Oleh :
Hendro Kristanto, S.T
Eko Erisman, S.T
2015
Hak Cipta :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas ijin-Nya kegiatan penyusunan Modul Diklat Teknis Bidang
Ketenagalistrikan dapat diselesaikan. Penyusunan Modul Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan
Konservasi Energi ini merupakan kegiatan Tahun Anggaran 2015 untuk
mendukung dan melengkapi perangkat diklat dengan harapan agar
peserta/pembaca modul dapat belajar mandiri.
Harapan kami, semoga modul yang telah disusun ini bermanfaat dalam
upaya meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan sikap kerja bagi para
peserta diklat atau para pembaca pada khususnya.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB IV MATERI POKOK III ..................................................................... 31
PENETAPAN SANKSI ............................................................................. 31
A. Administrasi ..................................................................................... 31
B. Pidana ............................................................................................. 31
C. Rangkuman ..................................................................................... 35
D. Evaluasi ........................................................................................... 36
BAB V PENUTUP .................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 39
LEMBAR JAWABAN EVALUASI ............................................................. 40
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-
daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten
dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah
kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
Salah satu urusan Pemerintah adalah penyelenggaraan sektor
ketenagalistrikan. Tenaga Listrik mempunyai peran yang sangat penting
dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional maka
usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Negara dan penyediaannya
perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan
agar tersedia tenaga lsitrik dalam jumlah yang cukup, merata dan
bermutu.1
Penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan teknologi serta sejalan
denga prinsip otonomi daerah dan demokratisasi dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka peran
pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik perlu
ditingkatkan. Penyediaan tenaga listrik juga dikuasai oleh Negara yang
penyelenggaranya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan,
pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.2
1
UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
2
Ibid
1
Dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
pasal 5 ayat 1 sampai dengan 3 menyatakan tentang kewenangan
pengelolaan bidang ketenagalistrikan antara pemerintah pusat dan daerah,
baik provinsi maupun kabupaten/kota3. Pada pasal tersebut terdapat 18
(delapan belas) kewenangan pemerintah pusat, 11 (sebelas) kewenangan
provinsi dan 12 (dua belas) kewenangan kabupaten/kota. Agar
pelaksanaan kewenangan tersebut dapat berjalan dengan baik, maka
harus disiapkan infrastrukturnya. Kondisi infrastruktur di daerah berbeda
antar satu daerah dengan daerah lain. Dengan aturan yang sudah berlaku,
Pemerintah pusat maupun daerah dituntut untuk menjalankannya sesuai
kondisi daerah masing-masing. Berdasarkan pasal 5 ayat 1 tersebut,
tugas dan kewenangan dapat di kelompokkan menjadi 3 kelompok besar
yang kemungkinan besar dapat dilaksanakan dinas, yaitu penetapan
peraturan, penetapan kegiatan bidang ketenagalistrikan dan penetapan
sanksi.
Saat ini telah ada Peraturan Pemerintah terkait ketenagalistrikan yang
merupakan turunan UU Ketenagalistrikan yaitu Peraturan Pemerintah
nomor 14 Tahun 2012 (PP No 14 tahun 2012) tentang Kegiatan Usaha
Penyediaan Tenga Listrik. Dan Peraturan Pemerintah nomor 62 Tahun
2012 (PP No 62 Tahun 2012) tentang Usaha Jasa Penunjang tenaga
Listrik. Kedua peraturan pemerintah ini menjadi acuan bagi Pemerintah
daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya di bidang
ketenagalistrikan, dimana dalam kedua peraturan pemerintah ini
disebutkan pembinaan dan pengawasan di bidang ketenagalistrikan yang
menjadi kewenangan Pemerintah daerah.
Pusat pendidikan dan pelatihan ketenagalistrikan, energi baru, terbarukan
dan konservasi energi (Pusdiklat KEBTKE) sebagai lembaga diklat
Pemerintah di bidang ketenagalistrikan membuat suatu program diklat
untuk aparatur sipil negara (ASN) pemerintah daerah yang bertugas
menangani bidang ketenagalistrikan dengan judul Diklat Teknis
3
Ibid
2
Pengaturan di Bidang Ketenagalistrikan. Salah satu mata ajar dalam
diklat ini adalah Tugas dan Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang
Ketenagalistrikan. Modul ini disusun sebagai buku pegangan peserta
diklat yang mengikuti Diklat Teknis Pengaturan di Bidang
Ketenagalistrikan. Uraian tentang tugas dan kewenangan Pemerintah di
bidang ketenagalistrikan akan dibahas secara rinci dalam modul ini
mengacu pada undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku.
Dengan demikian diharapkan peserta Diklat Teknis Pengaturan Bidang
Ketenagalistrikan dapat memahami tugas dan kewenangan pemerintah
daerah (Pemda) di bidang ketenagalistrikan dengan baik dan benar.
B. Deskripsi Singkat
Pada modul ini dijelaskan mengenai peraturan terkait ketenagalistrikan
serta hal-hal yang menjadi Tugas dan Kewenangan Pemerintah Daerah
(Pemda) di Bidang Ketenagalistrikan antara lain penetapan peraturan,
penetapan kegiatan dan penetapan sanksi bidang ketenagalistrikan
C. Manfaat Modul
Modul ini bermanfaat bagi peserta ASN dari dinas/pemerintah daerah
yang menangani bidang ketenagalistrikan, khususnya pejabat pada
pemerintah daerah yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan
Tugas dan Kewenangan di Bidang Ketenagalistrikan
D. Tujuan Pembelajaran
D.1 Hasil Belajar
Setelah membaca modul ini peserta mampu menjelaskan penetapan
peraturan, penetapan kegiatan bidang ketenagalistrikan dan penetapan
sanksi yang terkait dengan tugas dan kewenangan Pemda di Bidang
Ketenagalistrikan sesuai dengan undang-undang dan pertauran yang
berlaku.
3
D.2 Indikator Hasil Belajar
Setelah membaca modul ini peserta diklat/pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan penetapan peraturan
2. Menjelaskan penetapan kegiatan bidang ketenagalistrikan
3. Menjelaskan penetapan sanksi
4
BAB IV MATERI POKOK III
PENETAPAN SANKSI
A. Administrasi
B. Pidana
C. Rangkuman
D. Evaluasi
5
BAB II
MATERI POKOK I
PENETAPAN PERATURAN
A. Peraturan Daerah
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tugas dan kewenangan
pemerintah daerah, perlu dibahas terlebih dahulu mengenai nomenklatur
aturan yang ada di tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini
bertujuan melihat urutan peraturan yang dibuat di pemerintah daerah.
Menurut UU 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan pasal 7 pasal 1, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
6
dengan sebutannya, Perda dibentuk dan ditetapkan oleh pemerintah
daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya.
Pengertian peraturan daerah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibagi dalam
2 pengertian, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah
kabupaten/kota.
Pengertian peraturan daerah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No 1 Tahun 2014 tentang pembentukan produk hukum
daerah pasal 1 angka (4) adalah “Peraturan Daerah Provinsi atau nama
lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau nama lainnya, yang
selanjutnya disebut Perda adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”. 4
Pengertian peraturan daerah provinsi juga disebutkan dalam pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah “Peraturan Daerah Provinsi
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur”.
Selanjutnya pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan
dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah5 “Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota”..
Pengertian peraturan daerah yang telah diatur dalam Permendagri dan
Undang-Undang sebagaimana disebutkan diatas adalah sama. Pada
prinsipnya, peraturan daerah merupakan suatu produk hukum yang
dibentuk oleh Pemerintahan Daerah. Di Indonesia, Pemerintahan Daerah
terbagi atas pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
4
Permendagri No 1 Tahun 2014
5
Ibid
7
kabupaten/kota. Pemerintahan daerah terdiri atas dua unsur, yakni
Pemerintah Daerah (Kepala Daerah) dan DPRD.
Kepala pemerintah daerah di tingkat provinsi adalah Gubernur, kepala
pemerintah daerah di tingkat kabupaten adalah Bupati dan Kepala Daerah
di tingkat Kota disebut Walikota. Demikian pula dengan DPRD, di tingkat
Provinsi disebut dengan DPRD Provinsi dan di tingkat kabupaten/kota
disebut dengan DPRD Kabupaten/Kota.
Pengertian peraturan daerah dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah tidak disebutkan secara
spesifik mengenai adanya peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Hanya secara umum menyebutkan bahwa Peraturan Daerah dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah. Ini berarti Peraturan Daerah di bentuk oleh
DPRD, yang bila di tingkat provinsi disebut dengan DPRD Provinsi dan
bila di tingkat Kabupaten/Kota disebut dengan DPRD Kabupaten/Kota,
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah, yang bila di tingkat Provinsi
disebut dengan Gubernur, bila di tingkat kabupaten disebut dengan Bupati,
dan bila di tingkat kota disebut dengan Walikota.
Selain dari Peraturan Daerah, adapula Peraturan Gubernur (Pergub) yang
juga merupakan jenis peraturan perundang-undangan, akan tetapi Pergub
baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatuan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (pasal 8 ayat 2 UU No
12/2011)6
Perbedaan paling mendasar antara Perda Provinsi dengan Pergub adalah
terletak pada kewenangan pembentukan. Perda Provinsi dibentuk dengan
cara membuat Rancangan Peraturan Daerah terlebih dahulu, kemudian
Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan
Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur
6
Ibid
8
untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi (Pasal 78 ayat [1] UU
12/2011)7.
Sedangkan, kewenangan pembentukan Pergub ada pada Gubernur
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (dalam hal
ini juga termasuk Perda Provinsi), atau dibentuk berdasarkan kewenangan
Gubernur.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa secara
hierarki, kedudukan Perda Provinsi lebih tinggi dari Pergub. Mengenai
apakah pergub dapat diterbitkan tanpa ada Perda Provinsi sebelumnya,
untuk menjelaskan lebih lanjut, akan diberikan beberapa contoh Perda
Provinsi dan Pergub. Contoh Pergub yang diterbitkan berdasarkan
amanat Perda Provinsi misalnya Pergub DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005
tentang Kawasan Dilarang Merokok sebagaimana telah diubah
dengan Pergub DKI Jakarta No. 88 Tahun 2010 yang selanjutnya
disebut dengan Pergub DKI Jakarta.8
Pergub DKI Jakarta ini merupakan kelanjutan dari ketentuan Pasal 24
Perda Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara. (“Perda 2/2005”). Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
Perda 2/2005 mengatur pengelola gedung umum bertanggung jawab
terhadap kualitas udara di dalam ruangan yang menjadi kawasan umum
serta wajib mengendalikan pencemaran udara di dalam ruangan parkir
kendaraan bermotor, dan untuk menindaklanjuti pengaturan mengenai
bentuk tanggung jawab dan kewajiban pengelola gedung diatur dengan
Peraturan Gubernur (Pasal 24 ayat [3] Perda 2/2005).9
Kemudian, contoh Pergub yang diterbitkan tanpa didasarkan pembuatan
Perda Provinsi sebelumnya misalnya Pergub DKI Jakarta No. 53 Tahun
2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan
Sipil Penganut Agama Konghucu (“Pergub 53/2006”). Pergub 53/2006
menginstruksikan memberikan pelayanan kependudukan pada penganut
7
Ibid
8
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt510e536c2e2e5/perbedaan-pergub-dengan-perda
9
Ibid
9
Konghucu serta menambahkan agama Konghucu dalam dokumen
blangko kependudukan serta catatan sipil.
Pada konsiderans bagian ‘mengingat’ Pergub 53/2006 tidak terdapat
aturan Perda Provinsi DKI Jakarta yang mengatur hal serupa. Mengapa
hal demikian dapat terjadi? Mengenai hal ini di dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf l jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa pelayanan kependudukan dan
catatan sipil termasuk urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah provinsi diberikan otonomi seluas-
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Jadi, Gubernur sebagai kepala daerah Provinsi memiliki
kewenangan untuk membuat peraturan yang menjadi urusan wajib daerah
Provinsi, dalam hal ini adalah mengenai kependudukan dan catatan sipil.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, ternyata Pergub juga dapat
diterbitkan tanpa adanya Perda Provinsi, asalkan hal yang diatur oleh
Pergub merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi. Pergub 53/2006 merupakan contoh bahwa Pergub dapat
diterbitkan bukan berdasarkan amanat Perda Provinsi, tetapi berdasarkan
kewenangan yang dimiliki Gubernur.10
Terkait dengan kewenangan Pemda yaitu yaitu penetapan peraturan,
penetapan kegiatan bidang ketenagalistrikan dan penetapan sanksi di
bidang ketenagalistrikan, telah disebutkan di Bab Pendahuluan bahwa
terdapat 11 (sebelas) kewenangan provinsi dan 12 (dua belas)
kewenangan kabupaten/kota (Pasal 5 ayat 2 dan 3 UU No 30/2009).
Adapun kewenangan pemerintah provinsi di bidang ketenagalistrikan
meliputi11 :
1. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang ketenagalistrikan;
2. Penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah provinsi;
10
Ibid
11
UU No 30 Tahun 2009
10
3. Penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha
yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota;\
4. Penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas
kabupaten/kota;
5. Penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin
usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah
provinsi;
6. Penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan
tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada
badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
7. Penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari
pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
provinsi;
8. Penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk
kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada
jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau
izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
9. Pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang
ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
10. Pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk provinsi, dan;
11. Petapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya
ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
11
4. Penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup dalam
kabupaten/kota;
5. Penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin
usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah
Kabupaten/kota;
6. Penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan
tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada
badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
Kabupaten/kota;
7. Penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan
usaha yang mayritas sahamnya dimiliki penanam modal dalam
negeri;
8. Penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari
pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
Kabupaten/kota;
9. Penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk
kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada
jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau
izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten/kota;
10. Pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang
ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
Kabupaten/kota;
11. Pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk Kabupaten/kota,
dan;
12. Petapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya
ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten/kota.
12
dengan menetapkan Perda dan Pergub di wilayah masing-masing dan
tetap mengacu kepada undang-undang yang lebih tinggi di atasnya.
12
UU No 12 Tahun 2011
13
21/Kep/M.PAN/4/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Jabatan Fungsional
Inspektur Ketenagalistrikan dan Angka Kreditnya. Untuk menjamin
kelancaran pelaksanaan dan tertib administrasi pada setiap
departemen/lembaga pemerintah non departemen, instansi pemerintah
daerah telah ditetapkan surat edaran bersama Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1246
K/70/MEM/2002, Nomor 16 Tahun 2002 tentang petunjuk pelaksanaan
Jabatan Fungsional Inspektur Ketenagalistrikan dan Angka Kreditnya.
Atas dasar hal tersebut, disusun petunjuk teknis pembinaan pejabat
fungsional Inspektur Ketenagalistrikan di lingkungan Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral dan instansi Pemerintahan lainnya yang
ditetapkan oleh Menteri ESDM.
C. Rangkuman
Menyusun perda, juklak dan juknis merupakan tugas Pemda sesuai
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Terkait dengan Perda bidang Ketenagalistrikan
harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan. Penyusunan Perda biasanya membutuhkan waktu
pembahasan yang lebih lama karena melibatkan DPRD dan lebih komplek
dari segi isi materinya. Sedangkan proses penyusunan juklak dan juknis
lebih cepat, cukup dituangkan dalan peraturan Gubernur atau
Bupati/Walikota di masing-masing daerah.
D. Evaluasi
1. Dasar hukum penyusunan perda di bidang ketenagalistrikan adalah:
a. UU Nomor 30 Tahun 2007
b. UU Nomor 30 Tahun 2009
c. UU Nomor 12 Tahun 2011
d. UU Nomor 32 tahun 2009
14
2. Yang termasuk kewenang Pemerintah Provinsi di bidang
ketenagalistrikan adalah sebagai berikut, kecuali :
a. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang ketenagalistrikan;
b. Penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah provinsi;
c. Penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan
usaha yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota
d. Penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan
usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki penanam modal dalam
negeri
15
BAB III
MATERI POKOK II
PENETAPAN KEGIATAN BIDANG KETENAGALISTRIKAN
16
1. Pemanfaatan potensi energi setempat
Startegi ini digunakan jika ada potensi energi yang dapat
dimanfaatakan untuk melistriki daerahnya. Tentu pemerintah harus
melakukan survei dan studi kelayakan terlebih dahulu.
2. Perluasan Jaringan
Jika ada jaringan yang telah beroperasi dan daerah yang belum
dilistrikan dapat dijangkau oleh perluasan jaringan, maka strategi ini
dapat dilakukan. Tentu persyaratan teknis harus dilakukan agar
kegiatan ini dapat berjalan dengan baik.
3. Penggunaan PLTD
Pembangkit listrik Tenaga Diesel/PLTD masih dibutuhkan jika 2
starategi sebelumnya tidak dapat dilaksanakan. Artinya pemanfaatan
PLTD ini merupakan alternatif paling akhir yang dapat dilakukan
untuk melistriki masyarakat.
17
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilakukan oleh 1 (satu)
badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha. Agar efisiensi dan
transparansi tercapai, maka PIUPTL seyogyanya dapat dilakukan dengan
pemisahan fungsi sosial dan komersial melalui pembukuan yang terpisah.
Terkait dengan listrik sosial, PIUPTL selain harus melaksanakan amanat
UU 30/2009, PIUPTL juga diamanatkan melaksanakan program corporate
social resposibility/CSR yang didasari dengan pasal 2 dan pasal 88 UU
No. 19/2003 tentang BUMN. Hal tersebut dijelaskan dibawah ini:
a. Pasal 2 ayat (1) huruf e : salah satu maksud dan tujuan pendirian
BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
b. Pasal 88 ayat (1) : BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya
untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan
masyarakat sekitar BUMN.
c. Pasal 88 ayat (2) : Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan
penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.
18
Ayat 1 : Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA) wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Ayat 2 : Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Ayat 3 : Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat 4 : Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari uraian di atas maka PIUPTL membuat berbagai kegiatan terkait CSR,
sehingga pemerintah sesuai kewenangannya dapat melihat peluang ini
sebagai bagian dari program melistriki daerahnya. Hal tersebut terkait
dengan masyarakat di daerah sekitar wilayah usaha yang mungkin belum
terjangkau listrik, sehingga tugas PIUPTL dan pemerintah dapat berjalan
dengan baik dalam melistriki rakyat.
19
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak
terlindung/sungai/air hujan
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu
bakar/arang/minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan
luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh
perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan
dibawah Rp. 600,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/ tidak tamat
SD / hanya SD
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal
Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak,
emas, kapal motor, atau barang modal lainnya
B. Penyusunan RUKD
Tenaga listrik mempunyai peranan penting bagi negara dalam menunjang
pembangunan di segala bidang dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sehingga diperlukan suatu perencanaan yang komprehensif, dengan
cakrawala nasional atau Rencana Umum Ketenagalistrikan. Tujuan
rencana umum ketenagalistrikan adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik yang :
20
a. lebih merata,
b. andal, dan
c. berkelanjutan
13
UU No.30 Tahun 2009
14
PP No. 14 Tahun 2012
21
sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan,
transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga listrik di Provinsi, dan RUKD Kabupaten/Kota adalah
rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi
bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Kabupaten/Kota.
Salah satu kewenangan Pemda dalam penetapan peraturan adalah
menyusun dan menetapkan RUKD. Penyusunan RUKD perlu
mempertimbangkan beberapa hal berikut :
1. Memperhatikan Kebijakan Energi Nasional (KEN),
2. Dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
3. RUKN menjadi dasar penyusunan RUKD.
C. Penetapan Perizinan
Salah satu kewenangan Pemda di bidang ketenagalistrikan adalah
penetapan izin. Penetapan izin yang menjadi kewenangan Pemda provinsi
adalah :
1. Penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha
yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota.
22
2. Penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas
kabupaten/kota.
3. Penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan
telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik
pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang
ditetapkan oleh pemerintah provinsi
23
izinnya ditetapkan oleh Pemprov atau pemerintah kabupaten/kota.
Pengertian harga jual tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan
dengan penjualan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik. Sedangkan
pengertian sewa jaringan tenaga listrik meliputi semua biaya yang
berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau distribusi tenaga
listrik.
15
UU No.30 Tahun 2009 pasal 33 ayat 1
16
UU No.30 Tahun 2009 pasal 33 ayat 2
17
UU No.30 Tahun 2009 pasal 33 ayat 3
18
UU No 30 Tahun 2009 Pasal 34 ayat 2
19
UU No 30 Tahun 2009 Pasal 34 ayat 3
20
UU No 30 Tahun 2009 Pasal 34 ayat 4
24
Khusus tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara
berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha21. Tarif tenaga listrik
untuk konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian
tenaga listrik oleh konsumen, antara lain biaya beban (Rp/kVA) dan biaya
pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau
biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan
(Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya.
Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan tarif
tenaga listrik untuk konsumen yang tidak sesuai dengan penetapan
Pemerintah atau Pemda.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga jual, sewa
jaringan dan tarif tenaga listrik diatur dengan Peraturan pemerintah (PP).
E. Penetapan SLO
Dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 44 ayat 4 disebutkan setiap
instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki Sertifikat Laik
Operasi (SLO). Sertifikat laik operasi adalah bukti pengakuan formal suatu
instalasi tenaga listrik telah berfungsi sebagaimana kesesuaian
22
persyaratan yang ditentukan dan dinyatakan siap dioperasikan . Sertifikat
laik operasi diterbitkan oleh Lembaga Inspeksi Teknis (LIT) baik yang
telah terakreditasi, ditunjuk ataupun ditetapkan oleh Pemerintah. Kegiatan
uji laik operasi yang dilakukan oleh LIT dibagi dalam 2 (dua) bagian besar
yaitu :
1. ULO pada Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik dan Instalasi
Pemanfaatan Tegangan Tinggi dan Tegangan Menengah
2. ULO pada Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik Tegangan rendah.
21
UU No 30 Tahun 2009 Pasal 34 ayat 5
22
Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2014
25
yang ditentukan. Dalam mengajukan permohonan SLO, pemilik instalasi
dapat mengajukan permohonan secara bersamaan dengan
penyambungan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik. LIT melakukan pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan
mata uji instalasi yang sedang diuji. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan
pengujian, LIT menerbitkan SLO paling lama 4 (empat) hari kerja untuk
LIT terakreditasi dan 2 (dua) hari kerja untuk LIT yang ditetapkan oleh
Pemerintah sejak dipenuhinyaa kesesuaian dengan persyaratan
pemeriksaan dan pengujian.
Mengenai mekanisme dan tata cara ULO serta SLO, secara lengkap telah
diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 05 Tahun 2014 tentang
Tatacara Akreditasi Dan Sertifikasi Ketenagalistrikan.
26
Keamanan. Tugas pokok seorang inspektur ketenagalistrikan adalah
melakukan inspeksi, pengujian, penelaahan proses dan gejala berbagai
aspek ketenagalistrikan, mengembangkan metode dan teknik inspeksi,
melaporkan dan menyebarluaskan hasil inspeksi.
23
UU No 30 Tahun 2009 Pasal 46 ayat 1
27
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur
dengan peraturan pemerintah.
H. Rangkuman
Melihat kembali pada penetapan kegiatan bidang ketenagalistrikan oleh
Pemda, maka ada beberapa kegiatan penting yang harus menjadi
perhatian Pemda, diantaranya adalah pendanaan listrik sosial,
penyusunan RUKD, Penetapan perizinan, Penetapan harga jual,sewa
jaringan dan tarif, Penetapan SLO, Penetapan dan pengangkatan
Inspektur Ketenagalistrikan serta pembinaan dan pengawasan di bidang
ketenalistrikan. Semua kegiatan tersebut telah ada peraturan turunannya
dari UU No 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Ada yang berupa
peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah dan peraturan
gubernur atau bupati/walikota. Penetapan kegiatan di bidang
ketenagalistrikan setiap daerah berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh
kondisi setiap daerah.
I. Evaluasi
1. Berdasarkan amanat UU No. 30 Tahun 2009 Tentang
Ketenagalistrikan Pasal 4 Ayat 3, Pemerintah dan pemerintah daerah
menyediakan dana untuk :
a. Kelompok masyarakat sejahtera, pembangunan sarana penunjang
tenaga listrik di daerah yang belum berkembang, pembangunan
tenaga listrik bagi daerah terpencil dan perbatasan dan
pembangunan listrik perdesaan
b. kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana
penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang,
pembangunan tenaga listrik bagi daerah terpencil dan perbatasan
dan pembangunan listrik perdesaan
c. kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana
penyediaan tenaga listrik di daerah yang berkembang,
28
pembangunan tenaga listrik bagi daerah terpencil dan perbatasan
dan perencanaan listrik perdesaan
d. kelompok desa tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan
tenaga listrik di daerah, pembangunan tenaga listrik bagi daerah
terpencil dan perbatasan dan pembangunan listrik perdesaan
29
d. Penetapan izin usaha pemanfaatan tenaga listrik untuk badan
usaha yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota
30
BAB IV
MATERI POKOK III
PENETAPAN SANKSI
A. Administrasi
Semua Kegiatan ketenagalistrikan sangat terkait dengan keselamatan.
Dari beberapa kegiatan tersebut lebih banyak kepada administrasi. Pada
pasal 48 UU Nomor 30 tahun 2009 disebutkan setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat 3,
pasal 17 ayat 3, pasal 27 ayat 2, pasal 28, pasal 33 ayat 3, pasal 35,
pasal 37, pasal 42, atau pasal 45 ayat 3 dikenai sanksi administrasi
berupa :
1. Teguran tertulis
2. Pembekuan kegiatan sementara; dan/atau
3. Pencabutan izin usaha
Sanksi administrasi ditetapkan oleh Menteri, gubernur atau walikota/bupati
sesuai kewenangannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administrasi di atas diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
B. Pidana
Sanksi hukum yang ada dalam Bidang Ketenagalistrikan seluruhnya
adalah sanksi pidana. Pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran dan kejahatan yang merugikan kepentingan umum. Semua
31
Kegiatan ketenagalistrikan bermuara pada Keselamatan. Dalam pasal 44
ayat 1 UU 30/2009 disebutkan “Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan
wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan”.
Objek dari keselamatan ketenagalistrikan adalah keselamatan kerja,
keselamatan umum, keselamatan lingkungan dan keselamatan instalasi.
Satu-satunya sektor yang mengatur tentang keselamatan umum adalah
bidang ketenagalistrikan. Mengapa demikian? Karena listrik tidak dibatasi
oleh ruang.
Pada pasal 46 ayat 3 UU/30 Tahun 2009, dalam melaksanakan
pengawasan keteknikan, Pemerintah dan pemerintah daerah dibantu oleh
inspektur ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Selain
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagalistrikan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan (Pasal 47 ayat 1).
Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang (ayat 2):
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha
ketenagalistrikan;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga
melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
c. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka dalam perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha
ketenagalistrikan;
d. Menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
e. Melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha
ketenagalistrikan dan menghentikan penggunaan peralatan yang
diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
32
f. Menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha ketenagalistrikan
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha
ketenagalistrikan; dan
h. Menangkap dan menahan pelaku tindak pidana di bidang
ketenagalistrikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
24
UU No 30 Tahun 2009 pasal 49 ayat 1
25
UU No 30 Tahun 2009 pasal 49 ayat 2
26
UU No 30 Tahun 2009 pasal 49 ayat 3
33
dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)27.
5. Apabila perbuatan sebagaimana pada poin 4 dilakukan oleh
pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin
operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah)28
6. Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin
operasi diwajibkan memberikan ganti rugi kepada korban29.
7. Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat 1 sehinggan
mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)30
8. Apabila perbuatan pada poin 7 mengakibatkan terputusnya aliran
listrik sehungga merugikan masyarakat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah)31.
9. Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya
secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua
milyar lima ratus juta rupiah)32.
10. Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik yang
tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah,
bangunan dan tanaman dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga
27
UU No 30 Tahun 2009 pasal 50 ayat 1
28
UU No 30 Tahun 2009 pasal 50 ayat 2
29
UU No 30 Tahun 2009 pasal 50 ayat 3
30
UU No 30 Tahun 2009 pasal 51 ayat 1
31
UU No 30 Tahun 2009 pasal 51 ayat 2
32
UU No 30 Tahun 2009 pasal 51 ayat 3
34
milyar rupiah)33, dan selain itu dapat dikenai sanksi tambahan berupa
pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin operasi.
11. Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga
listrik tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar
rupiah)34.
12. Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa
sertifikat laik operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah)35.
13. Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau
memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak
sesuai dengan standar nasional Indonesia dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)36. Bila kegiatan ini dilakukan oleh
badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha dan/atau
pengurusnya. Pidana yang dikenakan berupa denda maksimal
ditambah sepertiganya.
C. Rangkuman
Melihat sanksi yang ada dalam Undang-undang ketenagalistrikan, hampir
seluruhnya merupakan sanksi pidana. Hal ini karena kegiatan
ketenagalistrikan menyangkut keselamatan umum baik jiwa, harta dan
benda. Sanksi pidana yang ada tidak menyebutkan harus melalui
pengaduan orang atau kelompok masyarakat atau lembaga, pidana dapat
terjadi tanpa delik pengaduan.
33
UU No 30 Tahun 2009 pasal 52 ayat 1
34
UU No 30 Tahun 2009 pasal 53
35
UU No 30 Tahun 2009 pasal 54 ayat 1
36
UU No 30 Tahun 2009 pasal 54 ayat 2
35
D. Evaluasi
1. Sanksi administrasi sesuai UU 30/2009 berupa :
a. Teguran tertulis, Penghentian generator set, dan/atau Pencabutan
izin usaha
b. Teguran tertulis, Pembekuan kegiatan sementara, dan/atau
Pencabutan izin usaha
c. Teguran tertulis, Pembekuan kegiatan sementara, dan/atau
Pencabutan izin usaha
d. Teguran tertulis, Pembekuan kegiatan sementara, dan/atau
Pencabutan izin usaha
36
4. Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa
sertifikat laik operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah), hal tersebut dinyatakan dalam:
a. UU No 30 Tahun 2009 pasal 50 ayat 1
b. UU No 30 Tahun 2009 pasal 54 ayat 1
c. UU No 30 Tahun 2009 pasal 51 ayat 1
d. UU No 30 Tahun 2009 pasal 54 ayat 4
37
BAB V
PENUTUP
38
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral nomor 0046 tahun 2006
tentang Perubahan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya
Mineral nomor 0045 tahun 2005 tentang Instalasi
Ketenagalistrikan
39
LEMBAR JAWABAN EVALUASI
BAB II
1. c. UU Nomor 12 Tahun 2011
2. d. Penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan
usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki penanam modal dalam
negeri
3. a. Kewenangan pembentukan
4. b. Penetapan peraturan, penetapan kegiatan, penetapan sanksi
5. a. Di dalam Juklak disebutkan wewenang dan prosedur
BAB III
1. b. Kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana
penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang,
pembangunan tenaga listrik bagi daerah terpencil dan perbatasan
dan pembangunan listrik perdesaan
2. c. Mewujudkan penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik yang
lebih merata, andal, dan berkelanjutan
3. d. 20 (dua puluh) tahun ke depan
4. c. Penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan
usaha yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota
5. c. instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik
operasi (SLO)
BAB IV
1. b. Teguran tertulis, Pembekuan kegiatan sementara, dan/atau
Pencabutan izin usaha
2. a. Menteri, gubernur atau walikota/bupati sesuai kewenangannya
3. d. Penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,- (dua milyar rupiah)
4. b. UU No 30 Tahun 2009 pasal 54 ayat 1
5. a. Paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
4.000.000.000,- (empat milyar rupiah)
40