesus Kristus ke dalam konteks budaya Hebraic yang utuh merupakan puncak
perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam budaya manusia. Inkarnasi Yesus Kristus adalah
penyataan Allah yang utuh dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat
Allah (Yoh :14,18). Inkarnasi Yesus ini disebut sebagai puncak kontekstualisasi Allah,
keabsahan inkarnasi Allah melalui firman-Nya ke dalam konteks sejarah-budaya seperti yang
telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Ini hanya memberikan tekanan kepada ketotalan
kontekstualisasi Allah, dan merupakan tonggak bagi kontekstualisasi selanjutnya dalam
pekerjaan misi.

Berikut penjelasan untuk memahami inkarnasi Kristus yang adalah dasar bagi kontekstualisasi
maka akan diuraikan dua sub-pokok, yaitu: Hakikat Inkarnasi, Inkarnasi, dan transformasi.

1. Hakikat Inkarnasi

Arti dari inkarnasi ialah menjadi daging atau menjadi manusia. Yohanes 1:14
mengatakan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat
kemuliaan-Nya.” Logos menjadi manusia mempunyai implikasi yang luas. Ini berarti lahir ke
dunia sebagai manusia, hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya
manusia, dst.nya – singkatnya, berpadu dengan hakekat manusia secara utuh. Dengan demikian,
inkarnasi melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia secara utuh dalam lingkup
sosial budaya manusia. Namun, perlu disadari bahwa inkarnasi Kristus terjadi bukan untuk
tujuan inkarnasi itu sendiri, melainkan untuk menyatakan Allah kepada dunia (Yoh. 1:18). Di
sini perlu ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki tujuan misional, untuk membuktikan
kasih Allah kepada dunia (Yoh. 3:16), bagi pembebasan dunia itu sendiri (Yoh. 1:29).

Pada kenyataan lain, “menjadi manusia menempatkan Logos (Yesus Kristus) yang adalah
penyataan Allah itu dalam seluruh kerangka sosio-budaya Hebraic tempat Ia berinkarnasi. Untuk
budaya dalam konteks sejarah, mengenal dan dikenal dalam bentuk, arti, dan fungsi setiap
elemen budaya, dan dalam posisi-Nya inilah Ia menyatakan Allah kepada dunia. Dalam hal ini,
tergambar jelas bahwa inkarnasi yang sempurna ini menandakan proses kontekstualisasi Allah
terjadi secara utuh sempurna dalam konteks sejarah manusia.

Kristus, dalam inkarnasi-Nya mengambil seluruh aspek budaya manusia dan


menggunakannya sebagai wahana misi, menyatakan kehendak Allah yang kekal kepada dunia
melalui konteks budaya tempat ia ada. Yesus dikenal sebagai orang Galilea (Luk. 23:5-7), Ia
berasal dari Nazaret (Mat. 2:22,23; Luk. 18:37), semua orang mengenal Dia dan keluarga-Nya
(Mat. 13:55-56; Mar 6:1,3; Luk. 4:16). Dalam kaitannya dengan kehadiran-Nya di dalam konteks
budaya Hebraic ini Yesus tetap menggunakan seluruh elemen budaya dalam menyatakan Allah
kepada dunia. Berulang-ulang Ia menegaskan tujuan kedatangan-Nya, “...melakukan kehendak
Dia yang mengutus Aku, dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Ia datang untuk
melayani, dengan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:45,
band. Mat. 20:17-19; Luk. 18:31-34). Dengan mengidentifikasikan diri sebagai Anak Manusia
(Mrk. 10:45; Luk 18:31,dst.), Yesus menekankan solidaritas penuh dengan manusia dalam
inkarnasi. Pada sisi lain, istilah ini secara fungsional sangat dikenal oleh konteks tempat Ia
berada, dan mengkomunikasikan arti/makna khusus kepada mereka melalaui bentuk budaya
yang dipakai-Nya. Hal yang sama juga terlihat dalam penggunaan istilah lain, seperti Anak
Domba Allah (Yoh. 1:29, dst.). Hanya orang dalam konteks Yesus memahami dengan persis
maksud Kristus Yesus, dalam penggunaan bentuk-bentuk budaya mereka untuk
mengkomunikasikan kebenaran Allah.

Dalam pada itu, Yesus juga menggunakan metode pendekatan yang kontekstual dalam
menjawab kebutuhan masyarakat di sekitar-Nya. Ia menggunakan bentuk sastra Hebraic Parables
sebagai wahana fasilitas kebenaran (ingat seluruh perumpamaan yang digunakan Yesus). Dan
menggunakan bentuk elemen yang kontekstual dan familier dalam masyarakat. Di antara petani
Ia menggunakan terminologi pertanian (penabur, bibit, penuai, ladang, dsb.nya). Di antara para
nelayan Ia menggunakan terminologi nelayan, seperti pukat/jala, ikan, perahu, dan sebagainya,
sementara mujizat-mujizat yang dilakukan adalah untuk menyatakan penyataan Allah yang
penuh kuasa atas kuasa lain yang dikenal dalam masyarakat. Penyaliban-Nya di salib pun
mengkomunikasikan kebenaran Allah dan penyataan diri-Nya, sehingga ada pengakuan atas
Kristus yang tersalib itu, “Sungguh, Ia adalah Anak Allah” (Mat. 27:54).

Petrus bahkan melihat kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus ke Surga sebagai kenyataan
kontekstualisasi yang utuh, yang sambil berpadu dengan budaya menyatakan rencana Allah yang
kekal (Kis 2:22-40), yaitu rencana penyelamatan Allah melalaui inkarnasi Kristus secara tegas
mengacu kepada penyataan - diri Allah – yang dikenal dalam pola budaya – dan terlihat melalui
interaksi dan refleksi peserta budaya yang terkait kepada inkarnasi itu. Inilah kontekstualisai
Allah yang utuh melalui inkarnasi Kristus dalam konteks manusia.

2. Inkarnasi dan Transformasi

Yang memberikan isi bagi inkarnasi Kristus dalam budaya manusia ialah transformasi
yang terjadi dalam dan pada pusat budaya Hebraic tempat Ia berada. Kuasa transformasi itu
bekerja dengan pasti, karena Kristus datang dengan tugas transformasi itu sendiri (Luk. 4:18-19;
band. 2Kor. 5:17; Why. 21:5).

Ajaran-ajaran-Nya (band. Mat 5,6,7; Luk 6:20-36; 11:2-4; 12:22-31; 6:37-38,41-42, dll.)
mengandung dinamika transformasi yang pasti. Ambil saja contoh ajaran-Nya tentang “sinar”
dibandingkan dengan praktik masyarakat (Mat. 5:27-30). Ia masuk melalui pola konsep dan
logika yang dikenal dalam praktek budaya, untuk akhirnya membawa transformasi.

Transformasi dalam inkarnasi Kristus ini tidak terbatas pada ajaran/konsep, bahkan
masuk lebih jauh, yaitu “transformasi hidup” manusia. Yesus mentransformasi hidup
cendekiawan Nikodemus (Yoh. 3), dan perempuan tunasusila dari Samaria (Yoh. 4), bahkan
salib-Nya mengadakan transformasi hidup “penjahat kakap” kepada pembaharuan sejati (Luk.
23:34, 39-43). Secara tegas inkarnasi bertujuan transformatoris, dan transformasi adalah isi
inkarnasi; sehingga tidak ada inkarnasi Kristus tanpa transformasi, yang secara dinamis mebarui
manusia dalam setiap konteks budaya kepada Allah (2Kor. 5:17).
Transformasi ditandai oleh adanya morphe (perubahan di dalam) dan schema
(pembaharuan inti hakekat kemanusiaan). Perubahan dan pembaharuan tampak dalam ekspresi
praksis kehidupan Kristen (lih. Rm. 12:1,2). Dengan tegas dapat dikatakan bahwa transformasi
terjadi di dalam dan dari dalam hidup manusia dalam setiap konteks, apabila Injil berinkarnasi
dalam konteks tersebut. Di sini transformasi melebihi pendidikan yang datang dari luar, dan
sering hanya menyentuh unsur kognitif (intelektual) manusia. Transformasi membarui dari
dalam menyentuh seluruh aspek kemanusiaan, memberi hakekat kemanusiaan yang baru (Yoh.
1:12) serta perspektif baru untuk hidup hanya bagi Kejayaan Kristus.

Namun, yang perlu diperhatikan ialah bahwa transformasi itu bukanlah evolusi yang
ditandai oleh perombakan yang bisa membawa akibat ketidakseimbangan hidup pribadi dan

masyarakat. Dengan demikian, transformasi yang dimaksudkan di sini menekankan


perubahan/pembaharuan hidup pribadi/masyarakat yang harus terjadi dalam inkarnasi Injil ke
dalam suatu budaya, tanpa merusak kerangka budaya itu.

Inkarnasi Kristus berisi transformasi dan kontekstualisasi yang benar ditandai oleh
transformasi Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul sinkretisme, dsb.nya.
Transformasi yang terjadi harus memperlihatkan keseimbangan dalam kehidupan tempat Injil
beroperasi. Kontektualisasi yang benar terjadi dalam dua arah, “inkarnasi” dan “refleksi”, yang
dihubungkan oleh transformasi Kristus, dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang.

PRINSIP-PRINSIP RASUL PAULUS DALAM

PELAYANAN KONTEKSTUAL[6]

Paulus dalam pemberitaan Injil bersifat keras dan dogmatis. “Jikalau ada orang yang
memberitakan kepadamu suatu Injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima,
terkutuklah dia” (Gal. 1:9). Berita Injil bersifat kekal dan tak berubah.

Namun dalam konteks yang berbeda, berita itu harus dikomunikasikan dengan cara yang
berbeda. Jadi, sementara Paulus dogmatis dan teologis, tetapi ia fleksibel dalam metodologinya.
Ia menunjukkan suatu kerinduan yang dalam bagi kebenaran dan suatu komitmen bagi relevansi
Injil. Paulus adalah model dari pelaku kontekstualisasi.

Dalam 1 Korintus 9:19-23 dapat digambarkan sebagai “Magna Carta” dari


kontekstualisasi yang menyimpulkan prinsip-prinsip Paulus dan mendefinisikan dengan jelas apa
yang Alkitab ajarkan tentang kontekstualisasi.
“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang,
supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku
menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang
yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum
Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat
memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup
di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti oarang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat,
sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus,
supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di luar hukum Taurat. Bagi orang –
orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan
mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat
mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan
karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.”

Analisis struktural dari ayat-ayat ini menyatakan tiga hal yang penting. Paulus
menggambarkan maksud, prinsip-prinsip dan parameter-parameter dari kontekstualisasi. Pertama
ia menunjukkan maksud dari kontekstualisasi: penginjilan.

v Supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang

v Supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi

v Supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat

v Supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat

v Supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah

v Supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka

Maksud Paulus adalah sederhana dan langsung: untuk memenangkan jiwa bagi Kristus.

Prinsip kontekstualisasi Paulus

Paulus menggambarkan prinsip kontekstualisasi: Indentifikasi. Ia berketetapan hati untuk


“menjadi seperti”[7] orang yang hendak ia jangkau. Lima kali, Paulus mengulang komitmennya
untuk mengidentifikasi dirinya dengan orang lain. Ia menyebutkan empat kelompok orang
tertentu dan kemudian menyimpulkan dengan suatu kalimat kesimpulan.

v Aku menjadi seperti orang Yahudi


v Aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat

v Aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat

v Aku menjadi seperti orang yang lemah

v Aku telah menjadi segala-galanya

Bagaimana caranya Paulus, rasul kepada orang-orang kafir (Rm. 11:13), menjadi seperti orang
Yahudi bagi orang Yahudi? Contoh yang paling mencolok terdapat dalam Kisah Para Rasul 16
dan 21.

Ada tiga cara kontekstualisasi, yaitu prinsip-prinsip memakai, mengubah, dan membuang. Tiga
petunjuk penuntun ini merupakan sumbangan ilmu misiologi. J.H. Bavink, ahli misiologi
menulis sebagai berikut: “Orang-orang Kristen harus mengambil pemilihan sah dari adat istiadat
dan kebudayaan-kebudayaan yang memberi kepadanya pengertian-pengertian serta isi baru dan
yang mengarahkan mereka untuk pelayanan bagi Kristus…Adalah tidak pernah mudah untuk
memutuskan apakah suatu adat atau kebiasaan boleh dipertahankan atau harus ditolak”[8] Dan
menurut Gilliland “Tugas kontekstualisasi ialah mengetahui apa yang dapat dipergunakan [dari
kebudayaan], apa yang harus ditolek dan oleh kaih karunia Allah, apa yang harus
ditransformasikan”.[9]

a. Memakai

Memakai berarti semua atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap dipertahankan.
Setiap kebudayaan mempunyai beberapa unsure yang netral.

Contoh: Penggunaan kopiah, sarung, kebaya, duduk dilantai, penggunaan alat-alat musik
tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan Injil, dan lainnya.

b. Mengubah

Yang dimaksud dengan mengubah ialah memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang


dapat ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan sesuai dengan firman-Nya. Seperti
yang dicanagkan oleh Ikrar Lausanne pasal 10: ”Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah
dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu bagi kemuliaan Allah.”

Contoh: “Selamatan” atau “hajatan” dapat diubah inti selamatannya tetapi cara duduk dan alat-
alat tetap dapat digunakan.
c. Membuang

Semua hal yang tidak cocok dengan firman Allah dan yang tidak mungkin dimurnikan
harus dibuang. Misalnya, poligami, upacara-upacara sembahyang untuk orang mati, dan bentuk-
bentuk lain yang berhubugan dengan kuasa kegelapan, seperti praktek-praktek spritisme dan
animisme.

KRISTUS DAN BUDAYA

Sangat penting untuk memiliki pandangan Alkitabiah bukan hanya tentang Kristus tetapi juga
budaya. Pelayan lintas budaya atau kontekstual harus mengenali bahwa setiap budaya memiliki
unsur-unsur ketertiban Ilahi dan pemberontakan setan; setiap budaya memiliki potensi untuk
menyatakan kebenaran Allah.

H. Richard Niebuhr telah menggolongkan lima pandangan tentang relasi antara Kristus
dan budaya yang diambil oleh bermacam-macam teolog:[10]

1. Kristus melawan budaya (radikal) -yaitu, Kristus adalah otoritas tunggal;


klaim dari budaya harus ditolak. Pandangan ini menekankan pertentangan antara Kristus dan
kebudayaan dengan dasar ayat dari 1 Yohanes 2:15-16. Sikap ini menekankan bahwa iman
sangat bertentangan dengan budaya. Budaya berasal dari bawah, dari bumi, bahkan dari setan,
sedangkan gereja berasal dari atas, dari surga, bahkan dari Tuhan. Dunia kegelapan ini dikuasai
oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan
dikalahkan oleh iman kepada Kristus.

2. Kristus dari budaya (akomodatif) - yaitu, sistem Kristen tidak berbeda jenis
dengan budaya tetapi hanya dalam kualitas; yang terbaik dari budaya harus diseleksi untuk
menyesuaikan diri dengan Kristus. Pandangan ini bersikap positif terhadap budaya, tidak ada
pertentangan antara iman dan budaya. Tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia,
antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka
menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus
adalah sangat sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus
ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok
dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah
dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan
bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial.
3. Kristus di atas budaya (sintetik) - Sikap ini sebenarnya merupakan bagian
dari sikap kedua. Dalam sikap ini baik iman maupun budaya diterima sebagai kesatuan yang
saling mengisi, iman mengatasi budaya tetapi iman tidak menghapus budaya, melainkan budaya
diintegrasikan ke dalam iman. Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari
alam (natural) dan spiritual (rohani).

Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan social
yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab
bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah
melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan
hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural
manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang
kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu
tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam
wahyu. Dari contoh

itu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat
hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis. Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan
ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannyakembali hanyalah melalui sakraman. Gereja
berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkis gwereja.
Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan

4. Kristus dan budaya berada dalam paradoks (dualistik) – yaitu, keduanya


adalah penguasa untuk ditaati dan karena itu orang percaya hidup dengan ketegangan ini. Sikap
ini merupakan variasi dari sikap kedua, namun kebalikan dari sikap ketiga. Di sini orang
mengakui bahwa hidup dalam dua dunia, dunia yang pertama adalah kerajaan Allah, dunia yang
kedua adalah masyarakat. Orang Kristen adalah warga masyarakat sekaligus warga kerajaan
Allah. Tetapi keduanya tidak ada sangkut-paut apapun.

5. Kristus sebagai transformator budaya-yaitu, budaya merefleksikan keadaan


manusia sudah jatuh ke dalam dosa; di dalam Kristus, umat manusia ditebus dan budaya dapat
diperbarui kembali memuliakan Allah dan memajukan tujuan-tujuan-Nya. Sikap ini mengakui
bahwa budaya telah dicemari oleh dosa dan tidak semua hal di dunia ini baik-baik saja, bahkan
yang terbaik dari manusia pun tetap penuh dengan dosa, tetapi orang beriman harus yakin bahwa
Kristus sudah menang atas dosa dan bahwa Roh Kudus bekerja membaharui dan
mentransformasi budaya dan adat istiadat. Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah
sikap gereja pengubah kebudayaan. Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah
mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak
ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah
jahat, sejauh itu adalah kodrat,tapi ia menjadi jahat karena dirusak.

Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial
mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah
maka Allah tetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga
manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini
mendapat wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak
untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan
kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia.
Dengan jalan Injilnya Ia memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap
kehidupan yang telah rusak. Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan
Injil pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan.

Analisa Niebuhr sangat mengandung pelajaran dan berguna jika beberapa golongan yang
dia kemukakan tidak diambil secara kaku dan wakil-wakilnya tidak dianggap bersifat
antagonistik satu sama lain dalam setiap keadaan yang sebenarnya. Masalah utama dengan
Niebuhr adalah bahwa dia menempatkan penulis-penulis dan tulisan-tulisan Alkitab berselisih
satu sama lain. Dari sudut pandang alkitabiah nampaknya terdapat beberapa nilai dalam hal
penekanan yang termasuk golongan satu, empat, dan lima dan, sangat mungkin tiga.

Dalam mempelajari hubungan antara Allah dan Budaya, David W. Myers telah
memodifikasi model Niebuhr, seperti pada bagan berikut:

Dari bagan tersebut jelas bahwa telah terjadi pergeseran mendasar pola hubungan antara
Kristus dan Budaya, diawali dari Kristus melawan (aktif) terhadap budaya, menjadi berlawanan
(pasif), lalu transformasi terhadap budaya, Kristus di atas budaya, dan terakhir menjadi budaya
Kristen.

Tiga Mandat

Ketika Allah menciptakan laki-laki dan perempuan pertama dan lingkungan sekitar
mereka, Dia menyatakan segala sesuatu “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Allah memberikan
satu mandat budaya kepada Adam dan Hawa, yang meminta kepenguasaan atas lingkungan
sekitar mereka (Kej. 1:26-30). Tetapi, Allah tidak menarik diri dari tempat tersebut. Demikian
pula Dia tidak berhenti menjadi Allah. Sebaliknya, Dia terus memelihara, dan bersekutu dengan
para makhluk-Nya. Kita tidak tahu berapa lama keadaan yang penuh kebahagiaan itu
berlangsung, tetapi hal itu disela oleh peristiwa KEJATUHAN. Dan peristiwa KEJATUHAN
meninggalkan bekas pada ciptaan, makhluk, dan budaya (Kej. 3:14-19). Pengharapan umat
manusia terletak pada janji tentang “Benih dari seorang perempuan” yang akan meremukkan
kepala ular.

Kemudian, umat manusia secara kolektif gagal dengan buruk sekali seperti Adam dan
Hawa telah gagal secara individual, di mana akibatnya Allah menyatakan hukuman atas manusia,
binatang, dan tanah (Kej. 6:6-7). Setelah air bah, Nuh dan keluarganya menerima janji-janji dan
satu mandat sosial yang berlaku bagi mereka dan keturunan mereka sampai generasi sesudahnya
(Kej. 8:21-9:17).

Dalam relasi umat manusia dengan Allah mendahului dan menentukan seluruh relasi
lainnya. Dalam pengertian ini agama yang benar mendahului budaya, bukan hanya bagian dari
budaya. Saat mendengarkan si pengambil alih kuasa dan memilih untuk tidak mentaati Allah,
manusia mengundang dosa atas semua yang adalah dia dan semua yang dia sentuh. Peristiwa
KEJATUHAN tidak mengakibatkan penghapusan imago dei di dalam makhluk tersebut maupun
dalam pembatalan seluruh hak istimewa budaya. Tetapi hal ini sungguh menempatkan penguasa
lainnya dan penguasa palsu atas manusia dan hal ini sungguh merusak umat manusia dan hasil-
hasil mereka. Hanya di bawah Kristus, manusia dapat ditebus dan budaya diperbarui.

Mandat Injil (Mat. 28:18-20) menghendaki agar para misionari mengajar orang lain
untuk mamatuhi semua yang telah diperintahkan Kristus. Dalam mengajar, para misionari
menyentuh budaya dan untunglah demikian-karena seluruh budaya membutuhkan perubahan
dalam motivasi jika tidak dalam misi. Jika apa pun juga nyata di dalam dunia kita, ini adalah
bahwa Allah telah menahbiskan budaya tetapi tidak memerintahkan kebudayaan manusia. Setan
adalah sungguh “ilah zaman ini” (2Kor. 4:4). Oleh karena itu, sebagaimana dipertahankan
Calvin, orang-orang percaya harus bekerja untuk menjadikan budaya Kristen (yaitu, di bawah
Kristus) atau setidaknya kondusif untuk (yaitu, memperbolehkan kesempatan maksimum untuk)
kehidupan Kristen.[11]

Perjanjian Lausanne mengatakannya dengan baik:

budaya harus selalu diuji dan dinilai oleh Kitab Suci (Mrk.. 7:8,9,13).

Karena manusia adalah makhluk Allah, beberapa dari budayanya adalah

kaya dalam keindahan dan kebaikan (Mat. 7:11; Kej. 4:21,22).

Karena dia sudah jatuh dalam dosa, seluruh budaya dicemari

dengan dosa dan beberapa di antaranya adalah jahat. Injil tidak mengandung

arti bahwa tidak ada budaya superior dari budaya yang lain, tetapi mengevaluasi

seluruh budaya berdasarkan kriterianya sendiri mengenai kebenaran

kebenaran dan keadailan, dan bertahan pada hal-hal moral yang mutlak di

dalam setiap budaya.[12]

Misionari terlibat di dalam proses ini secara langsung maupun tidak langsung. Dia
mungkin berusaha untuk tinggal di atas garis budaya dan hanya berhadapan dengan masalah-
masalah jiwa. Tetapi usaha itu sama sis-sianya seperti usaha ilmuwan sosial untuk
menyingkirkan Allah dari dunianya dan menjelaskan kekristenan di dalam pengertian
kebudayaan saja. Pertama, misionari tidak dapat berkomunikasi tanpa melibatkan dirinya dengan
budaya karena komunikasi tidak memungkinkan melepas diri dari budaya. Sama seperti Kristus
menjadi daging dan diam diantara manusia, dengan demikian kebenaran yang proporsional harus
memiliki sebuah inkarnasi budayaal agar menjadi berarti. Kedua, misionari tidak dapat
mengomunikasikan kekristenan tanpa melibatkan dirinya dengan budaya karena, meskipun
kekristenan bersifat suprabudayaal dalam asal usulnya dan kebenarannya, kekristenan bersifat
budayaal dalam aplikasinya.

Donald A. McGavran menulis sebuah buku berjudul The Clash Between Christianity and
Cultures, untuk menanggapi kontoversi mengenai nilai relatif yang seharusnya diberikan kepada
budaya dalam teori misi. Di dalam buku itu dia berusaha untuk memecahkan perdebatan “tinggi-
rendah” dalam sebuah cara yang logis dan Alkitabiah.

Bagi orang Kristen, pertanyaan tersebut datang untuk memilih satu atau lainnya dari
empat posisi yang mungkin:

Sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang rendah
mengenai budaya.

Sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya dan sebuah pandangan yang rendah
mengenai Alkitab.

Sebuah pandangan yang rendah mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang rendah
mengenai budaya.

Sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang tinggi mengenai
budaya.[13]

McGavran mendorong para misionari untuk mengambil pilihan keempat: sebuah


pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya.
Melalui “pandangan yang tinggi mengenai Alkitab” McGavran mengartikan bahwa “keseluruhan
Alkitab”-Kitab Suci kanonikal dari Perjanjian Lama dan Baru - adalah Firman Allah. Alkitab
berwenang dan menuntut iman dan ketaatan kepada seluruh pernyataannya. Melalui “pandangan
yang tinggi mengenai budaya” dia mengartikan bahwa setiap budaya adalah “layak diberikan
lingkungan yang spesifik di mana budaya itu telah berkembang.” Dia kemudian menjelaskan
bahwa hal ini tidak berarti bahwa semua komponen dari sebuah budaya tertentu harus dianggap
sebagai benar tetapi hanya, asalkan kita memahami situasi dimana mereka berkembang, mereka
dapat dianggap sebagai layak. Maka, “bentrokkan” yang dimaksudkan McGavran bukanlah
antara kekristenan dan budaya begitu saja, tetapi antara kekristenan dan komponen-komponen
budaya yang spesifik.

REFLEKSI

Kiai Sadrach adalah fenomena dalam kekristenan di Jawa pada awal abad ke-20. Ia
adalah seorang Jawa dengan pendidikan dan pengetahuan tentang agama Kristen yang sangat
terbatas dapat mendirikan gereja melampau siapapun pada masa itu. Meskipun dalam
pelayanannya mendapat hambatan dari zending dan dari pemerintah namun setelah kurang dari
10 tahun, pada tahun 1898 berhasil mendirikan 70 gereja dengan anggota jemaat sekitar 7000
jiwa. Capaian Kiai Sadrach tersebut berbeda dengan raihan seorang misionari bernama Vermeer
yang melayani di Pekalongan dan Tegal mulai pada tahun1861, yang kemudian berpindah
pelayanan ke Keresidenan Banyumas bekerjasama dengan gereja yang sudah dilayani oleh
Nyonya Oostrom. Selama 10 tahun pelayanannya misionari Vermeer hanya berhasil
mengkristenkan sekitar 10 orang. [14]

Mengapa Kiai Sadrach lebih berhasil dalam pelayanan pertumbuhan gereja? Karena Kiai
Sadrach sejak awal melakukan pendekatan pelayanan yang berbeda dengan para misionari. Kiai
Sadrach sangat menguasai dan menghargai kebudayaan Jawa dan menjadikan kebudayaan Jawa
sebagai bungkus Injil Yesus Kristus yang diimaninya. Jadi kontekstualisasi merupakan cara
khas kekristenan yang dikembangkan oleh Kiai Sadrach.

Penyebaran agama dengan kontekstual juga telah terbukti berhasil mengislamkan tanah
Jawa. Tanah Jawa menjadi mayoritas beragama Islam oleh karena dakwah yang dilakukan oleh
Wali Sanga. Tanah Jawa yang sebelumnya beragama Hindu dan Budha (atau kepercayaan lain)
kemudian berubah menjadi Islam.

Jadi mengapa pelayanan kita tidak menggunakan cara-cara yang kontekstual?

[1]Budiman R.L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontektualisasi, (tth), hal.1-4.

[2]Nampaknya tidak ada istilah yang ideal untuk proses menyesuaikan pesan Kristen pada

orang-orang dari kebudayaan lain. J.H Bavinck menolak istilah akomodasi (dan adaptasi) karena
kata ini “mengandung suatu arti penolakan atau suatu perusakan.” Apa pun juga yang asli bagi
suatu kebudayaan “berakar di dalam” atau “alamiah bagi” kebudayaan itu. Oleh karena itu, akar
Indigenisasi mungkin menyesatkan bahwa kata tersebut mengandung arti terlalu banyak.
Bagaimanapun juga, Injil tidaklah alamiah bagi kebudayaan manapun. Inkulturasi- ”proses
melepaskan unsur-unsur suprakultural Injil dari satu kebudayaan dan mengontekstualisasikannya
dalam bentuk kultural dan lembaga-lembaga sosial dari kebudayaan lain, dengan sedikitnya
beberapa tingkatan transformasi dari bentuk dan lembaga-lembaga itu” - merupakan suatu istilah
yang berguna, tetapi istilah ini mengambil pemahaman yang lazim dari “mengontekstualisasi”
dan, bagaimanapun juga, tidak mencapai pemakaian yang umum. Bruce C. E. Fleming keberatan
terhadap istilah baru kontekstualisasi. Dia berpikir bahwa kata tersebut begitu dicemari oleh
presuposisi (mensyaratkan) teologia liberal sehingga akan menjadi lebih baik untuk memakai
istilah konteks-indigenisasi. James O. Buswel III menerima istilah kontekstualisasi tetapi merasa
bahwa hal ini tidak perlu menunjukkan suatu perbaikan dari istilah-istilah yang lebih lama yaitu
indigenous (asli, pribumi), indigeneity, dan indigenisasi dalam setiap keadaan yang sebenarnya
(Lihat David J. Hesselgrave, Communicating CHRIST Cross-Culturally (Mengomunikasikan
Kristus secara Lintas Budaya)Pendahuluan ke Komunikasi Misionari (Malang, Literatur SAAT,
2005).

[3]Lihat ulasan tentang latar belakang istilah kontekstualisasi dalam Y. Tomatala, Teologi

Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), (Malang, Gandum Mas, 1993), hal. 2-7.

[4]Budiman, hal.10-13.

[5]Diambil dari Y. Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatau Pengantar), (Malang,

Gandum Mas, 1993), hal. 22-26.

[6] Rick Love, Kerajaan Allah dan Muslim Tradisional, (Pasadena, William Carey

Library, tth), hal.49-54.

[7]Frase “menjadi seperti” menunjukkan bahwa identifikasinya adalah total. Ia tidak

menjadi seorang Yahudi bagi orang-orang Yahudi. Ia menjadi seperti orang Yahudi.

[8] J.H. Bavink, An Introduction to the Science of Missions, (Philadelfia, The Presbyterian

and Reformed Publishing Co., 1960), hal 175-179,190 yang dikutip oleh Budiman, hal.42.
[9] Deand S. Gilliland, The Word Among Us, (Waco, Word Books Publisher, 1989), hal.

25 dikutip oleh Budiman, hal.42.

[10]Bagian ini diringkas dari buku Niebuhr berjudul Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta,

Petra Jaya, 1951), buku asli H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper & Row,

Harper Torchbooks, 1956).

[11]Band. Henry R. Van Til, The Calvinistic Concept of Culture (Philadelphia:Presbyterian

and Reformed, 1959).

[12]J.D Douglas, ed., Let the Earth Hear His Voice (Minneapolis: World Wide, 1975), hal.

6-7.

[13]Tentang pandangan-pandangan ini baca penjelasan C. Peter Wagner, Di Atas Puncak

Gelombang, Menjadi Seorang Kristen Dunia, (Jakarta, Harves Pub;ication Houset, 1996), hal.

64,65. Wagner mendukung pandangan yang keempat seperti pendapat yang disampaikan oleh

McGavran.

[14]Edi Suranta Ginting, Pelayanan Gereja yang Kontekstual (Bandung, Trinaus, 2010), hal.

34-35 dengan mengutip dua sumber buku C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa,

(Jakarta, Gramedia, 1985) dan Sutarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar

Kontekstualnya (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001).

Anda mungkin juga menyukai