Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

Tokoh dari Teori Behaviorisme (Thorndike, Pavlov, dan Skinner)


Mata Kuliah Teori dan Model Pembelajaran
Diampu oleh : Prof. Drs. Gunahardi,M.A.,Ph.D

Disusun Oleh :
Achmad Muslichun (S812202001)
Amanda Senja Karunia (S812202003)
Ikhwanur Rahmah (S812202007)

PROGRAM STUDI S-2 TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Surakarta, 2 September 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang terus berkembang, terutama pengetahuan, untuk
memahami dirinya. Pada masa lalu, manusia melahirkan perkembangan (peradaban)
dengan cara mempelajari dirinya sendiri; manusia merupakan makhluk yang mampu
menemukan kebenaran dengan pikirannya. Berbagai upaya telah dilakukan agar manusia
bisa memahami dirinya. Pemahaman tersebut kemudian memunculkan berbagai teori
tentang manusia hingga berpadu menjadi ilmu psikologi, sebuah ilmu yang mempelajari
perilaku dan fungsi mental manusia.
Namun, ilmu psikologi ternyata belum bisa mengobati kegelisahan manusia tentang
dirinya. Manusia masih menjadi subjek misterius yang menyimpan banyak misteri yang
belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan, terutama tentang cara belajar manusia.
Kemudian, para ahli melakukan banyak penelitian. Mereka melakukan penelitian terhadap
hewan, anak kecil, dan berbagai penelitian lain yang dimaksudkan untuk mengungkap cara
belajar manusia. Dari upaya-upaya tersebut, kemudian lahir teori-teori belajar melalui para
tokoh yang kebanyakan ialah psikolog.
Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan cara belajar manusia. Teori
belajar muncul seiring penelitian dan pengamatan terhadap objek makhluk hidup (manusia
dan hewan) tentang cara belajar makhluk hidup terhadap lingkungannya. Dari penelitian
dan pengamatan tersebut, kemudian ditemukan pengertian dan konsep tentang belajar atau
teori belajar. Dari situlah, kita mengenal bermacam-macam teori belajar menurut
penelitian dan penemuan para tokoh penemunya. Namun, secara garis besar, teori-teori
belajar dapat kita kelompokkan menjadi behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme.
Aliran behaviorisme lahir pada tahun 1900-an dari sebuah gagasan awal bahwa
perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Teori belajar behaviorisme
merupakan teori yang berpandangan bahwa belajar adalah proses Perubahan tingkah laku
melalui stimulus respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk Perubahan yang
dialami siswa dalam hal kemampuannya yang bertujuan merubah tingkah laku dengan
cara interaksi antara stimulus dan respon. Dalam konsep belajar behaviorisme, siswa
dikatakan belajar jika terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Dalam melakukan penelitian, behavioris bukan mempelajari keadaan mental
individu, melainkan perilakunya sehingga disebut behavior. Jadi, karakteristik esensial
dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar ialah pemahaman terhadap kejadian-
kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan,
ataupun kejadian internal lain dalam diri orang tersebut.
Fokus behaviorisme ialah respons terhadap berbagai tipe stimulus. Aliran ini
mengambil kesimpulan dari penelitian-penelitiannya terhadap hewan, dan menerapkan
hasil belajarnya terhadap manusia. Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada
aliran ini ialah Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut Classical Conditioning, Edward
Lee Thorndike dengan teorinya Law of Effect; dan B.F. Skinner dengan teorinya yang
disebut Operant Conditioning.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori belajar Edward Lee Thorndike?
2. Bagaimana teori belajar Ivan Petrovich Pavlov?
3. Bagaimana teori belajar Burrhusm Frederic Skinner?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui teori belajar Edward Lee Thorndike.
2. Untuk mengetahui teori belajar Ivan Petrovich Pavlov.
3. Untuk mengetahui teori belajar Burrhusm Frederic Skinner.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Edward Lee Thorndike
1. Biografi
Orang-orang mengenalnya dengan nama Thorndike, nama lengkapnya adalah
Edward Lee Thorndike. Ia lahir di Williamsburg, Massachusetts pada tanggal 31 Agustus
1874. Ia merupakan anak seorang pendeta Metodis di Lowell, Massachusetts. Ia lulus
dari Roxbury (1891), di West Roxbury, Massachusetts dan Wesleyan University (1985).
Ia kemudian mendapatkan gelar M.A di Harvard University pada tahun 1897.
Selama di Harvard, Thorndike tertarik menekuni ilmu etologi. Ia sempat bekerja
sama dalam penelitian dengan William James. Setelah itu, ia menjadi tertarik pada
hewan “manusia”, dan kemudian mengabadikan dirinya demi penelitian ini. Tesisnya
hingga saat ini masih dianggap sebagai dokumen penting dalam ranah ilmu psikologi
komparatif modern. Setelah lulus, Thorndike kembali ke minat awal, yakni psikologi
pendidikan. Pada tahun 1898, ia menyelesaikan Ph.D. di Columbia University di bawah
pengawasan James McKeen Cattell, salah satu pendiri psikometri. Kemudian, ia
menghabiskan hampir seluruh kariernya di Teachers College, Columbia University. Ia
meninggal pada tanggal 9 Agustus 1949 (umur 74) Montrose, New York
Thorndike menerbitkan buku berjudul Animal Intelligence: An Experimental Study
of Association Process in Animal. Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap
tingkah laku beberapa jenis hewan, seperti kucing, anjing, dan burung. Buku ini berisi
prinsip dasar proses belajar yang dianut oleh Thorndike, bahwa dasar dari belajar
(learning) ialah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respons tertentu.
Dalam perkembangannya, teori Thorndike disebut dengan teori S-R. Menurut
Thorndike, proses belajar individu dilakukan secara bertahap dan terus-menerus.
Biasanya, proses belajar diawali dengan percobaan-percobaan (trial and error). Kalau
individu berada dalam masalah, maka ia akan melakukan berbagai percobaan untuk
keluar dari masalah yang dihadapinya. Thorndike menyimpulkan ketika menghadapi
masalah serupa, individu sudah mengetahui tingkah laku yang harus diambilnya. Ia
mengasosiasikan suatu masalah dengan suatu tingkah laku tertentu. Seekor kucing,
misalnya, apabila terkunci di kandang, ia pasti mencari jalan keluar. Jika kebetulan ia
menginjak pedal di kandang, sehingga bisa keluar, ia akan kembali melakukan hal serupa
apabila dikurung di kandang yang sama.
2. Teori Belajar Koneksionisme Thorndike
Thorndike merupakan tokoh yang mengembangkan dan memopulerkan teori
koneksionisme. Dalam teorinya, ia mengemukakan kalau proses belajar hewan memiliki
kesamaan dengan proses belajar manusia. Kesamaannya terletak pada hubungan (koneksi
atau asosiasi) antara kesan yang ditangkap oleh pancaindra (stimulus) dengan perbuatan
(respons). Oleh karenanya, teori ini disebut dengan teori stimulus (S)-response (R).
Dalam mengembangkan teorinya, Thorndike melakukan percobaan terhadap
seekor kucing sebagai subjek eksperimennya. Kucing itu lalu dimasukkan dan dikurung
dalam sebuah (kotak) dengan konstruksi pintu kurungan yang sedemikian rupa. Dan,
ketika kucing menyentuh tombol tertentu, maka dengan sendirinya pintu kurungan akan
terbuka.
Pada tes pertama, kucing dikondisikan dalam keadaan lapar dan diberikan sepotong
makanan yang diletakkan di luar kotak. Setelah itu, suatu perubahan terjadi. Kucing
tersebut tiba-tiba menunjukkan respons agresif berupa tingkah laku dan gerakan-gerakan
untuk dapat keluar dari kotak. Sampai akhirnya, kucing itu menyentuh tombol kurungan
dan keluar untuk menyantap makanan.
Pada tes selanjutnya, kondisi kucing dan tempatnya didesain sama seperti tes
sebelumnya. Akan tetapi, ternyata kucing tersebut dapat keluar kotak dan menyantap
makanan lebih cepat ketimbang tes pertama. Penyebabnya ialah kucing tersebut telah
terbiasa atau terkondisikan, sehingga ia dapat dengan mudah keluar kotak.
Berdasarkan percobaan tersebut, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar ialah
hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut
S-R bond theory dan S-R psychology of learning atau keduanya dikenal dengan Trial and
Error Learning. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah
kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila kita perhatikan secara saksama dalam
eksperimen Thorndike tadi, maka akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong
timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu
tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam
kotak yang mengurungnya. Jadi, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar
untuk keluar. Berkaitan dengan hal ini, dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa
lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu kotak merupakan efek positif yang
dicapai oleh respons dan menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut Law of
Effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan
antara stimulus dan respons akan kian menguat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan
(mengganggu) efek yang dicapai respons, maka bertambah lemah hubungan stimulus dan
respons tersebut.
Percobaan yang dilakukan Thorndike tersebut menyimpulkan sebuah proses bahwa
waktu yang diperlukan untuk menyentuh engsel bertambah singkat; dan kesalahan-
kesalahan (reaksi yang tidak relevan) kian berkurang. Pada akhirnya, kucing sama sekali
tidak berbuat kesalahan lagi. Begitu dimasukkan ke kotak, kucing langsung menyentuh
engsel.
Itulah yang kemudian dikenal sebagai teori belajar trial and error. Objek penelitian
(kucing) dihadapkan pada situasi baru yang dikenalnya. Kemudian, objek dibiarkan
terlibat dengan berbagai aktivitas untuk merespons situasi tersebut, termasuk meletakkan
rangsangan (makanan) di lingkungannya. Dengan rangsangan itu, objek melakukan
berbagai upaya percobaan untuk keluar dari masalah dan menghampiri sasaran. Dalam
hal ini, trial and error dilakukan oleh objek dalam menghubungkan stimulasi dan
respons.

Gambar eksperimen Thorndike


Dari percobaan tersebut, maka ciri-ciri dari belajar dengan trial and error ialah
sebagai berikut:
1) Terdapat motif pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu;
2) Pembelajar akan berusaha melakukan berbagai respons dalam rangka memenuhi
motif-motifnya;
3) Bila terdapat respons-respons yang tidak sesuai dengan motifnya, maka akan
langsung dihilangkan; dan
4) Pembelajar mendapatkan jenis respons yang paling tepat.

Thorndike juga mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut:


1) Bila seseorang berhadapan dengan situasi baru, maka ia akan mencoba berbagai
respons. Respons tersebut ada kalanya berbeda-beda sampai orang tersebut
memperoleh respons yang benar.
2) Sesuatu yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan,
sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan tercapainya
tujuan yang ingin dicapai.
3) Sebenarnya, pada diri seseorang terdapat potensi untuk mengadakan seleksi terhadap
unsur-unsur penting atau tidak penting hingga akhirnya dapat menentukan respons
yang tepat.
4) Orang cenderung memberikan respons yang sama terhadap situasi yang sama.
5) Orang cenderung menghubungkan respons yang ia kuasai dengan situasi tertentu
tatkala menyadari bahwa respons yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai
hubungan.
6) Manakala suatu respons cocok dengan situasinya relatif lebih mudah untuk
dipelajari.
Selanjutnya, Thorndike memiliki pandangan yang ilmiah tentang pembelajaran.
Menurutnya, praktik pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan dihubungkan dengan
proses belajar. Mengajar yang baik ialah mengetahui sesuatu yang hendak diajarkan atau
materi yang sebaiknya diberikan, respons yang akan diharapkan, dan waktu yang tepat
untuk memberi hadiah atau reward. Oleh karenanya, ada beberapa aturan yang
digunakan Thorndike berkenaan dengan pengajaran, yaitu sebagai berikut:
1) Memerhatikan situasi peserta didik;
2) Memerhatikan respons yang diharapkan;
3) Menciptakan hubungan respons dengan sengaja dan tidak menciptakan hubungan
dengan sendirinya;
4) Tidak mengindahkan situasi-situasi lain yang sama karena dapat memutuskan
hubungan;
5) Jika ingin menciptakan hubungan tertentu, maka jangan menciptakan hubungan-
hubungan lain yang sejenis;
6) Menciptakan hubungan yang nyata; dan
7) Menciptakan suasana belajar supaya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, dalam pembelajaran, Thorndike juga menegaskan bahwa dasar dari
belajar ialah asosiasi antara kesan pancaindra (sense impression) dengan impuls
(dorongan) untuk bertindak (impulse to action). Asosiasi yang demikian dinamakan
connecting. Dengan kata lain, belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan
respons, antara aksi dan reaksi.
Antara stimulus dan respons akan terjadi suatu hubungan yang erat kalau sering
dilatih. Berkat latihan terus-menerus, hubungan antara stimulus dan respons akan
terbiasa dan otomatis. Dengan demikian, Thorndike menyebut dasar belajar ialah dengan
melakukan latihan yang terus-menerus demi terciptanya hubungan antara stimulus dan
respons secara otomatis.
Uraian tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa dalam setiap proses
pembelajaran, peserta didik membutuhkan stimulus tertentu. Rangsangan dapat
menciptakan sebuah respons pada peserta didik agar mampu melakukan pembelajaran
dengan baik. Oleh karena itu, stimulus dan respons harus saling berkaitan. Sebab, jika
stimulus yang diberikan kepada peserta didik tidak sesuai, tentunya stimulus tersebut
akan menjadi sia-sia.
Dengan kata lain, stimulus tidak akan dapat menghasilkan respons yang baik. Oleh
karena itu, memilih dan menentukan stimulus untuk peserta didik harus benar-benar tepat
dan sesuai dengan yang diinginkannya. Tujuannya ialah agar dapat menghasilkan
respons yang baik dan yang diinginkan.
Selain itu, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike ialah yang
disebut transfer of training. Konsep ini menjelaskan bahwa sesuatu yang pernah
dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain pada masa yang akan
datang. Dalam konteks pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang
sangat penting. Sebab, seandainya konsep ini tidak ada, maka sesuatu yang akan
dipelajari tidak akan bermakna.
Oleh karena itu, sesuatu yang dipelajari oleh peserta didik di sekolah harus dapat
dipergunakan di luar sekolah. Misalnya, anak belajar membaca, maka keterampilan
membaca dapat digunakan untuk membaca bacaan lain di luar sekolah. Misalnya,
keterampilan membaca di sekolah dapat ditransfer untuk membaca koran, majalah,
komik, dan sebagainya."
3. Hukum-Hukum Teori Thorndike
Dari hasil percobaannya, Thorndike menemukan tiga hukum pokok, yaitu sebagai
berikut:
a. Hukum Latihan
Hukum Latihan (Law of Exercise) mengandung dua hal, yaitu The Law of
Use dan The Law of Disuse. The Law of Use adalah hukum yang menyatakan bahwa
hubungan atau koneksi antara stimulus dan respons akan menguat apabila sering
digunakan. Dengan kata lain, hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi
kuat semata-mata karena adanya latihan. Sedangkan, The Law of Disuse adalah
suatu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan
respons akan menjadi lemah bila tidak ada latihan.
Dalam konteks inilah, dapat diambil kesimpulan penting bahwa hal yang
perlu dilakukan dalam belajar ialah prinsip ulangan (terus-menerus). Semakin sering
suatu pelajaran diulang, maka akan kian lekat bahan pelajaran tersebut dalam diri
peserta didik. Pada praktiknya tentu diperlukan berbagai variasi, bukan sembarang
ujian. Di sinilah pentingnya pengaturan waktu. Sebab, distribusi frekuensi ulangan
dapat menentukan hasil belajar.
b. Hukum Akibat
Dalam Hukum Akibat (Law of Effect), terdapat akibat bahwa suatu tindakan
yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan cenderung diulang. Sebaliknya,
suatu tindakan yang menghasilkan ketidakpuasan (tidak menyenangkan) akan
cenderung tidak diulang lagi. Hukum ini juga menunjukkan bahwa hasil perbuatan
memengaruhi perbuatan itu sendiri.
Dalam pendidikan, hukum akibat bisa diaplikasikan dalam bentuk hadiah dan
hukuman. Hadiah dapat menyebabkan orang cenderung ingin melakukan lagi
perbuatan yang menghasilkan hadiah tersebut. Sebaliknya, hukuman cenderung
menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan atau tidak mengulangi perbuatan
lagi.
c. Hukum Kesiapan
Hukum Kesiapan (The Law of Readiness) menjelaskan tentang kesiapan
individu dalam melakukan sesuatu. Maksud kesiapan adalah kecenderungan untuk
bertindak. Agar proses belajar mencapai hasil yang maksimal, maka diperlukan
adanya kesiapan individu yang bersangkutan untuk melakukan aktivitas belajar
tersebut. Meminjam pendapat Pavlov, ada tiga keadaan yang menunjukkan
berlakunya hukum ini, yaitu sebagai berikut:
1) Apabila individu memiliki kesiapan (kecenderungan untuk bertindak) dan dapat
melakukan kesiapan tersebut, maka individu itu pasti akan mengalami kepuasan.
2) Apabila individu memiliki kesiapan, namun tidak dapat melaksanakan kesiapan
tersebut, maka individu bersangkutan pasti akan mengalami kekecewaan.
3) Apabila individu tersebut tidak memiliki kesiapan untuk bertindak dan kemudian
dipaksa untuk melakukannya, maka individu bersangkutan akan menghasilkan
kegagalan atau ketidaksiapan.
Selain ketiga hukum pokok tersebut, Thorndike juga mengemukakan adanya
lima hukum tambahan, yaitu sebagai berikut:
1) Law of Multiple Response. Yaitu, kondisi sebelum individu mendapatkan respons
yang tepat, sehingga ia akan terus mencoba berbagai respons;
2) Law of Attitude. Yaitu, proses belajar dapat berlangsung apabila ada kesiapan
mental yang positif pada peserta didik;
3) Law of Partial Activity. Yaitu, individu dapat bereaksi secara selektif terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Individu dapat
memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-hal
yang pokok, serta meninggalkan hal-hal yang kecil;
4) Law of Response by Analogy. Yaitu, hukum yang menyatakan bahwa individu
cenderung mempunyai reaksi yang sama terhadap situasi baru. Dengan kata lain,
individu bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya
pada waktu yang lalu; dan
5) Law of Associative Shifting. Yaitu, hukum yang menegaskan bahwa sikap respons
yang telah dimiliki individu dapat melekat stimulus baru.
4. Kelebihan dan Kelemahan Thorndike
a. Kelebihan Teori Thorndike
Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu
permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga.
Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik
menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapinya.
b. Kelemahan-kelemahan dari Teori Thorndike
1) Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia.
2) Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan
repon. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi
tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus –menerus.
3) Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak
dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan
pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
Implikasi dari teori behavioris dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi peserta didik untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya peserta didik
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
5. Penerapan Teori Belajar Thorndike dalam Pembelajaran
a. Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon
apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh
karena itu tujuan pedidikan harus dirumuskan dengan jelas.
b. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan
terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut
bermacaam-macam situasi.
c. Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari
yang sederhana sampai yang kompleks.
d. Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya
respon yang benar terhadap stimulus.
e. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum
baik harus segera diperbaiki.
f. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam
masyarakat.
g. Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak
setelah keluar dari sekolah.
h. Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan
kemampuan penalarannya.
Teori penghubungan ini jika dikaitkan dengan pembelajaran yaitu dengan cara
Inquiri (menemukan). Seperti seorang guru memberikan beberapa gambar dan
diperlihatkan kepada siswa. Dengan melihat gambar maka siswa akan menghubungkan
gambar-gambar tersebut secara sistematis dalam benaknya. Siswa akan menemukan
sebuah cerita baru yang dihasilkan dari menghubungkan gambar. Hal ini dapat
mengasah otak siswa untuk berpikir menemukan sesuatu hal yang baru dari sebuah
gambar. Adapun Langkah-langkah pelaksanaan Teknik yaitu dengan menggunakan
metode Inquiri sebagai berikut:
1) Tahap persiapan
a) Persiapkan ruangan tempat belajar yang nyaman dan variatif sehingga peserta
didik tidak merasa jenuh.
b) Tentukan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran yang akan
berlangsung.
c) Perhatikan perbedaan individual dan kelompok.
d) Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan yang dapat menunjang motivasi
siswa untuk melaksanakan proses belajar mengajar.
2) Tahap pelaksanaan
a) Guru memperlihatkan gambar secara individual atau kelompok.
b) Apabila dilakukan secara kelompok, maka buatlah menjadi beberapa
kelompok yang terdiri dari 4-5 orang siswa.
c) Selama belajar itu berlangsung perhatikan minat, keseriusan, ketekunan,
keaktifan, kerja samanya dalam mengamati dan merespons gambar yang
diperlihatkan.
d) Teliti kesukaran yang dialami siswa, serta mengadakan variasi belajar sehingga
timbul respons yang berbeda untuk peningkatan dan penyempurnaan kecakapan
atau keterampilan berbahasa, baik keterampilan berbicara, menulis, menyimak,
ataupun keterampilan membaca.
3) Tahap penilaian
Selama pembelajaran berlangsung, guru melakukan koreksi dan penilain
terhadap proses pelaksanaan pembelajaran, baik dari kerjasama, keaktifan siswa
dalam melaksanakan belajar, serta hasil kerja sama siswa. Berilah reward yang
berupa hadiah atau pujian bagi siswa/kelompok yang berprestasi.
Menurut teori ini, hal yang penting dalam belajar adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan
guru kepada siswa, sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan
respons tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur, yang dapat diamati hanyalah perubahan yang ditampilkan dalam bentuk tindakan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Agus Sujanto, yang mengungkapkan bahwa
menurut behaviorisme obyek ilmu jiwa hanya sesuatu yang nanpak, yang dapat diindra,
atau yang dapat diobservasi. Penerapan teori stimulus dan respons dalam pembelajaran
keterampilan motorik, secara tradisional pembelajaran motoric dipandang sebagai proses
yang identik dengan pembelajaran instrumental. Pandangan ini berdasarkan pada
pandangan yang berasal dari Thondike, yang memandang bahwa karakteristik
pembelajaran motoric sama dengan pembelajaran instrumental, tergantung pada
hukum pengaruh klasik.
Pembelajaran motorik menghendaki pelajar membuat serangkaian respon gerak
yang terpisah-pisah, yang masing-masingnya diikuti oleh penguatan dalam bentuk ilmu
pengetahuan atau feedback. Namun perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa
pembelajaran motorik lebih dari sekedar pembelajaran instrumental.
Implikasi teori belajar Thorndike dalam proses pembelajaran baik digunakan
untuk disetiap jenjang pendidikan, mulai dari jenjang pedidikan awal hingga lanjut.
Penerapan teori belajar Thorndike dalam pembelajaran matematika memiliki
pengaruh baik terhadap siswa. Konsep yang diterapakan dalam teori belajar Thorndike
yaitu konsep mencoba dan mengulang, dimana siswa mencoba berlatih soal-soal secara
berulang-ulang. Prinsip dalam teori belajar Thorndike adalah siswa mampu memecahkan
masalah. Sebagian besar siswa merasa sulit dengan pembelajaran matematika, pemberian
latihan yang hanya 1x tidak akan melatih daya pikir siswa. Dengan teori belajar
Thorndike siswa dituntut untuk bisa memahami konsep-konsep dasar matematika.
Pemberian soal latihan yang sulit kemudian dipecah menjadi sederhana, secara tidak
langsung akan menambah pemahaman siswa.
Dengan Berulang-ulang diberikan soal rumit, maka siswa dapat menguasai
konsep dan akan merasa mudah dalam mengerjakan soal tersebut. Seperti kita ketahui,
bahwa matematika tidak mencakup teori saja melainkan rumus dan perhitungan.
Pemahaman rumus dalam pembelajaran matematika bukan dihafal melainkan dengan
mengerjakan soal-soal matematika. Semakin banyak siswa berlatih dalam mengerjakan
soal-soal maka siswa akan paham konsep matematika, dan menambah daya pikir siswa.
Ketika siswa hanya mengerjakan soal-soal matematika tanpa berulang, maka siswa
akan paham sebatas teori dan rumus saja tanpa paham konsep dasar matematika.
Penerapan teori belajar Thorndike bisa digunakan tidak hanya di sekolah saja,
konsep ini bisa diterapkan di rumah. Dalam pembelajaran di sekolah umumnya, guru
mengejar sub bahasan yang ingin dicapai untuk memenuhi standar kompetensi tanpa
memikirkan apakah siswa paham dan bisa.
Aplikasi teori Thorndike sebagai salah satu aliran psikologi tingkah laku dalam
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Setiap
pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik telah terstruktur rapi, dan
mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa.
Penerapan teori belajar Thorndike (Connectionisme) dalam pembelajaran
matematika adalah sebagai berikut: Pertama, sebelum memulai proses belajar mengajar,
pendidik harus memastikan siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut, setidaknya
ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar
mengajar. Menurut Soemanto (1998:191) mengartikan readiness sebagai kesiapan atau
kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu atau readiness sebagai segenap sifat atau
kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu.
Kedua, pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang
kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa. Dengan
kata lain, materi yang diberikan memiliki hubungan dengan materi sebelumnya. Hal ini
sesuai dengan Piaget dalam Hanafy (2014) yang mengatakan bahwa belajar adalah
proses terjadinya Assosiations dan Accomodations dalam struktur kognitif anak, yaitu
proses menyesuaikan atau mencocokkan informasi yang baru diperoleh dengan informasi
yang telah diketahui sebelumnya dan mengubahnya bila perlu (assosiasiations)
sedangkan proses accommodations, yaitu menyusun dan membangun kembali atau
mengubah informasi yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru
dapat isesuaikan dengan lebih baik.
Ketiga, pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu
siswa mengingat materi terkait lebih lama. Hal ini sesuai dengan Teorema konektivitas
yang menyatakan bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan konsep-konsep lain
yang relevan. Pavlov dalam Hanafy (2014) juga berpendapat hal yang sama dikenal
dengan teori Conditioning yaitu memandang bahwa segala tingkah laku manusia tidak
lain adalah hasil dari conditioning, yaitu hasil dari latihan-latihan atau kebiasaan-
kebiasaan mereaksi terhadap stimulus tertentu yang dialami di dalam kehidupannya.
Keempat, siswa yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan
yang belum baik harus segera diperbaiki, dalam belajar. Hal ini senada dengan Wibowo
(2015) bentuk penguatan yang diberikan oleh guru terhadap tingkah laku positif yang
ditunjukkan oleh siswa dapat berupa pemberian reward dalam bentuk benda (hadiah),
verbal (seperti pujian), dan juga dalam bentuk tingkah laku yang hangat, permisif, dan
penuh penerimaan sehingga penguatan positif tersebut dapat merubah tingkah laku
siswa. Selain itu, menurut pandangan Skinner dalam Hanafy (2014) kesempatan
terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons belajar,baik konsekuensinya sebagai
hadiah maupun teguran atau hukuman. Dengan demikian, pemilihan stimulus yang
deskriminatif dan penggunaan penguatan dapat merangsang individu lebih giat belajar,
sehingga belajar merupakan hubungan antara stimulus dengan respons (S–R).
B. Pavlov

C. BF Skinner
1. Biodata Skinner
BF Skinner adalah seorang tokoh psikolog Amerika Serikat yang sangat terkenal
karena pengaruhnya terhadap  behaviorisme. Skinner lahir pada tanggal 24 Maret 1904
dan meninggal pada tanggal 18 Agustus 1990, dia menyebut filosofinya sendiri sebagai
'behaviorisme radikal' dan menyarankan bahwa konsep kehendak bebas hanyalah sebuah 
ilusi. Skinner percaya bahwa semua tindakan manusia  adalah akibat langsung dari
pengkondisian.

BF Skinner terkenal dengan:

 Pengkondisian operan
 Jadwal Penguatan
 Kotak Skinner
 Perekam Kumulatif
 Behaviorisme Radikal

Di antara banyak penemuan-penemuan, dan pencapaiannya yang paling terkenal


adalah penciptaan ruang pengkondisian operan (alias Kotak Skinner), penelitiannya
tentang jadwal penguatan, pengenalan tingkat respons sebagai variabel dependen dalam
penelitian, dan penciptaan perekam kumulatif dilakukan untuk melacak tingkat respons
dalam penelitiannya ini.
Burrhus Frederic Skinner lahir dan besar di kota kecil Susquehanna,
Pennsylvania. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya seorang ibu rumah tangga
dan dia dibesarkan dengan seorang saudara laki-laki yang dua tahun lebih muda darinya.
Dia kemudian menggambarkan masa kecilnya di Pennsylvania sebagai kisah yang
"hangat dan stabil."
Sebagai seorang anak laki-laki, dia menikmati membangun dan menciptakan
sesuatu; keterampilan yang nantinya akan dia gunakan dalam eksperimen psikologisnya
sendiri. Adiknya Edward meninggal pada usia 16 tahun karena pendarahan otak.
Selama sekolah menengah, Skinner mulai mengembangkan minat dalam
penalaran ilmiah dari studi ekstensifnya tentang karya-karya Francis Bacon. Dia
melanjutkan pendidikan dan menerima gelar BA dalam sastra Inggris pada tahun 1926
dari Hamilton College.
Setelah mendapatkan gelar sarjana, dia memutuskan untuk menjadi penulis,
periode hidupnya yang kemudian dia sebut sebagai "tahun kegelapan". Selama waktu ini
dia hanya menulis selusin artikel surat kabar pendek dan dengan cepat menjadi kecewa
dengan bakat sastranya, meskipun di telah menerima beberapa dorongan dan bimbingan
dari penyair terkenal Robert Frost.
Saat bekerja sebagai pegawai di toko buku, Skinner menemukan karya-karya
Pavlov dan Watson, yang menjadi titik balik dalam hidup dan kariernya. Terinspirasi
oleh karya-karya ini, Skinner memutuskan untuk meninggalkan karirnya sebagai novelis
dan memasuki program pascasarjana psikologi di Universitas Harvard.
Setelah menerima gelar Ph.D. dari Harvard pada tahun 1931, Skinner kemudian
bekerja di universitas selama lima tahun berikutnya berkat fellowship. Selama periode
waktu ini, ia melanjutkan penelitiannya tentang perilaku operan dan pengkondisian
operan. Dia menikah dengan Yvonne Blue pada tahun 1936, dan pasangan itu kemudian
memiliki dua anak perempuan, Julie dan Deborah.

Penemuan Skinner

Selama berada di Harvard, Skinner menjadi tertarik untuk mempelajari perilaku manusia
secara objektif dan ilmiah. Dia mengembangkan apa yang dia sebut sebagai alat
pengkondisian operan, yang kemudian dikenal sebagai "kotak Skinner." Perangkat "Kotak
Skinner" adalah ruangan yang berisi batang atau kunci yang dapat ditekan oleh hewan untuk
menerima makanan, air, atau bentuk penguatan lainnya.
Selama waktu di Harvard dia juga menemukan perekam kumulatif, sebuah alat yang
merekam respons sebagai garis miring. Dengan melihat kemiringan garis, yang menunjukkan
tingkat respons, Skinner dapat melihat bahwa tingkat respons bergantung pada apa yang
terjadi setelah hewan menekan palang (tuas).

Artinya, tingkat respons yang lebih tinggi mengikuti penghargaan sementara tingkat respons
yang lebih rendah mengikuti kurangnya penghargaan. Perangkat tersebut juga
memungkinkan Skinner untuk melihat bahwa jadwal penguatan yang digunakan juga
mempengaruhi tingkat respon.

Dengan menggunakan perangkat ini, ia menemukan bahwa perilaku tidak bergantung pada
stimulus sebelumnya seperti yang dipertahankan Watson dan Pavlov. Sebaliknya, Skinner
menemukan bahwa perilaku bergantung pada apa yang terjadi setelah respons. Skinner
menyebut ini sebagai perilaku operan.

Proyek Merpati Skinner

Skinner mengambil posisi mengajar di University of Minnesota setelah pernikahannya. Saat


mengajar di Universitas Minnesota dan selama puncak Perang Dunia II, Skinner menjadi
tertarik untuk membantu upaya perang. Dia menerima dana untuk sebuah proyek yang
melibatkan pelatihan merpati untuk memandu bom karena tidak ada sistem panduan rudal
pada saat itu.

Dalam "Project Pigeon," demikian sebutannya dari proyek merpati Skinner, merpati
ditempatkan di kerucut hidung rudal dan dilatih untuk mematuk target yang kemudian akan
mengarahkan rudal ke sasaran yang dituju. Sayangnya proyek ini tidak pernah membuahkan
hasil, karena pengembangan radar juga sedang berlangsung, meskipun Skinner cukup
berhasil bekerja dengan merpati.

Sementara proyek itu akhirnya dibatalkan, namun masih menghasilkan beberapa temuan
menarik dan Skinner bahkan mampu mengajari merpati bermain ping-pong.

Boks Bayi Skinner


Pada tahun 1943, BF Skinner juga memiliki temuan "Boks Bayi" atas permintaan istrinya.
Penting untuk dicatat bahwa boks bayi tidak sama dengan "kotak Skinner", yang digunakan
dalam penelitian eksperimental Skinner.

Dia menciptakan boks bayi dengan pemanas tertutup dilengkapi jendela kaca plexiglass
sebagai tanggapan atas permintaan istrinya untuk alternatif yang lebih aman daripada boks
tradisional. Ladies Home Journal mencetak artikel tentang boks bayi dengan judul "Baby in a
Box," yang kemudian berkontribusi sebagian pada kesalahpahaman tentang tujuan
penggunaan boks bayi.

Sebuah insiden kemudian juga menyebabkan kesalahpahaman lebih lanjut atas boks bayi
Skinner. Dalam bukunya tahun 2004, Opening Skinner's Box: Great Psychology Experiments
of the Twentieth Century, penulis Lauren Slater menyebutkan rumor yang sering dikutip
bahwa baby tender sebenarnya digunakan sebagai perangkat eksperimental.

Desas-desus mengatakan bahwa putri Skinner telah menjadi subjek dari penelitian dan
dikatakan bahwa dia telah melakukan bunuh diri sebagai hasilnya dari eksperimen boks bayi.
Buku Slater menunjukkan bahwa ini tidak lebih dari rumor, tetapi ulasan buku selanjutnya
secara keliru menyatakan bahwa bukunya mendukung klaim tersebut. Hal ini menyebabkan
bantahan dan amarah yang sangat kuat dari putri Skinner yang masih hidup dan sehat,
Deborah.

Pada tahun 1945, Skinner pindah ke Bloomington, Indiana, dan menjadi Ketua Departemen
Psikologi di University of Indiana. Pada tahun 1948, ia bergabung dengan departemen
psikologi di Universitas Harvard di mana ia tetap menjabat bahkan setelah pensiun pada
tahun 1974.

Pengkondisian Operan Skinner

Dalam proses pengkondisian operan Skinner, seorang operan mengacu pada perilaku apa pun
yang akan bertindak sesuai lingkungan dan mengarah pada konsekuensi. Dia
membandingkan perilaku operan (tindakan di bawah kendali) dengan perilaku responden,
yang dia gambarkan sebagai segala sesuatu yang terjadi secara refleks atau otomatis seperti
seseorang yang menyentak jari ke belakang ketika dia secara tidak sengaja menyentuh panci
panas.

Skinner mengidentifikasi penguatan sebagai peristiwa yang memperkuat perilaku yang


diikutinya. Dua jenis penguatan yang dia identifikasi adalah penguatan positif (hasil yang
menguntungkan seperti hadiah atau pujian) dan penguatan negatif (penghapusan hasil yang
tidak menguntungkan).

Hukuman juga dapat berperan dalam proses pengkondisian operan. Menurut Skinner,


hukuman adalah penerapan hasil yang merugikan yang menurunkan atau melemahkan
perilaku yang diikutinya.

Hukuman melibatkan pemberian penguat negatif (penjara, tamparan, omelan) yang oleh
beberapa orang disebut sebagai hukuman positif atau menghilangkan penguat positif
(mengambil mainan favorit), yang juga dikenal sebagai hukuman negatif.

Jadwal Penguatan

Dalam penelitiannya tentang pengkondisian operan, Skinner juga menemukan dan


menjelaskan jadwal penguatan:

 Jadwal rasio tetap


 Jadwal rasio variabel
 Jadwal interval tetap
 Jadwal interval variabel

Mesin Pengajaran

Skinner juga mengembangkan minatnya dalam pendidikan dan pengajaran setelah


menghadiri kelas matematika putrinya pada tahun 1953. Skinner mencatat bahwa tidak ada
siswa yang menerima umpan balik langsung tentang kinerja mereka.

Beberapa siswa berjuang dan tidak dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi,
sementara yang lain selesai dengan cepat tetapi benar-benar tidak belajar sesuatu yang baru.
Sebaliknya, Skinner percaya bahwa pendekatan terbaik adalah menciptakan semacam
perangkat yang akan membentuk perilaku, menawarkan umpan balik tambahan sehingga
respons yang diinginkan tercapai.

Dia mulai dengan mengembangkan mesin pengajaran matematika yang menawarkan umpan
balik segera setelah setiap masalah yang dilalui oleh siswa. Namun, perangkat awal ini
sebenarnya tidak mengajarkan keterampilan baru.

Akhirnya, ia mampu mengembangkan mesin yang memberikan umpan balik tambahan dan
menyajikan materi dalam serangkaian langkah-langkah kecil sampai siswa memperoleh
keterampilan baru, sebuah proses yang dikenal sebagai instruksi terprogram. Skinner
kemudian menerbitkan kumpulan tulisannya tentang pengajaran dan pendidikan berjudul The
Technology of Teaching.

Kehidupan dan Karier Skinner

Penelitian dan penulisan dari karya Skinner dengan cepat menjadikannya sebagai salah satu
pemimpin gerakan behavioris dalam psikologi dan karyanya sangat berkontribusi pada
pengembangan psikologi eksperimental. Menggambar pada karir sastra sebelumnya, Skinner
juga menggunakan fiksi untuk menyajikan banyak ide teoretisnya. Dalam bukunya tahun
1948 Walden Two, Skinner menggambarkan masyarakat utopis fiksi di mana orang dilatih
untuk menjadi warga negara yang ideal melalui penggunaan pengkondisian operan.

Bukunya tahun 1971 Beyond Freedom and Dignity  juga membuatnya menjadi penangkal
kontroversi karena karyanya tampaknya menyiratkan bahwa manusia tidak benar-benar
memiliki kehendak bebas. Bukunya tahun 1974 Tentang Behaviorisme ditulis sebagian untuk
menghilangkan banyak rumor tentang teori dan penelitiannya.

Di tahun-tahun terakhirnya, Skinner terus menulis tentang hidupnya dan teorinya. Dia
didiagnosis menderita leukemia pada tahun 1989. Hanya delapan hari sebelum dia
meninggal, Skinner diberikan penghargaan pencapaian seumur hidup oleh American
Psychological Association dan dia menyampaikan ceramah 15 menit ke auditorium yang
ramai ketika dia menerima penghargaan. Ia meninggal pada 18 Agustus 1990.

Teori Skinner tentang Penguatan positif dan negatif, serta hukuman dapat digunakan sebagai
berikut :
PENGUATAN POSITIF
Perilaku : Konsekuensi : Perilaku ke depan :
Peserta didik mengajukan Pendidik memuji peserta Peserta didik mengajukan
pertanyaan yang bagus. didik lebih banyak pertanyaan
PENGUATAN NEGATIF
Perilaku : Konsekuensi : Perilaku ke depan :
Peserta didik menyerahkan Pendidik berhenti menegur Peserta didik kian sering
PR tepat waktu peserta didik menyerahkan PR tepat
waktu
HUKUMAN
Perilaku : Konsekuensi : Perilaku ke depan :
Peserta didik menyela Pendidik menegur peserta Peserta didik berhenti
pendidik didik secara langsung menyela pendidik

a. Kelebihan Teori Skinner :


Pada teori Skinner, pendidik diarahkan untuk menghargai peserta didik. Oleh sebab itu,
teori Skinner menghendaki agar sistem hukuman dihilangkan saja. Hal ini didukung
dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik, sehingga dimungkinkan akan
meminimalkan terjadinya kesalahan. Dengan adanya penguatan, menjadikan motivasi
bagi individu untuk berperilaku yang benar sesuai dengan keinginan.
b. Kekurangan teori Skinner
Dalam teori Skinner, proses belajar dapat diamati secara langsung. Padahal, belajar
adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar, kecuali sebagai
gejalanya. Lalu, proses belajar berifat otomatis-mekanis. Alhasil, proses belajar terkesan
seperti gerakan mesin dan robot.

Penghargaan dan Pengakuan yang diterima Skinner

 Penghargaan Edward Lee Thorndike 1966, Asosiasi Psikologi Amerika


 1968 - National Medal of Science dari Presiden Lyndon B. Johnson
 1971 - Medali Emas dari American Psychological Foundation
 1972 - Penghargaan Humanis Tahun Ini
 1990 - Kontribusi Seumur Hidup yang Luar Biasa untuk Penghargaan Psikologi,
American Psychological Association
Publikasi Karya Skinner yang Terkenal

 Skinner, B. F. (1935) Two types of conditioned reflex and a pseudo type. Journal of
General Psychology, 12, 66-77.
 Skinner, B. F. (1948) 'Superstition’ in the pigeon. Journal of Experimental
Psychology, 38, 168-172.
 Skinner, B. F. (1950) Are theories of learning necessary? Psychological Review, 57,
193-216.
 Skinner, B. F. (1971) Beyond Freedom and Dignity
 Skinner, B. F. (1989) The Origins of Cognitive Thought. American Psychologist, 44,
13-18.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada teori belajar Thorndike lebih menekankan siswa untuk banyak berlatih dan
mencoba. Teori Thorndike dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike yang
mengembakan teori belajar melalui stimulus-respon (S-R). Teori S-R mengungkapkan
bahwa pertama kali organisme (hewan, orang) belajar adalah melalui cara mencoba dan
mengulang atau dikenal dengan istilah ‘trial and error’.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Bjork, D. W. (1997). B.F. Skinner: A Life. Washington, D.C.: American Psychological


Association.

Firliani, F., Ibad, N., Nauval, D. H., & Nurhikmayati, I. (2019, October). TEORI
THRONDIKE DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA.
In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan (Vol. 1, pp. 823-838).

Hermansyah, H. (2020). Analisis Teori Behavioristik (Edward Thordinke) dan


Implementasinya dalam Pembelajaran SD/MI. Modeling: Jurnal Program Studi
PGMI, 7(1), 15-25.

Peri, P. G., & Karimah, R. S. (2022). MEMAHAMI TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK


DAN IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN.

Rila, R. S. P. P., & Aziz, T. A. (2022). Kajian Reflektif Teori Thorndike Dalam Konteks
Representasi Matematis Berdasarkan Ideologi Utilitarian. Griya Journal of
Mathematics Education and Application, 2(1), 80-95.

Rohman, N. (2021). Analisis Teori Behaviorisme (Thorndike) Pada Pelajaran Matematika


Dan Bahasa Indonesia Sdn Upt Xvii Mukti Jaya Aceh Singkil. Abdau: Jurnal
Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, 4(2), 223-236.

Skinner, B. F. (1938). The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis. Cambridge,


Massachusetts: B.F. Skinner Foundation.

Thorndike, A. E. L., & Koneksionisme, T. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK.

Anda mungkin juga menyukai