Bungarampai EsaikeuanganNegara artikelPujiWibowo
Bungarampai EsaikeuanganNegara artikelPujiWibowo
net/publication/353915165
CITATIONS READS
0 859
1 author:
Puji Wibowo
Indonesian State College of Accountancy
43 PUBLICATIONS 36 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Puji Wibowo on 15 August 2021.
Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat di buku ini bukanlah representasi
dari kebijakan yang dikeluarkan Politeknik Keuangan Negara STAN, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan, dan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab profesional penulis.
KATA PENGANTAR
Gelombang krisis keuangan di kawasan Asia tahun 1998 yang turut mengoyak
perekonomian Indonesia menghentak kesadaran, betapa rentannya pereko-
nomian Indonesia sesungguhnya. Krisis yang terjadi harus dibayar mahal oleh
Pemerintah Indonesia, karena proses recovery membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Dibutuhkan waktu lama untuk memperoleh kembali kepercayaan dunia
internasional setelah krisis yang membuat angka pertumbuhan ekonomi negara
ini sempat merosot hingga negatif 13,6% pada tahun 1998. Selain itu, nilai tukar
rupiah terhadap dolar terus terdepresiasi hingga menembus Rp16.000 per USD1
dan rasio utang terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) yang melonjak hing-
ga 85%.
Krisis yang terjadi memicu kesadaran berbagai pihak untuk memperkuat pondasi
pengelolaan keuangan negara. Sebagai negara berdaulat, sudah saatnya dilakukan
reformasi terhadap pengelolaan keuangan negara yang saat itu masih mengacu
pada peraturan perundangan peninggalan masa kolonial. Awal tahun 2000 men-
jadi awal kebangkitan bagi pengelolaan keuangan negara, di mana kehadiran tiga
paket Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Negara menjadi titik tolak refor-
masi keuangan negara. Ketiga Undang-Undang tersebut, yaitu Undang-Undang
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 tahun 2005 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menjadi pan-
duan dalam praktik pengelolaan keuangan negara selanjutnya.
Memasuki 72 tahun usia kemerdekaan Indonesia, buku ini hadir dan berusaha
memberikan sumbangan literatur di bidang pengelolaan keuangan negara.
Terdapat empat tema besar keuangan negara yang dibahas, yaitu bidang keuangan
publik, bidang perpajakan, bidang akuntansi Pemerintah, dan bidang kepabeanan
dan cukai. Di setiap tema tersebut, terdapat artikel-artikel yang menyoroti dinami-
ka pengelolaan keuangan negara yang nyata terjadi di lapangan. Pembaca dapat
mencermati berbagai tantangan dan upaya yang dihadapi Pemerintah seiring
dengan semakin kompleksnya tantangan global. Selain itu, pembaca juga dapat
mencermati perkembangan praktik yang terjadi saat ini, apakah masih sejalan de-
ngan semangat kedaulatan pengelolaan keuangan negara yang diusung selama ini.
Bunga rampai keuangan negara ini disusun oleh para dosen di Politeknik Keuangan
Negara STAN yang sebelumnya memiliki pengalaman profesional dalam posisi
— v—
struktural Kementerian Keuangan pada bidangnya masing-masing. Kehadiran
bunga rampai artikel keuangan negara ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran dari perspektif praktisi keuangan negara yang memiliki pengalaman
nyata di bidang pengelolaan keuangan negara. Besar harapan kami agar artikel-
-artikel yang terhimpun dalam buku ini dapat menjadi referensi bagi berbagai
kalangan, baik pendidik, mahasiswa, maupun masyarakat umum agar semakin
memahami dinamika dan tantangan dalam pengelolaan keuangan negara serta
alternatif penanganannya. Semoga hasil karya ini dapat menambah khazanah
literatur keuangan negara dan semoga niat tulus ini dapat dicatat sebagai amal
jariyah.
Selamat membaca.
Tanda Setiya
— vii —
10. URGENSI PENERAPAN ASURANSI BARANG MILIK NEGARA
(BMN) TAHUN 2018
Oleh: Doni Triono .......................................................................................... 113
11. REFORMASI PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA DAN
TANTANGAN KE DEPAN
Oleh: Intan Puspitarini ............................................................................. 127
12. KEPATUHAN WAJIB PAJAK DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF
KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK
Oleh: Nur Arif Nugraha ........................................................................... 135
13. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENERIMAAN HASIL PEMERIKSAAN
DI TAHUN PEMBINAAN WAJIB PAJAK
Oleh: Emik Suyani ................................................................................... 143
14. PERSPEKTIF INDONESIA ATAS SISTEM PERPAJAKAN
TERITORIAL
Oleh: Emik Suyani ................................................................................... 158
15. PENGGUNAAN DAFTAR NOMINATIF TERHADAP ELEMEN
LAPORAN KEUANGAN DALAM SPT TAHUNAN PPH BADAN
Oleh: Suparna Wijaya..................................................................................... 169
16. PAJAK PENGHASILANTERHADAP MITRA PAYTREN
Oleh: Suparna Wijaya dan Ahmad Shobirin ............................................ 184
17. MENGHITUNG BESARAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK MENGGUNAKAN ANALISIS AKUNTANSI
BIAYA
Oleh: Agung Dinarjito ............................................................................. 201
18. MELIHAT SISI LAIN BADAN LAYANAN UMUM (BLU)
Oleh: Agung Dinarjito ............................................................................. 213
19. POLICIES ON THE PROPERTY SECTOR:
A SHORT ECONOMIC IMPACT ANALYSIS
By: Didik Kurniawan...................................................................................... 228
20. DATA PROCESSING TECHNOLOGY IN AUDIT
A BRIEF USAGE ANALYSIS IN THE INSPECTORATE GENERAL OF
MOF
By: Didik Kurniawan...................................................................................... 243
21. ANALISIS MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA BERDASARKAN
KOMPETENSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN
Oleh: Sakti Prabowo................................................................................. 250
ix
Abstract:
Oil and gas revenue managed by central government is one of interesting issues
to debate for many years. The problems of this revenue are associated with legitimacy
of Ministry of Finance as ‘the owner’ and the absence of Government Regulation
concerning type and tariff of non-tax revenue from oil and gas sector. This research
aims to reveal the phenomenon of oil and gas revenue from perspective stewardship
and institutional theories by using literature review only. Based on stewardship the-
ory, we argue that Ministry of Finance is claimed to be the government institution
who should manage oil and gas non-tax revenue by considering cash management
function. Meanwhile, by using institutional theory, we suggest that non-tax revenue
from oil and gas sector shall be mandated by Government Regulation, such as non-
-tax revenues managed by other Line Ministries/Agencies.
1. Pendahuluan
Sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) pernah menjadi andalan utama
dan primadona bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak terjadinya
booming kenaikan harga minyak dunia pada era tahun 1970-an. Pada saat negara
kita mengadopsi program Pembangunan Lima Tahunan (Pelita) yang dimulai
sejak 1969/1970 s.d. 1973/1974 (Pelita I), sektor ini mulai mendominasi sejak
Pelita II (1974/1975 s.d. 1978/1979) hingga Pelita V (1989/1990 s.d. 1993/1994).
Tercatat dalam periode tersebut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari
sektor migas mengungguli realisasi penerimaan perpajakan, di mana puncaknya
terjadi pada Pelita III yang mencapai 71 persen dari total pendapatan negara.
Kontribusi tersebut belum memperhitungkan penerimaan perpajakan dari sektor
migas. Apabila sumbangsih pajak dari sektor hulu migas diperhitungkan, terjadi
— 276 —
277
sebuah ketimpangan yang kian mencolok antara sektor migas dan nonmigas pada
era tersebut.
Terlepas dari pesona industri migas yang mungkin dirasakan mulai memudar,
sektor ini senantiasa menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir ini.
Public concern tersebut dimulai dari adanya perdebatan mengenai mekanisme
cost recovery dalam kontrak bagi hasil hingga bentuk kebijakan insentif fiskal yang
perlu dirumuskan agar sektor migas tetap attractive bagi investor asing. Munculnya
ketertarikan masyarakat terhadap industri ini bisa jadi karena sektor migas di ta-
nah air memiliki atribut yang unik dibandingkan dengan negara lain. Keunikan
tersebut antara lain terlihat dari potensi cadangan migas di tanah air yang secara
umum berada pada cekungan marjinal. Hal ini berkorelasi langsung pada kebu-
tuhan pendanaan untuk investasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan
negara-negara produsen migas lainnya (Wibowo, 2017). Investasi yang sarat de-
ngan risiko, itulah gambaran umum yang bisa ditangkap dari sektor hulu migas.
Pudyantoro (2013) mengungkapkan bahwa yang dapat dipastikan dari kegiatan
hulu migas adalah ketidakpastian menemukan cadangan yang berdampak pada
proses bisnis. Semakin tinggi tingkat ketidakpastian dimaksud, semakin tinggi pula
probabilitas investor tidak memperoleh return yang dikehendaki.
kerja sama migas yakni biaya penggantian (cost recovery) dan pembebasan/pe-
nanggungan (assume and discharge) perpajakan tidak langsung (indirect tax) dari
sektor migas. Cost recovery pada prinsipnya merupakan biaya produksi migas yang
dikeluarkan oleh perusahaan migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Biaya produksi tersebut akan diganti oleh Pemerintah apabila KKKS berhasil me-
nemukan cadangan migas yang bernilai ekonomis. Cost recovery diberikan dalam
bentuk in-kind dan diambilkan dari lifting migas yang dihasilkan dalam suatu su-
mur migas. Dengan kata lain, pembayaran cost recovery tidak melalui penyelesaian
tunai sebagaimana kewajiban Pemerintah pada umumnya. Sebaliknya, apabila
KKKS tidak berhasil menemukan cadangan migas yang bernilai ekonomis selama
masa eksplorasi (6 tahun dan dapat diperpanjang hingga 10 tahun), Pemerintah
tidak berkewajiban mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor migas
(Wibowo, 2017). Oleh karena itu, Pemerintah tidak menanggung exposure APBN
terkait kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas (Volta dan Kafabih, 2015). Di
samping ketiadaan dampak fiskal secara langsung, pilihan atas model PSC dengan
mekanisme cost recovery tetap menjadi pilihan pertama Pemerintah dalam bebe-
rapa tahun belakangan karena tetap mensyaratkan Pemerintah selaku tuan rumah
mempunyai kewenangan manajemen (Lubiantara, 2012).
Karakterstik industri migas berikutnya yang sering mendapat sorotan dari au-
ditor Badan Pemeriksa Keuangan adalah pelaksanaan atas assume and discharge.
Kebijakan pembebasan dan penanggungan indirect tax oleh Pemerintah, mensya-
ratkan ketersediaan dana dalam jumlah tertentu setiap tahunnya. Dana tersebut
digunakan khusus untuk membayar dan/atau mengganti beban perpajakan dan
beban pungutan lainnya dari kontraktor migas. Selama ini, dana dimaksud diam-
bilkan dari uang hasil penjualan lifting migas bagian negara (penerimaan migas)
yang ditampung dalam Rekening Migas pada Bank Indonesia. Beban perpajakan
dan pungutan lainnya sektor migas yang menjadi kewajiban Pemerintah tersebut
meliputi reimbursement atas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPN/PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak daerah
berupa pajak penerangan jalan, pajak air tanah dan pajak air permukaan, beban
underlifting kontraktor, dan fee kegiatan usaha hulu migas. Penyelesaian kewajib-
an sektor migas di atas tidak dilakukan melalui mekanisme APBN sebagaimana
lazimnya dipraktikkan dalam bingkai pengelolaan keuangan negara.
terkait jati diri penerimaan migas, apakah merupakan kelompok PNBP atau bukan.
Permasalahan ini berkaitan erat dengan interpretasi penjelasan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
2. Tinjauan Pustaka
Keunikan PNBP yang tidak dijumpai dalam jenis pendapatan negara yang
lain adalah dimungkinkannya penggunaan sebagian dana PNBP oleh instansi pe-
mungut. Penggunaan PNBP tersebut didedikasikan untuk mendukung kegiatan
pengelolaan PNBP, khususnya untuk: (a) penelitian dan pengembangan teknologi;
(b) pelayanan kesehatan; (c) pendidikan dan pelatihan; (d) penegakan hukum;
(e) pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan (f) pelesta-
rian sumber daya alam. Kelompok kegiatan tersebut merupakan kelompok besar
penghasil PNBP sebelum diundangkannya UU PNBP sekaligus merepresentasikan
tugas dan fungsi instansi pengelola PNBP pada saat itu. Adanya kebijakan penggu-
naan PNBP ini, diduga menjadi salah satu motivasi kuat bagi K/L untuk menjadi
salah satu instansi pengelola PNBP.
Hak negara yang berupa PNBP dari sektor hulu migas dinyatakan secara je-
las di dalam Pasal 31 ayat (3) UU Migas, yakni terdiri dari (i) bagian negara, (ii)
pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi,
dan (iii) bonus-bonus. Penerimaan negara yang berasal dari volume lifting migas
pada prinsipnya merupakan bagian negara. Di dalam penjelasan Pasal 31 ayat (3)
dinyatakan bahwa bagian negara merupakan bagian produksi yang diserahkan
oleh badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) kepada negara sebagai pemilik
sumber daya minyak dan gas bumi. Di dalam postur APBN yang dikeluarkan setiap
tahun melalui UU, penerimaan migas yang dilaporkan dalam APBN terdiri dari:
a. Pendapatan sumber daya alam, yang terdiri dari pendapatan minyak bumi
dan gas bumi.
282
Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian negara setelah
dikurangi terlebih dahulu dengan kewajiban Pemerintah sektor migas berupa
indirect taxes dan fee kegiatan usaha hulu migas.
b. PNBP Lainnya.
Pendapatan ini berasal antara lain berasal dari penerimaan bonus-bonus hulu
migas, transfer material, pemanfaatan aset KKKS, dan firm commitment.
PNBP migas yang berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian negara
(PNBP SDA Migas) secara yuridis belum memperoleh penetapan dalam bentuk
PP sebagaimana jenis PNBP yang dikelola oleh K/L pada umumnya. Untuk ke-
perluan pertanggungjawaban pengelolaan PNBP SDA Migas, Pemerintah melalui
Kementerian Keuangan telah menunjuk Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) selaku
unit akuntansi. Penunjukan tersebut pertama kali dinyatakan dalam PMK Nomor
171/PMK.05/2007 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
283
Teori stewardship dapat diterapkan di sektor publik. Hal ini karena Pemerintah
selaku steward memiliki fungsi pengelola sumber daya dan rakyat selaku principal
merupakan pemilik sumber daya. Raharjo (2007) menjelaskan bahwa timbulnya
kesepakatan yang terjalin antara Pemerintah (steward) dan rakyat (principal)
berdasarkan kepercayaan kolektif yang sesuai tujuan organisasi, akan berdam-
pak pada pelayanan kepada publik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat.
Sebaliknya, dalam teori agensi, prinsipal atau pemilik dan agen atau mana-
jer mempunyai kepentingan yang berbeda (Hirsch, Michaels, & Friedman, 1987;
Perrow, 1986, dalam Raharjo 2007). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hu-
bungan keagenan sebagai berikut:
“agency relationship as a contract under which one or more person (the princi-
pals) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf
which involves delegating some decision making authority to the agent.”
Dari pernyataan Jensen dan Meckling di atas, dapat dikatakan bawah hubung-
an keagenan pada intinya merupakan suatu kontrak di mana satu atau lebih orang
(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama
prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik
bagi prinsipal. Selanjutnya, Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa po-
tensi masalah keagenan muncul apabila manajer selaku agen cenderung bertindak
untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkan nilai perusahaan.
Inilah yang nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost).
284
Satu hal yang menarik untuk didalami adalah perilaku sebuah lembaga atau
organisasi menurut perspektif institutional theory. Teori kelembagaan memiliki
gagasan bahwa terbentuknya organisasi oleh karena tekanan lingkungan insti-
tusional yang menyebabkan terjadinya institusionalisasi. Zukler (1987) dalam
Mubarani dan Nugraha (2013), menyatakan bahwa ide atau gagasan pada ling-
kungan institusional yang membentuk bahasa dan simbol yang menjelaskan
keberadaan organisasi dan diterima (taken for granted) sebagai norma-norma
dalam konsep organisasi. Sementara itu, Di Maggio dan Powell (1983) dalam
Mubarani dan Nugraha (2013), menyebutnya sebagai proses imitasi atau adop-
si memetic sebuah organisasi terhadap elemen organisasi lainnya. Menurut Di
Maggio dan Powell (1983) organisasi terbentuk oleh lingkungan institusional yang
ada di sekitar mereka.
3. Metode Penelitian
4. Pembahasan
Pada fase kedua, penerimaan migas yang diperoleh Pemerintah Pusat pada
prinsipnya berasal dari pelaksanaan ketentuan PSC, kontrak penunjukan penjual
migas bagian negara, kontrak jual beli migas, maupun ketentuan perundangan di
bidang PNBP. Terdapat dua kelompok PNBP dan dua instansi yang menjadi instan-
si pengelola PNBP. Kelompok PNBP yang dimaksud meliputi PNBP Sumber Daya
Alam (PNBP SDA Migas) dan PNBP Lainnya. Di dalam PNBP SDA terdapat penda-
patan minyak bumi dan gas bumi yang secara prinsip berasal dari hasil penjualan
lifting migas bagian negara. PNBP ini dikelola oleh Kementerian Keuangan dalam
kapasitas sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Di samping mengelola PNBP
SDA Migas, Kementerian Keuangan selaku BUN juga menatausahakan pendapat-
an yang berasal dari penjualan minyak mentah domestic market obligation (DMO),
bonus produksi, pemanfaatan aset yang berupa transfer material dari KKKS eks-
plorasi dan denda bunga/penalti. Adapun instansi pengelola PNBP berikutnya pada
fase PSC ini adalah KESDM yang melakukan pengelolaan atas PNBP dari
pemanfaatan aset KKKS dan denda bunga/penalti. Dalam hal pemanfaatan aset
287
Berbeda dengan jenis PNBP pada periode pre-PSC yang jauh dari polemik,
pengelolaan PNBP sektor hulu migas pada fase PSC sarat dengan persoalan le-
galitas dan legitimasi. Penetapan Kementerian Keuangan selaku BUN sebagai
instansi pengelola PNBP SDA belum didasarkan pada produk hukum setingkat
Peraturan Pemerintah sebagaimana lazimnya pengelola PNBP yang lain. Demikian
juga halnya dengan PNBP Lainnya yang berasal dari penjualan minyak mentah
DMO. Ketiadaan PP yang memayungi proses bisnis pengelolaan PNBP migas
di Kementerian Keuangan kerap kali menjadi perdebatan internal Pemerintah.
Produk hukum yang saat ini menjadi acuan adalah Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Pemerintah Pusat.
Selanjutnya, fase terakhir, post-PSC, hingga saat ini baru menghasilkan PNBP
yang berasal dari iuran pasti (firm commitment). PNBP ini diperoleh dari penye-
lesaian kewajiban KKKS selama masa eksplorasi yang harus dipenuhi sebelum
berakhirnya masa pencarian cadangan migas tersebut. KKKS yang memperoleh
terminasi kontrak paska eksplorasi, wajib membayar sisa kewajiban yang diatur di
dalam PSC. Kewajiban dimaksud seyogianya dipenuhi sewaktu masa eksplorasi
berlangsung. Untuk jenis pendapatan yang berasal dari sisa dana abandonment
and site restoration (ASR) hingga saat ini belum ada realisasinya sehingga belum
ditetapkan instansi manakah yang berwenang mengelola PNBP tersebut.
Dengan peran strategis tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa SKK Migas se-
benarya selalu berkontribusi pada setiap fase siklus penerimaan migas. Ketiadaan
produk hukum yang menetapkan SKK Migas sebagai instansi pengelola PNBP,
antara lain karena status kelembagaannya yang saat ini masih dalam proses tran-
sisi. Sebelum bermetamorfosis menjadi SKK Migas, instansi pelaksana kegiatan
usaha hulu migas dahulu adalah Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas
(BPMIGAS) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dana operasi-
onal BPMIGAS kala itu diambilkan dari dana penerimaan migas yang terdapat
di dalam Rekening Migas. Hal ini sejalan dengan ketentuan PMK Nomor 113/
PMK.02/2009 tentang Rekening Minyak dan Gas Bumi dan KMK Nomor 295/
KMK.02/2003 yang mengatur anggaran BPMIGAS. Oleh karena itu, sampai dengan
pembubaran BPMIGAS pada tanggal 13 November 2012, BPMIGAS bukanlah
merupakan instansi Pemerintah pengguna anggaran/barang, yang merupakan
salah satu syarat untuk ditetapkan sebagai pengelola PNBP. Bahkan hingga dua
tahun sejak bertransformasi menjadi SKK Migas, sumber pendanaan operasional
intansi tersebut masih berasal dari dana pada Rekening Migas alias off-budget.
Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila SKK Migas hingga saat itu tidak dapat
ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP. Dengan adanya perubahan kebijakan
penganggaran, sejak tahun 2015 biaya operasional SKK Migas berasal dari dana
APBN. Oleh karena itu, SKK Migas dapat dikatakan sebagai instansi pengguna
anggaran/barang sebagaimana layaknya K/L yang lain. Oleh karena itu, menurut
hemat penulis, SKK Migas dapat ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP.
Terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penerimaan migas dan PNBP
migas. Dikotomi istilah penerimaan migas dan PNBP migas perlu diperjelas agar
proses bisnis pengelolaan penerimaan migas dapat lebih dipahami secara benar.
Gambar 2 di bawah ini merupakan skema perhitungan bagi hasil lifting minyak
bumi antara Pemerintah dengan KKKS, dengan asumsi tarif pajak 48 persen.
289
Praktik yang berlangsung selama ini, dana penerimaan migas pada angka 1 di
atas dimonitor oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
(DJA). Hal ini sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 234/PMK.01/2015 yang
290
Kedua, dalam perspektif yang lebih luas, penerimaan migas pada angka 2 dapat
diartikan sebagai keseluruhan hak Pemerintah Pusat yang diperoleh dari kegiatan
usaha hulu migas baik dalam bentuk pajak maupun bukan pajak. Oleh karena itu,
penerimaan migas pada angka 2 berasal dari government split (71,1538%) dan pa-
jak atas contactor split (13,8462%) dengan total 85 persen dari gross revenue setelah
dikurangi cost recovery (net operating income atau equity to be split). Penerimaan
migas pada angka 2 inilah yang sering dijadikan indikator penerimaan migas dan
sebagai target penerimaan migas dalam RAPBN yang dibahas di parlemen.
Batas kewenangan pengelolaan PNBP sektor hulu migas secara umum telah
digambarkan dalam Gambar 1 yang menjelaskan siklus penerimaan migas. Namun
demikian, pembagian tugas tersebut merupakan sebuah sebuah proses bisnis yang
belum dinaungi dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana diamanatkan dalam
UU PNBP, bahwa jenis PNBP ditetapkan dalam UU atau PP. Hingga saat ini, belum
ada Peraturan Pemerintah yang mengatur jenis dan tarif atas PNBP SDA Migas.
Di dalam PP tersebut seyogianya juga menetapkan instansi pemerintah manakah
yang berwenang atas pengelolaan PNBP dengan mempertimbangkan kesesuaian
tugas dan fungsinya. Sebagai contoh PP Nomor 9 Tahun 2012 mengatur jenis dan
tarif PNBP yang dikelola oleh KESDM. Demikian juga halnya dengan PP Nomor 1
Tahun 2013 yang mengatur jenis dan tarif PNBP yang terdapat pada Kementerian
Keuangan. Di dalam kedua PP tersebut, sama sekali tidak memuat jenis PNBP SDA
Migas sebagaimana dimaksud pada Gambar 2 di atas. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan apabila terdapat anggapan bahwa pengaturan formal mengenai kewe-
nangan pengelolaan PNBP SDA Migas mengalami kekosongan hukum.
291
Apabila kita kaitkan dengan stewardship theory, pengelolaan PNBP SDA Migas
oleh Kementerian Keuangan selaku BUN (dhi. dilaksanakan oleh DJA) sebenar-
nya sudah tepat. Dalam hal ini DJA bertindak selaku steward karena memiliki
kepentingan yang sama dengan Kementerian Keuangan selaku principal. Sebagai
pengelola dana penerimaan migas dan pembayar tagihan kewajiban Pemerintah
sektor migas, DJA seyogianya juga ditetapkan menjadi satker pengelola PNBP SDA
Migas. Kondisi ini sekaligus meminimalkan bahkan meniadakan masalah keagen-
an yang mungkin timbul apabila pengelolaan PNBP SDA Migas diserahkan kepada
instansi lain di luar Kementerian Keuangan. Bisa jadi terdapat kepentingan yang
berbeda antara instansi di luar Kementerian Keuangan dengan DJA selaku instansi
di bawah Kementerian Keuangan.
Kewenangan DJA dalam mengelola PNBP SDA Migas dirasa tidak cukup de-
ngan pengaturan melalui PMK. Menurut penulis, peran DJA sebagai satuan kerja
di bawah Kementerian Keuangan tidak lagi hanya sebatas entitas akuntansi, seba-
gaimana diamanatkan dalam PMK. Akan tetapi, penegasan DJA sebagai instansi
pengelola PNBP harus dipayungi dengan landasan hukum minimal selevel PP.
Kenapa dibutuhkan PP? Pertama, secara konstitusi, ketentuan mengenai jenis,
tarif, dan pengelola PNBP selama ini diatur di dalam PP. Kedua, berkiblat pada
teori institusional, seluruh K/L yang ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP
merupakan instansi yang berkedudukan sejajar dengan Kementerian Keuangan.
Sepanjang tidak ada diskresi yang diatur di dalam UU, pengelolaan PNBP SDA
Migas oleh Kementerian Keuangan harus diatur pula di dalam PP sebagaimana
pengelolaan PNBP pada K/L yang lain. Apalagi Kementerian Keuangan juga ber-
tindak selaku regulator atau instansi pembina PNBP.
mendorong K/L untuk mengajukan Rancangan PP guna mengatur jenis dan ta-
rif PNBP. Sungguh ironis apabila Kementerian Keuangan hingga saat ini belum
mengajukan Rancangan PP untuk mengatur jenis dan tarif PNBP SDA Migas yang
selama ini dikelolanya. Dalam konteks ini, Kementerian Keuangan harus mela-
kukan isomorfisme pengelolaan PNBP dengan model coercive atau pun melalui
memetic. Model coercive dilakukan karena merupakan amanah UU sehingga perlu
adanya tekanan politik. Adapun memetic dilakukan dalam rangka mengantisipasi
ketidakpastian pengelolaan PNBP SDA Migas yang hingga kini belum ditetapkan
dalam PP.
Untuk pengelolaan PNBP migas yang tidak berkaitan langsung dengan cash
management di Rekening Migas seperti bonus produksi dan transfer material, da-
pat dilimpahkan kepada instansi lain. Pelimpahan tersebut juga perlu diakomodir
di dalam PP yang mengatur jenis dan tarif PNBP pada instansi yang menangani
kedua jenis pendapatan PNBP tersebut.
293
Implikasi Kebijakan
Keterbatasan
Penelitian ini baru sebatas tinjauan pustaka. Hasil pemikiran di dalam tulisan
ini perlu memperoleh perspektif dari pihak lain untuk memperkaya gagasan, baik
melalui focus group discussion maupun in-depth interview dengan para pemangku
kepentingan.
Daftar Pustaka