Anda di halaman 1dari 27

STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

TOKOH-TOKOH TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

OLEH :

SHINTA DWI MAHARANI

20029142

FAKLUTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behavioristik

A. Edward Lee Thorndike (1874-1949)


1. Biografi
Edward Lee Thorndike lahir pada tanggal 31 Agustus 1874 di Williamsburg
Massachusetts. Ia adalah putra kedua Robert Edward Thorndike dan Abbie Ladd
Thorndike. Ia adalah seorang anak yang metodis menteri di Lowell, Massachusetts.
Pada tanggal 29 Agustus 1900 dia menikah dengan Elizabeth Moulton dan mempunyai
lima orang anak. Ia meninggal dunia pada usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 9
Agustus 1949.
Thorndike menjadi seorang psikolog Amerika Serikat yang menghabiskan hampir
seluruh karirnya di Teachers Collage, Columbia University. Thorndike tertarik pada
bidang psikologi setelah membaca buku “Prinsip Psikologi” karya Willian Jame’s.
Pada tahun 1891, Thorndike mendapatkan kelulusan dari The Roxbury, di West
Roxbury, kemudian pada tahun 1895 ia lulus dari University Wesleyan untuk gelar S1
dan pada tahun 1897 mendapatkan gelar S2 di University Harvard. Pada akhirnya
Thorndike mendapatkan gelar doktornya di Universitas Columbia.
Adapun karya-karya dari Thorndike anatara lain Educational Psychology pada tahun
1903, Mental and social Measurements pada tahun 1904, Aninaml Intelligence pada
tahun 1911, Ateacher’s Word Book pada tahun 1921, Your City pada tahun 1939,dan
Human Nature and The Social Orderpada tahun 1940.
Pada tahun 1925 Thorndike pernah menerima Butler Gold Medali di Columbia
University. Oleh karenanya, Dia dikenal sebagai bapak psikologi modern pendidikan
pada masa itu. Disertasi doktornya yang ia lakukan pada hewan intelijen di bawah
bimbingan James McKeen Cattell, salah satu dari ahli psychometrics, telah dianggap
oleh banyak psikolog sebagai tanda awal kajian ilmiah dari perilaku binatang. Dia juga
menjadi peserta didik pertama yang mengkaji kajian ilmiah dalam proses pembelajaran
yang digunakan oleh orang dewasa pada tahun 1928. Karya ini sekaligus membuktikan
bahwa kemampuan orang dewasa untuk belajar sangat sedikit ditolak karena usia pada
waktu itu.
Thorndike adalah salah satu orang yang pertama kali mengembangkan standar
intelijen, pencapaian, dan tes bakat. Dia membantu merancang ujian yang digunakan
selama Perang Dunia I untuk klasifikasi personel tentara. Pada perang dunia I
Thorndike menerapkan keahliannya untuk bekerja di Amerika serikat Army. Dia
menciptakan alfa dan beta tes yang dikenal dengan (ASVAB) “The Armed Services
Vocational Aptitude Battery” yaitu ujian pilihan ganda, proses administratif yang
dilakukan oleh Militer Amerika Serikat yang digunakan untuk menentukan kualifikasi
pendaftaran masuk angkatan bersenjata Amerika Serikat. Hal itu dilakukan Untuk
keperluan klasifikasi prajurit, dengan realisasi bahwa beberapa prajurit tidak cukup
hanya bisa membaca dengan baik saja (tes alpha) tetapi juga harus lulus tes beta yang
berisi gambar dan diagram, dan setelah itu mulai berkembanglah pendidikan psikologi.
Untuk itu Edward Lee Throndike juga ahli dibidang penyelidikan sumber daya
manusia dan pembelajaran hewan. Dia termasuk orang-orang yang paling berpengaruh
dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1912, dia dipilih menjadi presiden American
Psychological Association. Kemudian dipilih oleh American Association untuk
kemajuan Ilmu Pengetahuan pada tahun 1934 sebagai satusatunya ilmuwan sosial yang
menjadi kepala/ketua di organisasi tersebut.

2. Percobaan yang Dilakukan Edward Lee Thorndike


Dalam eksperimennya Thorndike menggunakan hewan-hewan terutama kucing
untuk mengetahui fenomena belajar. Seeokor kucing yang lapar ditempatkan dalam
sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit,
gerendal pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut.
Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut
memperoleh makanan yang tersedia didepan sangkar tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri
dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut
mengeong, mencakar, melompat, dan berlarian-larian, namun gagal membuka pintu
untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana secara
kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar
tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental
conditioning. Artinya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental atau
penolong untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah
hubungan antara stimulus dan respons. Dalam eksperimen Thorndike ini terdapat dua
hal pokok yang dapat mendorong timbulya belajar:
a) Keadaan kucing yang lapar.
Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk keluar,
barangkali dia akan tidur saja dalam kurungan itu atau dengan kata lain, kucing itu
tidak akan menampakan gejala belajar untuk keluar, berhubung dengan hal ini dapat
dipastikan bahwa motivasi dan respons (sepeti rasa lapar) merupakan hal yang sangat
vital dalam belajar.
b) Tersedianya makanan di depan pintu kurungan. Makanan ini merupakan efek positif
atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya
hukum belajar yang disebut law of effect, Artinya jika sebuah respons menghasilkan
efek yang memuaskan, maka hubungan antara stimulus dengan respons akan
semakin kuat. Begitu juga sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek
yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan stimulus dengan respons
tersebut.

Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respon untuk keluar


kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus
dalam suatu proses coba-coba (trial and error). Respon yang benar secara bertahap
diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respon yang tidak benar
melemah atau menghilang. Teori Connectionism Thorndike ini juga dikenal dengan
nama “Instrumental Conditioning”, karena respon tertentu akan dipilih sebagai
instrumen dalam memperoleh “reward” atau hasil yang memuaskan.

3. Teori Belajar Thorndike


Edward L. Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal – hal yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat
berupa pikiran, persaan atau gerakan (tindakan). Dari definisi belajar tersebut maka
menurut Thorndike perubahan atau tingkah laku akibat kegitan belajar itu dapat berujud
kongkrit yaitu dapat diamati. Teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh
Thorndike ini disebut juga Koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada
hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan
respon.
Terdapat beberapa dalil atau hukum yang dikemukakan Thorndike, yang
mengakibatkan munculnya stimulus respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of
readiness), hukum latihan (law of exsercise) dan hukum akibat (law of effect).
a) Hukum Kesiapan (law of readiness)
Hukum ini menerangkan bagaimana kesiapan seseorang siswa dalam
melakukan suatu kegiatan. Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk
bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan
kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.
Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian
bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya,
akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan
ketidakpuasan tersebut. Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang
siswa akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan
belajar.
b) Hukum Latihan (law of exercise)
Menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi akibatnya
hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus respon
dipergunakan, maka makin lemahlah hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada
dasarnya mengungkapkan bahwa stimulus dan respon memiliki hubungan satu
sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, dan makin banyak
kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersirfat otomatis.
Seorang siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan
segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada
waktu sebelumnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak
positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangannya tidak
membosankan dan kegiatannya disajikan dengan cara yang menarik.
c) Hukum Akibat (law of effect)
Thorndike mengemukakan bahwa suatu tindakan akan menimbulkan pengaruh
bagi tindakan yang serupa. Ini memberikan gambaran bahwa jika suatu tindakan
yang dilakukan seorang siswa menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan bagi
dirinya, tindakan tersebut cenderung akan diulanginya. Sebaliknya tiap-tiap
tindakan yang mengakibatkan kekecewaan atau hal-hal yang tidak menyenangkan,
cenderung akan dihindarinya.

4. Implementasi dalam pembelajaran


Penerapan teori belajar Thorndike dalam pembelajaran matematika adalah sebagai
berikut: Pertama, sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus
memastikan siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut, setidaknya ada aktivitas
yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kedua,
pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang kontinu, hal ini
dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa. Dengan kata lain,
materi yang diberikan memiliki hubungan dengan materi sebelumnya. Dalam proses
belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika dengan cara yang
menyenagkan, contoh soal dan latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap,
dari yang mudah hingga yang sulit. Hal ini agar siswa mampu menyerap materi yang
diberikan. Ketiga, pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat
membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama. Keempat, siswa yang telah
belajar dengan baik harus segera diberi reward, dan yang belum baik harus segera
diperbaiki, dalam belajar.

5. Kesimpulan
Teori belajar menurut Thorndike dikenal dengan teori koneksionisme adalah
perubahan tingkah laku melalui stimulus dan respon. Artinya, perubahan tingkah laku
dibentuk sesuai dengan keinginan lingkungan karena individu merespon sesuai dengan
stimulus yang diberikan. Selain itu respon yang diberikan akan baik, jika seseorang
tersebut sudah siap dalam menerima stimulus, sehingga menimbulkan kepuasan bagi
diri individu itu sendiri. Untuk mendapatkan hasil belajar yang baik maka pemberian
stimulus harus sering dilakukan berulang kali, agar respon yang diberikan juga semakin
baik. Melalui teori ini guru matematika harus mempersiapkan pembelajaran matematika
dimulai dari kesiapan siswa belajar, kemudian pengulangan dalam bentuk latihan soal
perlu dilakukan dan pemberian penghargaan baik verbal maupun nonverbal perlu
dilakukan agar siswa merasa setiap aktivitasnya dalam belajar matematika dihargai oleh
gurunya.

B. Ivan P.Pavlov (1849-1936)


1. Biografi
Tokoh Classical Conditioning dan bapak teori belajar Modern, Ivan Petrovich
Pavlov dilahirkan di Ryazan Rusia desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov
menjadi seorang pendeta pada 18 September tahun 1849 dan meninggal di Leningrad
pada tanggal 27 Pebruari 1936. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke
Seminari Teologi. Ayahnya seorang pendeta, dan awalnya Pavlov sendiri berencana
menjadi pendeta, namun dia berubah pikiran dan memutuskan untuk menekuni
fisiologis. Dia sebenarnya bukanlah sarjana psikologi dan tidak mau disebut sebagai ahli
psikologi, karena dia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Tahun 1870, ia
memasuki Universitas Petersburg untuk mempelajari sejarah alam di Fakultas Fisika
dan Matematika.
Pada tahun ketiga, ia mengikuti kursus di Akademi Medica Chiraginal. Namun, ia
tidak ingin menjadi dokter, melainkan seorang ahli fisiolog berkualitas. Pavlov meminta
setiap orang yang bekerja di laboratoriumnya menggunakan hanya istilah-istilah
fisiologis saja. Jika asisitennya ketahuan menggunakan bahasa psikologi, contohnya
menunjuk kepada perasaan atau pengetahuan si anjing, maka dia akan mendenda
mereka. Eksperimen Pavlov yang sangat terkenal dibidang fisiologi dimulai ketika ia
melakukan studi tentang pencernaan.
Dalam hidupnya Pavlov dipengaruhi oleh buku-buku abad ke-16, terutama yang
ditulis Pisarev. Dia sangat konsekwen dengan pekerjaannya sehingga banyak
memperoleh tambahan pengetahuan tentang fisiologi. Perjalanan Pavlov ke luar negeri
memberikan arti penting dalam mendukung dirinya menjadi seorang fisiolog.
Keahliannya dibidang fisiologi sangat mempengaruhi eksperimen-eksperimennya.
Ia terkenal dengan teori belajar klasiknya yaitu Pavlovianisme, yang diambil dari
nama pavlov sebagai peletak dasar teori itu, dan ia juga merupakan seorang penganut
aliran tingkah laku (Behaviorisme) yaitu aliran yang berpendapat, bahwa hasil belajar
manusia itudidasarkan kepada pengamatan tingkah laku manusia yang terlihat melalu
stimulus respons dan belajar bersyarat (Conditioning Learning). Menurut aliran ini
tingkah laku manusia termasuk organisme pasif yang bisadikendalikan. Tingkah laku
manusia bisa dikendalikan dengan cara memberiganjaran dan hukuman.
Ketika Pavlov menginjak usia 50 tahun dia memulai karyanya yang terkenal tentang
refleks-refleks yang terkondisikan (condition refleks). Karya tulisnya adalah Work of
Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes. Di Tahun 1904 dia memperoleh
hadiah Nobel dibidang Physiology or Medicine untuk karya tersebut. Karyanya
mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika (The
Official Web Site of the Nobel Foundation, 2007).

2. Percobaan Ivan P.Pavlov


Prosedur Conditioning Pavlov disebut Classic karena merupakan penemuan
bersejarah dalam bidang psikologi. Secara kebetulan Conditioning refleks (psychic
refleks) ditemukan oleh Pavlov pada waktu ia sedang mempelajari fungsi perut dan
mengukur cairan yang dikeluarkan dari perut ketika anjing (sebagai binatang
percobaannya) sedang makan. Ia mengamati bahwa air liur keluar tidak hanya pada
waktu anjing sedang makan, tetapi juga ketika melihat makanan. Jadi melihat makanan
saja sudah cukup untuk menimbulkan air liur. Gejala semacam ini oleh Pavlov disebut
“Psychic” refleks.
Berangkat dari pengalamannya, Pavlov mencoba melakukan eksperimen dalam
bidang psikologi dengan menggunakan anjing sebagi subjek penyelidikan. Untuk
memahami eksperimen-eksperimen Pavlov perlu terlebih dahulu dipahami beberapa
pengertian pokok yang biasa digunakan dalam teori Pavlov sebagai unsur dalam
eksperimennya.
1) Perangsang tak bersyarat = perangsang alami = perangsang wajar = Unconditioned
Stimulus (US); yaitu perangsang yang memang secara alami, secara wajar, dapat
menimbulkan respon pada organisme, misalnya: makanan yang dapat menimbulkan
keluarnya air liur pada anjing.
2) Perangsang bersyarat = perangsang tidak wajar = perangsang tak alami =
Conditioned Stimulus (CS) yaitu perangsang yang secara alami, tidak menimbulkan
respon; misalnya: bunyi bel, melihat piring, mendengar langkah orang yang biasa
memberi makanan.
3) Respon tak bersyarat = respon alami = respon wajar = Unconditioned Response
(UR); yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat
(Unconditioned Stimulus = UR).
4) Respon bersyarat = respon tak wajar = Conditioned Response (CR), yaitu respons
yang ditimbulkan oleh perangsang bersyarat (Conditioned Response = CR.

Adapun langkah-langkah eksperimen yang dilakukan Pavlov sebagai berikut:


1) Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (US) maka secara otonom anjing
akan mengeluarkan air liur (UR).
2) Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau mengeluarkan air
liur.
3) Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (US) setelah
diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air
liur (UR) akibat pemberian makanan.
4) Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing
mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan
memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR)
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku
sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang
terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-
refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi
lamakelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-
gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga
dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar
(unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat dan refleks
bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks)-keluar air liur karena
menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.

3. Teori Belajar Ivan P.Pavlov


Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika
dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2) Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer maka kekuatannya akan menurun

Demikianlah maka menurut teori conditioning, belajar itu adalah suatu proses
perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian
menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita
memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori
conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus). Yang
diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis.
Prinsip-prinsip belajar menurut Classical Conditioning dapat diringkaskan sebagai
berikut:
1) Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
2) Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara
menghubungkan/mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kuat
dengan perangsang yang lebih lemah.
3) Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme
4) Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak US dan CS akan
menimbulkan aktivitas otak. Aktivitas yang ditimbulkan US lebih dominan
daripada yang ditimbulkan CS. Oleh karena itu US dan CS harus di pasang
bersama-sama, yang lama kelamaan akan terjadi hubungan. Dengan adanya
hubungan, maka CS akan mengaktifkan pusat CS di otak dan selanjutnya akan
mengaktifkan US. Dan akhirnya organisme membuat respon terhadap CS yang
tadinya secara wajar dihubungkan dengan US.

4. Implementasi teori Ivan P.Pavlov


Adapun contoh penggunaan pemikiran Pavlov dalam pembelajaran matematika
yaitu:
1) Guru memberikan soal latihan matematika kepada muridnya, dan guru harus
memberikan imbalan atas kerja keras anak, misalnya memeriksa hasil latihan yang
dikerjanya mereka dan memberikan nilai, perlakuan seperti itu akan menjadi
perangsang agar murid bersemangat mengerjakan soal-soal latihan matematika
berikutnya.
2) Sikap ramah seorang guru memiliki kecendrungan menimbulkan respons positif pada
subjek didik, meskipun ada kemungkinan timbulnya respons negatif pada subjek
didik manja. Pada awal pelajaran, konsep-konsep yang sulit dapat menimbulkan
shock simbol pada sebagian subjek didik, tetapi justru dapat pula merangsang subjek
didik belajar gigih agar memahaminya. Demikian pula, latar belakang ekonomi
rendah dapat menimbulkan respons berupa semangat belajar tinggi dan sebaliknya.
3) Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas
matematika, misalnya: a. Menekankan pada kerjasama dan kompetisi antarkelompok
daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara
negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneraalissikan
dengan pelajaran-pelajaran yang lain. b. Membuat kegiatan membaca menjadi
menyenangkan dengan menciptakaan ruang membaca (reading corner) yang nyaman
dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
4) Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang
mencemaskan atau menekan, misalnya: a. Mendorong siswa yang pemalu untuk
mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran. b. Membuat tahap jangka
pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengaan memberikan tes
harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
c. Jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan hasil
akhir dari tugas matemakikanya di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat,
kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia
untuk membaca hasil tugas tersebut di depan seluruh murid di kelas.
5) Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi
sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat.
Misalnya, dengan meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian akhir
dalam pelajaran matematika, yakinkan bahwa ujian tersebut sama dengan ujian-ujian
matematika lain yang pernah mereka lakukan.
5. Kesimpulan
Teori classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru
dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Dengan adanya
stimulus berupa hadiah (reward) yang diberikan kepada peserta didik dapat
menumbuhkan motivasi belajar siswa, sehingga siswa lebih tertarik pada guru, artinya
tidak membenci atau bersikap acuh tak acuh , tertarik pada mata pelajaran yang
diajarkan, mempunyai antusias yang tinggi serta mengendalikan perhatianya terutama
pada guru, selalu mengingat pelajaran dan mempelajarinya kembali, dan selalu
terkontrol oleh lingkungan. Contohnya yaitu pada awal tatap muka antara guru dan
murid dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah
dan memberi pujian terhadap muridmuridnya, sehingga para murid merasa terkesan
dengan sikap yang ditunjukkan gurunya.

C. Burrhus F. Skinner (1904-1990)


1. Biografi
Burrhus F. Skinner lahir di pedesaan yang bernama Susuquehanna Pennsylvania
pada 20 maret 1904 dan wafat di Massachusetts, pada tanggal 18 Agustus 1990
disebabkan oleh penyakit leukimia yang dideritanya. Masa kanak-kanaknya dilalui
dengan kehidupan yang penuh dengan kehangatan namun cukup ketat dalam disiplin.
Ayahnya adalah pengacara yang menjadi General Counsel di sebuah perusahaan batu
bara besar, dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Skinner menunjukan
minta seni dan intelektual yang besar dengan kecendungan kuat pada seni sastra. Ketika
di Hamilton Collgge Skinner mempelajari sastra modern dan klasik, menulis puisi,
berlatih musik, menjadi pelukis, dan pemain saksofon yang handal. Skinner meraih
sarjana muda di Hamilton Collega, New York, dalam bidang sastra Inggris, pada tahun
1928. Pada saat telah lulus dari Hamilton College Skinner menjadi penulis meskipun
ayahnya mendesak agar Skinner meninggalkan karir yang menurut ayahnya tidak
memberikan sesuap nasi. Pada awalnya Skinner tetap bersikeras dengan karirnya itu,
namun pada akhirnya, setahun setelah menjalani itu ia pun memutuskan menuntut ilmu
di Harvard dan mengikuti program pascasarjana untuk psikologi yang sulit dipelajarinya
ketika di college.
Skiner mulai memasuki kuliah psikologi di Universitas Hardvard dengan
menghususkan diri pada bidang tingkah laku hewan dan meraih doktor pada tahun
1931. Sejak tahun 1947 Skiner berkerja di Hardvard. Penelitian yang dilakukannya
difokuskan pada penelitian menganai system saraf hewan. Pada tahun 1936-1945 ia
mengajar di Universitas Mingoesta. Bidang Psikologi yang didalami oleh Skinner
adalah analisis ekperimental atas tingkah laku. Skinner melakukan penyelidikan
terutama pada organisme infrahuman, biasanya tikus atau merpati, ia juga dikenal
sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini
bahwa prilaku dikontrol melalui proses operant conditioning.
2. Percobaan Burrhus F. Skinner
Sama seperti Thorndike, Skinner menggunakan kotak dalam melakukan
percobaannya. Perbedaannya, Skinner menggunakan kotak yang disebut Skinner Box
atau Kotak Skinner. Berbeda dengan Thorndike dimana untuk memperoleh makanan,
hewan yang dimasukkan dalam kotak harus berusaha keluar. Pada Kotak Skinner hewan
yang dalam percobaan ini menggunakan tikus dan burung merpati, hewan tersebut tidak
perlu keluar dari kotak.
Mekanisme Kotak Skinner ini ialah Skinner meletakkan tikus lapar dalam sebuah
kotak yang disebut Kotak Skinner. Di dalam kotak, tikus dibiarkan melakukan aktivitas,
berjalan dan menjelajahi keadaan sekitar. Dalam aktivitas itu, tikus tanpa sengaja
menyentuh suatu tuas atau tombol dan menyebabkan keluarnya makanan di dialam
kotak tersebut. Tikus akan melakukan lagi aktivitas yang sama untuk memperoleh
makanan, yakni dengan menekan tuas. Semakin lama semakin sedikit aktivitas yang
dilakukan untuk menyentuh tuas dan memperoleh makanan. Disini tikus mempelajari
hubungan antara tuas dan makanan. Hubungan ini akan terus terbentuk apabila makanan
tetap meruapakan hadiah bagi kegiatan yang dilakukan tikus.

3. Teori Belajar Burrhus F. Skinner


Teori belajar Skinner didasarkan atas gagasan bahwa belajar adalah fungsi
perubahan perilaku individu secara jelas. Perubahan perilaku tersebut diperoleh sebagai
hasil respon individu terhadap kejadian (stimulus) dari lingkungan. Ketertarikan Skinner
terhadap perilaku individu terletak pada stimulus-respon (SR) yang dihasilkan.
Penguatan merupakan unsur terpenting dalan teori stimulus-respon Skinner. Penguatan
stimulus dilakukan berulang-ulang agar dapat memperkuat respon yang dikehendaki.
Sehingga perilaku individu dikontrol oleh penguatan stimulus yang mengikutinya.
Ukuran perilaku individu yang terpenting adalah tingkatan atau kecepatan responnya.
Skinner membedakan adanya dua respon yaitu; pertama respondent respont
(reflexive respone) yaitu respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu,
misalnya makanan. Kedua operant respont (instrumental respon), yaitu respon yang
ditimbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang
yang demikian disebut reinforcer, karena perangsang tersebut memperkuat respon yang
telah dilakukan oleh organisme.
Teori yang dikemukakan Skinner disebut dengan Operant Conditioning dimana
dalam teori ini mengungkapkan bagaimana seorang individu belajar tingkah laku baru
atau mengubah tingkah laku yang sudah ada sejak lama. Operant conditioning adalah
suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut
dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Operant adalah perilaku yang
diperkuat jika akibatnya menyenangkan. Operant conditioning telah terbentuk bila
dalam frekuensi tingkah laku operant yang bertambah atau bila timbul tingkah laku
operant yang tidak tampak sebelumnya.
Adapun prinsip-prinsip Operant Conditioning antara lain :
a) Reinforcement atau penguatan. Dalam prinsip ini dijelaskan bahwa untuk
memperkuat perilaku harus ada yang namanya penguatan. Penguatan dibagi
menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif
maksudnya ialah memberikan stimulus menyenangkan yang dalam hal ini individu
harus diberi reward atau hadiah. Sedangkan penguatan negatif maksudnya ialah
meniadakan atau menghindari stimulus yang tidak menyenangkan misalnya
individu akan memperkuat belajar untuk menghindari mendapat nilai jelek.
b) Punishment atau hukuman. Dalam prinsip ini dijelaskan bahwa individu harus
diberi hukuman untuk memperlemah atau meniadakan perilaku yang tidak perlu.
Bentuk hukuman berupa pukulan, teriakan atau pembatasan atas hak-hak yang
dimiliki.
c) Shaping atau pembentukan. Prinsip ini maksudnya ialah dalam pembelajaran
individu harus diajarkan secara berangsur-angsur dari yang mudah hingga hal yang
membuatuhkan respon yanng sulit melalui penguatan. Contoh sederhananya dalam
melatih lumba-lumba loncat melewati sebuah alat lumba-lumba tersebut dilatih
melompat-lompat saja terlebih dahulu apabila berhasil akan diberi hadiah berupa
makanan, terus menerus seperti itu hingga pada tahap lumba-lumba tersebut dapat
melompat melewati alat-alat yang disediakan.
d) Extinction atau eliminasi penguatan. Prinsip ini dilakukan dengan tujuan
meniadakan perilaku dengan cara menghilangkan penguat perilaku tersebut. Contoh
sederhananya seorang anak malas memasak karena memiliki seorang pembantu
maka dalam hal ini pembantu sebagai penguat perilaku malas sang anak harus
dihilangkan.
e) Generalisasi atau diskriminasi. Generalisasi maksudnya adalah pengulangan
perilaku dari individu dalam situasi yang sama, sedangkan diskriminasi ialah
individu akan belajar untuk tidak melakukan oengulangan perilaku pada situasi
yang berbeda.

4. Implementasi
Contoh penerapan teori Skinner dalam pembelajaran matematika adalah seorang
siswa diberi soal matematika sederhana dan siswa dapat menyelesaikannya sendiri.
Guru memuji siswa karena telah berhasil menyelesaikan soal tersebut. Dengan peristiwa
ini siswa merasa yakin atas kemampuannya, sehingga timbul respon mempelajari
pelajaran berikutnya yang sesuai atau lanjutan apa yang dapat dia selesaikan tadi.
Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya stimulus yang demikian pada umumnya
mendahului respon yang ditimbulkan. Belajar dengan respondent conditioning ini hanya
efektif jika suatu respon timbul karena kehadiran stimulus tertentu.
Contoh lainnya dalam matematika seorang siswa yang terbiasa melakukan
perhitungan matematika berupa operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian akan lebih mudah mengerjakan soal yang berhubungan dengan operasi-
operasi tersebut dengan cepat dan tanpa pemikiran yang lama.

5. Kesimpulan
Jadi bisa disimpulkan bahwasanya teori belajar Skinner adalah teori yang lebih
menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif
yang memberi respon terhadap lingkungan, dan pengalaman akan membentuk perilaku
mereka. Skinner percaya bahwa keperibadian dapat dipahami dengan
mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang terus-
menerus dengan lingkungannya. Cara yang efektif untuk mengubah dan mengontrol
perilaku adalah dengan melakukan reinforcement (penguatan), suatu strategi kegiatan
yang membuat perilaku tertentu berpeluang untuk terjadi atau sebaliknya (berpeluang
untuk tidak terjadi) pada masa yang akan datang.
Menurut teori ini hal terpenting dalam belajar adalah penguatan, pengetahuan yang
terbentuk melalui ikatan stimulus dengan respon akan semakin kuat apabila diberi
penguatan. Baik penguatan positif maupun negatif, dimana peningkatan positif dapat
meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif
dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.

D. Robert Gagne (1916-2002)


1. Boigrafi
Robert Gagne lahir pada 21 Agustus 1916. Gagne lahir di Andover Utara,
Massachusetts. Ia mendapatkan gelar A.B dari Universitas Yalepada tahun 1937 dan
gelar Ph.D dari Universitas Brown pada tahun 1940. Dia adalah seorang Professor
dalam bidang psikologi dan psikologi pendidikan di Connecticut College khusus wanita
(1940-1949), Universitas Negara bagian Pensylvania (1945-1946), Professor di
Departemen penelitian pendidikan di Universitas Negara bagian Florida di Tallahasse
mulai tahun 1969. Gagne juga menjabat sebagai direktur riset untuk angkatan udara
(1949-1958) di Lackland, Texas dan Lowry, Colorado. Ia pernah bekerja sebagai
konsultan dari departemen pertahanan (1958-1961) dan untuk dinas pendidikan
Amerika Serikat (1964-1966), selain itu ia juga bekerja sebagai direktur riset pada
Institut penelitianAmerika di Pittsburgh (1962-1965).
Penemuannya yaitu Conditions of learning. Menurut Robert Gagne, dalam proses
pembelajaran di awali dengan hal yang sederhana yaitu menerima informasi. Kemudian
akan menghasilkan output berupa hasil belajar tetapi tetap pada konteks stimulus dan
respon. Sehingga dia menamakannya Conditions of Larning yang artinya pembelajran
harus dapat di kondisikan agar tercapai reaksi berupa hasil belajar yang diinginkan.
2. Teori belajar Rober Gagne
Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian
mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam
penelitiannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk
menguji penerapan teorinya. Di dalam teorinya Gagne juga mengemukakan suatu
klasifikasi dari objek-objek yang dipelajari di dalam matematika.
Belajar menurut Gagne dijelaskan bukan sebagai proses tunggal, melainkan proses
yang luas yang dibentuk oleh pertumbuhan dan perkembangan tingkah laku. Menurut
Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi
interaksi antara kondisi internal dengan kondisi eksternal peserta didik. Hasil belajar
menghasilkan berbagai macam tingkah laku yang berlainan yang disebut kapasitas.
Kapasitas tersebut didapat dari: (1) stimulus yang berasal dari lingkungan. (2) proses
kognitif yang dilakukan peserta didik. Gagne mendefinisikan pengertian belajar secara
formal, belajar adalah perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia yang
berlangsung selama satu masa waktu dan tidak semata-mata disebabkan oleh proses
pertumbuhan yang menyangkut perubahan tingkah laku.
Menurut Gagne tingkah laku manusia sangat bervariasi dan berbeda dihasilkan dari
belajar. Kita dapat mengklasifikasikan tingkah laku sedemikian rupa sehingga dapat
diambil implikasinya yang bermanfaat dalam proses belajar. Gagne mengemukakan
bahwa keterampilan-keterampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut
kemampuan-kemampuan atau disebut juga kapabilitas.
Gagne mengemukakan 5 macam hasil belajar atau kapabilitas tiga bersifat kognitif, satu
bersifat afektif dan satu bersifat psikomotor. Hasil belajar menjadi lima kategori
kapabilitas sebagai berikut:
a) Informasi verbal
Kapabilitas informasi verbal merupakan kemampuan untuk
mengkomunikasikan secara lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta. Informasi
verbal diperoleh secara lisan, membaca buku dan sebagainya. Informasi ini dapat
diklasifikasikan sebagai fakta, prinsip, nama generalisasi. Contoh, siswa dapat
menyebutkan dalil Phytagoras yang berbunyi, “pada segitiga siku-siku berlaku
kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya.
b) Keterampian intelektual
Kapabilitas keterampilan intelektual merupakan kemampuan untuk dapat
memperbedakan, menguasai konsep, aturan, dan memecahkan masalah.
Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh melalui belajar.
c) Keterampilan gerak (motoris)
Untuk mengetahui ketrampilan motorik seseorang kita bisa melihat dari
kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot serta badan yang
diperlihatkan oleh orang tersebut. Kemampuan dalam mendemonstrasikan alat
peraga matematika seperti menggunakan penggaris ataupun jangka merupakan
keterampilan tingkah laku kapabilitas ini.
d) Sikap
Sikap adalah kapabilitas yang mempengaruhi pilihan tentang tindakan mana
yang perlu diambil. Kemampuan ini tidak dapat dipelajari dengan ulangan-
ulangan, tidak tergantung atau dipengaruhi oleh hubungan verbal seperti halnya
domain yang lain. Contoh seseorang masuk kedalam toko buku disana dia melihat
buku matematika, jika dia memiliki sikap positif terhadap matematika maka buku
tersebut akan dibelinya, ataupun sebaliknya.
e) Strategi kognitif
Kapabilitas strategi kognitif adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan
serta mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat analisis
dan sintesis. Kapabilitas ini terorganisasikan secara internal sehingga
memungkinkan perhatian, belajar, mengingat, dan berfikir anak terarah. Contoh
tingkah laku akibat kapabilitas strategi kognitif, adalah menyusun langkah-
langkah penyelesaian masalah matematika.

3. Implementasi teori Robert Gagne


Dalam pembelajaran menurut Gagne, peranan guru hendaknya lebih banyak
membimbing peserta didik. Guru dominan sekali peranannya dalam membimbing
peserta didik. Di dalam mengajar sebaiknya lakukanlah kegiatan dengan urutan sebagai
berikut:
a) Membangkitkan dan memelihara perhatian.
b) Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan
yang relevan sebagai prasyarat.
c) Menyajikan situasi atau pelajaran baru.
d) Memberikan bimbingan belajar.
e) Memberikan Feedback atau balikan.
f) Menilai hasil belajar.
g) Mengupayakan transfer belajar.
h) Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihanlatihan untuk
menerapkan apa yang telah dipelajari.

Bertitik tolak dari model belajarnya, yaitu model pemrosesan informasi, Gagne
mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan belajar (learning act). Fase-fase itu
merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa (yang
belajar) atau guru. Setiap fase dipasangkan dengan suatu proses yang terjadi dalam
pikiran siswa menunjukkan satu tindakan belajar menurut Gagne. Setiap fase diberi
nama, dan di bawah masing-masing fase terlihat satu kotak yang menunjukkan proses
internal utama, yaitu kejadian belajar, yang berlangsung selama fase itu. Kejadian-
kejadian belajar itu akan diuraikan di bawah ini :
a) Fase Motivasi (Motivatim Phase)
Siswa harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan,bahwa belajar akan
memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi
akan memenuhi keingintahuan mereka tentang suatu pokok bahasan, akan berguna
bagi mereka atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih
baik.
b) Fase Pengenalan (Apperehending Phase)
Siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian yang esensial
darisuatu kejadian instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa
memperhatikan aspek-aspek yang relevan tentang apa yang ditunjukkan guru, atau
tentang ciriciri utama dari suatu bangun datar. Guru dapat memfokuskan perhatian
terhadap informasi yang penting, misalnya dengan berkata: “Perhatikan kedua
bangun yang Ibu katakan, apakah ada perbedaannya”. Terhadap bahan-bahan
tertulis dapat juga melakukan demikian dengan menggaris-bawahi kata, atau
kalimat tertentu, atau dengan memberikan garis besarnya untuk setiap bab.
c) Fase Perolehan (Acquisition Phase)
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk
menerima pelajaran. Informasi yang disajikan, sudah dikemukakan dalam bab-bab
terdahulu, bahwa informasi tidak langsung disimpan dalam memori. Informasi itu
diubah menjadi bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan informasi yang
telah ada dalam memori siswa. Siswa dapat membentuk gambaran-gambaran
mental dari informasi itu, atau membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru
informasi lama.
d) Fase Retensi (Retentim Phase)
Informasi yang baru diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek
ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali
(rehearsal), praktek (practice), elaborasi atau lain-lainnya.
e) Fase Pemanggilan (Recall)
Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam
memori jangka panjang. Jadi bagian penting dalam belajar ialah belajar
memperoleh hubungan dengan apa yang telah kita pelajari, untuk memanggil
(recall) informasi yang telah dipelajari sebelumnya. Hubungan dengan informasi
ditolong oleh organisasi materi yang diatur dengan baik dengan mengelompokkan
menjadi kategori-kategori atau konsep-konsep, lebih mudah dipanggil daripada
materi yang disajikan tidak teratur. Pemanggilan juga dapat ditolong, dengan
memperhatikan kaitan-kaitan antara konsep-konsep, khususnya antara informasi
baru dan pengetahuan sebelumnya.
f) Fase Generalisasi
Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar
konteks dimana informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasi atau transfer informasi
pada situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat
ditolong dengan meminta para siswa menggunakan keterampilan-keterampilan
berhitung baru untuk memecahkan masalahmasalah nyata.
g) Fase Penampilan
Para siswa harus memperlihatkan, bahwa mereka telah belajar sesuatu
melalui penampilan yang tampak. Misalnya, setelah mempelajari bagaimana
menggunakan busur derajat dalam pelajaran matematika, para siswa dapat
mengukur besar sudut. Setelah mempelajari penjumlahan bilangan bulat, siswa
dapat menjumlahkan dua bilangan yang disebutkan oleh temannya.
h) Fase Umpan Balik
Para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka, yang
menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.
Umpan balik ini dapat memberikan reinforsemen pada mereka untuk penampilan
yang berhasil.

4. Kesimpulan
Teori yang dikemukakan Robert yaitu Conditions of Learning. Menurut Gagne,
dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar tetapi tetap pada konteks stimulus
dan respon. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal dengan
kondisi eksternal peserta didik.

E. Ausubel
1. Boigrafi
David Paul Ausubel merupakan salah seorang ahli psikologi Amerika. Beliau telah
memberi banyak sumbangan yang penting khususnya dalam bidang psikologi
pendidikan, sains kognitif dan juga pembelajaran pendidikan sains.
Ausubel dilahirkan pada 25 Oktober 1918 dan dibesarkan di Brooklyn, New York.
Beliau mendapat pendidikan di University of Pennsylvania dan mendapat ijazah
kehormatan pada tahun 1939 dalam bidang psikologi. Kemudian Ausubel menamatkan
pelajarannya di sekolah perubatan di University Middlesex.
Beliau juga telah berkhidmat dengan jabatan pertahanan US Public Health Service,
dan telah memperoleh M.A dan Ph.D dalam Psikologi Perkembangan dari Universiti
Columbia pada 1950. Pada 1973, Ausubel membuat keputusan untuk terjun ke bidang
akademik dan menyertai latihan psikiatri. Sepanjang menjalani latihan psikaitri,
Ausubel telah menghasilkan berbagai judul buku dan artikel tentang psikiatri dan jurnal
psikologikal.
2. Teori belajar
David P. Ausubel merupakan tokoh kognitivisme yang melakukan kritik terhadap
teori neo behaviorisme dan mengembangkan teori belajar bermakna. Menurut Ausubel
ada dua jenis belajar: (1) belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar
menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang
yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah peserta didik berusaha
menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa
makna.
Ausubel mengklasifikasikan makna belajar ke dalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara bagaimana informasi atau materi pelajaran disajikan
kepada siswa, apakah melalui penerimaan atau melalui penemuan. Belajar menurut
dimensi ini diperoleh melalui pemberian informasi dengan cara dikomunikasikan
kepada siswa. Belajar penerimaan dan menyajikan informasi itu dalam bentuk final,
ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan
sendiri keseluruhan informasi yang harus diterimanya.
Cara kedua berhubungan dengan bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi
yang diterima dengan struktur kognitif yang sudah dimilikinya. Dalam hal ini siswa
menghubungkan atau mengaitkan informasi yang diterima dengan pengetahuan yang
telah dimilikinya, itulah yang dikatakan belajar bermakna. Siswa dapat juga mencoba-
coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep yang telah ada
dalam struktur kognitifnya. Kedua dimensi itu tidak menunjukkan dikotomi yang
sederhana, tetapi lebih merupakan suatu kontinum.
Menurutnya, belajar penerimaan tidak sama dengan belajar hapalan. Belajar
penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara
konsep-konsep. Sehubungan dengan itu agar bahan pelajaran mudah dipelajari, Ausubel
berpendapat bahwa pengetahuan diorganisasikan dalam ingatan seseorang secara
hierarki. Oleh karena itu, ia menyarankan supaya materi pelajaran disusun secara
berurutan dari atas ke bawah, dari yang paling inklusif/umum/abstrak hingga yang
paling spesifik (terinci); pembelajaran harus berjalan dari yang paling umum dan
inklusif hingga rinci, disertai contoh yang khas. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi agar belajar menjadibermakna. Beberapa syarat/ strategi tersebut di antaranya:
a) Pengaturan awal (advance organizer). Pengaturan awal ini berisi konsep-konsep atau
ide-ide yang diberikan kepada siswa jauh sebelum materi pelajaran yang
sesungguhnya diberikan. Berdasarkan suatu penelitian, pengaturan awal dapat
meningkatkan pemahaman siswa terhadap berbagai macam materi pelajaran.
Pengaturan awal sangat berguna dalam mengajarkan materi pelajaran yang sudah
mempunyai struktur yang teratur.
b) Progressive differentiation. Menurut Ausubel pengembangan konsep berlangsung
paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang
umum terus sampai kepada hal-hal yang khusus dan rinci disertai dengan pemberian
contoh-contoh.
c) Rekonsiliasi integratif (integrative reconciliation). Guru menjelaskan dan
menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi
yang telah dijelaskan terlebih dahulu yang telah dikuasai siswa. Dengan demikian
siswa akan mengetahui alasan dan manfaat materi yang akan dijelaskan tersebut.
d) Konsolidasi (consolidation). Guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran
yang telah diberikan untuk memudahkan siswa memahami dan mempelajari materi
selanjutnya.

3. Implementasi teori Ausubel


Dalam perkembangannya, belajar bermakna dapat diterapkan melalui berbagai
cara pengajaran, misalnya pengajaran dengan menggunakan peta konsep.Penerapan peta
konsep dalam pembelajaran dapat dilakukan untuk menguji dan mengetahui penguasaan
siswa terhadap pokok materi yang akan diberikan, serta untuk mengetahui konsep
esensial apa saja yang perlu diajarkan. Adapun cara pembelajarannya adalah sebagai
berikut :
a) Pilih suatu bacaan atau salah satu bab dari sebuah buku pelajaran.
b) Tentukan konsep-konsep yang relevan dari topik yang akan atau sudah diajarkan.
c) Urutkan konsep-konsep tersebut dari yang paling inklusif ke yang paling tidak
inklusif berikut contoh-contohnya.
d) Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas dari konsep yang paling inklusif ke
konsep yang tidak inklusif secara berurutan dari atas ke bawah.
e) Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata sehingga menjadi sebuah peta
konsep.
4. Kesimpulan
Menurut Ausubel, seseorang memperoleh pengetahuan terutama melalui
penerimaan bukannya melalui penemuan. Konsep, prinsip, dan ide atau gagasan
dipresentsikan dan diterima oleh seseorang, bukan melalui penemuan. Asubel
mengatakan ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna dan belajar menghapal.
Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah bermakna. Belajar bermakna adalah suatu
proses di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah
dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar akan bermakna bila siswa
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang.
Pembelajaran matematika yang bermakna bisa berarti belajar matematika tidak
sekadar menghafal rumus-rumus untuk menyelesaikan masalah matematika. Materi
matematika itu tidak datang dengan sendirinya melainkan hasil temuan para ahli
matematika. Namun demikian dalam proses mengajar belajar matematika, tidak semua
materi harus dipahami siswa melalui penemuan. Siswa dapat belajar dengan penerimaan
yang bermakna asalkan siswa dapat mengkaitkan pengetahuan yang baru dipelajarinya
dengan struktur yang telah dimilikinya.

F. Albert Bandura
1. Boigrafi
Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mondere Alberta, Canada. Ayahnya
dari Krakow Polandia dan ibunya dari Ukraina. Ayah Bandura bekerja menjaga
perlintasan kereta api jalur trans-Kanada dan ibunya bekerja di toko general Town. Pada
tahun 1952 Albert Bandura menikah dengan Virginia Varns dan dikaruniai dua orang
anak, Mary dan Carol.
Seperti Skinner, dia tumbuh di sebuah kota yang sangat kecil, sekolah menengah
umumnya saja hanya memiliki 20 orang murid. Ia menerima gelar sarjana muda di
bidang psikologi University of British of Columbia pada tahun 1949. Kemudian dia
masuk University of Iowa, tempat di mana dia meraih gelar Ph.D tahun 1952. Baru
setelah itu dia menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi behavioris dan teori
pembelajaran. Tahun 1953, dia mulai mengajar di Standford University. Di sini, dia
kemudian bekerja sama dengan salah seorang anak didiknya, Richard Walters. Buku
pertama hasil kerja sama mereka berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959.
Bandura menjadi presiden APA tahun 1973, dan menerima APA Award atas jasa-
jasanya dalam Distinguished Scientific Contributions tahun 1980. Murid-muridnya
sendiri menjuluki dia generalis modern, seorang pria dengan pengetahuan sangat luas di
banyak bidang ilmu.

2. Teori belajar Albert Bandura


Teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Bandura disebut teori pembelajaran
social-kognitif dan disebut pula sebagai teori pembelajaran melalui peniruan. Teori
pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional
(behavioristik). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar
perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat
pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal.
Teori pembelajaran Bandura disebut sosial kognitif karena proses kognitif dalam
diri individu memegang peranan dalam pembelajaran, sedangkan pembelajaran terjadi
karena adanya pengaruh lingkungan sosial. Individu akan mengamati perilaku di
lingkungannya sebagai model, kemudian ditirunya sehingga menjadi perilaku miliknya.
Dengan demikian, maka teori Bandura ini disebut teori pembelajaran melalui peniruan.
Perilaku individu terbentuk melalui peniruan terhadap perilaku di lingkungan,
pembelajaran merupakan suatu proses bagaimana membuat peniruan yang sebaik-
baiknya sehingga bersesuaian dengan keadaan dirinya dan tujuannya.
Proses pembelajaran menurut teori Bandura, terjadi dalam tiga komponen (unsur)
yaitu:
1) Pemodelan (contoh)
Pemodelan adlaah konsep dasar dari teori ini. Sebagian besar manusia belajar
melalui pengamatan dan mengingat tingkah laku orang lain. Hasil pengamatan itu
kemudian dihubungkan dengan pengalaman baru dan sebelumnya. Dengan begitu
ada kesempatan untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajari. Adapun jenis-
jenis pemodelan :
 Peniruan langsung, adalah model pembelajaran yang dirancang untuk
mengajarkan pengetahuan yang diajarkan setahap demi setahap. Ciri khas
pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu di mana seseorang memodelkan
atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan
itu dilakukan. Meniru tingkah laku yang ditunjukkan oleh model melalui proses
perhatian.
 Peniruan tak langsung, adalah melalui imaginasi atau pemerhatian secara tidak
langsung. Contohnya meniru watak yang dibaca dalam buku.
 Peniruan gabungan, Peniruan jenis ini adalah dengan cara menggabung tingkah
laku yang berlainan yaitu Peniruan langsung dan tidak langsung.Contohnya
pelajar meniru gaya gurunya melukis dan cara mewarna daripada buku yang
dibacanya.

Ada empat fase belajar pemodelan, yaitu :

a) Fase perhatian (attentional phase)


Pada fase pertama ini para siswa pada umumnya memusatkan perhatian pada
objek materi atau perilaku model yang lebih menarik terutama karena keunikannya
dibanding dengan materi atau perilaku lain yang sebelumnya telah mereka ketahui.
Untuk menarik perhatian para peserta didik, guru dapat mengekspresikan suara
dengan intonasi khas ketika menyajikan pokok materi atau bergaya dengan mimik
tersendiri ketika menyajikan contoh perilaku tertentu.
b) Fase penyimpanan dalam ingatan (retention phase)
Pada fase kedua ini, informasi berupa materi dan contoh perilaku model itu
ditangkap, diproses dan disimpan dalam memori. Siswa lazimnya akan lebih baik
dalam menangkap dan menyimpan segala informasi yang disampaikan atau
perilaku yang dicontohkan apabila disertai penyebutan atau penulisan nama, istilah,
dan label yang jelas serta contoh perbuatan yang akurat.
c) Fase reproduksi (reproduction phase)
Fase ketiga ini, segala bayangan atau citra mental (imagery) atau kode-kode
simbolis yang berisi informasi pengetahuan dan perilaku yang telah tersimpan
dalam memori peserta didik itu diproduksi kembali. Untuk mengidentifikasi tingkat
penguasaan peserta didik, guru dapat menyuruh mereka membuat atau melakukan
lagi apa-apa yang telah mereka serap misalnya dengan menggunakan sarana post-
test.
d) Fase motivasi (motivation phase)
Fase terakhir dalam proses terjadinya peristiwa atau perilaku belajar adalah
tahap penerimaan dorongan yang dapat berfungsi sebagai reinforcement
(penguatan) bersemayamnya segala informasi dalam memori siswa. Pada tahap ini,
guru dianjurkan untuk memberi pujian, hadiah, atau nilai tertentu kepada para
peserta didik yang berkinerja memuaskan. Sementara itu, kepada mereka yang
belum menunjukkan kinerja yang memuaskan perlu diyakinkan akan arti penting
penguasaan materi atau perilaku yang disajikan model (guru) bagi kehidupan
mereka.
2) Belajar Vicarious
Sebagian besar belajar termotivasi oleh harapan bahwa meniru model dengan
baik akan mendapat dukungan. Namun, ada yang belajar dengan melihat orang diberi
dukungan atau dihukum saat terlibat dalam perilakuperilaku tertentu. Inilah yang
disebut belajar “vicarious”. Guru-guru dalam kelas selalu menggunakan prinsip
belajar vicarious.Bila seorang murid berkelakuan tidak baik, guru memperhatikan
anak-anak yang bekerja dengan baik dan memuji mereka, dan anak yang nakal itu
akan melihat bahwa bekerja yang baik akan memperoleh dukungan sehingga ia pun
kembali.
3) Perilaku diatur-sendiri.
Perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang diatur oleh dirinya
sendiri. Manusia belajar suatu standar performa yang menjadi dasar evaluasi diri.
Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa maka
akan dinilai positif, tetapi sebaliknya bila tidak mampu berperilaku sesuai
standar,maka akan dinilai negatif. Manusia mengamati perilakunya sendiri,
mempertimbangkan perilaku terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian
memberi dukungan atau hukuman pada dirinya sendiri.

3. Implementasi teori Bandura


Proses pembelajaran menurut teori Albert Bandura yaitu seorang guru harus dapat
menghadirkan model yang baik. Model yang baik harus dapat mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap pembelajar sehingga dapat memberi perhatian kepada si pembelajar.
Model disini tidak harus dari guru, namun tergantung apa yang akan diajarkan. Teori
sosial belajar ini cocok untuk mengajarkan materi yang berupa aspek psikomotorik dan
afektif, karena pembelajar langsung dapat memperhatikan, mengingat dan meniru dari
model yang dihadirkan. Namun dalam belajar matematika yang diajarkan adalah berupa
konsep sehingga guru harus dapat menghadirkan model yang menarik perhatian dan
dapat mudah diingat oleh si pembelajar.
Pengembangan pembelajaran dengan menggunakan teori Bandura, guru dalam
menyampaikan pelajarannya harus memberikan metode-metode yang mudah untuk
dipahami dan diikuti oleh siswa-siswanya agar siswa lebih mudah untuk memilih teori
mana yang akan diikuti dan diterapkan dalam mengerjakan soal-soal. Peranan seorang
guru sangat penting dalam hal ini. Guru harus bisa menciptakan pembelajaran yang
menarik dan dapat dipahami siswa dengan baik sehingga matematika menjadi pelajaran
yang diminati dan dikuasai oleh siswa.

4. Kesimpulan
Teori belajar Bandura dikenal dengan nama teori pembelajaran sosial.Teori
pembelajaran sosial menyatakan bahwa faktor-faktor sosial, kognitif dan tingkah laku
memainkan peran penting dalam pembelajaran. Bandura menyatakan bahwa teori ini
menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang
berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.
Konteks pembelajaran pertama, mementingkan pengaruh lingkungan,
mementingkan bagian-bagian, mementingkan peranan reaksi,mengutamakan
mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon. Kedua,
mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya, mementingkan
pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan, hasil belajar yang dicapai
adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

G. J.P. Guilford
1. Boigrafi
J.P Guilford adalah seorang psikolog berkebangsaan Amerika. Guilford lahir di
Marquette, Nerbraska pada tanggal 7 Maret 1897. Guilford banyak meneliti tentang
inteligensi manusia, termasuk meneliti perbedaan penting antara produksi divergen dan
konvergen. Semasa masih kecil Guilford memiiliki kebiasaan mengamati erbedaan
kemampuan di antara anggota keluarganya sendiri.
Dan pada saat dewasa, ia belajar psikologi di University of Nebraska kemudian
melanjutkan pascasarjana di Cornell University. Selama di Cornell ini Guilford juga
menjabat sebagai direktur klinik psikolgis universitas. Di sini ia banyak melakukan
pengujian kecerdasan anak.
Pada tahun 1927-1928, Guilford bekerja di University of Kansas, setelah itu ia
menjadi Presiden ketiga Psychometric Society. Pada tahun 1940 ia diangkat profesor di
Univerity of Southern California dimana ia tinggal sampai 1967.

2. Teori belajar Guilford


Teori Gulford banyak membicarakan mengenai struktur intligensi/kecerdasan
seseorang yang banyak mengarah pada kreativitas seseorang. Guilford menerangkan
tentang kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab
melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang
akan datang. Dalam konteks ini maka yang namanya belajar adalah termasuk berpikir,
atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi.
J .P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar
atau “faces of intellect”, yaitu :
a) Operasi Mental (Proses Berfikir)
 Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang
baru).
 Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan seharihari).
 Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan seharihari).
 Divergent Production (berfikir melebar atau banyak kemungkinan jawaban/
alternatif).
 Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan
jawaban/alternatif).
 Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan
jawaban/alternatif).
b) Content (Isi yang dipikirkan)
 Visual (bentuk konkret atau gambaran)
 Auditory.
 Word Meaning (semantic).
 Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi
musik).
 Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi
muka atau suara).
c) Product (Hasil Berfikir)
 Unit (item tunggal informasi).
 Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).
 Relasi (keterkaitan antar informasi).
 Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).
 Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
 Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).

Struktur Intelegensi

Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional
dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional atau dengan kata lain bahwa inteligensi merupakan suatu konsep
mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuiakan diri dengan lingkungannya.
Dalam kemampuan yang umum ini terdapat kemampuan yang spesifik. Kemampuan-
kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan tertentu setalah
melalui suatu latihan. Inilah yang diseut bakat aau aptitude.
Guilford mengeluarkan satu model untuk menjelaskan kreativitas manusia yang
disebutnya sebagai Model Struktur Intelek. Dalam model ini, Guilford menjelaskan
bahwa kreativitas manusia pada dasarnya berkaitan dengan proses berpikir yang
konvergen dan divergen. Konvergen adalah kemampuan untuk memberikan satu
jawaban atau kesimpulan yang logis berdasrkan infromasi yang diberikan. Divergen
adalah proses berpikir yang memberikan serangkaian alternatif jawaban yang beraneka
ragam.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi antara lain : faktor bawaan atau
keturunan dan faktor lingkungan. Faktor bawaan : Penelitian membuktikan bahwa
korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar,
korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Walaupun ada ciri-ciri yang ada pada
dasarnya sudah dibawa sejak lahir, lingkungan sanggup membawa perubahan-
perubahan yang berarti pada intilgensi. Perkembangan inteligensi dapat dipengaruhi
oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif
emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang penting.

3. Implementasi
Dalam pembelajarn matematika contoh soal kreativitas yang dikembangkan oleh
Guilford di terapkan mulai pada tingkat taman kanak-kanak, yaitu dalam mengenal
bilangan, mengambar bangun datar dan bangun ruang. Pada tingkat sekolah dasar
maupun menengah bahkan pada tingkat perguruan tinggi terdapat beberapa materi yang
esensisal yang memungkinkan anak untuk berkreatifitas misalnya materi geometri,
Salah satu contoh materi menentukan kretifitas siswa dalam memecahkan masalah :
Siswa di kelas di perkenalkan sebuah bangun ruang, yaitu kubus ABCD EFGH yang
disusun dari beberapa bidang sisi, siswa dikelas diperkenalkan salah satu jaring-jaring
kubus : siswa diberikan waktu untuk memikirkan berdasarkan contoh yang telah
diberikan untuk menemukan sendiri susunan jaring-jaring kubus yang lain

4. Kesimpulan
Teori Guliford banyak membicarakan mengenai struktur inteligensi/kecerdasan
seseorang yang mengarah pada kreativitas individu. Guilford menerangkan kecerdasan
sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua
peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Dalam konteks ini,
belajar adalah termasuk berpikir atau berupaya berpikir untuk menjawab semua masalah
yang dihadapi.
Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar
atau “faces of intellect”, yaitu : Operasi Mental (Proses Befikir) , Content (Isi yang
Dipikirkan), Visual (bentuk konkret atau gambaran). Auditory. Word Meaning
(semantic). Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi
musik). Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi
muka atau suara) dan Product (Hasil Berfikir).
DAFTAR PUSTAKA

Amsari, Dina dan Mudjiran. 2018. Implikasi Teori Belajar E.Thorndike (Behavioristik) Dalam
Pembelajaran Matematika. Jurnal Basicedu 2(2).

Amir, Zubaidah dan Risnawati. 2015. Psikologi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Awaja
Pressindo

Ariyanto. 2012. Penerapan Teori Ausubel Pada Pembelajaran Pokok Bahasan Pertidaksaan
Kuadrat Di SMU. Seminar Nasional Pendidikan Matematika.

Gazali, Rahmita Yuliana. 2016. Pembelajaran Matematika yang Bermakna. Jurnal Pendidikan
Matematika 2(3).

Setiawan, Andi. 2017. Belajar dan Pembelajaran. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.

Yanuardianto, Elga. 2019. Teori Kognitif Sosial Albert Bandura. Jurnal Auladuna. 1(2).

Yudianto, Erfan. 2018.. Teori-Teori Belajar Matematika. Diktat. Universitas Jember.

Zaini, Rifnon. 2014. Studi Atas Pemikiran B.F. Skinner Tentang Belajar. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Dasar 1(1).

Anda mungkin juga menyukai