Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/353915165

Sinergi Pengelolaan Penerimaan Migas di Indonesia: Perlukah Ditata Ulang?

Chapter · August 2021

CITATIONS READS

0 859

1 author:

Puji Wibowo
Indonesian State College of Accountancy
43 PUBLICATIONS   36 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Puji Wibowo on 15 August 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ESAI
KEUANGAN NEGARA
Sumbangsih Pemikiran untuk Negeri

Politeknik Keuangan Negara


STAN
DISCLAIMER

Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat di buku ini bukanlah representasi
dari kebijakan yang dikeluarkan Politeknik Keuangan Negara STAN, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan, dan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab profesional penulis.
KATA PENGANTAR

Gelombang krisis keuangan di kawasan Asia tahun 1998 yang turut mengoyak
perekonomian Indonesia menghentak kesadaran, betapa rentannya pereko-
nomian Indonesia sesungguhnya. Krisis yang terjadi harus dibayar mahal oleh
Pemerintah Indonesia, karena proses recovery membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Dibutuhkan waktu lama untuk memperoleh kembali kepercayaan dunia
internasional setelah krisis yang membuat angka pertumbuhan ekonomi negara
ini sempat merosot hingga negatif 13,6% pada tahun 1998. Selain itu, nilai tukar
rupiah terhadap dolar terus terdepresiasi hingga menembus Rp16.000 per USD1
dan rasio utang terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) yang melonjak hing-
ga 85%.

Krisis yang terjadi memicu kesadaran berbagai pihak untuk memperkuat pondasi
pengelolaan keuangan negara. Sebagai negara berdaulat, sudah saatnya dilakukan
reformasi terhadap pengelolaan keuangan negara yang saat itu masih mengacu
pada peraturan perundangan peninggalan masa kolonial. Awal tahun 2000 men-
jadi awal kebangkitan bagi pengelolaan keuangan negara, di mana kehadiran tiga
paket Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Negara menjadi titik tolak refor-
masi keuangan negara. Ketiga Undang-Undang tersebut, yaitu Undang-Undang
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 tahun 2005 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menjadi pan-
duan dalam praktik pengelolaan keuangan negara selanjutnya.

Memasuki 72 tahun usia kemerdekaan Indonesia, buku ini hadir dan berusaha
memberikan sumbangan literatur di bidang pengelolaan keuangan negara.
Terdapat empat tema besar keuangan negara yang dibahas, yaitu bidang keuangan
publik, bidang perpajakan, bidang akuntansi Pemerintah, dan bidang kepabeanan
dan cukai. Di setiap tema tersebut, terdapat artikel-artikel yang menyoroti dinami-
ka pengelolaan keuangan negara yang nyata terjadi di lapangan. Pembaca dapat
mencermati berbagai tantangan dan upaya yang dihadapi Pemerintah seiring
dengan semakin kompleksnya tantangan global. Selain itu, pembaca juga dapat
mencermati perkembangan praktik yang terjadi saat ini, apakah masih sejalan de-
ngan semangat kedaulatan pengelolaan keuangan negara yang diusung selama ini.

Bunga rampai keuangan negara ini disusun oleh para dosen di Politeknik Keuangan
Negara STAN yang sebelumnya memiliki pengalaman profesional dalam posisi

— v—
struktural Kementerian Keuangan pada bidangnya masing-masing. Kehadiran
bunga rampai artikel keuangan negara ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran dari perspektif praktisi keuangan negara yang memiliki pengalaman
nyata di bidang pengelolaan keuangan negara. Besar harapan kami agar artikel-
-artikel yang terhimpun dalam buku ini dapat menjadi referensi bagi berbagai
kalangan, baik pendidik, mahasiswa, maupun masyarakat umum agar semakin
memahami dinamika dan tantangan dalam pengelolaan keuangan negara serta
alternatif penanganannya. Semoga hasil karya ini dapat menambah khazanah
literatur keuangan negara dan semoga niat tulus ini dapat dicatat sebagai amal
jariyah.

Selamat membaca.

Tanda Setiya

Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v


DAFTAR ISI ....................................................................................................vii

1. INSTRUMEN PEMBIAYAAN APBN UNTUK PEMBANGUNAN


INFRASTRUKTUR
Oleh: Dian Handayani ..................................................................................1
2. RISIKO PENYEDIAAN DANA UNTUK PERCEPATAN PEMBIAYAAN
INFRASTRUKTUR
Oleh: Joko Sumantri ................................................................................... 14
3. STUDI KUALITATIF: ANALISIS DAMPAK PENYERTAAN MODAL
NEGARA TERHADAP PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK BAGIAN LABA BADAN USAHA MILIK NEGARA
Oleh: Muhammad Heru Akhmadi ............................................................. 26
4. EVALUASI DANA ALOKASI UMUM PADA ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PROVINSI PENGHASIL
SUMBER DAYA ALAM MINYAK DAN GAS BUMI TAHUN 2014-2017
Oleh: Muhammad Heru Akhmadi ............................................................. 38
5. REFORMASI ADMINISTRASI DAN GOVERNANCE
DI KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA
(Satuan Kerja Vertikal Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan)
Oleh: M Syahrul Fuady............................................................................... 49
6. SUSTAINABILITAS FISKAL: BELAJAR DARI PENGALAMAN
Oleh: Mas’udin.................................................................................................. 63
7. PENYEMPURNAAN SISTEM PENERIMAAN NEGARA PADA
PERBANKAN SEBAGAI COLLECTING AGENT
Oleh: Iskandar ............................................................................................ 77
8. MODERNISASI PROSES BISNIS PEMBAYARAN BELANJA NEGARA
MENUJU BEST PRACTICES
Oleh: Azas Mabrur ..................................................................................... 90
9. MEMBEDAH RAGAM PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN
ALTERNATIF INFRASTRUKTUR DAERAH
Oleh: Maman Suhendra ............................................................................ 104

— vii —
10. URGENSI PENERAPAN ASURANSI BARANG MILIK NEGARA
(BMN) TAHUN 2018
Oleh: Doni Triono .......................................................................................... 113
11. REFORMASI PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA DAN
TANTANGAN KE DEPAN
Oleh: Intan Puspitarini ............................................................................. 127
12. KEPATUHAN WAJIB PAJAK DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF
KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK
Oleh: Nur Arif Nugraha ........................................................................... 135
13. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENERIMAAN HASIL PEMERIKSAAN
DI TAHUN PEMBINAAN WAJIB PAJAK
Oleh: Emik Suyani ................................................................................... 143
14. PERSPEKTIF INDONESIA ATAS SISTEM PERPAJAKAN
TERITORIAL
Oleh: Emik Suyani ................................................................................... 158
15. PENGGUNAAN DAFTAR NOMINATIF TERHADAP ELEMEN
LAPORAN KEUANGAN DALAM SPT TAHUNAN PPH BADAN
Oleh: Suparna Wijaya..................................................................................... 169
16. PAJAK PENGHASILANTERHADAP MITRA PAYTREN
Oleh: Suparna Wijaya dan Ahmad Shobirin ............................................ 184
17. MENGHITUNG BESARAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK MENGGUNAKAN ANALISIS AKUNTANSI
BIAYA
Oleh: Agung Dinarjito ............................................................................. 201
18. MELIHAT SISI LAIN BADAN LAYANAN UMUM (BLU)
Oleh: Agung Dinarjito ............................................................................. 213
19. POLICIES ON THE PROPERTY SECTOR:
A SHORT ECONOMIC IMPACT ANALYSIS
By: Didik Kurniawan...................................................................................... 228
20. DATA PROCESSING TECHNOLOGY IN AUDIT
A BRIEF USAGE ANALYSIS IN THE INSPECTORATE GENERAL OF
MOF
By: Didik Kurniawan...................................................................................... 243
21. ANALISIS MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA BERDASARKAN
KOMPETENSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN
Oleh: Sakti Prabowo................................................................................. 250
ix

22. ASI PENYELENGGARAAN SIKD YANG EFISIEN


Oleh: Suprayitno....................................................................................... 261
23. SINERGI PENGELOLAAN PENERIMAAN MIGAS DI INDONESIA:
PERLUKAH DITATA ULANG?
Oleh: Puji Wibowo ......................................................................................... 276
24. BAB 98 BUKU TARIF KEPABEANAN INDONESIA SEBAGAI ALAT
KEBIJAKAN: MUNGKINKAH?
Oleh: Akhmad Solikin .............................................................................. 295
25. EXCISE SHARING FUND POLICY IN INDONESIA
By: Ario Seno Nugroho.................................................................................. 308
DAFTAR RIWAYAT PENELITI ................................................................. 315
SINERGI PENGELOLAAN PENERIMAAN MIGAS DI
INDONESIA: PERLUKAH DITATA ULANG?
Oleh: Puji Wibowo

Politeknik Keuangan Negara-STAN


puji.wibowo@pknstan.ac.id

Abstract:

Oil and gas revenue managed by central government is one of interesting issues
to debate for many years. The problems of this revenue are associated with legitimacy
of Ministry of Finance as ‘the owner’ and the absence of Government Regulation
concerning type and tariff of non-tax revenue from oil and gas sector. This research
aims to reveal the phenomenon of oil and gas revenue from perspective stewardship
and institutional theories by using literature review only. Based on stewardship the-
ory, we argue that Ministry of Finance is claimed to be the government institution
who should manage oil and gas non-tax revenue by considering cash management
function. Meanwhile, by using institutional theory, we suggest that non-tax revenue
from oil and gas sector shall be mandated by Government Regulation, such as non-
-tax revenues managed by other Line Ministries/Agencies.

Keywords: PNBP, hulu migas, teori stewardship, teori institusional

1. Pendahuluan

Sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) pernah menjadi andalan utama
dan primadona bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak terjadinya
booming kenaikan harga minyak dunia pada era tahun 1970-an. Pada saat negara
kita mengadopsi program Pembangunan Lima Tahunan (Pelita) yang dimulai
sejak 1969/1970 s.d. 1973/1974 (Pelita I), sektor ini mulai mendominasi sejak
Pelita II (1974/1975 s.d. 1978/1979) hingga Pelita V (1989/1990 s.d. 1993/1994).
Tercatat dalam periode tersebut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari
sektor migas mengungguli realisasi penerimaan perpajakan, di mana puncaknya
terjadi pada Pelita III yang mencapai 71 persen dari total pendapatan negara.
Kontribusi tersebut belum memperhitungkan penerimaan perpajakan dari sektor
migas. Apabila sumbangsih pajak dari sektor hulu migas diperhitungkan, terjadi

— 276 —
277

sebuah ketimpangan yang kian mencolok antara sektor migas dan nonmigas pada
era tersebut.

Euphoria industri hulu migas di Indonesia sangat dipengaruhi oleh beberapa


hal, terutama kemampuan reserve dan harga. Dari sisi cadangan migas, terjadi
kecenderungan penurunan lifting migas yang disumbangkan oleh industri emas
hitam ini. Dari produksi harian yang pernah mencapai 1,5 juta barel per hari, terus-
menerus tergerus hingga di kisaran 800 ribu barel per hari. Hal ini antara lain
seiring dengan belum ditemukannya lagi sumur migas baru dan adanya paket
kebijakan migas yang dirasakan oleh sebagian pelaku industri (kontraktor migas)
yang justru dinilai memberikan disincentive factor. Menurunnya lifting berdam-
pak langsung pada pencapaian target penerimaan migas baik dalam bentuk pajak
maupun PNBP. Faktor berikutnya yang sulit dikendalikan adalah dinamika harga
minyak dunia yang cenderung fluktuatif dan unpredictable. Pergerakan harga
minyak dunia menjadi benchmark volatilitas harga minyak mentah Indonesia
(Indonesian Crude Price-ICP). Pernah menembus angka hingga USD140 per barel
pada tahun 2008, ICP kini seakan nyaman bertengger di bawah USD50 per barel.
Indikator ekonomi makro untuk penerimaan migas yang underperformed tersebut
pada akhirnya berdampak pula pada besaran bagi hasil migas untuk daerah.

Terlepas dari pesona industri migas yang mungkin dirasakan mulai memudar,
sektor ini senantiasa menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir ini.
Public concern tersebut dimulai dari adanya perdebatan mengenai mekanisme
cost recovery dalam kontrak bagi hasil hingga bentuk kebijakan insentif fiskal yang
perlu dirumuskan agar sektor migas tetap attractive bagi investor asing. Munculnya
ketertarikan masyarakat terhadap industri ini bisa jadi karena sektor migas di ta-
nah air memiliki atribut yang unik dibandingkan dengan negara lain. Keunikan
tersebut antara lain terlihat dari potensi cadangan migas di tanah air yang secara
umum berada pada cekungan marjinal. Hal ini berkorelasi langsung pada kebu-
tuhan pendanaan untuk investasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan
negara-negara produsen migas lainnya (Wibowo, 2017). Investasi yang sarat de-
ngan risiko, itulah gambaran umum yang bisa ditangkap dari sektor hulu migas.
Pudyantoro (2013) mengungkapkan bahwa yang dapat dipastikan dari kegiatan
hulu migas adalah ketidakpastian menemukan cadangan yang berdampak pada
proses bisnis. Semakin tinggi tingkat ketidakpastian dimaksud, semakin tinggi pula
probabilitas investor tidak memperoleh return yang dikehendaki.

Tingginya tingkat kegagalan dalam memperoleh cadangan migas komersial


mendorong Pemerintah berpikir keras untuk membuat kegiatan hulu migas di ta-
nah air tetap menjanjikan bagi calon investor. Salah satu upaya yang selama ini telah
ditempuh Pemerintah adalah dengan menawarkan dua benefit di dalam kontrak
278

kerja sama migas yakni biaya penggantian (cost recovery) dan pembebasan/pe-
nanggungan (assume and discharge) perpajakan tidak langsung (indirect tax) dari
sektor migas. Cost recovery pada prinsipnya merupakan biaya produksi migas yang
dikeluarkan oleh perusahaan migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Biaya produksi tersebut akan diganti oleh Pemerintah apabila KKKS berhasil me-
nemukan cadangan migas yang bernilai ekonomis. Cost recovery diberikan dalam
bentuk in-kind dan diambilkan dari lifting migas yang dihasilkan dalam suatu su-
mur migas. Dengan kata lain, pembayaran cost recovery tidak melalui penyelesaian
tunai sebagaimana kewajiban Pemerintah pada umumnya. Sebaliknya, apabila
KKKS tidak berhasil menemukan cadangan migas yang bernilai ekonomis selama
masa eksplorasi (6 tahun dan dapat diperpanjang hingga 10 tahun), Pemerintah
tidak berkewajiban mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor migas
(Wibowo, 2017). Oleh karena itu, Pemerintah tidak menanggung exposure APBN
terkait kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas (Volta dan Kafabih, 2015). Di
samping ketiadaan dampak fiskal secara langsung, pilihan atas model PSC dengan
mekanisme cost recovery tetap menjadi pilihan pertama Pemerintah dalam bebe-
rapa tahun belakangan karena tetap mensyaratkan Pemerintah selaku tuan rumah
mempunyai kewenangan manajemen (Lubiantara, 2012).

Karakterstik industri migas berikutnya yang sering mendapat sorotan dari au-
ditor Badan Pemeriksa Keuangan adalah pelaksanaan atas assume and discharge.
Kebijakan pembebasan dan penanggungan indirect tax oleh Pemerintah, mensya-
ratkan ketersediaan dana dalam jumlah tertentu setiap tahunnya. Dana tersebut
digunakan khusus untuk membayar dan/atau mengganti beban perpajakan dan
beban pungutan lainnya dari kontraktor migas. Selama ini, dana dimaksud diam-
bilkan dari uang hasil penjualan lifting migas bagian negara (penerimaan migas)
yang ditampung dalam Rekening Migas pada Bank Indonesia. Beban perpajakan
dan pungutan lainnya sektor migas yang menjadi kewajiban Pemerintah tersebut
meliputi reimbursement atas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPN/PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak daerah
berupa pajak penerangan jalan, pajak air tanah dan pajak air permukaan, beban
underlifting kontraktor, dan fee kegiatan usaha hulu migas. Penyelesaian kewajib-
an sektor migas di atas tidak dilakukan melalui mekanisme APBN sebagaimana
lazimnya dipraktikkan dalam bingkai pengelolaan keuangan negara.

Kompleksitas proses bisnis pengelolaan penerimaan negara serta ketidakla-


ziman praktik government spending dari sektor migas pada akhirnya menimbulkan
dua persoalan. Pertama, pengelolaan penerimaan migas membutuhkan koor-
dinasi dan sinergi yang solid dan berkesinambungan karena melibatkan multi
stakeholders. Isu ini berkaitan dengan ketiadaan single owner yang berhak meng-
klaim sebagai pengelola tunggal penerimaan migas. Kedua, adanya polemik
279

terkait jati diri penerimaan migas, apakah merupakan kelompok PNBP atau bukan.
Permasalahan ini berkaitan erat dengan interpretasi penjelasan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Persoalan pertama merupakan sebuah keniscayaan mengingat proses pene-


rimaan migas yang menjadi salah satu komponen penting dalam APBN melalui
beberapa tahapan. Siklus penerimaan migas diawali dari adanya penawaran wi-
layah kerja migas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM),
penandatanganan PSC oleh KESDM dan SKK Migas, monitoring pelaksanaan PSC
oleh SKK Migas, dan monitoring penerimaan negara oleh Kementerian Keuangan.
Jenis penerimaan migas apa saja yang dikelola oleh masing-masing instansi di atas
sering kali menimbulkan ketidaksepahaman antarinternal Pemerintah. Mengapa
‘kepemilikan’ penerimaan migas menjadi krusial? Hal ini antara lain disebabkan
oleh capaian penerimaan migas yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan
program kerja instansi Pemerintah dalam suatu periode tertentu. Di samping itu,
ownership dimaksud akan berimplikasi pada instansi mana yang menyusun ren-
cana atau target penerimaan migas dan mempertanggungjawabkan penerimaan
migas dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Permasalahan kedua berangkat dari adanya konflik pengaturan di tingkat


Undang-Undang, yaitu antara UU Nomor 22 Tahun 2001 yang mengatur minyak
dan gas bumi (UU Migas) dan UU yang mengatur APBN di satu sisi, dengan UU
Nomor 20 Tahun 1997 yang mengatur PNBP. UU Migas dan UU APBN menetapkan
pendapatan dari minyak dan gas bumi merupakan komponen PNBP. Di sisi lain,
UU PNBP tidak secara tegas menyatakan bahwa pendapatan dimaksud merupakan
bagian dari PNBP. Ambiguitas pengaturan ini berujung pada minimnya peraturan
pelaksanaan yang bernuansa PNBP dalam praktik pengelolaan penerimaan migas.
Oleh karena itu, kejadian yang sering dijumpai adalah norma terkait penerimaan
migas tidak semata-mata disandarkan pada UU PNBP, namun lebih banyak meng-
acu pada kontrak kerja sama migas (PSC), kontrak penunjukan penjual oleh SKK
Migas kepada penjual migas bagian negara (seperti Pertamina) dan kontrak jual
beli migas antara SKK Migas dengan pembeli migas bagian negara.

Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud mendalami persoalan tersebut


di atas dengan melakukan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini, antara
lain agar diperoleh kejelasan mengenai: (i) hubungan kelembagaan antarinstansi
Pemerintah yang terlibat secara langsung dalam proses bisnis penerimaan migas,
(i) jati diri maupun identitas penerimaan migas beserta argumentasi yang men-
dasarinya, dan (iii) justifikasi perlu tidaknya menata ulang sinergi pengelolaan
penerimaan migas saat ini. Kejelasan akan tiga hal tersebut sangat berarti bagi para
perumus kebijakan (policy maker) dalam menyusun maupun menyempurnakan
280

ketentuan perundangan yang mengatur batas kewenangan para para pemangku


kepentingan dalam siklus penerimaan migas.

2. Tinjauan Pustaka

Sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 Tahun


2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara didefinisikan sebagai hak
Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Adapun
pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa pendapatan negara terdiri atas penerimaan pa-
jak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
setiap hak negara yang menambah ekuitas hanya dapat diklasifikasikan ke dalam
salah satu dari tiga kelompok pendapatan di atas.

UU Nomor 20 Tahun 1997 menjelaskan bahwa Penerimaan Negara Bukan


Pajak pada prinsipnya merupakan seluruh penerimaan Pemerintah Pusat di
luar perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU 17/2003, terdapat hal yang perlu
dikompromikan terkait hibah. Hibah dikelompokkan sebagai PNBP menurut UU
PNBP, namun lain halnya dengan klasifikasi APBN dalam UU keuangan negara
yang menempatkan hibah sebagai kelompok pendapatan negara yang terpisah
dari PNBP. Oleh karena itu, menurut penulis, PNBP dapat diartikan sebagai pene-
rimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari perpajakan dan hibah.

Sesuai ketentuan UU PNBP, instansi Pemerintah pada prinsipnya dapat mela-


kukan pengelolaan PNBP sepanjang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Di sisi lain,
UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara secara prinsip mengatur bahwa Kementerian Negara/lembaga (K/L) sela-
ku pengguna anggaran/barang merupakan instansi Pemerintah yang memperoleh
amanat untuk memungut dan mengintensifkan pendapatan negara yang dikelola,
dalam hal ini PNBP. Dalam hal ini kita perlu mengkompromikan kembali keten-
tuan di dalam UU PNBP dengan UU di bidang keuangan negara. Kewenangan
instansi Pemerintah Pusat untuk mengelola PNBP, menurut UU PNBP, berasal
dari penunjukan oleh Menteri Keuangan. Adapun kewenangan pengelolaan PNBP
menurut UU 17/2003 dan UU 1/2004 melekat langsung dalam instansi K/L yang
berperan sebagai pengguna anggaran/barang. Fakta yang dihadapi saat ini adalah
tidak ada surat penunjukan dari Menteri Keuangan kepada K/L untuk mengelola
jenis PNBP tertentu. Pengesahan K/L selaku instansi pengguna PNBP dicerminkan
dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur jenis dan tarif PNBP pada
K/L tertentu. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, penulis sependapat dengan
UU Keuangan Negara yang menyatakan K/L selaku pengguna anggaran/barang
dapat ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP.
281

Selanjutnya, sesuai ketentuan UU PNBP, jenis pendapatan negara yang dapat


dipungut oleh instansi Pemerintah Pusat adalah PNBP yang diamanatkan di da-
lam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah. Demikian juga besaran tarif
PNBP harus ditetapkan pula di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Tidaklah meng-
herankan bahwa kita jumpai saat ini puluhan PP yang mengatur jenis dan tarif atas
jenis PNBP yang berlaku di suatu K/L tertentu. Minimal, satu K/L pengelola PNBP
akan memiliki PP yang akan dijadikan sebagai landasan hukum yang sah dalam
pemungutan PNBP kepada masyarakat.

Keunikan PNBP yang tidak dijumpai dalam jenis pendapatan negara yang
lain adalah dimungkinkannya penggunaan sebagian dana PNBP oleh instansi pe-
mungut. Penggunaan PNBP tersebut didedikasikan untuk mendukung kegiatan
pengelolaan PNBP, khususnya untuk: (a) penelitian dan pengembangan teknologi;
(b) pelayanan kesehatan; (c) pendidikan dan pelatihan; (d) penegakan hukum;
(e) pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan (f) pelesta-
rian sumber daya alam. Kelompok kegiatan tersebut merupakan kelompok besar
penghasil PNBP sebelum diundangkannya UU PNBP sekaligus merepresentasikan
tugas dan fungsi instansi pengelola PNBP pada saat itu. Adanya kebijakan penggu-
naan PNBP ini, diduga menjadi salah satu motivasi kuat bagi K/L untuk menjadi
salah satu instansi pengelola PNBP.

Berdasarkan ketentuan di atas, penulis menyimpulkan bahwa K/L pada prin-


sipnya dapat ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP sepanjang:

a. Memperoleh pendanaan APBN;


b. Sesuai dengan tugas dan fungsinya;
c. Jenis PNBP diamanatkan dalam UU atau PP;
d. Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam PP.

Hak negara yang berupa PNBP dari sektor hulu migas dinyatakan secara je-
las di dalam Pasal 31 ayat (3) UU Migas, yakni terdiri dari (i) bagian negara, (ii)
pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi,
dan (iii) bonus-bonus. Penerimaan negara yang berasal dari volume lifting migas
pada prinsipnya merupakan bagian negara. Di dalam penjelasan Pasal 31 ayat (3)
dinyatakan bahwa bagian negara merupakan bagian produksi yang diserahkan
oleh badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) kepada negara sebagai pemilik
sumber daya minyak dan gas bumi. Di dalam postur APBN yang dikeluarkan setiap
tahun melalui UU, penerimaan migas yang dilaporkan dalam APBN terdiri dari:

a. Pendapatan sumber daya alam, yang terdiri dari pendapatan minyak bumi
dan gas bumi.
282

Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian negara setelah
dikurangi terlebih dahulu dengan kewajiban Pemerintah sektor migas berupa
indirect taxes dan fee kegiatan usaha hulu migas.

b. PNBP Lainnya.
Pendapatan ini berasal antara lain berasal dari penerimaan bonus-bonus hulu
migas, transfer material, pemanfaatan aset KKKS, dan firm commitment.

Namun demikian, terdapat pengaturan yang sedikit berbeda di dalam UU


PNBP yang dapat menimbulkan persepsi bahwa bagian negara dari kegiatan usaha
hulu migas bukan merupakan PNBP. Di dalam penjelasan pasal 2 huruf b UU PNBP
dinyatakan bahwa khusus penerimaan dari minyak dan gas bumi walaupun sesuai
dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara terdapat unsur royalti, namun karena di dalamnya
terkandung banyak unsur-unsur perpajakan, maka penerimaan yang merupakan
bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak termasuk jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak. Unsur perpajakan yang dimaksud di sini adalah indirect tax
yang merupakan jenis pajak yang dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah
(assume and discharge) sesuai ketentuan PSC. Penerimaan negara yang di dalam-
nya masih terdapat unsur kewajiban Pemerintah sektor migas untuk dibayarkan
kepada pihak lain sering dikenal dengan istilah penerimaan migas (Direktorat
Jenderal Anggaran, 2010).

Ketidaksinkronan peraturan tersebut barangkali yang menyebabkan hingga


sekarang belum ada PP yang menetapkan jenis dan tarif atas jenis PNBP dari
kegiatan usaha hulu migas yang berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian
negara. Saat ini, PP yang berlaku untuk mengatur salah satu jenis PNBP hulu migas
adalah PP Nomor 9 Tahun 2012 yang mengatur jenis dan tarif atas jenis PNBP pada
KESDM. Di dalam PP tersebut, jenis PNBP yang ditetapkan berada di bawah ke-
wenangan KESDM, antara lain berupa bonus tanda tangan (signature bonus) dan
komitmen kewajiban pasti (firm commitment). Adapun jenis PNBP dari kelompok
sumber daya alam sebagaimana dinyatakan dalam postur APBN, belum dipayungi
dengan PP jenis dan tarif.

PNBP migas yang berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian negara
(PNBP SDA Migas) secara yuridis belum memperoleh penetapan dalam bentuk
PP sebagaimana jenis PNBP yang dikelola oleh K/L pada umumnya. Untuk ke-
perluan pertanggungjawaban pengelolaan PNBP SDA Migas, Pemerintah melalui
Kementerian Keuangan telah menunjuk Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) selaku
unit akuntansi. Penunjukan tersebut pertama kali dinyatakan dalam PMK Nomor
171/PMK.05/2007 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
283

PMK Nomor 213/PMK.05/2013, yang mengatur sistem akuntansi dan pelaporan


keuangan Pemerintah Pusat. Pengelolaan PNBP SDA Migas ditetapkan di dalam
satuan kerja Bendahara Umum Negara (BUN) Bagian Anggaran Transaksi Khusus.
Dengan demikian, PNBP SDA Migas untuk saat ini dapat dikatakan ‘dimiliki’ oleh
Kementerian Keuangan dalam kapasitas selaku BUN.

Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan mengenai hubungan an-


tara satu pihak dengan pihak lain baik yang mempunyai kesamaan kepentingan
maupun tidak. Teori dimaksud adalah teori stewardship dan teori keagenan.
Adapun teori lain yang sering dikaitkan dengan perilaku organisasi adalah teori
institusional.

Teori stewardship menjelaskan bahwa manajemen tidaklah termotivasi oleh


tujuan-tujuan individu melainkan lebih ditujukan pada sasaran hasil utama me-
reka untuk kepentingan organisasi (Donaldson, 1989; Davis, 1991). Adapun teori
keagenan pada prinsipnya bertolak belakang dengan teori stewardship.

Teori stewardship dapat diterapkan di sektor publik. Hal ini karena Pemerintah
selaku steward memiliki fungsi pengelola sumber daya dan rakyat selaku principal
merupakan pemilik sumber daya. Raharjo (2007) menjelaskan bahwa timbulnya
kesepakatan yang terjalin antara Pemerintah (steward) dan rakyat (principal)
berdasarkan kepercayaan kolektif yang sesuai tujuan organisasi, akan berdam-
pak pada pelayanan kepada publik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat.

Sebaliknya, dalam teori agensi, prinsipal atau pemilik dan agen atau mana-
jer mempunyai kepentingan yang berbeda (Hirsch, Michaels, & Friedman, 1987;
Perrow, 1986, dalam Raharjo 2007). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hu-
bungan keagenan sebagai berikut:

“agency relationship as a contract under which one or more person (the princi-
pals) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf
which involves delegating some decision making authority to the agent.”

Dari pernyataan Jensen dan Meckling di atas, dapat dikatakan bawah hubung-
an keagenan pada intinya merupakan suatu kontrak di mana satu atau lebih orang
(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama
prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik
bagi prinsipal. Selanjutnya, Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa po-
tensi masalah keagenan muncul apabila manajer selaku agen cenderung bertindak
untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkan nilai perusahaan.
Inilah yang nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost).
284

Selanjutnya, Raharjo (2007) menjelaskan bahwa teori agensi menghasil-


kan cara yang penting untuk menjelaskan kepentingan yang berlawanan antara
manajer dengan pemilik yang merupakan suatu rintangan. Adapun dalam teori
stewardship, manajer cenderung berusaha memberikan manfaat maksimal pada
organsasi dibanding mementingkan tujuannya sendiri. Dalam konteks pengelo-
laan penerimaan migas bisa saja terdapat persamaan atau pun ketidaksamaan
pandangan antara KESDM dan SKK Migas sebagai pengguna anggaran/barang di
satu sisi, dengan Kementerian Keuangan di sisi lain selaku pengelola fiskal.

Satu hal yang menarik untuk didalami adalah perilaku sebuah lembaga atau
organisasi menurut perspektif institutional theory. Teori kelembagaan memiliki
gagasan bahwa terbentuknya organisasi oleh karena tekanan lingkungan insti-
tusional yang menyebabkan terjadinya institusionalisasi. Zukler (1987) dalam
Mubarani dan Nugraha (2013), menyatakan bahwa ide atau gagasan pada ling-
kungan institusional yang membentuk bahasa dan simbol yang menjelaskan
keberadaan organisasi dan diterima (taken for granted) sebagai norma-norma
dalam konsep organisasi. Sementara itu, Di Maggio dan Powell (1983) dalam
Mubarani dan Nugraha (2013), menyebutnya sebagai proses imitasi atau adop-
si memetic sebuah organisasi terhadap elemen organisasi lainnya. Menurut Di
Maggio dan Powell (1983) organisasi terbentuk oleh lingkungan institusional yang
ada di sekitar mereka.

Untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat, organisasi biasanya cenderung


beradaptasi dan berupaya memiliki kesamaan dengan lingkungan di sekitarnya.
Situasi tersebut dikenal dengan istilah isomorfisme (isomorphism). Di Maggio dan
Powell (1983) juga menjelaskan terdapat tiga bentuk isomorfsme yaitu coercive
yang berkaitan dengan tekanan politik dan legitimasi, memetic merupakan respon
atas ketidakpastian, dan normative berkaitan dengan profesionalisme. Dalam kon-
teks pengelolaan penerimaan migas, pemahaman teori institusional sangat berarti
dalam menjelaskan sikap Pemerintah berkenaan dengan penetapan kewenangan
pengelolaan PNBP migas atau pun mempertegas jati diri penerimaan migas.

3. Metode Penelitian

Metode peneltian yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif


dengan pendekatan explanatory research. Dengan menggunakan pendekatan
ini, diharapkan dapat diperoleh penjelasan atas serangkaian ide yang melatar-
belakangi fenomena maupun fakta yang dijumpai penulis dalam proses bisnis
penerimaan migas. Menurut Cresswell (2010) salah satu langkah penting dalam
penelitian kualitatif adalah analisis data kualitatif. Dalam penelitian ini, penulis
mengumpulkan data kualitatif melalui literature review terhadap beberapa teori
285

pengelolaan keuangan negara, teori hubungan kelembagaan, maupun peraturan


perundangan di bidang migas. Pemahaman yang baik atas teori dan peraturan
perundangan di bidang keuangan negara dan sektor migas diharapkan dapat
memberikan hasil analisis yang lebih mendalam untuk mencapai tujuan peneli-
tian ini.

4. Pembahasan

Penelitian ini bermaksud untuk mengupas lebih jauh sinergi pengelolaan


penerimaan migas yang selama ini berlangsung dan memfokuskan pada hubung-
an tiga instansi Pemerintah Pusat, yaitu KESDM, SKK Migas, dan Kementerian
Keuangan. Penulis menyadari bahwa roda penggerak penerimaan migas tidak
hanya berada pada tiga instansi tersebut. Namun demikian, dalam bingkai pe-
nerimaan migas, kontribusi ketiga instansi pusat tersebut tidak dapat dipungkiri
terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan sinergi antarinstansi pemerintahan
yang lain.

Siklus Penerimaan Migas

Sebelum lebih jauh membahas persoalan sinergi penerimaan migas, ada


baiknya kita memandang siklus penerimaan migas sejak pendatanganan kontrak
(PSC) hingga terminasi wilayah kerja. Dari siklus tersebut akan terlihat bagaimana
peran masing-masing instansi sehingga akan diperoleh justifikasi kewenangan
pengelolaan penerimaan migas.
286

Gambar 1 di atas secara umum membagi siklus penerimaan migas dalam 3


periode, yakni sebelum penandatanganan kontrak (pre-PSC), selama masa kontrak
(PSC), dan setelah berakhirnya kontrak (post-PSC). Aktivitas yang terjadi selama
fase pre-PSC sepenuhnya berada di bawah kendali KESDM. Kegiatan di fase ini,
antara lain meliputi survei umum, penawaran wilayah kerja (WK), dan penunjuk-
an KKKS. Pada tahap ini, kegiatan akan diakhiri dengan penandatanganan PSC
antara SKK Migas dengan KKKS yang diketahui oleh KESDM. Terdapat dua jenis
PNBP migas yang dihasilkan dalam periode pre-PSC, yakni pendapatan dari jasa
informasi potensi lelang wilayah kerja migas dan bonus tanda tangan (signature
bonus). Kedua jenis pendapatan ini diperoleh sebelum dilaksanakannya penanda-
tanganan PSC. Dalam hal ini ketiga instansi pengelola penerimaan migas sepakat
bahwa kedua jenis PNBP di atas dikelola dan ditatausahakan oleh KESDM. Hal ini
sebagaimana ditegaskan di dalam PP Nomor 9 Tahun 2012 yang mengatur jenis
dan tarif PNBP pada KESDM. Oleh karena itu, dalam perspektif ownership, KESDM
dapat disebut sebagai pemilik tunggal atas pendapatan dari jasa informasi lelang
dan bonus tanda tangan. Kedua jenis pendapatan tersebut dikategorikan dalam
kelompok PNBP Lainnya sesuai postur APBN kita. Dalam konteks PNBP, KESDM
ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP atas dua jenis pendapatan tersebut.
Kewenangan KESDM dan tanggung jawab KESDM, antara lain meliputi merenca-
nakan, menghitung, menagih, menyetorkan dan menyusun pertanggungjawaban
pengelolaan PNBP yang berasal dari pendapatan jasa informasi lelang dan bonus
tanda tangan. Sepanjang disetujui oleh Menteri Keuangan, KESDM sebenarnya
dapat saja mengusulkan izin penggunaan sebagian dana PNBP tersebut untuk
melaksanakan satu dari enam jenis kegiatan yang diperkenankan dalam UU PNBP.

Pada fase kedua, penerimaan migas yang diperoleh Pemerintah Pusat pada
prinsipnya berasal dari pelaksanaan ketentuan PSC, kontrak penunjukan penjual
migas bagian negara, kontrak jual beli migas, maupun ketentuan perundangan di
bidang PNBP. Terdapat dua kelompok PNBP dan dua instansi yang menjadi instan-
si pengelola PNBP. Kelompok PNBP yang dimaksud meliputi PNBP Sumber Daya
Alam (PNBP SDA Migas) dan PNBP Lainnya. Di dalam PNBP SDA terdapat penda-
patan minyak bumi dan gas bumi yang secara prinsip berasal dari hasil penjualan
lifting migas bagian negara. PNBP ini dikelola oleh Kementerian Keuangan dalam
kapasitas sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Di samping mengelola PNBP
SDA Migas, Kementerian Keuangan selaku BUN juga menatausahakan pendapat-
an yang berasal dari penjualan minyak mentah domestic market obligation (DMO),
bonus produksi, pemanfaatan aset yang berupa transfer material dari KKKS eks-
plorasi dan denda bunga/penalti. Adapun instansi pengelola PNBP berikutnya pada
fase PSC ini adalah KESDM yang melakukan pengelolaan atas PNBP dari
pemanfaatan aset KKKS dan denda bunga/penalti. Dalam hal pemanfaatan aset
287

ini, KESDM bersinergi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian


Keuangan selaku Pengelola Barang.

Berbeda dengan jenis PNBP pada periode pre-PSC yang jauh dari polemik,
pengelolaan PNBP sektor hulu migas pada fase PSC sarat dengan persoalan le-
galitas dan legitimasi. Penetapan Kementerian Keuangan selaku BUN sebagai
instansi pengelola PNBP SDA belum didasarkan pada produk hukum setingkat
Peraturan Pemerintah sebagaimana lazimnya pengelola PNBP yang lain. Demikian
juga halnya dengan PNBP Lainnya yang berasal dari penjualan minyak mentah
DMO. Ketiadaan PP yang memayungi proses bisnis pengelolaan PNBP migas
di Kementerian Keuangan kerap kali menjadi perdebatan internal Pemerintah.
Produk hukum yang saat ini menjadi acuan adalah Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Pemerintah Pusat.

Selanjutnya, fase terakhir, post-PSC, hingga saat ini baru menghasilkan PNBP
yang berasal dari iuran pasti (firm commitment). PNBP ini diperoleh dari penye-
lesaian kewajiban KKKS selama masa eksplorasi yang harus dipenuhi sebelum
berakhirnya masa pencarian cadangan migas tersebut. KKKS yang memperoleh
terminasi kontrak paska eksplorasi, wajib membayar sisa kewajiban yang diatur di
dalam PSC. Kewajiban dimaksud seyogianya dipenuhi sewaktu masa eksplorasi
berlangsung. Untuk jenis pendapatan yang berasal dari sisa dana abandonment
and site restoration (ASR) hingga saat ini belum ada realisasinya sehingga belum
ditetapkan instansi manakah yang berwenang mengelola PNBP tersebut.

Pertanyaan yang barangkali mengemuka di benak kita adalah di manakah se-


benarnya peran SKK Migas? Dalam ketiga fase siklus penerimaan migas, tidak satu
pun jenis PNBP migas yang dikelola oleh SKK Migas. Peran SKK Migas sebenarnya
sangat krusial dalam proses pengelolaan penerimaan migas. Hanya saja hingga
saat ini tidak ada satu pun ketentuan perundangan yang menetapkan SKK Migas
sebagai salah satu pengelola PNBP migas. Secara umum, SKK Migas memiliki
peran:

a. Wakil Pemerintah dalam penandatanganan PSC;


b. Monitoring dan pengawasan pelaksanaan PSC;
c. Menyusun rencana pengembangan wilayah kerja;
d. Mengesahkan rencana kerja dan anggaran kegiatan hulu migas (Work Program
and Budget-WP&B);
e. Monitoring pelaksanaan WP&B, termasuk pengawasan cost recovery;
f. Menghitung dan menetapkan besaran hak negara;
g. Monitoring penyelesaian utang-piutang antara Pemerintah dengan KKKS;
288

h. Menyusun laporan kegiatan usaha hulu migas.

Dengan peran strategis tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa SKK Migas se-
benarya selalu berkontribusi pada setiap fase siklus penerimaan migas. Ketiadaan
produk hukum yang menetapkan SKK Migas sebagai instansi pengelola PNBP,
antara lain karena status kelembagaannya yang saat ini masih dalam proses tran-
sisi. Sebelum bermetamorfosis menjadi SKK Migas, instansi pelaksana kegiatan
usaha hulu migas dahulu adalah Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas
(BPMIGAS) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dana operasi-
onal BPMIGAS kala itu diambilkan dari dana penerimaan migas yang terdapat
di dalam Rekening Migas. Hal ini sejalan dengan ketentuan PMK Nomor 113/
PMK.02/2009 tentang Rekening Minyak dan Gas Bumi dan KMK Nomor 295/
KMK.02/2003 yang mengatur anggaran BPMIGAS. Oleh karena itu, sampai dengan
pembubaran BPMIGAS pada tanggal 13 November 2012, BPMIGAS bukanlah
merupakan instansi Pemerintah pengguna anggaran/barang, yang merupakan
salah satu syarat untuk ditetapkan sebagai pengelola PNBP. Bahkan hingga dua
tahun sejak bertransformasi menjadi SKK Migas, sumber pendanaan operasional
intansi tersebut masih berasal dari dana pada Rekening Migas alias off-budget.
Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila SKK Migas hingga saat itu tidak dapat
ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP. Dengan adanya perubahan kebijakan
penganggaran, sejak tahun 2015 biaya operasional SKK Migas berasal dari dana
APBN. Oleh karena itu, SKK Migas dapat dikatakan sebagai instansi pengguna
anggaran/barang sebagaimana layaknya K/L yang lain. Oleh karena itu, menurut
hemat penulis, SKK Migas dapat ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP.

Penerimaan Migas versus PNBP Migas

Terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penerimaan migas dan PNBP
migas. Dikotomi istilah penerimaan migas dan PNBP migas perlu diperjelas agar
proses bisnis pengelolaan penerimaan migas dapat lebih dipahami secara benar.
Gambar 2 di bawah ini merupakan skema perhitungan bagi hasil lifting minyak
bumi antara Pemerintah dengan KKKS, dengan asumsi tarif pajak 48 persen.
289

Penerimaan migas dalam Gambar 2 di atas mengandung perspektif ganda.


Pertama, penerimaan migas pada angka 1 merupakan lifting minyak bumi ba-
gian negara (government split) sebesar 71,1538% (angka sesuai PSC). Di dalam
government split tersebut terdapat hak pihak lain (KKKS) yang harus dibayarkan
oleh Pemerintah terkait prinsip assume and discharge. Penerimaan migas pada
angka 1, menurut penulis, merupakan penerimaan migas yang dinyatakan di
dalam penjelasan pasal 2 huruf b yaitu: “khusus penerimaan dari minyak dan
gas bumi walaupun sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara terdapat unsur royalti,
namun karena di dalamnya terkandung banyak unsur-unsur perpajakan, maka
penerimaan yang merupakan bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak
termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak”.

Dengan pemahaman seperti ini, dapat dipahami mengapa penerimaan migas


pada angka 1 di atas bukan merupakan PNBP. Hal ini karena Pemerintah tidak
dapat sepenuhnya melakukan klaim penerimaan migas sebagai haknya secara
mutlak. Penerimaan migas yang masih mengandung unsur kewajiban Pemerintah
sektor migas barulah belum dikatakan sebagai PNBP SDA Migas. Apabila kewa-
jiban tersebut diselesaikan oleh Pemerintah, maka residu atas penerimaan migas
tersebut dapat ditransfer ke Rekening Kas Umum Negara sebagai PNBP SDA Migas.

Praktik yang berlangsung selama ini, dana penerimaan migas pada angka 1 di
atas dimonitor oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
(DJA). Hal ini sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 234/PMK.01/2015 yang
290

mengatur organisasi dan tata kerja Kementerian Keuangan. Selanjutnya, terhadap


tagihan kewajiban Pemerintah sektor migas yang disampaikan oleh SKK Migas dan
instansi lainnya (Direktorat Jenderal Pajak dan Pemda), DJA melakukan pemin-
dahbukuan dana dari Rekening Migas ke rekening beneficiaries melalui Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPB) selaku kuasa BUN. Apabila masih terdapat saldo/
sisa dana pada tiap periode tertentu (biasanya satu bulan), DJA akan melakukan
permintaan kepada DJPB mengenai pemindahbukuan dana penerimaan migas dari
Rekening Migas ke RKUN untuk dicatat sebagai PNBP SDA Migas. Oleh karena itu,
dibandingkan dengan KESDM dan SKK Migas, Kementerian Keuangan adalah
instansi yang lebih mengetahui secara rinci dan akurat mengenai perhitungan
PNBP SDA Migas. Meskipun belum ditetapkan dalam PP, jenis PNBP SDA Migas
yang dihasilkan dari hasil perhitungan pada Gambar 2 di atas, memang seyogianya
dikelola oleh DJA selaku satuan kerja dalam lingkup Kementerian Keuangan.

Kedua, dalam perspektif yang lebih luas, penerimaan migas pada angka 2 dapat
diartikan sebagai keseluruhan hak Pemerintah Pusat yang diperoleh dari kegiatan
usaha hulu migas baik dalam bentuk pajak maupun bukan pajak. Oleh karena itu,
penerimaan migas pada angka 2 berasal dari government split (71,1538%) dan pa-
jak atas contactor split (13,8462%) dengan total 85 persen dari gross revenue setelah
dikurangi cost recovery (net operating income atau equity to be split). Penerimaan
migas pada angka 2 inilah yang sering dijadikan indikator penerimaan migas dan
sebagai target penerimaan migas dalam RAPBN yang dibahas di parlemen.

Penerimaan Migas dalam Perspektif Hubungan Kelembagaan

Batas kewenangan pengelolaan PNBP sektor hulu migas secara umum telah
digambarkan dalam Gambar 1 yang menjelaskan siklus penerimaan migas. Namun
demikian, pembagian tugas tersebut merupakan sebuah sebuah proses bisnis yang
belum dinaungi dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana diamanatkan dalam
UU PNBP, bahwa jenis PNBP ditetapkan dalam UU atau PP. Hingga saat ini, belum
ada Peraturan Pemerintah yang mengatur jenis dan tarif atas PNBP SDA Migas.
Di dalam PP tersebut seyogianya juga menetapkan instansi pemerintah manakah
yang berwenang atas pengelolaan PNBP dengan mempertimbangkan kesesuaian
tugas dan fungsinya. Sebagai contoh PP Nomor 9 Tahun 2012 mengatur jenis dan
tarif PNBP yang dikelola oleh KESDM. Demikian juga halnya dengan PP Nomor 1
Tahun 2013 yang mengatur jenis dan tarif PNBP yang terdapat pada Kementerian
Keuangan. Di dalam kedua PP tersebut, sama sekali tidak memuat jenis PNBP SDA
Migas sebagaimana dimaksud pada Gambar 2 di atas. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan apabila terdapat anggapan bahwa pengaturan formal mengenai kewe-
nangan pengelolaan PNBP SDA Migas mengalami kekosongan hukum.
291

Apabila kita kaitkan dengan stewardship theory, pengelolaan PNBP SDA Migas
oleh Kementerian Keuangan selaku BUN (dhi. dilaksanakan oleh DJA) sebenar-
nya sudah tepat. Dalam hal ini DJA bertindak selaku steward karena memiliki
kepentingan yang sama dengan Kementerian Keuangan selaku principal. Sebagai
pengelola dana penerimaan migas dan pembayar tagihan kewajiban Pemerintah
sektor migas, DJA seyogianya juga ditetapkan menjadi satker pengelola PNBP SDA
Migas. Kondisi ini sekaligus meminimalkan bahkan meniadakan masalah keagen-
an yang mungkin timbul apabila pengelolaan PNBP SDA Migas diserahkan kepada
instansi lain di luar Kementerian Keuangan. Bisa jadi terdapat kepentingan yang
berbeda antara instansi di luar Kementerian Keuangan dengan DJA selaku instansi
di bawah Kementerian Keuangan.

Perbedaan kepentingan tersebut, antara lain dapat berupa keinginan instansi


Pemerintah di luar Kementerian Keuangan untuk mengajukan izin penggunaan
sebagian dana PNBP SDA Migas. Apabila penggunaan PNBP menjadi motivasi
dalam pengelolaan PNBP SDA Migas, hal ini dapat bertolak belakang dengan
filosofi cash management yang diemban oleh Kementerian Keuangan. Sebagai
steward penerimaan migas, Kementerian Keuangan merasa berkepentingan un-
tuk mengatur cash flow Rekening Migas agar dapat mencukupi seluruh kebutuhan
stakeholders. Kebutuhan dimaksud meliputi penyelesaian kewajiban Pemerintah
sektor migas maupun pemenuhan target PNBP SDA Migas yang diamanatkan da-
lam UU APBN. Adapun untuk jenis PNBP yang tidak memerlukan earning process
di dalam Rekening Migas, dapat dipertimbangkan untuk dilimpahkan pengelola-
annya kepada KESDM atau SKK Migas.

Kewenangan DJA dalam mengelola PNBP SDA Migas dirasa tidak cukup de-
ngan pengaturan melalui PMK. Menurut penulis, peran DJA sebagai satuan kerja
di bawah Kementerian Keuangan tidak lagi hanya sebatas entitas akuntansi, seba-
gaimana diamanatkan dalam PMK. Akan tetapi, penegasan DJA sebagai instansi
pengelola PNBP harus dipayungi dengan landasan hukum minimal selevel PP.
Kenapa dibutuhkan PP? Pertama, secara konstitusi, ketentuan mengenai jenis,
tarif, dan pengelola PNBP selama ini diatur di dalam PP. Kedua, berkiblat pada
teori institusional, seluruh K/L yang ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP
merupakan instansi yang berkedudukan sejajar dengan Kementerian Keuangan.
Sepanjang tidak ada diskresi yang diatur di dalam UU, pengelolaan PNBP SDA
Migas oleh Kementerian Keuangan harus diatur pula di dalam PP sebagaimana
pengelolaan PNBP pada K/L yang lain. Apalagi Kementerian Keuangan juga ber-
tindak selaku regulator atau instansi pembina PNBP.

Sudah semestinya, Kementerian Keuangan menjadi panutan atau teladan


bagi instansi pengelola PNBP yang lain. Selama ini Kementerian Keuangan selalu
292

mendorong K/L untuk mengajukan Rancangan PP guna mengatur jenis dan ta-
rif PNBP. Sungguh ironis apabila Kementerian Keuangan hingga saat ini belum
mengajukan Rancangan PP untuk mengatur jenis dan tarif PNBP SDA Migas yang
selama ini dikelolanya. Dalam konteks ini, Kementerian Keuangan harus mela-
kukan isomorfisme pengelolaan PNBP dengan model coercive atau pun melalui
memetic. Model coercive dilakukan karena merupakan amanah UU sehingga perlu
adanya tekanan politik. Adapun memetic dilakukan dalam rangka mengantisipasi
ketidakpastian pengelolaan PNBP SDA Migas yang hingga kini belum ditetapkan
dalam PP.

5. Simpulan, Implikasi Kebijakan, dan Keterbatasan

Penelitian ini bermaksud mengungkapkan persoalan sinergi pengelolaan pe-


nerimaan migas. Berdasarkan hasil kajian terhadap teori hubungan kelembagaan
dan peraturan perundangan di bidang keuangan negara dan sektor migas, diper-
oleh kejelasan bahwa pengelolaan penerimaan migas sepanjang terkait langsung
dengan manajemen arus kas di Rekening Migas, seyogianya tetap dilaksanakan
oleh Kementerian Keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keselarasan
antara kepentingan pengaturan dana di Rekening Migas dengan pencapaian tar-
get PNBP SDA Migas. Selain itu, pengelolaan PNBP SDA Migas oleh Kementerian
Keuangan selaku BUN akan meminimalkan benturan kepentingan antarinstansi
Pemerintah yang berkeingingan menggunakan sebagian dana PNBP SDA Migas.

Pengelolaan PNBP SDA Migas oleh Kementerian Keuangan harus dipayungi


dengan ketentuan minimal setingkat Peraturan Pemerintah. Hal ini dimaksudkan
sebagai wujud pelaksanaan mandat UU PNBP sekaligus asas equal treatment
dengan K/L selaku pengelola PNBP di instansinya masing-masing. Sebagai in-
stansi yang menyusun regulasi di bidang PNBP, sudah semestinya Kementerian
Keuangan menjadi panutan bagi seluruh K/L dalam setiap langkah pengelolaan
PNBP. Ketiadaan PP yang mengatur jenis dan tarif serta kewenangan instansi pe-
ngelola PNBP SDA Migas dapat menjadi preseden buruk pada era reformasi PNBP.

Untuk pengelolaan PNBP migas yang tidak berkaitan langsung dengan cash
management di Rekening Migas seperti bonus produksi dan transfer material, da-
pat dilimpahkan kepada instansi lain. Pelimpahan tersebut juga perlu diakomodir
di dalam PP yang mengatur jenis dan tarif PNBP pada instansi yang menangani
kedua jenis pendapatan PNBP tersebut.
293

Implikasi Kebijakan

Hasil penelitian ini memberikan gambaran perlunya kebijakan baru dalam


pengelolaan penerimaan migas. Beberapa kebijakan yang dapat dipertimbangkan
adalah:

a. Mempertegas dan memperjelas ruang lingkup PNBP, dengan memasukkan


pendapatan SDA Migas sebagai salah satu komponen PNBP, di dalam revisi
UU PNBP yang saat ini sedang dibahas di DPR;
b. Memperjelas kriteria instansi pemerintah yang dapat mengelola PNBP; dan
c. Memperjelas ketentuan penggunaan PNBP dengan mempertimbangkan cost
and benefit.

Keterbatasan

Penelitian ini baru sebatas tinjauan pustaka. Hasil pemikiran di dalam tulisan
ini perlu memperoleh perspektif dari pihak lain untuk memperkaya gagasan, baik
melalui focus group discussion maupun in-depth interview dengan para pemangku
kepentingan.

Daftar Pustaka

Cresswell, John, W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davis, F., James H., David Scoorman dan Lex Donalson. 1997. “Toward
a Stewardship Theory of Management.” Academy of Management Review
Vol. 22, No. 1, page 2247, 1997.
DiMaggio, P.J. and Powell, W.W. 1983. “The Iron Cage Revisited: Institutional
Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields.” American
sociological review 48 (2): 147-160.
Direktorat Jenderal Anggaran. 2010. Peran Strategis PNBP dalam APBN. Jakarta:
DJA.
Jensen, M. C and Meckling, W.H. 1976. “Theory of the Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics,
Oktober, 1976, V. 3, No. 4, pp. 305-360. Avalaible from: http://papers.ssrn.com.
Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Jakarta: PT Gramedia Mediasarana Indonesia.
Murbarani, L., Tanicha Aprilia L dan Nugraha, Ditho. 2015. “Teori Institusional”.
http://kuliahpublik.blogspot.co.id/2015/04/teori-institusional.html. Diakses
294

pada 23 Juli 2017.


Pudyantoro, A., Rinto. 2013. A to Z Bisnis Hulu Migas. Jakarta Selatan: Petromindo.
Raharjo, Eko. 2013. Teori Keagenan dan Teori Stewardship dalam Perspektif
Akuntansi. Fokus Ekonomi Vol 2 No.1, 37-46.
Volta, Gulam Dalula May dan Kafabih, Firdaus. 2015. Reformulasi Sistem Bagi Hasil
Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna Mewujudkan Kedaulatan Migas. Panggung
Hukum Vol.1, No.1, Januari 2015.
Wibowo, Puji. 2017. Polemik Kebijakan Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak Sektor Hulu
Migas. Prosiding Konferensi Regional Akuntan IV

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai