Anda di halaman 1dari 12

TES INTELEGENSI

EDWARD LEE THORNDIKE

Oleh : Kelompok 2

Amelia Utami (1720901036)

Magdalena Aini (1720901050)

Nurlinda Oktarisva (1720901060)

Suci Dwi Ramadhani (1720901068)

Dosen Pengampu : Listya Istinigtyas, M.Psi.,Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN RADEN FATAH
PALEMBANG
2019
DAFTAR ISI

INTELEGENSI THORNDIKE
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2

BAB I ...................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN .................................................................................................. 3

BAB II ..................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4

A. TEORI MULTI-FAKTOR dari THORNDIKE ........................................... 4

B. TEORI KONEKSIONISME ........................................................................ 7

BAB III ................................................................................................................. 11

KESIMPULAN ..................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

2
BAB I

PENDAHULUAN

Intelegensi tiap orang berbeda-beda, entah itu antara orang yang berasal
dari suku, ras, wilayah, warna kulit yang sama sekalipun memiliki hubungan
neural / syaraf yang memiliki kombinasi berbeda-beda sesuai dengan teori
multifaktor Thorndike.

Thorndike memandang intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk


memberikan respons yang benar atas stimulus yang diberikan. intelegensi
menentukan bagaimana seseorang dalam pembelajaran. Teori yang dikemukakan
oleh Thorndike terkait dengan pembelajaran adalah teori Koneksionisme.

Koneksionisme adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah


laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi
respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk
perilaku mereka.. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya
bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) penguatan dari
lingkungan.Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang
erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru yang menganut
pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.

3
BAB II

PEMBAHASAN

Inteligensi berasal dari bahasa latin “Intelegensia”“inter” (diantara),


“Lego” (memilih) dan dalam bahasa inggris yakni Intellegence yang berarti
kecerdasan/ kepandaian.
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika.Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari
Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku
yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social
Measurements(1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book
(1921),Your City (1939), dan Human Natureand The Social Order (1940) dan
masih banyak buku lainnya.

Edward Lee Thorndike (31 agustus 1874-1949) dikenal sebagai tokoh


psikologi koneksionisme. Menurutnya Intellegence is demostrable in ability of the
individual to make a good responses from the stand point of truth or fact
(Intelegensi adalah kemampuan individu untuk memerikan respons yang tepat
atau baik terhadap stimulus yang diterima) (Baihaqi, 2016)

A. TEORI MULTI-FAKTOR dari THORNDIKE

Teori Thorndike muncul sekitar tahun 1905, 1914 dan 1926. Teorinya
tumbuh dari prosedur statistis, tetapi juga berisi dasar neurologis (yang berkaitan
dengan syaraf). Sejalan dengan teori Thomson adalah teori yang kesamaannya
terlihat pada kenyataan, bahwa tidak ada teori yang hanya berisi g saja (konsep
kemampuan general). Berbeda dengan pandangan Spearman, Thorndike (1927)
yang tidak disukai Spearman telah yakin bahwa inteligensi merupakan
kemampuan khusus. Konsep inteligensi Thorndike disebut “teori multi-faktor”.
Thorndike menggambarkan teorinya dengan menggunakan grafik.

4
Untuk membuat Gambar 4.4 tentang hipotesa Thorndike, seseorang dapat
melanjutkan gambar itu sampai tak terbatas jumlah faktornya. Thorndike
beranggapan bahwa inteIigensi kita berisi multiproses khusus. Ia tidak
memberikan nama terhadap multi proses khusus ini, tetapi ia menjelaskan bahwa
proses itu adalah neurologis. Aktivitas mental merupakan jumlah yang tidak tentu
dan merupakan kombinasi hubungan syaraf yang tidak terhingga jumlahnya.
Dalam Gambar 4.4, setiap hubungan atau setiap kombinasi hubungan sel-sel
urat syaraf digunakan oleh tingkah-laku mental kita. Tingkah-Iaku mental khusus
ini digambarkan pada masing-masing kolom. Masing-masing kolom memiliki
panjang dan luas yang berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan bahwa jumlah
hubungan syaraf tidak pernah sama antara tingkah-laku mental yang satu dengan
tingkah-laku mental lainnya. Hal ini juga menggambarkan bahwa ada tingkat-
tingkat kesulitan dalam tingkah-laku mental. Kolom yang lebih luas berarti lebih
besar hubungan syaraf yang ada di dalamnya. Kolom yang lebih tinggi berarti
bahwa tingkah-laku mentalnya lebih kompleks.
Bagi Thorndike, faktor g (kemampuan general) itu tidak ada. Yang ada
hanyalah ke-kompleksan tingkah-laku mental spesifik. Oleh para ahli psikologi,
istilah ini dipergunakan untuk:
1. Meneliti bagaimana munculnya berbagai hubungan sel syaraf. Makin tidak
tentu

5
2. Mengklasifikasikan hubungan tersebut ke dalam tingkat kesulitan problem
yang akan dipecahkan oleh tingkah-laku mental.
Thorndike sendiri mengakui, bahwa teori multi-faktornya sangat teoritis.
Untuk masuk ke dalam dunia praktis. Pada tulisan terakhirnya, Thorndike
mengutarakan bahwa ada tiga macam inteligensi, yaitu:
1. Inteligensi sosial, yaitu kemampuan untuk berhubungan antar manusia.
2. Inteligensi konkrit/praktis, yaitu kemampuan untuk melaksanakan tugas-
tugas/mekanisme tertentu yang berkaitan dengan aktifitas sensori-motorik
atau dalam memanipulasi objek.
3. Inteligensi abstrak, yaitu kemampuan untuk memecahkan ide-ide atau
simbol-simbol verbal dan matematik. CAVD merupakan suatu contoh tes
inteligensi abstrak.

Law of effect Thorndike’s theory that a response followed by a reward will be


strengthened, whereas a response followed by no reward (or by punishment) will
be weakened.(Hukum efek merupakan teori yang dikemukakan oleh Thorndike,
menyatakan bahwa respons yang disebabkan oleh adanya pemberian hadiahakan
memiliki pengaruh yang kuat dibandingkan dengan respon yang disebabkan oleh
tidak adanya pemberian hadiah(atau oleh hukuman) akan memiliki pengaruh yang
lemah)(Gleitman,dkk. 2011). Pada bagian selanjutnya akan dibahas lebih lanjut
mengenai teori belajar koneksionisme. Mengapa ? Karena pandangan Thorndike
terhadap intelegensi sangat berkaitan dengan kognitif dan pembelajaran.

6
B. TEORI KONEKSIONISME

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-


asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R).
Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda
untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari
adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzlebox)
diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu
adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui banyak
usaha,percobaan (trials) dan kegagalan (error). Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi.

Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang. Uji coba kucing


yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya
dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalamsangkar
tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” yang
berarti bahwa belajar itu terjadi dengan cara banyak mencoba dan berbuat
kesalahan. Dalam melaksanakan percobaan, kucing tersebut cenderung untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons
menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan
menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan
sebagai berikut:

S R S1 R1 dst

Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan


makanan,maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat.
Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu

7
sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan.Percobaan ini diulangi
untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing
baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut dan di luar diletakkan
makanan.

a. Hukum Teori Koneksionisme

Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :

1. Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme


memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat(Thorndike,1913) Prinsip pertama teori
koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi
(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak.
Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan melukis,
maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia
merasa puas dan belajar melukis akan mendorongnya menghasilkan
prestasi gemilang.
2. Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku
diulang/ dilatih, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of
exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang)
dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi
akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau
dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar
adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin
dikuasai.
3. Hukum Akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau
makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang
disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan
diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak

8
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Misalnya,
bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun,
jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan
membentuk sikapnya yang rajin.

Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya


sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan
perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan
respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis
(Suryabrata, 1990).

b. Kelebihan dan Kekurangan Teori Koneksionisme


 Kelebihan Teori Koneksionisme

Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu


permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga.
Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah akan, membuat anak didik
menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapinya.

 Kekurangan Teori Koneksionisme

Kegiatan yang terlalu sering dilakukan, akan membuat anak didik menjadi
merasa jenuh yang mungkin saja dapat mengakibatkan dia menjadi merasa
enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya sistem
pemberian hadiah akan membuat sebuah ketergantungan pada anak didik
dalam melakukan sebuah kegiatan.

c. Aplikasi Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa

Edward Lee Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah


mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa
yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus mengerti materi apa yang hendak
diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau

9
membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan
dengan jelas.

Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta


didikan dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat
menerapkan sistem yang berbeda menurut berbagai macam situasi. Supaya peserta
didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana
sampai yang kompleks.

Supaya guru mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap
kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat hukum
kesepian.Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah,
dan bila belum baik harus segera diperbaiki. Situasi belajar harus dibuat
menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat sebanyak
mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di luar kelas.
Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik diharuskan mengandung
nilai-nilai moral dan pembelajaran yang mampu menempa karakter darai peserta
didik.

Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan


pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang
dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan
latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya
suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan
positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi
atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.

10
BAB III

KESIMPULAN

Intelegensi adalah kemampuan individu untuk memberikan respons yang


tepat atau baik terhadap stimulus yang diterimanya menurut pendapat dari
Thorndike. Intelegensi terdiri dari hubungan-hubungan neural antara stimulus dan
respons. Hubungan neural khusus ini mengarahkan tingkah laku individu. Dalam
intelegensi seseorang berisi multiproses khusus dan merupakan kombinasi
hubungan syaraf yang tidak terhingga jumlahnya. Dan tiap tingah laku memiliki
kombinasi yang berbeda-beda itulah mengapa tingkatan IQ seseorang berbeda-
beda , walaupun mereka adalah anak kembar sekalipun.

Intelegensi dipengarhi oleh banyak faktor, selain faktor genetik intelegensi


dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Lingkungan pertama anak mendapat
pembelajaran adalah lingkungan keluarga. Semakin sering keluarga yakni orang
tua memberikan stimulus-stimulus yang baik akan merangsang anak untuk
merespons dengan baik. Orang tua harus mampu menemukan cara yang paling
sesuai untuk anak dalam hal pembelajarannya sehingga saat di sekolah anak akan
mudah untuk beradaptasi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi, Mif. 2016. Pengantar Psikologi Kognitif. PT. Refika Aditama : Bandung

Gleitman, Henry. Gross, James. Reisberg, Daniel. 2011. Psychology: Eighth

Edition. W.W. Norton & Company, Inc : Canada

Muhaimin, Abdul Ghofur dkk. 1996 . Strategi Belajar Mengajar. CV Citra Media

: Surabaya.

Suryabrata, Sumadi . 1990 . Psikologi Pendidikan . Rajawali Pres : Jakarta.

Syah, Muhibbin . 1990 . Psikologi Belajar. PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta.

Thorndike, Edward Lee. 1913. The Original Nature of Man. Teachers College,

Columbia University.

12

Anda mungkin juga menyukai