Anda di halaman 1dari 4

TUGAS ULASAN Nama : Anak Agung Adik Sri Utari

GENDER DALAM HUKUM Nim : 2004551113


Kelas : B/Reguler Pagi

ISU GENDER (GLASS CEILLING) TERHADAP LINGKUNGAN


KETENAGAKERJAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang

dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Segala hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja disebut dengan

Ketenagakerjaan. Di Indonesia, ketenagakerjaan diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003.

Peraturan tersebut dilandasi dengan tujuan sebagai berikut:

• Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi

• Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai

dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah

• Memberikan pelindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan

• Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

Namun, sampai saat ini, ketimpangan gender di dalam dinamika pekerjaan masih marak terjadi.

Salah satunya adalah Glass Ceilling. Dilansir dari Investopedia, glass ceiling adalah ungkapan

metafora yang digunakan untuk menggambarkan hambatan yang dihadapi oleh perempuan dan

kaum minoritas saat ingin mencoba peran lebih tinggi dalam perusahaan. Peristiwa ini tidak

jauh dari adanya pengaruh seksisme. Dilansir dari halaman Britannica menjelaskan bahwa

seksisme merupakan prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior

atau lebih baik dibandingkan jenis kelamin lainnya. Berdasarkan hal tersebut, yang sering
menjadi korban seksisme adalah kaum perempuan. Maka dari itu, seksisme menimbulkan

berbagai anggapan yang sering ditemui dalam masyarakat diantaranya :

• Laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin dibandingkan perempuan

• Setinggi-tingginya perempuan menempuh Pendidikan, tetap saja akan berkubang di

dapur.

• Perempuan dianggap makhluk lemah, precious, dan bahkan disamakan dengan berlian

yang harus dilindingi dan dijaga.

• Perempuan berkarier di judge menelantarkan anak dan suaminya, tetapi ketika laki-laki

berkarier dianggap suami idaman

• Perempuan yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga dianggap sebagai

pengangguran

• Laki-laki yang dipuji berlebihan ketika sedang mengasuh anaknya

• Perempuan dituntut untuk bisa memasak dan pekerjaan rumah lainnya

• Seringkali digaji lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Beberapa peristiwa di atas merupakan sebagian kecil yang terjadi di dalam masyarakat.

Hal tersebut menimbulkan berbagai industri ataupun perusahaan lebih didominasi oleh kaum

laki-laki sehingga perempuan lebih sulit untuk dapat berkembang dengan kariernya. Menurut

data World Bank tahun 2021, di dunia berkisar 38,8% perempuan yang mengambil bagian

kerja. Di Indonesia sendiri juga tidak beda jauh yaitu berkisar 39,3% perempuan yang

mengambil bagian kerja. Suatu pekerjaan yang diambil oleh perempuan biasanya didominasi

terhadap profesi yang diasumsikan sebagai feminitynya seperti perawat, guru SD, konselor,

pekerja sosial, dan sebagainya. Hal ini juga dibuktikan dengan posisi perempuan yang sangat

sulit untuk meraih profesi manajer yang masih didominasi oleh laki-laki. Dari data Badan Pusat

Statistik tanggal 8 Oktober 2019 mengenai Jabatan Manajer berdasarkan Jenis Kelamin
menyatakan pada tahun 2018 jumlah laki-laki sebesar 71,03% sedangkan perempuan hanya

28,97%. Jikalaupun perempuan menduduki posisi tertinggi biasanya masih dalam lingkungan

industri yang sesuai dengan feminitynya seperti dunia fashion industri, kosmetik, yang pada

intinya konsumen yang ditargetkan adalah untuk perempuan. Melihat peristiwa tersebut, sudah

jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan pada

Pasal 5 yang menegaskan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama untuk

memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi.

Kemudian, jika ditinjau dari perspektif Hukum Adat terutama dalam Hukum Adat Bali,

permasalahan glass ceiling dan seksisme terjadi antara perempuan dan laki-laki yaitu dalam

menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak. Anak perempuan seakan-akan menerima

pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki khususnya di Bali. Umat Hindhu

di Bali tentunya memiliki hari raya suci yang sangat banyak dan bervariasi tergantung wuku,

hari, atau bulan seperti hari Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, bahkan hari raya yang datang

setiap 6 bulan sekali bahkan 1 tahun sekali. Sebagai perempuan Bali dituntut agar bisa

menguasai berbagai jenis persembahan yang disebut dengan “Banten” dan “Canang”. Bahkan

terdapat beberapa perempuan Bali yang dapat melakukaan pekerjaan yang hanya bisa

dilakukan laki-laki seperti Mebat, Mekena Wastra atau memakaikan pakaian terhadap

pelinggih, Memenjor, Membuat Plakat dan sebagainya. Namun ketika seorang perempuan

melakukan pekerjaan laki-laki, apresiasi masyarakat sangat kurang dan bahkan hal tersebut

dianggap menjadi hal yang biasa dibandingkan ketika laki-laki melakukan pekerjaan

perempuan seperti metanding ataupun mebanten, masyarakat menganggap hal tersebut menjadi

istimewa dan luar biasa. Selain itu, perempuan seakan-akan dihadapkan dengan pilihan untuk

menjadi wanita karier atau menjadi ibu rumah tangga, yang mana dalam tradisi adat Bali

membuat perempuan menjadi lebih sulit.


Sebagaimana diketahui Bali yang memiliki berbagai macam adat, budaya yang

mengharuskan perempuan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai masyarakat adat,

kewajiban sebagai seorang, istri, ibu, dan kewajiban terhadap diri sendiri. Di satu sisi, hal itulah

yang menyebabkan masyarakat adat lebih sulit untuk berkembang menjadi wanita karier

dikarenakan masih stuck akan tuntutan keduniawian sebagai masyarakat adat.

Anda mungkin juga menyukai