Sifat-sifat tersebut harus diwaspadai mengingat dampaknya terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan hidup. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengetahui dampak negatif bahan
pencemar organik yang persisten terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia khususnya
kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
1. Pestisidaberupa: Dichloro–diphenyl
trichloroethane (DDT), Aldrin, Endrin, Dieldrin, Chlordane, Heptachlor, Mirex, dan Tox
aphene;
2. Bahan kimia industri berupa: Poly Chlorinated Biphenyl (PCB) dan Hexa Chloro
Benzene (HCB);
3. Produk yang tidak sengaja dihasilkan berupa Poly Chlorinated Dibenzop–
Dioxins (PCDD), Poly Chlorinated Dibenzo Furans (PCDF), Hexa Chloro
Benzene (HCB) dan Poly Chlorinated Biphenyl (PCB).
Zat-zat kimia baru yang terdaftar menurut Konvensi Stockholm adalah:
1. Alpha dan Beta hexachlorocyclohexane
Walaupun intensitas penggunaan HCH alpha dan beta sebagai insektisida telah dihapus tahun lalu,
zat kimia ini tetap diproduksi sebagai hasil sampingan lindane yang tidak disengaja. Kira-kira 6-
10 ton isomers lain termasuk HCH alpha dan beta hasil dari tiap ton produk lindane
Bromodiphenyl Eter adalah suatu kelompok zat organik brominated yang menghalangi
pembakaran dalam material organik, yang digunakan sebagai flame retardants tambahan. Diphenyl
Brominated Eter sebagian besar sebagai campuran komersil dimana beberapa isomer, congeners
dan sejumlah kecil unsur lain terjadi.
3. Chlordecone
Chlordecone adalah campuran organik chlorine buatan, yang sebagian besar digunakan sebagai
pestisida pertanian. Pertama diproduksi tahun 1951 dan dikenalkan secara komersial pada 1958.
Penggunaan atau produksinya sekarang tidak ada laporan.
4. Hexabromobiphenyl
Hexabromobiphenyl (HBB) adalah zat kimia industri yang digunakan sebagai flame retardant,
sebagian besar di tahun 1970. Berdasar data, HBB tidak lagi diproduksi dan tidak digunakan dalam
produk sekarang.
5. Lindane
Lindane digunakan secara luas sebagai insektisida benih dan perawatan lahan, aplikasi foliar,
pohon dan perawatan kayu serta melawan ektoparasit dalam perawatan hewan dan manusia.
Produksi lindane telah berkurang dengan cepat terakhir ini dan hanya sedikit negara yang masih
menghasilkannya.
6. Pentachlorobenzene (PeCB)
Pentachlorobenzene (PeCB) telah digunakan dalam produk PCB, turunan dyestuff (bahan pewarna
tekstil), sebagai fungisida, flame retardant dan suatu perantara bahan kimia seperti produksi
quintozene dan mungkin masih digunakan untuk tujuan ini. PeCB juga diproduksi tanpa sengaja
selama pembakaran dalam proses industri dan yang berkenaan dengan panas.
PFOS adalah yang diproduksi atau produk turunan yang tidak diharapkan terkait bahan-
kimia anthropogenic. Penggunaan PFOS yang disengaja sekarang tersebar luas dan ditemukan
dalam produk seperti elektris dan bagian elektronik, fire fighting foam, photo digital, tekstil dan
cairan hidrolik. PFOS masih diproduksi beberapa negara-negara sekarang.
Sebanyak 12 inisial POPs yang tercover oleh konvensi meliputi 9 pestisida
(Aldrin, Chlordane, DDT, Dieldrin, Endrin, Heptachlor, hexachlorobenzene, Mirex and Toxaphe
ne), dua zat kimia industri (PCBs seperti hexachlorobenzeneyang juga digunakan sebagai pestisida
dan hasil sampingan produk yang tidak disengaja, dioksin dan furan.
Dari beberapa studi tentang residu dan dampak bahan kimia POPs bagi makhluk hidup ditemukan
indikasi bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Ancaman bagi
manusia antara lain, gangguan terhadap sistem reproduksi (kemandulan), penurunan kekebalan
tubuh pada bayi dan anak-anak, kelainan fisik dan mental, memicu kanker, gangguan pada fungsi
organ tubuh seperti hati, paru-paru, ginjal, tiroid, sistem hormon endokrin, dan organ reproduksi.
Kontaminasi POPs pada Ingkungan menyebabkan punahnya species tertentu, penurunan populasi
burung-burung dan sebagainya.
POLYCHLORINATED BIPHENYLS (PCBs)
Polychlorinated Biphenyls (PCBs) merupakan bahan yang digunakan sejak tahun 1930 di
berbagai bidang industri secara luas sebagai bahan insulator dalam trafo, kapasitor, cairan
pendingin, bahan tambahan cat, kertas tanpa karbon, dan dalam plastik.
PCBs merupakan bahan berbahaya yang dapat menyebabkan beberapa penyakit degeneratif
seperti, kanker, penurunan daya tahan tubuh, peningkatan risiko penyakit jantung, hipertensi,
diabetes, gangguan sistem reproduksi, dan gangguan sistem syaraf.
PCBs memiliki sifat bioakumulasi dan konsentrasi PCBs akan naik setiap tingkat dalam rantai
makanan. Dengan kata lain, orang yang mengkonsumsi produk hewani (daging, telur, keju,
susu) akan mendapatkan dosis jauh lebih tinggi daripada vegetarian murni.
Produk perikanan yang berperan sebagai pembawa biotoksin adalah kekerangan dan ikan, yang
merupakan sumber pangan penting bagi manusia. Tetapi, sejatinya organisme yang menjadi
sumber dan memproduksi sebagian besar biotoksin adalah spesies alga laut mikro tertentu
(kecuali tetrodotoxin, racun yang dihasilkan oleh ikan buntal).
Sebenarnya, alga mikro dari lautan di dunia ini adalah pakan yang penting bagi kekerangan, larva
krustasea, dan ikan ekonomis penting lainnya. Dari 5.000 spesies alga mikro, sekitar 300 spesies
mampu berkembang dalam jumlah besar (blooming) sehingga dapat merubah warna permukaan
laut, yang disebut "red tide" (pasang merah).
Nah, diantara spesies alga laut mikro yang suka blooming ini, ada sekitar 75 spesies yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan racun yang kuat (disebut phycotoxin), melalui rangkaian rantai
makanan (moluska, krustasea, dan ikan), yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia sehingga
menyebabkan keracunan yang menimbulkan berbagai penyakit pencernaan dan neurologis.
Kekerangan merupakan organisme yang paling banyak membawa jenis biotoksin. Sampai saat ini,
diketahui ada lima jenis keracunan biotoksin yang disebabkan oleh kekerangan.
Pertama, yang paling berbahaya, yaitu keracunan kerang paralitik (Paralytic Shellfish
Poisoning/PSP). Disebabkan karena mengkonsumsi kerang yang mengandung racun saxitoxin dan
turunannya yang dihasilkan oleh dinoflagellata dari
genera Alexandrium, Gymnodinium dan Pyrodinium, baik dari perairan tropis maupun subtropis.
Racun diakumulasi oleh kerang didalam tubuhnya ketika memakan alga beracun, tetapi kerang itu
sendiri tahan terhadap efek berbahaya dari racun ini, dan menyimpan racun untuk periode waktu
tertentu tergantung jenis kerang. Ada yang hanya beracun dalam waktu singkat selama blooming,
ada yang dapat mempertahankan racun untuk waktu yang lama, bahkan bertahun-tahun.
PSP merupakan gangguan neurologis, dengan gejala-gejala kesemutan, bibir dan ujung jari terasa
terbakar atau mati rasa, ataksia (hilangnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot), mengantuk,
dan bicara ngawur. Dalam kasus yang parah, kematian dapat terjadi karena kelumpuhan
pernapasan. Gejalanya berkembang dalam 0,5-2 jam setelah mengkonsumsi kerang. Pada korban
yang dapat bertahan lebih dari 12 jam pada umumnya sembuh.
Kedua, keracunan kerang diaretik (Diarrhetic Shellfish Poisoning/DSP). Ribuan kasus gangguan
pencernaan yang disebabkan oleh keracunan kerang diaretik (DSP) telah dilaporkandi Eropa,
Jepang, dan Chile.
Dinoflagellata yang menghasilkan racun ini dari genus Dinophysis dan Aurocentrum.
Dinoflagellata ini tersebar luas, yang berarti penyakit ini juga bisa terjadi di bagian lain di dunia.
Penyerangan penyakit ini dalam waktu setengah sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi
kerang yang telah memakan alga beracun. Gejalanya berupa gangguan pencernaan (diare, mual,
muntah, sakit perut), dan korban sembuh dalam 3-4 hari. Sepanjang yang diketahui, tidak pernah
terjadi korban jiwa akibat keracunan ini.
Penyakit ini terbatas di Teluk Meksiko dan daerah lepas pantai Florida. Racunnya,
yaitu brevetoxin, sangat mematikan untuk ikan sehingga red tide dinoflagellata menyebabkan
kematian sejumlah besar ikan. Gejala NSP menyerupai PSP namun tidak terjadi kelumpuhan. NSP
jarang yang fatal.
Gejala-gejala ASP sangat bervariasi seperti mual dan muntah, kehilangan keseimbangan, dan
defisit saraf pusat termasuk kebingungan dan kehilangan memori. Hilangnya memori jangka
pendek tampaknya permanen pada korban yang masih hidup, sehingga keracunan ini disebut
keracunan kerang amnesik.
Ada dua jenis keracunan biotoksin yang disebabkan oleh ikan, yaitu keracunan
ikan ciguatera (Ciguatera Fish Poisoning/CFP) dan keracunan tetrodotoxin dari ikan buntal.
Keracunan ciguatera, bahan racunnya adalah ciguatoxin (CTX), disebabkan mengkonsumsi ikan
yang menjadi beracun setelah memakan dinoflagellata beracun. Sumber utamanya adalah
dinoflagellata bentik Gambierdiscus toxicus, yang hidup di sekitar terumbu karang dan menempel
pada makroalga.
Peningkatan produksi dinoflagellata beracun terjadi ketika terumbu karang terganggu (badai,
peledakan terumbu, dll). Lebih dari 400 spesies ikan perairan tropis atau sub tropis, telah
dilaporkan menyebabkan ciguatera. Toksin terakumulasi pada ikan herbivora yang memakan
ganggang beracun, atau karnivora besar yang memangsa herbivora ini.
Gambaran klinis bervariasi, tapi waktu serangan adalah beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan
beracun. Organ yang terpengaruh adalah gastrointestinal dan sistem saraf (muntah, diare,
kesemutan, ataksia, kelemahan). Durasi penyakit 2-3 hari, tetapi ada yang bertahan selama
beberapa minggu atau bahkan bertahun-tahun dalam kasus yang parah. Kematian dapat terjadi
karena kolapnya peredaran darah. Tingkat kasus yang fatal sekitar 12%.
Tetrodotoxin (TTX) tidak seperti biotoksin lainnya, yang terakumulasi dalam ikan atau kerang
setelah memakan alga beracun, tetapi oleh berbagai jenis ikan buntal (fugu), yang merupakan
anggota yang paling beracun dari keluarga Tetraodontidae, walaupun tidak semua spesies dalam
keluarga ini beracun.
Mekanisme yang tepat bagaimana produksi toksin yang sangat kuat ini belum jelas, tetapi
tampaknya terjadi karena terlibatnya bakteri simbion. Bakteri laut mengkolonisasi usus dan lapisan
mucus kulit dari ikan fugu, dan menghasilkan tetrodotoxin yang kemudian disimpan oleh ikan
tersebut digonad, hati, dan usus. Jaringan otot ikan beracun biasanya bebas dari racun.
Oleh karena itu, jika penanganannya tidak dilakukan oleh orang yang ahli, maka bisa terjadi daging
ikan terkontaminasi oleh racun ini. Keracunan ikan buntal menyebabkan gejala neurologis 10-45
menit setelah mengkonsumsi. Gejalanya kesemutan di wajah, kelumpuhan, kesulitan pernapasan
dan kardiovaskular kolaps. Dalam kasus yang fatal kematian terjadi dalam waktu 6 jam.
Penyembuhan dapat diharapkan apabila korban tidak meninggal dalam waktu 24 jam.
Kontrol biotoksin laut sangatlah sulit, dan penyakit ini tidak dapat sepenuhnya dicegah. Seluruh
racunnya adalah non-protein alami dan sangat stabil (tahan panas). Jadi pemasakan, pengasapan,
pengeringan, pengasinan tidak menghancurkannya, dan dari penampilan daging ikan atau kerang,
kita tidak dapat mengenali apakah itu beracun atau tidak.
Upaya pencegahan utama adalah pemeriksaan dan pengambilan sampel dari daerah penangkapan
ikan dan habitat kerang, dan dianalisis untuk mengetahui adanya racun. Percobaan dengan tikus
sering digunakan untuk tujuan ini. Jika tingkat tinggi racun ditemukan, penangkapan komersial
harus dihentikan.
Sedangkan untuk pencegahan keracunan tetrodotoxin dari ikan buntal, satu-satunya cara adalah
dengan tidak mengkonsumsi spesies ikan buntal apapun. Belum ada obat penawar untuk keracunan
ikan buntal.
Keracunan kerang dan ikan merupakan keadaan darurat medis, sehingga korban harus segera
dibawa ke pusat medis darurat. Informasi penting yang perlu disiapkan adalah usia, berat badan,
jenis yang dikonsumsi, waktu mengkonsumsi, dan jumlah yang ditelan.
Kemungkinan bentuk penanganan di ruang darurat untuk keracunan kekerangan adalah pemberian
obat untuk menghentikan muntah, cairan infus untuk menggantikan cairan yang hilang karena
muntah dan diare.
Bila keracunannya adalah paralytic shellfish poisoning, mungkin harus dirawat di rumah sakit
sampai gejala membaik. Untuk keracunan ciguatera berupa pemberian obat untuk menghentikan
muntah, cairan infus dan obat untuk mengurangi gejala-gejala neurologis.