LEE THORNDIKE
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Belajar
Dosen Pengampu: Rafika Nur Kusumawati, S. Psi., M. Si.
DISUSUN OLEH
• Selama 55 tahun karirnya, ia menerbitkan sekitar 500 buku dan artikel yang
beragam seperti: pembelajaran, metode analisis statistik dan elemen estetika kualitas
hidup di perkotaan.
• Studi hewan intelijen (yang paling dikenal adalah “kucing dalam kotak
puzzle” percobaan pada Trial dan Error).
• Setelah berhasil dalam penelitiannya ia menerapkannya pada manusia.
• Thorndike berhasil menciptakan sebuah skala untuk mengukur tangan anak-
anak (1910) dan sebuah tabel frekuensi-kata dalam bahasa Inggris (1944).
A. Teori Connectionism
Teori belajar connectionism adalah teori yang dikembangkan oleh Edward Lee
Thorndike pada tahun 1890an melalui eksperimen menggunakan hewan-hewan terutama
kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Mengapa bisa disebut connectionism (pertautan,
pertalian)? Karena Thorndike berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses stamping in
(diingat), forming, hubungan antara stimulus dan respon. Belajar merupakan peristiwa
terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan
respons. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda
unutk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respons dari adalah
sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
Eksperimen Thorndike mengenai teorinya menggunakan hewan-hewan terutama kucing
untuk mengetahui fenomena belajar. Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang
coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan
pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut
tersentuh. Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka
kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak
tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan
kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah
kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop
tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui
bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan
(trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung
menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”,
yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-
perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Respons menimbulkan stimulus yang baru,
selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya, sehingga
dapat digambarkan sebagai berikut:
S R S1 R1 dst.
Dalam eksperimen ini, diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan
respons, perlu adanya kemampuan dalam memilih respons yang tepat serta melalui usaha-
usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting and
connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.
Evolusi teori belajar Thorndike dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni teori
belajar sebelum tahun 1930 dan sesudah tahun 1930. Sebelum membicarakan perbedaan
pendapat dalam dua kurun waktu, prinsip-prinsip teori belajar Thorndike dapat dijelaskan
terlebih dahulu.
Thorndike mengemukakan dua kelompok hukum tentang proses belajar, yaitu hukum
primer dan hukum subsider.
Singkatnya, kesiapan untuk bertindak akan timbul, karena penyesuaian diri dengan
alam sekitarnya, yang akan memberi kepuasan. Apabila tidak memenuhi kesiapan
bertindak, maka tidak akan memberi kepuasan.
b. Law of Exercise
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil
perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat yang menyenangkan, cenderung akan
dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti
akibat yang tidak menyenangkan, cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Seseorang dibiarkan membuat reaksi atau respon dan memilih yang paling baik
dan mempunyai nilai intrinsik atau hadiah sosial. Artinya, bermacam-macam usaha
coba-coba dalam menghadapi situasi yang kompleks (problematis), maka salah satu
dari percobaan itu akan berhasil juga. Maka, hukum ini disebut pula “trial and
error”.
Orang yang belajar (learner) mendapatkan fakta secara pribadi dari hasil respons,
sikap atau set yang tidak hanya dipikirkan atau dikerjakannya, tetapi juga yang
dienggani, tidak disukai atau ditolak.
Seseorang mengadakan respons terhadap suatu situasi baru dengan analogi yang
sungguh-sungguh diilustrasikan situasi tersebut. Artinya, orang dapat menyesuaikan
diri pada situasi baru, asal situasi tersebut ada unsur-unsur yang sama
Menurut Sahakian (Dalam Mulyati:2005), fakta sama, yang merupakan respons hasil
perlawanan suatu insting atau kebiasaan, menghitung asimilasi maupun asosiasi yang
berubah.
Faktor lain yang mempermudah usaha belajar adalah rasa masuk menjadi bagian suatu
kelompok (belongingness). Artinya, item yang berlangsung bersamaan secara alami akan
lebih mudah dipelajari daripada item yang hanya berdiri berjajar tanpa ada arti atau relasi satu
dengan lainnya. Hal ini telah menjurus kepada psikologi Gestalt, sebagaimana disampaikan
Bower dan Hilgard (Dalam Mulyati:2005).
Teori belajar sesudah tahun 1930 mengalami perkembangan. Pendapat Thorndike
direvisi karena ada perkembangan teori teori lain sehingga muncul kritik terhadap teori
koneksionisme. Berdasarkan eksperimennya, Thorndike mengadakan perubahan-perubahan
atas teorinya. Perubahan-perubahan itu dituangkannya ke dalam kedua karyanya, yaitu:
Revisi pendapat atau teori Thorndike pada hakikatnya merupakan revisi tentang hukum
primer, yakni:
Perubahan tersebut adalah ulangan yang berlangsung dalam keadaan saat law of effect
tidak bekerja. Sebenarnya, ulangan tidak mengakibatkan sesuatu pun tanpa faktor lain yang
membuat ulangan tersebut efektif.
Dari hukum-hukum di atas dapat disimpulkan bahwa teori connectionism adalah belajar
merupakan suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara reseptor (panca indera)
stimulus dengan suatu tindakan. Pada dasarnya prinsip proses belajar pada binatang dan
manusia sama, namun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa
diperantarai pengertian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati
dan terjadi secara mekanis.
Sebuah konsep lain juga lahir dari teori connectionism yang disebut transfer of training
dimana disebutkan bahwa keterampilan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan
untuk memecahkan masalah yang lain. Konsep ini lahir berdasarkan percobaan yang
dilakukan kepada kucing dengan “problem-box” nya.
Thorndike berpendapat bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid
tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Contohnya
mengajarkan anak SD untuk mengukur berat dan panjang melalui aktivitas yang melibatkan
hal tersebut, misalnya memasak. Dengan ini guru harus mengerti materi apa yang hendak
diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan
respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didikan dan
harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut
bermacam-macam situasi. Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar
harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks. Contohnya mengajarkan anak
SMP untuk menggambar peta hendaknya dimulai terlebih dahulu dengan mengajarkan
mereka cara mengonversi satuan panjang, misalnya dari mil ke cm.
Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting karena perilaku peserta didik terutama
ditentukan oleh external rewards dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting
dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus. Bila peserta didikan melakukan
respon yang salah, harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang. Dengan demikian
ulangan yang teratur diperlukan sebagai kontrol bagi guru, untuk mengetahui apakah peserta
didik sudah melakukan respon yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru.
Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam
masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di
luar kelas. Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk
kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Aminatus, S. (2009). Implementasi Prinsip Belajar Law of Exercise Perspektif Edward Lee
Thorndike dalam Meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa X-11 pada Pembelajaran Al-
Islam di SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo.
Schunk, D. H. (2012). Learning Theories and Education Perspective (Teori-teori
Pembelajaran Perspektif Pendidikan) Edisi Keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syah, M. (2015). Psikologi Belajar (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rajawali Pers.
Simbolon, S. S. (2017). Teori Thorndike. Article Online
http://scdc.binus.ac.id/himpgsd/2017/06/teori-thorndike/.
Mulyati. (2005). Psikologi Belajar. Yogyakarta: Andi Offset.
Makki, A. (2019). Mengenal Sosok Thorndike: Aliran Fungsionalisme dalam Teori Belajar.
Jurnal Studi Islam, Vol. 14 No. 1.
Ahmad, M., & Joko, S. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Setia.