A. Pendahuluan
Lingkungan pekerjaan ialah segala aspek yang terdapat di sekitar tempat
bekerja seorang pekerja baik yang memberikan pengaruh maupun tidak. Pada
dunia kerja, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan peluang kerja
yang berbeda akibat pembedaan sosial. Dari segi kuantitas, jumlah pekerja
laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Penempatan pekerja perempuan hanya
terbatas pada jenis-jenis pekerjaan tertentu sesuai dengan pelabelan (stereotype)
terhadap perempuan. Pemenuhan hak pekerja turut mendapat perlakuan yang
berbeda. Pembedaan sosial tersebut melatarbelakangi terciptanya diskriminasi
dalam dunia kerja bagi perempuan.
Diskriminasi sendiri merupakan pembedaan perlakuan terhadap sesama
warga negara yang merujuk pada ketidakadilan dan bersifat berat sebelah kepada
individu tertentu. Sejak sebelum masa kemerdekaan, bahkan jauh setelah
Indonesia merdeka, diskriminasi bagi perempuan dan kelompok marjinal lainnya
telah terjadi. Diskriminasi tersebut dipicu oleh pembedaan sosial, dimana
seseorang sejak lahir dibedakan berdasarkan jenis kelamin, suku atau etnis, status
ekonomi, status pernikahan bahkan agama. Pada tahap berikutnya, pembedaan
sosial itu mempengaruhi pandangan seseorang terhadap aktivitas kelompok
lainnya dalam berkehidupan, misalnya cara berpakaian, berperilaku, berhubungan
sosial yang dihubungkan dengan perihal pembedanya. Bahwa perempuan
dipandang seharusnya bersifat lemah lembut, ramah, cantik, anggun, terampil
dengan pekerjaan rumah. Sedangkan laki-laki dipandang seharusnya pemberani,
tegas, kuat, dan sebagainya.
Perjuangan gerakan perempuan untuk memperoleh keadilan dan
kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan telah sekian lama dilakukan,
terutama di negara-negara Barat yang telah jauh lebih maju ketimbang negara
berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, gerakan perjuangan perempuan
mulai pesat setelah tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998. Pemerintahan yang
otoriter direformasi secara masif, termasuk dalam hal diskriminasi terhadap
perempuan yang mulai diberantas dengan aksi-aksi kolektif perempuan yang
tergabung di berbagai organisasi perempuan dan mulai bergabung di dalam dunia
politik. Perlahan-lahan perempuan mulai diberi kesempatan dan ruang yang lebih
luas untuk dapat terlibat di dalam berbagai aspek kehidupan. Walaupun demikian,
sepanjang abad 20 perempuan tetap masih menghadapi diskriminasi pada
bidang-bidang tertentu, salah satunya pada dunia kerja.
Diskriminasi pada dunia kerja seringkali menempatkan perempuan sebagai
korban ketidakadilan. Walaupun perkembangan kehidupan sudah lebih mengikuti
perkembangan zaman atas kesetaraan gender, namun pelabelan terhadap peran
perempuan dalam kehidupan masih saja terjadi. Kuatnya pelabelan (stereotype) di
masyarakat Indonesia, diantaranya memandang perempuan seharusnya hanya
berkewajiban terhadap kerja-kerja rumah tangga atau ranah domestik. Sementara
perempuan yang bekerja pada ranah publik masih seringkali diperdebatkan.
Pemikiran inilah yang membatasi perempuan dalam pemenuhan kebutuhan
aktualisasi diri pada dunia kerja, khususnya dalam hal ini adalah pemilihan
profesi.
Walaupun pada abad 20 saat ini keberadaan perempuan pada ranah publik
sudah dapat diterima dengan jauh lebih baik, dalam dunia kerja perempuan masih
dipandang sebelah mata karena anggapan bahwa kapabilitas yang dimiliki tidak
2
sebaik dan tidak setara dengan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa pembedaan
sosial berdasarkan jenis kelamin masih menghiasi dunia kerja. Pembedaan jenis
kelamin kemudian melahirkan pembedaan divisi pekerjaan. Perempuan dianggap
hanya dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang telah dilabeli sebagai
pekerjaan perempuan, seperti posisi Sekretaris, Customer Service di Front Office,
bagian keuangan, kebersihan, pengasuhan dan sebagainya. Sementara pekerja
laki-laki akan lebih mendominasi posisi-posisi pimpinan, manajer, ataupun
pekerjaan-pekerjaan teknis yang berhubungan dengan teknologi dan mesin-mesin,
bahkan dalam jenis-jenis pekerjaan bidang keamanan dan ketertiban. Realita ini
menjadikan laki-laki menguasai hampir seluruh aktivitas ekonomi pada dunia
kerja hingga saat ini.
Secara de jure, semenjak Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination
of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) yang tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984, diskriminasi terhadap
perempuan dalam ketenagakerjaan telah ditangani dengan penyediaan payung
hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak dan akses perempuan
atas pekerjaan tercantum dalam pasal 49 Undang-Undang tersebut bahwa
perempuan berhak memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi
sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
Pada prakteknya, perempuan masih mengalami diskriminasi di lingkungan
kerja dengan berbagai variasi bentuk, mulai dari fase penerimaan pekerjaan,
kesempatan berpartisipasi dalam pelatihan, kesempatan untuk mendapatkan
promosi (kenaikan jabatan) hingga ruang partisipasi dalam pengambilan
keputusan. Identitas jenis kelamin dan usia seringkali digunakan sebagai dasar
pembedaan perlakuan untuk tugas, peran dan tanggung jawab hingga jenjang karir
dan besarnya pendapatan dalam dunia kerja.
Ketika perempuan memasuki dunia kerja, maka perempuan menjalani
peran dan tanggung jawab ganda yang sangat berat, yang disebut oleh Newell
dalam Candraningrum (2013) sebagai Superwoman Syndrome. Tidak akan ada
bayaran bagi perempuan kapan pun dan dimana pun ia berada ketika melakukan
pekerjaan domestik. Namun ketika ia bekerja pada ranah publik, tuntutan untuk
memenuhi peran dan tanggung jawabnya di ranah domestik akan selalu ada. Maka
laki-laki lebih banyak mendapatkan keuntungan ekonomi dibandingkan
perempuan. Laki-laki juga lebih banyak memegang posisi penting dan kontrol
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan akibat lebih dipercaya menempati
posisi-posisi pimpinan. Diskriminasi bagi perempuan dalam dunia kerja
mengakibatkan perempuan tidak bisa menunjukkan kualitas dan kemampuannya.
B. Isi
Dalam dunia kerja, perempuan harus lebih keras dalam bekerja
dibandingkan dengan laki-laki karena telah ditempatkan pada posisi yang tidak
lebih baik daripada laki-laki akibat berbagai keterbatasan yang dimilikinya yang
hanya bersumber dari pelabelan tertentu atas jenis kelaminnya. Perempuan juga
seringkali dianggap memiliki komitmen kerja yang lebih lemah dibandingkan
laki-laki, terutama perempuan yang telah berumah tangga, karena dicurigai akan
3
ataupun hal-hal lain yang melarang perempuan untuk pergi ke sekolah yang lebih
tinggi juga lebih minim. Dengan adanya fasilitas pendidikan berupa Perguruan
Tinggi setelah pendidikan tingkat menengah, perempuan dapat mengembangkan
dirinya sesuai dengan minat dan bakat. Lalu mendapatkan pekerjaan yang layak,
ataupun bila tidak mampu melanjutkan hingga ke jenjang Sekolah Menengah
maupun Perguruan Tinggi, ia pun dapat mengikuti pelatihan-pelatihan kerja dalam
rangka memperoleh ilmu dan keterampilan. Ilmu pengetahuan dan keterampilan
itu akan membekali dirinya untuk siap memasuki berbagai lapangan pekerjaan
yang akan menjadi tumpuan hidupnya dengan baik.
Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel statistik oleh BPS (Badan
Pusat Statistik) terhadap perbandingan jumlah Tenaga Kerja Formal berdasarkan
jenis kelamin dari tahun 2019-2021 dalam persentase ialah sebagai berikut:
Persentase Tenaga Kerja Formal (%)
Jenis Kelamin
Tahun 2019 Tahun 2020 Tahun 2021
C. Penutup
Dalam dunia kerja, perempuan dihalangi oleh diskriminasi yang
diakibatkan pembedaan sosial atau pelabelan (stereotype) yang sangat tidak adil
bagi pengembangan diri perempuan dalam berkarir. Budaya patriarki yang
memandang bahwa kemuliaan seorang perempuan tidak terletak pada
keberhasilan karirnya, melainkan pada rumah tangganya, menjadikan perempuan
terdiskriminasi. Walaupun kesetaraan gender telah tercipta jauh sebelum abad ke
20, namun stigma ini masih kuat di masyarakat Indonesia.
Perlakuan yang didapat perempuan di lingkungan pekerjaannya masih
berupa pembedaan terhadap posisi yang ditempati di kantor. Perempuan
cenderung ditempatkan pada posisi yang dianggap aman dan tidak memengaruhi
keselamatan di lapangan kerja karena adanya stigma yang sudah melekat sejak
lama. Maka dengan ini kesempatan perempuan mendapatkan posisi yang
6
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (2021), Persentase Tenaga Kerja Formal Menurut Jenis
Kelamin (Persen) 2019-2021,
https://www.bps.go.id/indicator/6/1170/1/persentase-tenaga-kerja-formal-me
nurut-jenis-kelamin.html
Badan Pusat Statistik (2021), Upah Rata-Rata Per Jam Pekerja Menurut Jenis
Kelamin (Rupiah/Jam), 2019-2021,
https://www.bps.go.id/indicator/19/1174/1/upah-rata---rata-per-jam-pekerja-
menurut-jenis-kelamin.html