oleh
NIM 21960046
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Toksisitas didefenisikan sebagai kemampuan senyawa menyebabkan kerusakan atau
injuri. Toksisitas merupakan istilah kualitatif yang terjadi atau tidak terjadinya kerusakan
tergantung pada jumlah unsur senyawa toksis yang terabsorbsi. Pada kondisi yang parah
toksisitas konsentrasinya kecil masuk dalam tubuh menimbulkan gangguan fisikokimia bisa
berakhir kematian. Reaksi antara toksisitas dan reseptor dapat menyebabkan terjadinya
perubahan fungsi yang disebut toksikodinamika. Setelah itu terjadilah biotransformasi yang
akan menghasilkan zat baru. Zat baru tersebut dapat bersifat lebih toksik atau kurang toksik
dari sebelumnya. Zat baru yang kurang toksik dari sebelumnya mengakibatkan terjadinya
detoksikasi sedangkan zat baru yang lebih toksik dapat menimbulkan gangguan fungsi sel
(Mutschler, 1991).
Polychlorinated Biphenyls (PCBs) adalah salah satu senyawa kimia beracun yang
sangat berbahaya. Senyawa ini mungkin belum banyak diketahui efeknya terhadap kesehatan
pada Indonesia. Tidak ada data khusus yang menjelaskan seberapa PCB digunakan ataupun
regulasi resmi yang memperingatkan tentang bahaya dari senyawa ini. Sebelum tahun 1970,
PCB banyak digunakan menjadi tambahan dalam banyak sekali industri, menjadi adonan
bahan isolator, konduktor, kondensor, pompa hampa udara, sistem hidraulik, sebagai zat
pewarna pada tinta, menjadi bahan dasar kertas fotocopy, plastiser, perekat, turbin transmisi
gas, sistem pemindah panas, pelumas serta banyak lainnya (Hutzinger et al., 1974). Hal ini
ditimbulkan sifat senyawa ini yaitu memiliki titik didih yang tinggi dan tidak praktis menguap
sebagai akibatnya sesuai buat indera listrik. Senyawa ini termasuk bahan cemaran organik
yang persisiten (POP‟s) yaitu yang sukar diurai sang mikroorganime di alam. Kebanyakan
berasal senyawa POP‟s asal hasil pengamatan menunjukkan dapat Mengganggu daur
reproduksi baik bagi manusia maupun kehidupan organisme hidup lainnya (Colon and
Smolen, 1996).
Masuknya PCB yang utama ke dalam lingkungan dihasilkan dari penguapan selama
pembakaran, bocoran, pembuangan cairan industri, dan buangan dalam timbunan serta urugan
tanah (Peakall, 1975). Produksi kumulatif PCB Dari tahun 1930 dihitung sekitar 1 juta ton
serta kira-kira separuh dari jumlah ini telah dibuang dalam urugan tanah (landfill) serta
timbunan (dump) serta dipercaya telah terlepas secara perlahan asal sistem ini (WHO, 1976).
Dalam air laut, atmosfir ialah sumber yang mayoritas, dengan berbagai macam disparitas
komposisi campuran jenis PCB bila dibandingkan dengan PCB asal sungai atau yang dari
eksklusif berasal sumbernya (misalnya buangan industri), sehingga senyawa ini bisa
digunakan sebagai tracers‟. Senyawa PCB poly dipergunakan sebagai contoh senyawa buat
dipelajari serta memperkirakan sifat geokimia dari senyawa organik lipofilik yang lainnya.
Pola berfikir bergerak maju seiring waktu terus mendorong insan membangun
penemuan – penemuan dalam banyak sekali bidang ilmu pengetahuan serta teknologi.
Tujuannya tentu buat mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup. Setiap kegiatan yang
dilakukan selalu membentuk limbah yang balik ke lingkungan, seperti limbah cair akan
kembali ke hidrosfir, limbah padat akan pulang ke litosfir serta limbah udara akan dilepaskan
balik ke udara. Limbah tersebut dalam jumlah normal bisa diperbaiki lingkungan
menggunakan daur hidrobiogeokimia, self purification. Akumulasi limbah didapatkan
semakin lama mengakibatkan lingkungan kehilangan kemampuan untuk merecovery diri.
Akhirnya terjadi ketidakseimbangan serta gangguan di ekosistem lingkungan.
Ketidakseimbangan pada ekosistem pada lingkungan tadi mempengaruhi kehidupan manusia.
Gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan serta sistem saraf dampak terhirup
asap sisa proses pembakaran industri, kendaraan bermotor, dan lainnya.
Pada gambar di atas dapat dilihat gambaran dari siklus biomagnifasi dan bioakumulasi
dari senyawa PCBs di alam dan organisme. PCBs tidak dapat secara langsung terdeteksi
dalam satu kali paparan tetapi dapat bertahan lama/persisten dan akan terakumulasi dalam
periode yang lama di udara, air, dan tanah. Keberadaan PCBs di udara dapat berasal dari
kontribusi dari penguapan dari aktivitas pembakaran industri yang dilepaskan oleh cerobong
pabrik ke udara, dapat juga dari penguapan pembakaran lain yang dilakukan oleh aktivitas
manusia seperti pembakaran sampah, insineratror dan lain sebagainya. Adapun PCBs dalam
air laut dapat berasal dari proses “leaching” yang berasal dari darat yang diakibatkan oleh
kegiatan industri yang menggunakan senyawa PCBs, dan ada juga yang berasal dari buangan
akibat penggunaan alat kapasitor dan transformer dalam alat ini yang mengandung senyawa
PCB (Law,1983) Tanabe etal. (1986) menemukan PCB dalam air laut lebih kecil dari 1 ng/l.
Hampir sama seperti air, bahwa hal ini disebabkan adanya penggunaan yang terus
menerus dari alat-alat elektronika model lama seperti kapasitor dan transformer ataupun
“carbonless paper” dari hasil buangan limbah dari darat yang mana dalam pembuatannya
menggunakan bubuk PCB. Bubuk PCB banyak digunakan karena mempunyai titik leleh yang
tinggi, tidak mudah menguap pada suhu kamar jadi baik untuk penggunaan alat-alat
elektronik yang membutuhkan temperatur yang tinggi. Selain itu, senyawa yang bersifat
toksik yang berada di lingkungan laut variasinya sangat banyak, dan dalam skala global
(Clark dalam Danis et al. 2006). Beberapa senyawa adalah asli secara alami, sedangkan yang
lainnya adalah berasal dari limbah hasil aktivitas darat. Kontaminan – kontaminan senyawa
kimia ini dapat larut dalam air, berikatan dengan sedimen ataupun terjadi akumulasi di dalam
tubuh organisme laut. Menurut Danis et al.2006 PCB adalah salah satu dari tiga famili
polichlorinate yang menjadi kontaminan global. Konsentrasi PCB akan naik setiap tingkat
dalam rantai makanan. Dengan kata lain, orang yang mengkonsumsi produk hewani (daging,
telur, keju, susu) akan mendapatkan dosis jauh lebih tinggi daripada vegetarian murni.
3.3. Toksisitas PBCs Terhadap Lingkungan
Kriteria PCB yang menyebabkan bahaya bagi kesehatan:
1. Sifatnya yang tidak mudah larut di dalam air tetapi larut di dalam minyak/lemak.
Artinya jika senyawa ini masuk kedalam tubuh, maka tidak akan mudah dikeluarkan
dari dalam tubuh tetapi akan tertahan dan terakumulasi secara biologis di dalam jaringan
lemak dan akan diturunkan kepada anak-anak kita;
2. Beracun (berbahaya bagi hewan, manusia dan lingkungan. Senyawa ini dapat
menyebabkan kanker, mengganggu sistem kekebalan tubuh, sistem saraf dan
menyebabkan penebalan kulit);
3. Persisten (saat senyawa kimia ini terlepas ke dalam lingkungan, senyawa ini akan tetap
berada dalam lingkungan selama generasi-generasi selanjutnya).
Exposure / Paparan dari PCBs adalah :
Udara :
Udara dapat tercemar oleh PCB yang akan jatuh ke tanah saat terjadinya hujan atau
salju. PCB juga dapat menempel pada materi partikulat seperti debu dan materi halus lainnya.
PCB juga telah ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi di udara dalam ruangan gedung
dengan adanya peralatan yang tercemar oleh PCB. Kandungan PCBs di udara umumnya lebih
tinggi di dalam ruangan daripada di luar ruangan. Tingkat paparan udara di dalam ruangan
pada gedung yang tidak terkontaminasi, mencapai 1,9 – 3,6 ng/m3, dengan dosis paparan
harian sebesar 0.6-1.2 ng/kg.
Air Minum :
PCB yang terlepas ke lingkungan di waktu yang lampau melalui pembuangan limbah
cair oleh industri, saat ini masih ditemukan di dalam air, ikan dan sedimen. Banyak perairan
terkenal seperti Great Lakes di Kanada dan perairan di Amerika yang diketahui bermasalah
akibat konsentrasi PCBTingkat paparan air minum biasanya berkisar antara 0,1 - 0,5 ng/liter.
Seseorang minum 2 liter air per hari yang mengandung 0.5 ng/liter akan terpapar dosis harian
sebesar 0,01 – 0,02 ng/kg (berat badan 100 – 50 kg).
Makanan :
Makanan yang terkontaminasi adalah sumber utama terjadinya pemaparan PCB.
Manusia terpapar melalui nasi, ikan, daging dan telur yang tercemar. Bayi juga dapat terpapar
dari ASI yang diberikan ibu kepada anaknya. Pada tahun 1968 di Jepang, ada sekitar 14.000
orang yang terkena penyakit karena memakan beras terkontaminasi PCB. Berdasarkan
penelitian, jumlah PCB dalam asupan makanan sebesar 14,35 µg/hari, dengan dosis harian
sebesar 0.24 µg/kg untuk orang dengan berat badan 60 kg. Kebiasaan pola makan di suatu
wilayah, misalnya asupan lemak ikan dari perariran yang terkontaminasi, secara signifikan
dapat meningkatkan asupan harian PCB.
3.4. Toxikokinetiks
PCBs bisa mencapai sasaran organ melalui jalur berikut ini :
3.5.1. Absorpsi: Kemampuan toksikan masuk kedalam peredaran darah
Intravenous :
Absorpsi yang tidak terbatas (100% diabsorpsi)
Inhalasi :
Berpenetrasi kedalam kantong alveolar kmd masuk kapiler darah
Ingesti :
Absorpsi melalui dinding saluran pencernaan (efek fase 1)
Intraperitoneal :
Melalui impak fase 1, namun tidak perlu absorpsi melalui pencernaan
Dermal/topical :
Perlu absorpsi melalui kulit
3.4.2. Distribusi
Proses translokasi PCBs asal dan keseluruh tubuh, disimpan, biotransformasi serta
dieliminasi PCBs bisa terdistribusi pada tubuh ditentukan oleh struktur serta sifat Fisikokimia
serta bentuk congenersnya, pada bentuk congeners terklorinasi yg lebih tinggi PCBs akan
terdistribusi di jaringan adiposa serta kulitdengan deposit –dalam lemak.
3.4.3. Metabolisme
Proses biotransformasi, dimana PCBs dimodifikasi melalui hati pada system enzim
cytochrome P-450-terkait denga sistem monooxygenase serta tergantung asal pola congeners
terklorinasi buat dirubah sebagai lebih praktis larut pada air serta diekskresikan. Produk asal
hidroksilasi adalah metabolit utama menggunakan hidroksilasi utama di posisi para atau meta
bila sisinya tidak tersubstitusi. Pada tahap metabolisme ini senyawa PCBs akan melalui
proses :
a. Penurunan kelarutan dalam lemak kemudian menurunkan jumlah toksikan mencapai
sasaran organ.
b. Peningkatan ionisasi kemudian peningkatan ekskresi lalu penurunan daya toksisitas
3.4.4. Ekskresi
PCBs dibuang keluar tubuh dipengaruhi sang jalur metabolisme buat diubah sebagai
senyawa yg lebih polar. Congener PCBs pula memiliki saat paruh yang tergantung dari
jumlah dan posisi atom klorin, rentangnya mampu beberapa hari sampai 450 hari. Kemudian
PCBs akan mengalami Exhalas dimana komponen simpel menguap pada ekshalasi lewat
pernafasan serta ekskresi cairan empedu melalui ekskresi fekal.
3.5. Dampak PBCbs
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa paparan PCB dapat menimbulkan dampak yang
serius bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Dampak tersebut antara lain:
3.5.1. Manusia
a. Kanker :
PCBs diklasifikasikan sebagai senyawa yang kemungkinan bersifat karsinogen. Selain
itu, sebuah studi menemukan bahwa resiko anak – anak mengidap leukimia limfositik akut
meningkat dua kali lipat dikarenakan paparan PCB yang terdeteksi pada debu ruangan dimana
anak – anak tersebut menghabiskan sebagian besar waktunya.
b. Sistem Imunitas :
PCBs menekan system kekebalan tubuh dan fungsi kelenjar tiroid.
Penyakit Jantung :
PCBs menyebabkan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
diabetes.
c. Hormonal :
PCBs dapat mengubah sistem hormon seks. Berdasarkan penelitian, telah ditemukan
bahwa PCBs dapat menurunkan usia gadis mencapai pubertas dan dapat mengurangi kadar
hormone laki – laki ( testosterone ).
d. Asma :
PCBs secara keseluruhan dapat meningkatkan resiko penyakit asma dan penyakit
pernafasan lainnya. Lebih khusus lagi, anak -anak memiliki peningkatan risiko asma dan
penyakit pernapasan menular lainnya ketika terpapar polutan organik yang persisten,
termasuk PCB.
e. Berat dan Kemampuan Motorik Bayi pada saat lahir :
Wanita hamil yang terpapar PCBs, maka bayi yang lahir akan memiliki berat badan
kurang dibandingkan bayi yang lahir dari wanita yang tidak terpapar PCBs. Selain itu, bayi
tersebut memiliki respon tidak normal pada tes perilaku bayi, termasuk masalah kemampuan
motorik dan penurunan memori jangka pendek.
f. Kemampuan untuk Belajar :
PCBs berhubungan dengan masalah kognitif dan penurunan kemampuan belajar dan
daya ingat. Contohnya, anakyang terpapar
PCB sebelum lahir melalui asupan konsumsi ibu yang tekontaminasi
PCB, ditemukan memiliki 6,2 poin IQ lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak tidak
terkontaminasi.
Efek akut akibat terpapar PCB dengan konsentrasi tinggi dalam seketika
a. Iritasi kulit
b. Sesak napas
c. Bengkak pada kelopak mata, pucat pada kulit dan kuku
d. Mati rasa pada tangan dan kaki
Efek kronik akibat terpapar PCB dengan konsentrasi rendah secara terus menerus
a. Pertumbuhan kulit yang abnormal
b. Gangguann sistem pernapasan
c. Pembengkakan pada hati
d. Diare dan iritasi pada saluran pencernaan
e. Mengurangi respon sistem imun, membuat tubuh rentan terhadap penyakit
3.5.2. Hewan
Hasil penelitian PCB yang dilakukan oleh Nie et al. (2005) dalam air, sedimen dan
ikan dari estuari Sungai Pearl di China adalah antara 2,47 – 6,75 ng l-1 dalam air, 11,13 –
6,75 ng g-1 dalam berat kering dan antara 68,64 – 316,85 2,47 – 6,75 ng -1 dalam tubuh ikan.
Mereka mendapatkan bahwa organisme karnivora dan ikan-ikan bentik antara lain belut atau
sidat (Anguilia japonika) dan ikan lele (Arius sinensis) diperoleh konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan organisme herbivore. PCBs juga dapat berpindah dalam jarak yang jauh
dan dapat ditemukan di salju, air laut dalam area yang jauh dari PCBs dilepaskan ke
lingkungan dan tersebar di lingkungan.
Pada umumnya, PCBs dapat tertransportasi secara global ke wilayah lain berasal
sumber yang terkotori. PCB akan terakumulasi di daun atau pada bagian atas bagian atas
tanaman serta yang akan terjadi panen. Sedangkan untuk bioakumulasi dari PCBs akan
terakumulasi pada jaringan tubuh makhluk hidup melalui rantai makanan. Ketika PCBs
mengendap pada sedimen maka organisme renik laut seperti plankton akan mengkonsumsi
kandungan nutrien yang ada di sedimen yg terpapar PCBs, kemudian planton dalam rantai
kuliner akan dimakan sang ikan mungil, ikan mungil akan jadi konsumsi ikan besar dan
beberapa spesies burung. PCBsakan terakumulasi dalam tubuh ikan besar dan burung
sehingga terjadinya akumulasi PCBs pada jaringan tubuh ikan serta burung. Kemudian
manusia sebagai spesies selanjutnya dalam rantai makanan akan mengkonsumsi ikan-ikan yg
telah terakumulasi PCBs. Akhirnya PCBs pun terpapar serta terakumulasi dalam tubuh insan.
Akumulasi PCBs pada tubuh insan akan menginduksi terjadinya berbagai penyakit serius
mirip karsinogenis, gangguan hormon dan sistem imun.
3.6. Metode PCBs.
3.6.1 Pelaporan
Perusahaan diwajibkan untuk melakukan pelaporan mengenai pengurangan,
pengumpulan, penyimpanan dan penimbunan limbah B3, khususnya limbah PCB,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Dalam peraturan tersebut, setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Menteri LH.
3.6.2. Sampling
Secara umum, metode pengambilan contoh PCB mengacu pada US-EPA. Dalam
panduan tersebut, dibagi menjadi 4 jenis contoh yaitu, contoh padatan yang meruah (solid
bulk sample), contoh permukaan yang berongga (porous surface sample), contoh permukaan
yang tak-berongga (non-porous surface sample) dan contoh udara di dalam ruangan (indoor
air sample).
3.6.3. Pengujian
Analisis kimia untuk menguji kandungan PCB pada umumnya menggunakan
Kromatografi Gas (KG). PCB dalam konsentrasi yang rendah (< 10 ppm) dapat diuji dengan
metode GC menggunakan detektor Hall electrolytic conductivity detector (HECD)
atau electron capture detector (ECD).
Namun, metode terbaru untuk menguji PCB adalah menggunakan metode
elektrokimia dimana terdapat elektroda khusus yang dapat mengukur kandungan klorida.
Konsentrasi klorida yang terukur akan sebanding dengan konsentrasi PCB yang terkandung
dalam sampel minyak atau tanah dan dinyatakan dalam satuan ppm. Ekstraksi PCB
direaksikan dengan reagen natrium untuk mengubah PCB menjadi bentuk klorida yang dapat
diukur
3.6.4. Penyimpanan
Tata cara penyimpanan limbah PCB mengacu pada Pasal 12 sampai dengan 30
Peraturan Pemerintah No. 101/2014 yang beisi tentang persyaratan teknis penyimpanan
limbah B3. Kriteria umum yang diperhatikan dalam penyimpanan limbah B3 yaitu, wajib
memiliki izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Penyimpanan Limbah B3; menjelaskan
nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang akan disimpan; dokumen yang
menjelaskan tentang tempat Penyimpanan Limbah B3; dokumen yang menjelaskan tentang
pengemasan Limbah B3; lokasi Penyimpanan Limbah B3; dan fasilitas Penyimpanan Limbah
B3 yang sesuai dengan jumlah Limbah B3, karakteristik Limbah B3, dan dilengkapi dengan
upaya pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup; dan peralatan penanggulangan keadaan
darurat.
3.6.5. Pelabelan
Tata cara pelabelan B3 mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.
14/2013 tentang Simbol dan Label B3. Kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam
pelabelan limbah B3 diantaranya harus terdapat di wadah dan/atau kemasan limbah B3,
tempat penyimpanan limbah B3, dam alat angkut limbah B3. PCB digolongkan bahan yang
beracun dan berbahaya bagi lingkungan. Label yang tepat untuk PCB dan peralatan yang
terkontaminasi PCB sebagai berikut:
3.6.6. Inventarisasi
Inventarisasi yang pernah dilakukan di Indonesia adalah dengan mengirimkan
kuesioner, menelaah dan mengumpulkan sampel PCB dari lokasi dan menguji kandungannya
menggunakan Dexil.
3.6.6. Pemusnahan
Berdasarkan Dokumen NIP 2014, teknologi pemusnahan PCB harus berbasis ramah
lingkungan.
3.8. Teknologi Dekontaminasi PCBs
Pengenalan pengelolaan ramah lingkungan dan sistem pembuangan untuk limbah PCB
dan peralatan yang terkontaminasi PCB.
3.8.4. Teknologi untuk PCBs konsentrasi Rendah atau Medium PCBs (Hingga 10.000 PPM)
3.9. Sasaran Dekontaminasi
Peraturan untuk peralatan dan dielektrik minyak menurut Konvensi Stockholm < 50
ppm sedangkan untuk Peraturan Nasional diantara <2 ppm - < 50 ppm. Adapun kegunaan
lainnya berdasarkan sector adalah pembakaran (40 CFR 761.20) <2 ppm (ika lebih besar
hanya inkrenasi yang diizinkan). Khusus minyak tak terpakai tidak dapat dideteksi (IEC
60296/IEC 61619). Level pembersihan tanah dari 0,1 ppm hingga 15 ppm merupakan standar
lingkungan hidup. Limbah POPs terbagi menjadi 2 yaitu : konten POPs rendah < 50 ppm
yang dapat dikubur dan yang tidak dapat dikubur konten POPs tinggi >50 ppm
3.10. Regulasi Penggunaan Polychlorinated Biphenyls (PCBs)
Indonesia telah meratifikasi kesepakatan Stockholm melalui Undang-Undang No 19
Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants
(Konvensi Stockholm Perihal Bahan Pencemar Organik Yang Persisten), berdasarkan
penelitian menunjukkan bahwa kontaminasi PCBs telah menyebar pada Indonesia dengan
adanya konsentrasi PCBs di lingkungan (iwata, el al, 2019), beberapa produk makanan mirip
beras, ayam, kerang hijau, dan makanan bahari lainnya juga dilaporkan mengandung PCBs
(Ibid, 1995). Sesuai konvensi pada konvensi Stockholm (UU 19/2009), maka pada akhir tahun
2025 seluruh bahan yang mengandung PCBs harus telah terinventarisasi serta penggunaan
peralatan yang mengandung PCBs sudah dihentikan. Pada akhir tahun 2028 seluruh PCBs dan
alat-alat yang mengandung PCBs wajib sudah dimusnahkan menggunakan kaidah-kaidah
yang memenuhi Environmentally Sound Management (ESM) ( Stockholm Convention).
Indonesia pada menjalankan pengelolaan PCBs berdasarkan UU 19/2009, Undang-
Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
32/2009) juncto Undang – Undang angka 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020),
Peraturan Pemerintah angka 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya serta
Beracun (PP 74/2001), serta Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP 22/2021). Ketika ini
Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan telah menyusun serta
menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan hayati angka :
P.29/MENLHK/SETJEN/PLB.tiga/12/2020 wacana Pengelolaan Polychlorinated Biphenyls
(P.29/2020) buat mengatur tahapan pemusnahan (phasing-out) PCBs hingga menggunakan
tahun 2028.
BAB 4
PENUTUP
PCBs merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang penggunaannya sudah
dilarang secara internasional karena dapat merusak lingkungan dan mengancam kesehatan
manusia, regulasi nasional sudah mengakomodir perjanjian-perjanjian internasional dalam
upaya untuk mengelola limbah PCBs, pengolahan limbah PCBs mendegradasikan kandungan
PCBs baik limbah produksi maupun yang masih terkandung dalam peralatan produksi.
Namun dalam perdagangan internasional, limbah PCBs masih dimungkinkan untuk
diperdagangkan.
Perdagangan internasional limbah PCBs sudah diperketat dengan adanya Pasal 20
GATT serta regulasi konvensi Basel yang mewajibkan Prior Inform Consent, sehingga
limbah PCBs hanya dimungkinkan untuk diperdagangkan apabila negara penerima memiliki
kapasitas untuk mengelola limbah tersebut.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah
melakukan kerjasama dengan UNIDO untuk menyediakan fasilitas maupun teknologi dalam
upaya pemusnahan PCBs. Adapun teknologi pemusnahan PCBs dengan metode pembakaran
yang selama ini digunakan kurang tepat karena dapat menimbulkan produk sampingan yang
justru dapat membahayakan lingkungan, maka pilihan teknologi reduksi berbasis sodium
(deklorinasi) menjadi pilihan teknologi yang terbaik, karena tidak menimbulkan produk
sampingan limbah, sehingga aman bagi lingkungan. Dari segi penghitungan cost effectiveness
analysis, teknologi deklorinasi merupakan teknologi yang efektif dibandingkan dengan
teknologi insinerator untuk memusnahkan PCBs, karena nilai cost effectiveness ratio lebih
kecil dari teknologi insinerator.
Teknologi dekloranisi atau mengembangkan teknologi lainnya yang ramah lingkungan
untuk memusnahkan PCBs maupun bahan kimia POPs lainnya perlu didorong oleh
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perlu
dikembangkan penelitian pendekatan evaluasi ekonomi untuk melakukan evaluasi kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
3. Konvensi Basel. 2021. Updated Technical Guidelines for the Environmentally Sound
Management of Wastes Consisting of, containing o rcontaminated with Polychlorinated
Biphenyls (PCBs), Polychlorinated Terphenyls (PCTs) or Polybrominated Biphenyls
(PBBs). http://www.basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/pub/techguid/tg-
PCBs.pdf
4. Monsanto. nd.
https://www.toxicdocs.org/d/KRGjYJ9QzJyw90Z38enjNMBvX?lightbox=1
7. United Nations Environment Programme. 1999. Guidelines for the Identification of PBCs
and Materials Containing PCBs. Inter-Organization Programme for the Sound
Management of Chemicals.
https://www.aber.ac.uk/en/media/departmental/healthsafetyenvironment/pcb_unep1.pdf
8. World Health Organization. 2000. Air quality guidelines for Europe: second edition.
World Health Organization Regional Office for Europe.
https://apps.who.int/iris/handle/10665/107335
9. Iwata, H., Tanabe, S., Sakai, N., Nishimura, A., Tatsukawa, R., 1994. Geographical
Distribution of Persistent Organochlorines in Air, Water and Sediments from Asia and
Oceania, and their Implications for Global Redistribution from Lower Latitude,
Environmental Pollution.
10. Ibid., Edward, 1995, Kontaminasi senyawa poliklorobifenil (PCB) pada kerang hijau,
Perna viridis dari Teluk Jakarta, hlm.1.; Kannan, K., Tanabe, S., Tatsukawa, R.,
Geographical Distribution and Accumulation Features of Organochlorine Residues in
Fish in Tropical Asia and Oceania, Environmental Science and Technology.
11. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention on
Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik
yang Persisten)