Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja disebut dengan
• Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
Namun, sampai saat ini, ketimpangan gender di dalam dinamika pekerjaan masih marak terjadi.
Salah satunya adalah Glass Ceilling. Dilansir dari Investopedia, glass ceiling adalah ungkapan
metafora yang digunakan untuk menggambarkan hambatan yang dihadapi oleh perempuan dan
kaum minoritas saat ingin mencoba peran lebih tinggi dalam perusahaan. Peristiwa ini tidak
jauh dari adanya pengaruh seksisme. Dilansir dari halaman Britannica menjelaskan bahwa
seksisme merupakan prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior
atau lebih baik dibandingkan jenis kelamin lainnya. Berdasarkan hal tersebut, yang sering
menjadi korban seksisme adalah kaum perempuan. Maka dari itu, seksisme menimbulkan
dapur.
• Perempuan dianggap makhluk lemah, precious, dan bahkan disamakan dengan berlian
• Perempuan berkarier di judge menelantarkan anak dan suaminya, tetapi ketika laki-laki
pengangguran
Beberapa peristiwa di atas merupakan sebagian kecil yang terjadi di dalam masyarakat.
Hal tersebut menimbulkan berbagai industri ataupun perusahaan lebih didominasi oleh kaum
laki-laki sehingga perempuan lebih sulit untuk dapat berkembang dengan kariernya. Menurut
data World Bank tahun 2021, di dunia berkisar 38,8% perempuan yang mengambil bagian
kerja. Di Indonesia sendiri juga tidak beda jauh yaitu berkisar 39,3% perempuan yang
mengambil bagian kerja. Suatu pekerjaan yang diambil oleh perempuan biasanya didominasi
terhadap profesi yang diasumsikan sebagai feminitynya seperti perawat, guru SD, konselor,
pekerja sosial, dan sebagainya. Hal ini juga dibuktikan dengan posisi perempuan yang sangat
sulit untuk meraih profesi manajer yang masih didominasi oleh laki-laki. Dari data Badan Pusat
Statistik tanggal 8 Oktober 2019 mengenai Jabatan Manajer berdasarkan Jenis Kelamin
menyatakan pada tahun 2018 jumlah laki-laki sebesar 71,03% sedangkan perempuan hanya
28,97%. Jikalaupun perempuan menduduki posisi tertinggi biasanya masih dalam lingkungan
industri yang sesuai dengan feminitynya seperti dunia fashion industri, kosmetik, yang pada
intinya konsumen yang ditargetkan adalah untuk perempuan. Melihat peristiwa tersebut, sudah
jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan pada
Pasal 5 yang menegaskan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama untuk
Kemudian, jika ditinjau dari perspektif Hukum Adat terutama dalam Hukum Adat Bali,
permasalahan glass ceiling dan seksisme terjadi antara perempuan dan laki-laki yaitu dalam
pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki khususnya di Bali. Umat Hindhu
di Bali tentunya memiliki hari raya suci yang sangat banyak dan bervariasi tergantung wuku,
hari, atau bulan seperti hari Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, bahkan hari raya yang datang
setiap 6 bulan sekali bahkan 1 tahun sekali. Sebagai perempuan Bali dituntut agar bisa
menguasai berbagai jenis persembahan yang disebut dengan “Banten” dan “Canang”. Bahkan
terdapat beberapa perempuan Bali yang dapat melakukaan pekerjaan yang hanya bisa
dilakukan laki-laki seperti Mebat, Mekena Wastra atau memakaikan pakaian terhadap
pelinggih, Memenjor, Membuat Plakat dan sebagainya. Namun ketika seorang perempuan
melakukan pekerjaan laki-laki, apresiasi masyarakat sangat kurang dan bahkan hal tersebut
dianggap menjadi hal yang biasa dibandingkan ketika laki-laki melakukan pekerjaan
perempuan seperti metanding ataupun mebanten, masyarakat menganggap hal tersebut menjadi
istimewa dan luar biasa. Selain itu, perempuan seakan-akan dihadapkan dengan pilihan untuk
menjadi wanita karier atau menjadi ibu rumah tangga, yang mana dalam tradisi adat Bali
kewajiban sebagai seorang, istri, ibu, dan kewajiban terhadap diri sendiri. Di satu sisi, hal itulah
yang menyebabkan masyarakat adat lebih sulit untuk berkembang menjadi wanita karier