Anda di halaman 1dari 13

Lusi Kammala Putri

111911133131

Biopsikologi Perilaku

Kelas C-1

Kelompok 4

Words count : 3108

Can animal have consciousness, intelligence, and empathy? Learning from


elephant.

KECERDASAN ANJING : Alami atau Dilatih?

Saya mengangkat tema mengenai kecerdasan pada hewan, karena menurut


saya kecerdasan hewan itu menarik untuk dibahas lebih dalam lagi. Ada beberapa
hewan yang menurut masyarakat diluar sana, hewan tersebut memang memiliki
kecerdasan yang alami yang ia miliki sejak lahir. Contohnya seperti hewan anjing,
saya memilih kecerdasan hewan pada anjing karena banyak masyarakat diluar
sana yang melihat anjing sebagai hewan yang lucu, yang sangat cerdas, dll.
Masyarakat dapat menyimpulkan hal tersebut karena, sering kali mereka melihat
anjing yang sedang mengikuti atau menjalanan perintah yang diberikan oleh sang
pemilik ataupun pelatih anjing, sehingga mereka menyimpulkan bahwa anjing
merupakan hewan yang cerdas karena hal tersebut. Namun faktanya anjing
tersebut cerdas karena adanya proses pelatihan yang rutin oleh pelatih anjing
ataupun pemilik anjing itu sendiri. . . . . . .
......
Tuhan pasti menciptakan setiap makhluknya dengan berbeda-beda. Ada
kelebihan manusia yang tidak dimiliki hewan, dan ada pula kelebihan hewan yang
tidak dimiliki manusia. Setiap makhluk hidup diberikan kelebihan masing- masing
seusai kebutuhan masing-masing. Contohnya seperti: ketika makan, manusia pasti
makan dengan menggunakan tangan untuk menyalurkan makanan yang ada
dipiring ke mulut. Sedangkan hewan, ada beberapa diantara mereka makan
langsung menggunakan mulut karena memiliki beberapa bagian tubuh mereka
yang berbeda dari yang lain, contohnya seperti kucing, kucing saat makan dan
minum ia akan langsung makan makanannya, kucing mengambil makan dan
minumnya menggunakan lidahnya karena lidah kucing memiliki tekstur yang
kasar sehingga mudah menggambil maknannya.

Ada perbedaan antara manusia dan hewan dari aspek psikologis: 1.


Kemampuan untuk menggabungkan dan menyambung kembali berbagai
informasi dan pengetahuan untuk memperoleh pemahaman yang baru, 2.
Kemampuan menerapkan “aturan” atau solusi untuk suatu masalah yang berbeda
pada situasi baru, 3. Kemampuan untuk menciptakan dan juga mudah memahami
representasi simbol-simbol mengenai suatu obyek matematika dan input sensorik,
dan 4. Kemampuan untuk melepaskan cara berpikir manusia dan hewan dari input
sensorik dan persepsi. Hewan memiliki tingkatan proses kognitif , yaitu : 1.
Concentration, 2. Memory 3. Comprehension 4. Behavior control. Bentuk
kecerdasan setiap hewan dan manusia itu relatif. Kita tidak bias mengatakan
bahwa kecerdasan setiap hewan dan manusia itu sama ataupun berbeda, karena
tidak mudah untuk mendeskripsikan kesamaan bentuk kecerdasan jika
berpedoman pada antroposentris (berpusat pada manusia) dan jika homologi
(kesamaan bentuk dasar) tubuh tidak komparabel (dapat dibandingkan).

Kata consciousness yang berarti kesadaran berasal dari bahasa latin


conscio yang dibentuk dari gabungan kata cum yang berarti with (dengan) dan
scio yang berarti know (tahu). Kata menyadari sesuatu (to be conscious of
something) memiliki pengertian menurut Bahasa Latinnya adalah membagi
pengetahuan tentang sesuatu itu dengan orang lain atau diri sendiri. Kata
conscious (sadar) dan consciousness (kesadaran) pertama kali muncul dalam
bahasa Inggris awal abad 17 (Hastjarjo, 2005). Pengertian kesadaran
(consciousness) sendiri merupakan kondisi dimana seorang individu memiliki
kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal.
Kesadaran tidak hanya berhubungan pada otak (fisik), tapi juga
dihubungkan pada intensionalitas yang tidak dapat dijelaskan oleh fisik.
Kesadaran tidak hanya diterangkan oleh faktor individual, yang merupakan
intensionalitas dan otak namun juga membutuhkan makna kultural sebab tanpa
praktek serta makna kultural maka intensi tidak akan berkembang (Hastjarjo,
2005).

Istilah 'kesadaran' memperkenalkan potensi potensialnya sendiri, terutama


antara kesadaran 'fenomenal' dan 'akses'. (Block, 1995) mengatakan bahwa
keadaan mental mungkin dikatakan sadar karena hal tersebut merupakan sesuatu
yang dialami oleh suatu subjek (ada sesuatu yang seperti dirinya yang
membuatnya berada di dalamnya), atau karena secara fungsional sangat
terintegrasi dan mempengaruhi pemrosesan informasi di banyak bagian dari
sistem kognitif.

Topik kesadaran hewan menghadapi beberapa kesulitan, seperti masalah


budi lain dalam bentuk yang paling sulit dikarenakan hewan yang tidak dapat
memberitahukan pengalaman subjektif mereka kepada manusia. Selain itu,
pertanyaan ini sulit dijawab secara objektif, karena klaim bahwa hewan tidak
sadar seringkali dihubungkan dengan klaim bahwa hewan tidak memiliki
perasaan, nyawanya tidak berharga, dan melukai hewan yang tidak bersalah
secara moral.

Empati berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengekspresikan


emosinya, oleh karena itu empati seseorang dapat diukur melalui ekspresi
emosional, wawasan emosionalnya, dan kemampuan seseorang dalam mengambil
peran dari individu lainnya. Pada dasarnya, empati merupakan batasan dari
individu apakah ia akan melakukan atau mengaktualisasikan gagasan prososial
yang mereka miliki ke dalam perilaku mereka atau malah sebaliknya (Asih, 2010).

(Hurlock & Elizabeth, 1999) mengungkapkan bahwa empati adalah


kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain
serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Empati
diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya
untuk berbagi pengalaman sesama individu atau secara tidak langsung dapat
merasakan penderitaan orang lain (Pratiwi, 2010). Hal tersebut senada dengan
yang diungkapkan oleh (Hurlock & Elizabeth, 1999) yang mengungkapkan bahwa
empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi
orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada di tempat
orang lain. . . . . . . .

Empati dapat didefinisikan dengan merasakan emosi yang sama dengan


individu yang diamati tanpa mencampurkannya dengan pengalaman langsung
individu itu sendiri (de Vignemont, 2010). Empati sangat terkait dengan ikatan
sosial yang memungkinkan seseorang untuk merasa terdorong dalam membantu
orang lain (Decety, 2010).

Keadaan afektif ini dihasilkan oleh interaksi antara beberapa sirkuit saraf
yang terkait dengan fungsi motorik, kognitif, emosional, motivasi dan perilaku
(McCall, 2013). Fenomena terkait empati sangat penting untuk interaksi sosial
yang sukses, memungkinkan seseorang untuk lebih memahami yang lain, belajar
dari tindakan orang lain, dan pada akhirnya memberikan bantuan. Karena itu,
mereka dapat membantu masyarakat untuk berkembang melalui kolaborasi
(McCall, 2013).

Di satu sisi, a healthy collective empathic process dapat membantu


individu dan masyarakat dalam mempertahankan perilaku dan kepercayaan
budaya yang konsisten dari perspektif moral dalam hal mempertahankan hak asasi
manusia (Decety, 2010). Di sisi lain, obeberapa prespon empati yang tidak sehat
dapat menyebabkan iiindividu mengalami tekanan i dan i kelelahan i secara I
pribadi (Hojat, 2009) dan juga perilakuhiantisosial seperti penghindaran dan
ketidakadilan terhadap anggota kelompok luar (Decety, 2010).

Intelligence atau kecerdasan merupakan kapasitas seseorang untuk berpikir


logis, berpikir kreatif, belajar, mengetahui, memahami, mengingat, memiliki
perencanaan, berkomunikasi dan mampu memecahkan masalah. Belajar dari
pengalaman dan juga mampu beradaptasi dengan lingkungan juga merupakan
bagian dari kecerdasan. Namun, ketika berbicara tentang kecerdasan hewan, maka
akan dalam istilah yang sangat berbeda.
Sama seperti pada manusia, kecerdasan pada hewan juga digunakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan cara hewan tersebut dalam beradaptasi. Untuk
mengetahui tingkat kecerdasan beberapa hewan, dapat dilakukan dengan
pengujian dengan cara memilih beberapa indikator yang berhubungan dan mudah
diamati pada hewan - hewan tersebut. Beberapa indikator yang dipilih, di
antaranya diusahakan yang dapat dibandingkan dengan manusia. Dengan
demikian akan terdapat pula perbandingan kemampuan antara spesies yang diuji
dengan manusia.
Karena masing-masing spesies memiliki banyak kemampuan berbeda, maka
keunggulan atas suatu kemampuan tertentu tidak hanya semata - mata
menunjukkan bahwa spesies tertentu lebih cerdas daripada spesies yang lain.
Semakin kompleks anatomi sistem saraf pusat suatu spesies, maka semakin
banyak aspek kecerdasan yang perlu untuk diamati.

Studi tentang kecerdasan hewan memiliki sejarah panjang. Sejak


“Darwin's On the Origin of Species” diterbitkan, para ilmuwan telah berusaha
memahami bagaimana hewan berpikir, membandingkan dan membedakannya I
dengan pemikiran manusia. Jadi, animal intelligence merupakan kombinasi
keterampilan dan kemampuan yang memungkinkan hewan untuk tinggal dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan khususnya.

Dengan kata lain, hewan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan


lingkungannya dengan belajar mengubah kebiasaan dan perilaku mereka. Banyak
juga spesies yang mampu membentuk kelompok sosial. Semua karakteristik ini
didasarkan pada kapasitas hewan untuk memproses informasi dan dengan menilai
kapasitas ini, kita dapat menilai mengenai kecerdasan relatif dari spesies yang
berbeda beda.

(Jardim-Messeder Débora, 2017) menyebutkan bahwa anjing lebih cerdas


daripada kucing karena anjing memiliki lebih banyak neuron (sel saraf) di otaknya
dibandingkan dengan kucing. Penemuan inilah yang dijadikan dasar untuk
mengatakan bahwa anjing lebih unggul dibanding kucing secara kognitif.
Meski perbedaan ukuran tubuh anjing juga mempengaruhi jumlah neuron,
namun rata-rata neuron pada anjing yang ukuran tubuhnya besar maupun kecil
memiliki 500 juta neuron, sedangkan kucing memiliki 250 juta neuron. Neuron
yang dihitung untuk menentukan kecerdasan pada suatu hewan adalah neuron
yang terletak di korteks otak besar yang merupakan bagian otak yang
berhubungan dengan penyelesaian masalah dan juga untuk mengambil suatu
keputusan.

Dengan memliki 500 juta neuron di bagian korteks otak besarnya, anjing
terbukti memiliki kecerdasan setara dengan rakun dan singa. Adapun kucing
dengan 250 juta neuron rupanya memiliki tingkat kecerdasan yang setara dengan
beruang. Ini juga menunjukkan bahwa kucing juga memiliki kecerdasan tinggi.

"Anjing memiliki kemampuan biologis untuk melakukan hal-hal yang


lebih rumit dibandingkan kucing,” kata Suzanna Herculano-Houzel, Associate
Professor bidang ilmu biologi dan psikologi dari Universitas Vanderbilt. Selain
itu, Herculano-Houzel juga mengatakan bahwa ukuran tubuh ternyata tidak
berpengaruh pada kecerdasan. Contohnya adalah beruang. Seperti yang kita
semua tahu bahwa beruang memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga beruang
juga memiliki otak yang relatif besar, namun jumlah neuronnya ternyata hanya
1/5 dari jumlah yang sewajarnya ada dalam otak seperti yang dimiliki oleh
beruang.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ukuran tubuh memang tidak


berpengaruh dalam kecerdasan suatu hewan. Walaupun hewan tersebut memiliki
tubuh yang besar bukan berarti ia memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi,
begitupun juga sebaliknya dengan hewan yang memiliki tubuh yang kecil, bukan
berarti hewan tersebut memiliki tingkat kecerdasan yang rendah atau tidak
memiliki kecerdasan sama sekali.

Belum diketahui mengapa anjing dianggap memiliki keterampilan kognitif


tingkat tinggi daripada hewan ternak, namun ada indikasi bahwa hubungan
seseorang dengan hewan dapat memengaruhi persepsi tentang pengalaman batin
hewan tersebut. Misalnya, kedekatan emosional yang dirasakan antara anjing dan
pemiliknya dikaitkan dengan persepsi tentang perilaku anjing, dengan keadaan
“cukup terikat”, pemilik menjadi kurang puas dengan perilaku anjing secara
keseluruhan dibandingkan jika memiliki sifat “sangat terikat” dengan pemilik
(Serpell, 1996). Pada studi yang sama, pemilik dengan anjing yang bersifat
“sangat terikat” menilai tingkat intelegensi anjing mereka lebih tinggi dibanding
pemilik anjing yang sekadar “cukup terikat”.

Terlepas dari minat masyarakat mengenai apakah anjing memiliki akal dan
merupakan hewan yang relatif cerdas , beberapa penelitian selama beberapa tahun
terakhir secara sistematis telah meminta pemilik anjing untuk menggambarkan
prespektif mereka mengenai kemampuan kognitif tertentu yang ada pada anjing
mereka. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk memahami kemampuan
kognitif secara spesifik sifat pemilik anjing kepada anjingnya sendiri, dan apakah
kedekatan emosional dengan anjing peliharaan dan tingkat pengetahuan yang
dirasakan tentang anjing peliharaan terkait dengan peringkat kognisi.

Tujuan dari penelitian tersebut bukan hanya itu saja, namun juga untuk
mengeksplorasi persepsi pemilik tentang kemampuan kognitif anjing dan untuk
memastikan apakah pengetahuan yang dipersepsikan mengenai anjing dan
kedekatan emosional dengan anjing seseorang dikaitkan dengan peringkat kognisi.
Secara umum, para peserta (pemilik anjing) menilai anjing mereka sangat tinggi
dalam hal memiliki keterampilan kognitif yang kompleks. Responden umumnya
setuju bahwa anjing memiliki keterampilan kognitif sosial yang luas, banyak
diantaranya telah ditetapkan secara eksperimental.

Banyak peserta yang sepertinya percaya bahwa anjing mampu mengenali


emosi manusia dan berusaha untuk menipu manusia dan juga anjing yang lainnya.
Namun, keterampilan tersebut belum dibuktikan dalam penelitian ilmiah, terlepas
dari penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa anjing mengalami beberapa
bentuk dari empati (Custance & Mayer, 2012). Ini berarti bahwa beberapa anggota
masyarakat masih belum terbiasa mengenai hal tersebut, dan juga tidak mengerti
dengan apa yang ditunjukkan dalam studi perilaku dengan anjing, atau bahkan
mereka percaya bahwa kemampuan anjing lebih jauh dari apa yang telah
ditunjukkan secara eksperimental.

Penemuan yang lebih lanjut menunjukkan bahwa pemilik anjing yang


secara emosional lebih dekat dengan anjing mereka atau dengan pengetahuan
anjing yang dilaporkan sendiri lebih tinggi, umumnya anjing dianggap memiliki
lebih banyak keterampilan kognitif daripada pemilik anjing yang kurang
berpengetahuan atau kurang dekat dengan anjing mereka sendiri. Hasil ini
konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pemilik hewan
yang merasa lebih dekat secara emosional dengan hewan peliharaan mereka
percaya bahwa mereka lebih cerdas daripada pemilik hewan yang merasa kurang
dekat dengan hewan peliharaannya sendiri (Serpell, 1996).

Penelitian sebelumnya telah menentukan bahwa kepercayaan manusia


terhadap kecerdasan hewan cenderung mengikuti skala filogenetic, sehingga jika
seekor hewan semakin disukai oleh manuisa, maka semakin tinggi peringkat
kecerdasan hewan tersebut secara umum. Namun, hal tersebut tidak menjelaskan
mengapa anjing sering dinilai lebih tinggi dari mamalia lain, termasuk hewan
peliharaan lainnya (Davis & Cheeke, 1998). Ada kemungkinan bahwa keakraban
dengan anjing dapat menjelaskan perbedaan ini, atau bahkan mungkin “dog
positivity bias” seperti yang dilaporkan dalam penelitian (Rajecki, Lee Ramussen,
Sanders, Modlin, & Holder, 1999).

Manusia percaya bahwa perilaku anjing yang “baik” dikaitkan dengan


kecenderungan sehari-hari dari anjing itu sendiri, tetapi jika perilaku anjing yang
“buruk” merupakan respons terhadap suatu peristiwa yang terjadi lingkungannya
yang memaksanya untuk berperilaku buruk (Rajecki, Lee Ramussen, Sanders,
Modlin, & Holder, 1999). Pengetahuan tentang anjing yang dilaporkan sendiri
lebih tinggi dari sang pemilik pun berkorelasi terbalik dengan kemampuan
memecahkan masalah secara naluriah, yang menunjukkan bahwa mereka
menganggap jika anjing kurang mampu dengan kemampuan memecahkan
masalah secara naluriah tersebut. Beberapa penelitian yang mengeksplorasi
keterampilan memecahkan masalah pada anjing menunjukkan bahwa, anjing
dapat belajar memecahkan masalah yang jarang mereka selesaikan lalu karena hal
tersebut maka anjing secara naluriah memecahkan masalahnya sendiri (Pongracz,
Vida, Banhegyi, & Miklosi, 2008). Mungkin orang dengan higher self - reported
knowledge tentang anjing lebih berpengetahuan tentang studi kognisi anjing baru
– baru ini, atau mungkin mereka memiliki lebih banyak pengalaman dengan
anjing dan telah mempelajari tentang kekuatan dan kelemahan kognitif mereka
melalui pengamatan.

Beberapa batasan untuk survei tersebut harus dipertimbangkan pada saat


menafsirkan data. Responden survei tersebut yang paling utama adalah pemilik
anjing betina yang berpendidikan universitas. Jumlah peserta yang memiliki
pendidikan pasca sekolah menengah (65,2%) lebih tinggi dari Australia yang rata
– ratanya 24%; demikian juga dengan 48,8% responden terlibat dalam pekerjaan
penuh waktu, yang lebih tinggi dari Australia yang rata - ratanya 36% (Australian
Bureau of Statistics, 2013). Meskipun ini konsisten dengan survei lain yang
mengeksplorasi sikap dan kepercayaan tentang perilaku anjing (King, Marston, &
Bennet, 2009), tetap bisa bias hasilnya. Memang jika pada sebuah tinjauan
penelitian mengenai interaksi antara manusia – hewan menunjukkan bahwa
seorang pria dan wanita berbeda dalam tingkat ketertarikan pada hewan
peliharaan mereka (Herzog, 2007).

Memang benar jika ada beberapa hewan yang diciptakan dengan


kecerdasan yang lebih tinggi daripada hewan lain, namun kebanyakan faktanya itu
karena hasil latihan rutin mereka bersama pelatih hewan ataupun bersama sang
pemilik hewan itu sendiri. Jika mereka tidak dilatih maka hewan tersebut hanya
memiliki kecerdasan seperti hewan yang pada umumnya. Namun ada pula hewan
yang memang cerdas dikarenakan faktor lingkungan sekitar hewan tersebut yang
membuat mereka harus memikirkan cara mereka bertahan hidup, menyelamatkan
diri, mencari makan, mencari mangsa, dll.

Salah satu contoh hewan yang pintar karena dilatih adalah anjing.
Meskipun banyak orang yang mengatakan anjing merupakan hewan yang amat
cerdas karena mereka mampu mengikuti instruksi orang dengan baik. Contoh nya
seperti ketika anjing diberi perintah untuk duduk (sit) maka anjing tersebut akan
duduk, lalu ketika diberi perintah untuk menunggu (wait) untuk memakan
makanannya yang sudah berada di depan matanya maka anjing tersebut akan diam
sejenak hingga diberi perintah oleh pemiliknya untuk memakan makanannya.

Namun faktanya, yang dilansir dari Canadian Broadcasting Corporation


(CBC), menurut penelitian Stephen Lea yang merupakan seorang profesor
psikologi di Universitas Exeter mengatakan jika tidak ada bukti ilmiah yang
menunjukkan bahwa anjing merupakan hewan yang sangat cerdas. Stephen Lea
meninjau 300 penelitian tentang kecerdasan hewan pada anjing dan melakukan
studinya sendiri. Walaupun memang banyak orang yang mengatakan bahwa
anjing merupakan hewan yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Hanya
saja jika dibandingkan dengan hewan lain, anjing memiliki tingkat keterampilan
yang sama dengan hewan lainnya dengan kata lain, tingkat kecerdasan anjing
sama dibanding hewan yang lainnya. Namun, Stephen Lea tidak menarik
kesimpulan bahwa anjing merupakan hewan yang bodoh. . . . . . . . . . .

Meskipun memang banyak anjing - anjing yang menjadi pintar karena


melalui sebuah pelatihan yang rutin, namun Stephen Lea mengatakan bahwa hal
tersebut tidak menunjukkan kriteria sebuah kecerdasan. Dalam penelitiannya,
Stephen Lea menyimpulkan bahwa anjing tidak menunjukkan hasil yang
konsisten untuk memahami kesulitan yang dialami oleh pemiliknya. Anjing tidak
cepat memahami kapan seorang pemilik berada dalam kesulitan, hewan tersebut
baru akan memahaminya jika sudah terlatih melalui latihan yang runtin.
Contohnya, saat pemiliknya jatuh dari kursi roda, anjing dapat dilatih untuk
mengenali situasi dan kapan harus mengambil sebuah tindakan, entah itu tindakan
untuk menolong sang pemilik atau hanya mendatangi sang pemilik saja. Jadi
sangat amat kecil kemungkinannya jika pada saat kondisi tersebut anjing dapat
menolong sang pemilik tanpa adanya pelatihan apapun.

Disini saya menempatkan posisi saya sebagai kontra jika anjing memiliki
kecerdasan yang sangat tinggi secara alami, sejak anjing tersebut lahir, yang mana
jika dibandingkan dengan kecerdasan hewan lainnya. Hanya dikarenakan anjing
memang dapat memahami perasaan manusia di kala senang atau sedih sehingga
sebagian dari pemilik hewan peliharaan tersebut berpikir bahwa anjing pintar
secara emosional. Namun, tidak hanya anjing saja yang memiliki perasaan, hewan
lain pun juga memiliki perasaan. Meskipun ternyata anjing tidak sepintar yang
kita pikir, namun anjing dibekali kemampuan luar biasa yang mungkin tidak
dimiliki manusia, seperti penciuman tajam dan kemampuan berburu. Hal
semacam itulah yang membuat anjing begitu istimewa dan bukan dari tingkat
kecerdasannya.
DAFTAR PUSTAKA

Asih, G. Y. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau dari Empati dan Kematangan


Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, 35-40.

Australian Bureau of Statistics. (2013, March 1). Retrieved from


http://www.abs.gov.au

Block, N. (1995). On a Confusion About the Function of Consciousness.


Behavioral and Brain Sciences, 18 : 227-247.

Custance, D., & Mayer, J. (2012). Empathic-like responding by domestic dogs to


distress in human : an exploratory study. Anim. Cogn., 851-859.

Davis, & Cheeke. (1998). Do domestic animals have minds and the ability to
think? A provisional sample of opinions on the question. 2072-2079.

de Vignemont, F. a. (2010). The empathic brain: how, when and why? Trends
Cogn. Sci., 10, 435–441. doi:10.1016/j.tics.2006.08.008

Decety, J. (2010). The neurodevelopment of empathy in humans. Dev. Neurosci,


32, 257–267. doi:10.1159/000317771

Hastjarjo, D. (2005). Sekilas Tentang Kesadaran (Consciousness). Buletin


Psikologi, 80-88.

Herzog. (2007). Gender diferences in human-animal interaction. 20, 7-21.

Hojat. (2009). The devil is in the third year: a longitudinal study of erosion of
empathy in medical school. Acad. Med, 84, 1182–1191.
doi:10.1097/ACM.0b013e3181b17e55

Hurlock, & Elizabeth. (1999). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. 118.

Jardim-Messeder Débora, L. K.-H. (2017). Dogs Have the Most Neurons, Though
Not the Largest Brain: Trade-Off between Body Mass and Number of
Neurons in the Cerebral Cortex of Large Carnivoran Species. Frontiers in
Neuroanatomy, 11, 118. doi:10.3389/fnana.2017.00118

King, Marston, & Bennet. (2009). Describing the ideal Australian companion dog.
120, 84-93.

McCall, C. a. (2013). Empathy and the Brain. Baron-Cohen et al Understanding


Other Minds: Perspectives from Developmental Social Neuroscience.
Oxford: Oxford University Press.

Pongracz, Vida, Banhegyi, & Miklosi. (2008). How does dominance rank status
affect individual and social learning performancein the dog? 11, 75-82.

Pratiwi, M. M. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau dari Empati dan Kematangan


Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, 35-38.

Rajecki, Lee Ramussen, Sanders, Modlin, & Holder. (1999). Good dog : aspects
of humans casual attribution for a companion animal's social behavior. 7,
17-34.

Serpell. (1996). Evidence for an association between pet behavior and owner
attachment levels. 49-60.

Anda mungkin juga menyukai