Anda di halaman 1dari 4

Aku tahu,

sekarang kau sedang bersenang tanpa diriku.

Namun tak apa, aku senang dan bahagia dengan itu,

karena kebahagiaan adalah hal sederhana bagiku.

Melihatmu senang adalah kebahagiaan yang cukup untukku,

dan cukup adalah lebih dari cukup bagiku dan bagi semua orang kebanyakan.

Barangkali aku sudah lama ingin menuliskan ini semua dari dulu,

barangkali ini terlalu cepat, atau mungkin sudah terlalu lama.

Namun dengan sebuah kesadaran dan harapan,

aku ingin menulis ini untuk sebuah kenyataan yang remang,

bahwa aku mencintaimu lebih dari yang pernah aku ucapkan padamu.

Langkahku sekarang menginjak tangga usia yang ke enam belas,

relatif muda dan terbilang usia yang mengesankan.

Penuh tanggung jawab kecil yang cukup membuat mata ini terjaga dimalam panjang.

Namun tangga ini juga sungguh rumit bu,

aku mengisinya dengan penuh tanya dan cemas,

aku tak tahu harus bersandar kepada siapa selain dirimu.

Dan dirimu kini tersandar ditempat asing yang belum pernah kusinggahi.

Aku juga telah melupakan tangga yang lain,

tangga yang kulewati beberapa tahun yang lalu.

Tanpa sadar bahwa kau tertinggal disetiap tangganya.


Kau terselip disetiap ingatan sudut setiap anak tangga.
Aku melihat waktu yang sengaja dibekukan lima belas tahun yang lalu,

di selembar foto lusuh,

berwarna namun sedikit redup oleh warna cokelat, tanda waktu telah berlumut terlalu lama.

Dan aku yang terlalu lama melupakanmu.

Di foto itu ada dirimu dan diriku,

kau mengaisku lembut dengan senyum menyimpul,

dan aku tersenyum tanpa gigi sedikitpun, senyum lugu diriku yang dulu,.

Aku sama sekali tak ingat saat itu,

hal yang mungkin wajar, karena aku masih terbata dalam berbagai hal,

bahkan untuk berjalan masih menggunakan kedua lutut dan telapak tangan.

Masa lugu dengan dongeng-dongeng lugu.

Tapi aku tahu persis dimana foto itu terbeku,

di teras rumah kakek yang sekarang mungkin bersamamu sepanjang waktu.

Ibu,

seandainya aku tahu,

berapa ribuan kecup yang kau berikan padaku waktu dulu,

saat aku balita hingga saat ini.

Seandainya aku dapat menghitung,

aku ingin membalas semua itu,

aku ingin mengecup pipimu seperti kau mengecup wajahku beribu kali.
Aku ingin membersihkan bekas buang air besarmu,

persis seperti dulu aku dibersihkan olehmu.

Aku ingin menggendongmu kala kau sedih,

sama seperti kau yang menggendongku karena aku menangis berisik,

membuat hatimu khawatir tetangga akan bangun malam itu,

engkau mengelusku pelan perlahan,

sembari mengeluarkan nada-nada penenang agar tangisku terhenti sejenak.

Bukankah semua itu adalah aku ibu?

Yang membuatmu terbangun sepanjang malam karena tangisku?

Satu setengah tahun kau tak tidur karena bising tangisku,

itukah dirimu ibu?

Kau yang diam tanpa pernah menceritakan semuanya,

kenapa kau begitu baik?

Hingga kini,

aku hanya tersenyum dengan airmata,

mengenang semuanya yang pernah terjadi.

Maaf aku sedikit terlambat bu,

tapi aku selalu mengenangmu.

Dan takkan pernah melupakkanmu.

Hanya ini yang dapat kuberi,

maaf dan terima kasih banyak.


Bersenanglah, dengan do’aku yang menyertaimu.

Sampai bertemu,

aku akan menyusulmu ketika Robbul Izzah memanggilku untuk mengisi tanah,

dan aku akan bersamamu dikuburan tua bersamaan dengan waktu yang jatuh.

Salam, anakmu.

By : Haidr Mnz

Anda mungkin juga menyukai