Anda di halaman 1dari 12

PERSISTENT ORGANIC POLLUTANS / POLUTAN ORGANIK PERSISTEN (POPs)

POPs adalah singkatan dari Persistent Organics Pollutans. Menurut UNDANG-UNDANG


REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG
PENGESAHAN STOCKHOLM CONVENTION ON PERSISTENT ORGANIC POLLUTANTS
(KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG
PERSISTEN) adalah bahan yang dikategorikan sebagai bahan pencemar organik yang persisten
(persistent organic pollutants) atau lebih dikenal dengan POPs yang memiliki sifat beracun, sulit
terurai, bioakumulasi dan terangkut, melalui udara, air, dan spesies berpindah dan melintasi batas
internasional serta tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi
dalam ekosistem darat dan air.

Sifat-sifat tersebut harus diwaspadai mengingat dampaknya terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan hidup. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengetahui dampak negatif bahan
pencemar organik yang persisten terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia khususnya
kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

Menurut Konvensi Stockholm, POPs terdiri atas tiga kategori yaitu:

1. Pestisidaberupa: Dichloro–diphenyl
trichloroethane (DDT), Aldrin, Endrin, Dieldrin, Chlordane, Heptachlor, Mirex, dan Tox
aphene;
2. Bahan kimia industri berupa: Poly Chlorinated Biphenyl (PCB) dan Hexa Chloro
Benzene (HCB);
3. Produk yang tidak sengaja dihasilkan berupa Poly Chlorinated Dibenzop–
Dioxins (PCDD), Poly Chlorinated Dibenzo Furans (PCDF), Hexa Chloro
Benzene (HCB) dan Poly Chlorinated Biphenyl (PCB).
Zat-zat kimia baru yang terdaftar menurut Konvensi Stockholm adalah:
1. Alpha dan Beta hexachlorocyclohexane

Walaupun intensitas penggunaan HCH alpha dan beta sebagai insektisida telah dihapus tahun lalu,
zat kimia ini tetap diproduksi sebagai hasil sampingan lindane yang tidak disengaja. Kira-kira 6-
10 ton isomers lain termasuk HCH alpha dan beta hasil dari tiap ton produk lindane

2. Hexa,hepta,tetra, dan penta bromodiphenyl eter dan heptabromodiphenyl eter

Bromodiphenyl Eter adalah suatu kelompok zat organik brominated yang menghalangi
pembakaran dalam material organik, yang digunakan sebagai flame retardants tambahan. Diphenyl
Brominated Eter sebagian besar sebagai campuran komersil dimana beberapa isomer, congeners
dan sejumlah kecil unsur lain terjadi.

3. Chlordecone

Chlordecone adalah campuran organik chlorine buatan, yang sebagian besar digunakan sebagai
pestisida pertanian. Pertama diproduksi tahun 1951 dan dikenalkan secara komersial pada 1958.
Penggunaan atau produksinya sekarang tidak ada laporan.
4. Hexabromobiphenyl

Hexabromobiphenyl (HBB) adalah zat kimia industri yang digunakan sebagai flame retardant,
sebagian besar di tahun 1970. Berdasar data, HBB tidak lagi diproduksi dan tidak digunakan dalam
produk sekarang.

5. Lindane

Lindane digunakan secara luas sebagai insektisida benih dan perawatan lahan, aplikasi foliar,
pohon dan perawatan kayu serta melawan ektoparasit dalam perawatan hewan dan manusia.
Produksi lindane telah berkurang dengan cepat terakhir ini dan hanya sedikit negara yang masih
menghasilkannya.

6. Pentachlorobenzene (PeCB)

Pentachlorobenzene (PeCB) telah digunakan dalam produk PCB, turunan dyestuff (bahan pewarna
tekstil), sebagai fungisida, flame retardant dan suatu perantara bahan kimia seperti produksi
quintozene dan mungkin masih digunakan untuk tujuan ini. PeCB juga diproduksi tanpa sengaja
selama pembakaran dalam proses industri dan yang berkenaan dengan panas.

7. Perfluorooctane sulfonic acid, dan perfluorooctane sulfonyl fluoride

PFOS adalah yang diproduksi atau produk turunan yang tidak diharapkan terkait bahan-
kimia anthropogenic. Penggunaan PFOS yang disengaja sekarang tersebar luas dan ditemukan
dalam produk seperti elektris dan bagian elektronik, fire fighting foam, photo digital, tekstil dan
cairan hidrolik. PFOS masih diproduksi beberapa negara-negara sekarang.
Sebanyak 12 inisial POPs yang tercover oleh konvensi meliputi 9 pestisida
(Aldrin, Chlordane, DDT, Dieldrin, Endrin, Heptachlor, hexachlorobenzene, Mirex and Toxaphe
ne), dua zat kimia industri (PCBs seperti hexachlorobenzeneyang juga digunakan sebagai pestisida
dan hasil sampingan produk yang tidak disengaja, dioksin dan furan.

Dampak POPs Terhadap Kesehatan Manusia

Dari beberapa studi tentang residu dan dampak bahan kimia POPs bagi makhluk hidup ditemukan
indikasi bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Ancaman bagi
manusia antara lain, gangguan terhadap sistem reproduksi (kemandulan), penurunan kekebalan
tubuh pada bayi dan anak-anak, kelainan fisik dan mental, memicu kanker, gangguan pada fungsi
organ tubuh seperti hati, paru-paru, ginjal, tiroid, sistem hormon endokrin, dan organ reproduksi.
Kontaminasi POPs pada Ingkungan menyebabkan punahnya species tertentu, penurunan populasi
burung-burung dan sebagainya.
POLYCHLORINATED BIPHENYLS (PCBs)

Polychlorinated Biphenyls (PCBs) merupakan bahan yang digunakan sejak tahun 1930 di
berbagai bidang industri secara luas sebagai bahan insulator dalam trafo, kapasitor, cairan
pendingin, bahan tambahan cat, kertas tanpa karbon, dan dalam plastik.

PCBs merupakan bahan berbahaya yang dapat menyebabkan beberapa penyakit degeneratif
seperti, kanker, penurunan daya tahan tubuh, peningkatan risiko penyakit jantung, hipertensi,
diabetes, gangguan sistem reproduksi, dan gangguan sistem syaraf.

PCBs memiliki sifat bioakumulasi dan konsentrasi PCBs akan naik setiap tingkat dalam rantai
makanan. Dengan kata lain, orang yang mengkonsumsi produk hewani (daging, telur, keju,
susu) akan mendapatkan dosis jauh lebih tinggi daripada vegetarian murni.

Bioakumulasi adalah penimbunan substansi di dalam tubuh suatu organisme. Bioakumulasi


terjadi ketika suatu substansi diserap oleh tubuh organisme dengan laju yang lebih cepat dari
pada pengeluaran substansi tersebut lewat proses katabolisme dan ekskresi.
DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) adalah salah satu yang dikenal pestisida sintetis. Ini
merupakan bahan kimia yang panjang, unik, dan sejarah kontroversial.
Synthesized pertama di 1874, DDT’s insecticidal properti tidak ditemukan sampai 1939. Dalam
paruh kedua Perang Dunia II, telah digunakan dengan dampak yang luar biasa di antara kedua-dua
penduduk sipil dan militer untuk mengendalikan penyebaran nyamuk malaria dan kutu transmisi
tipus, mengakibatkan penurunan dramatis dalam insiden kedua penyakit. Swiss chemist Paul
Hermann Müller dari Geigy Pharmaceutical dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Physiology
Pengobatan atau di 1948 “untuk penemuan tingginya efisiensi DDT sebagai racun kontak terhadap
beberapa arthropods Setelah perang, DDT telah tersedia untuk digunakan sebagai insektisida
pertanian, dan segera produksinya dan menggunakan skyrocketed.
Pada tahun 1962, Silent Spring oleh American biologi Rachel Carson telah diterbitkan. Buku di
katalog lingkungan dampak dari sembarangan penyemprotan DDT di Amerika Serikat dan
pertanggungjawaban logika melepaskannya dari banyak bahan kimia ke dalam lingkungan tanpa
sepenuhnya pemahaman mereka terhadap ekologi atau kesehatan manusia. Buku yang disarankan
DDT dan pestisida dapat menyebabkan kanker dan pertanian yang mereka gunakan merupakan
ancaman bagi satwa liar, terutama burung. Publikasi-nya adalah salah satu tanda tangan dalam
peristiwa kelahiran gerakan lingkungan hidup. Diam Spring menghasilkan besar masyarakat yang
gaduh akhirnya menyebabkan paling pantas atas DDT yang dilarang di AS pada 1972. [4] DDT
kemudian dilarang digunakan untuk pertanian di seluruh dunia di bawah Konvensi Stockholm,
namun terbatas dalam menggunakan penyakit vector kontrol terus
Seiring dengan petikan dari Endangered Species Act, Amerika Serikat pada ban DDT adalah
dikutip oleh para ilmuwan sebagai faktor utama dalam cerdas dari bald eagle berdampingan di
Amerika Serikat.
DDT adalah insektisida organochlorine, mirip dalam struktur ke dicofol dan pestisida
methoxychlor. Ini adalah sangat hydrophobic, warna, kristal kuat dengan yang lemah, bau kimia.
Yg tdk dpt ia hampir dalam air tetapi kelarutan yang baik di sebagian besar larutan organik, Fats,
dan minyak. DDT tidak terjadi secara alami, namun yang dihasilkan oleh reaksi dari khloral
(CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl) di hadapan sulfuric acid, yang bertindak sebagai
katalisator. DDT nama dagang yang telah dipasarkan di bawah termasuk Anofex, Cezarex,
Chlorophenothane, Clofenotane, Dicophane, Dinocide, Gesarol, Guesapon, Guesarol, Gyron,
Ixodex, Neocid, Neocidol, dan Zerdane.
Isomer dan Terkait
DDT komersial sebenarnya campuran dari beberapa erat kaitannya compounds. Komponen utama
(77%) adalah p, p isomer yang digambarkan di atas artikel ini. , O, p ‘isomer (digambarkan di
sebelah kanan) juga hadir dalam jumlah yang signifikan (15%). Dichlorodiphenyldichloroethylene
(DDE) dan dichlorodiphenyldichloroethane (es) membentuk keseimbangan. DDD DDE dan juga
yang besar dan metabolites kemogokan produk DDT di lingkungan. [3] Istilah “total DDT” sering
digunakan untuk merujuk kepada jumlah semua terkait DDT compounds (p, p-DDT, o, p – DDT,
DDE,dan pakaian dalam sampel.
Mekanisme aksi
DDT adalah racun cukupan, dengan tikus LD50 dari 113 mg / kg. [12] Hal ini berpengaruh
insecticidal properti, dimana kills membuka saluran ion sodium di neurons, sehingga mereka ke
api yang mengarah ke spasms spontan dan akhirnya mati. Serangga tertentu dengan mutations di
saluran sodium gene yang tahan terhadap DDT dan insektisida sejenis lainnya. DDT tahan juga
conferred oleh up-peraturan mengekspresikan gen cytochrome P450 dalam beberapa jenis
serangga.
DDT (Dichloro Diphenyl Trichlorethane) adalah insektisida “tempo dulu” yang pernah disanjung
“setinggi langit” karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan
vektor serangga. Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika
Utara, Eropah Barat dan juga di Indonesia telah dilarang. Namun karena persistensi DDT dalam
lingkungan sangat lama, permasalahan DDT masih akan ber lang sung pada abad 21 sekarang ini.
Adanya sisa (residu) insektisida ini di tanah dan perairan dari penggunaan masa lalu dan adanya
bahan DDT sisa yang belum digunakan dan masih tersimpan di gudang tempat penyimpanan di
selurun dunia (termasuk di Indonesia) kini meng hantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun DDT
sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sampai 100 tahun atau
lebih?), bertahan dalam lingkungan hidup sambil meracuni ekosistem tanpa dapat didegradasi
secara fisik maupun biologis, sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai
akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT.
Sifat kimiawi dan fisik DDT
Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl)
ethane yang secara awam disebut jugaDichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) diproduksi
dengan menyam purkan chloralhydrate dengan chlorobenzene.
DDT-teknis terdiri atas campuran tiga bentuk isomer DDT (65-80% p,p’-DDT, 15-21% o,p’-DDT,
dan 0-4% o,o’-DDT, dan dalam jumlah yang kecil sebagai kontaminan juga terkandung DDE [1,1-
dichloro-2,2- bis(p-chlorophenyl) ethylene] dan DDD [1,1-dichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl)
ethane]. DDT-teknis ini berupa tepung kristal putih tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya
sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap
asam keras dan tahan oksidasi terhasap asam permanganat.
DDT pertama kali disintesis oleh Zeidler pada tahun 1873 tapi sifat insekti sidalnya baru
ditemukan oleh Dr Paul Mueller pada tahun 1939. Penggunaan DDT menjadi sangat populer
selama Perang Dunia II, terutama untuk penanggulangan penyakit malaria, tifus dan berbagai
penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk, lalat dan kutu. Di India, pada tahun 1960 kematian
oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun 1970. WHO
memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa
terutama dari ancaman malaria dan tifus, sehingga Paul Mueller dianugerahi hadiah Nobel dalam
ilmu kedokteran dan fisiologi pada tahun 1948.
DDT adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam
membunuh serangga tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia manusia sehingga
dijuluki “The Most Famous and Infamous Insecticide”.
Bahaya toksisitas DDT terhadap ekosistem
Pada tahun 1962 Rachel Carson dalam bukunya yang terkenal, Silenty Spring menjuluki DDT
sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi
kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika
Serikat pada tahun 1972 DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT
terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan
menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan
ternyata elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang
tercemar DDT. DDT menyebabkan cang kang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak
jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent,
bioaccumulative, and toxic) material.
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
Sifat apolar DDT: ia tak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida
dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu
faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit
Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam
lingkungan hidup, masuk rantai makanan(foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup.
Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan DDT
dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.
Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke 3 dari polutan organik yang
persisten (Persistent Organic Pollutants, POP), yang memiliki sifat-sifat berikut:
tak terdegradasi melalui fotolisis, biologis maupun secara kimia,
-berhalogen (biasanya klor),
-daya larut dalam air sangat rendah,
-sangat larut dalam lemak,
-semivolatile,
-di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh,
-bioakumulatif,
-biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan)
Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara: kandungan DDT dalam
tanah berkisar sekitar 0.18 sampai 5.86 parts per million (ppm), sedangkan sampel udara
menunjukkan kandungan DDT 0.00001 sampai 1.56 microgram per meter kubik udara (ug/m3),
dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada taraf 0.001 microgram per liter
(ug/L). Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan
dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, system
imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain
terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi
Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun
1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari,
terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas.
Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropah Barat) penggunaan
DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan negara-negara Afrika
dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah mela rang penggunaan DDT
kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam
berdarah dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian
sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi
Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan pestisida golongan hidrokarbon-
berklor (chlorinated hydrocarbons) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT
termasuk).
Permasalahan sekarang
Walaupun secara undang-undang telah dilarang, disinyalir DDT masih juga secara gelap
digunakan karena keefektifannya dalam membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya
DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa membahayakan ekosistem manusia
maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan bagi kita. Sebenarnya, bukan saja
DDT yang memiliki daya racun serta persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di
lingkungan hidup. Racun-racun POP lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja
terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar kita adalah aldrin, chlordane, dieldrin, endrin,
heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene, PCB (polychlorinated biphenyls), dioxins dan
furans.
Untuk mengeliminasi bahan racun biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara termal,
biologis atau kimia/fisik. Untuk Indonesia dipertimbangkan untuk mengadopsi cara
stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi memerlukan biaya sangat tinggi.
Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah membuat racun tidak aktif/imobilisasi dengan enkapsulasi mikro
dan makro sehingga DDT menjadi berkurang daya larutnya. Namun permasalahan tetap masih
ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih harus “dibuang” sebagailandfill di tempat
yang “aman”. Namun dengan cara ini potensi racun DDT masih tetap bertahan untuk waktu yang
lama pada abad 21 ini.
BAHAYA DDT PADA MAKHLUK HIDUP
Pada bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu pakta Persatuan
Bangsa Bangsa untuk melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan 11 bahan kimia lainnya
secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menyetujui
pelarangan ini karena bahan-bahan kimia ini adalah senyawa kimia yang persisten dimana
senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan merusak ekosistem alami dan memasuki rantai
makanan manusia. Namun banyak negara tidak setuju dengan pelarangan DDT secara global
karena DDT digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab malaria. Malaria timbul di 90 negara
di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian dalam jumlah besar
terutama daerah ekuatorial Afrika.
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat
malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu efektif dalam
mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa insektisida menyelamatkan
lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya.
DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama Paul Herman
Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat dibunuh
dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai alternatif
murah dan aman sebagai jenis insektisida bila dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya
yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari kerusakan
lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT.
Sebagai suatu senyawa kimia yang persisten, DDT tidak mudah terdegradasi menjadi senyawa
yang lebih sederhana. Ketika DDT memasuki rantai makanan, ini memiliki waktu paruh hingga
delapan tahun, yang berarti setengah dari dosis DDT yang terkonsumsi baru akan terdegradasi
setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh hewan, DDT akan terakumulasi dalam jaringan lemak
dan dalam hati. Karena konsentrasi DDT meningkat saat ia bergerak ke atas dalam rantai makanan,
hewan predator lah yang mengalami ancaman paling berbahaya. Populasi dari bald eagle dan elang
peregrine menurun drastis karena DDT menyebabkan mereka menghasilkan telur dengan
cangkang yang tipis dimana telur ini tidak akan bertahan pada masa inkubasi. Singa laut di lepas
pantai California akan mengalami keguguran janin setelah memakan ikan yang terkontaminasi.
Seperti yang terlihat pada diagram, DDT (diklorodifeniltrikloroetana) adalah senyawa hidrokarbon
terklorinasi. Tiap heksagon dari struktur ini terdapat gugus fenil (C6H5-) yang memiliki atom klor
yang mengganti satu atom hidrogen. Namun, perubahan kecil pada struktur molekularnya dapat
membuat hidrokarbon terklorinasi ini aktif secara kimia.
Dengan memanipulasi molekul DDT dalam cara ini, kimiawan berharap untuk mengembangkan
suatu insektisida yang efektif namun ramah lingkungan, dimana senyawa in akan mudah
terdegradasi. Namun disaat bersamaan, para peneliti sedang menyelidiki cara lain untuk
mengkontrol populasi nyamuk. Salah satu caranya adalah penggunaan senyawa menyerupai
hormon yang menyebabkan nyamuk mati kelaparan, hingga dapat mengurangi populasinya hingga
dapat mengurangi penyebaran malaria.
Para peneliti lingkungan dan pakar wabah penyakit mulai mengamati serius dampak unsur
pengganggu itu sejak tiga dekade lalu. Mula-mula diketahui, racun pembunuh serangga yang amat
ampuh dan digunakan secara luas membasmi nyamuk malaria, yakni DDT
(dichlorodiphenytrichloroethane) memiliki dampak sampingan amat merugikan. DDT memiliki
sifat larut dalam lemak. Karena itu, residunya terus terbawa dalam rantai makanan, dan menumpuk
dalam jaringan lemak. Dari situ, sisa DDT mengalir melalui air susu ibu kepada anaknya, baik
pada manusia maupun pada binatang. Binatang pemangsa mendapat timbunan sisa DDT dari
binatang makanannya. Rantainya seolah tidak bisa diputus.
Pengamatan terhadap burung pemangsa menunjukkan, DDT menyebabkan banyak burung yang
memproduksi telur dengan kulit amat tipis, sehingga mudah pecah. Selain itu, terlepas dari tebal
tipisnya kulit telur, semakin banyak anak burung pemangsa yang lahir cacat. Penyebaran residu
DDT bahkan diamati sampai ke kawasan kutub utara dan selatan. Anjing laut di kutub utara,
banyak yang melahirkan anak yang cacat, atau mati pada saat dilahirkan. Penyebabnya
pencemaran racun serangga jenis DDT.
Diduga, residu DDT pada manusia juga berfungsi serupa, yakni menurunkan kemampuan
reproduksi. Atau menyebabkan cacat pada janin.
Biotoksin adalah racun yang terdapat pada biota atau makhluk hidup. Biotoksin yang terdapat pada
biota laut dikenal sebagai biotoksin laut (marine biotoxin). Biotoksin laut ini menyebabkan
sejumlah penyakit bawaan pangan yang berasal dari produk perikanan.

Produk perikanan yang berperan sebagai pembawa biotoksin adalah kekerangan dan ikan, yang
merupakan sumber pangan penting bagi manusia. Tetapi, sejatinya organisme yang menjadi
sumber dan memproduksi sebagian besar biotoksin adalah spesies alga laut mikro tertentu
(kecuali tetrodotoxin, racun yang dihasilkan oleh ikan buntal).

Sebenarnya, alga mikro dari lautan di dunia ini adalah pakan yang penting bagi kekerangan, larva
krustasea, dan ikan ekonomis penting lainnya. Dari 5.000 spesies alga mikro, sekitar 300 spesies
mampu berkembang dalam jumlah besar (blooming) sehingga dapat merubah warna permukaan
laut, yang disebut "red tide" (pasang merah).

Nah, diantara spesies alga laut mikro yang suka blooming ini, ada sekitar 75 spesies yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan racun yang kuat (disebut phycotoxin), melalui rangkaian rantai
makanan (moluska, krustasea, dan ikan), yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia sehingga
menyebabkan keracunan yang menimbulkan berbagai penyakit pencernaan dan neurologis.

Biotoksin Pada Kekerangan

Kekerangan merupakan organisme yang paling banyak membawa jenis biotoksin. Sampai saat ini,
diketahui ada lima jenis keracunan biotoksin yang disebabkan oleh kekerangan.

Pertama, yang paling berbahaya, yaitu keracunan kerang paralitik (Paralytic Shellfish
Poisoning/PSP). Disebabkan karena mengkonsumsi kerang yang mengandung racun saxitoxin dan
turunannya yang dihasilkan oleh dinoflagellata dari
genera Alexandrium, Gymnodinium dan Pyrodinium, baik dari perairan tropis maupun subtropis.

Racun diakumulasi oleh kerang didalam tubuhnya ketika memakan alga beracun, tetapi kerang itu
sendiri tahan terhadap efek berbahaya dari racun ini, dan menyimpan racun untuk periode waktu
tertentu tergantung jenis kerang. Ada yang hanya beracun dalam waktu singkat selama blooming,
ada yang dapat mempertahankan racun untuk waktu yang lama, bahkan bertahun-tahun.

PSP merupakan gangguan neurologis, dengan gejala-gejala kesemutan, bibir dan ujung jari terasa
terbakar atau mati rasa, ataksia (hilangnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot), mengantuk,
dan bicara ngawur. Dalam kasus yang parah, kematian dapat terjadi karena kelumpuhan
pernapasan. Gejalanya berkembang dalam 0,5-2 jam setelah mengkonsumsi kerang. Pada korban
yang dapat bertahan lebih dari 12 jam pada umumnya sembuh.

Kedua, keracunan kerang diaretik (Diarrhetic Shellfish Poisoning/DSP). Ribuan kasus gangguan
pencernaan yang disebabkan oleh keracunan kerang diaretik (DSP) telah dilaporkandi Eropa,
Jepang, dan Chile.
Dinoflagellata yang menghasilkan racun ini dari genus Dinophysis dan Aurocentrum.
Dinoflagellata ini tersebar luas, yang berarti penyakit ini juga bisa terjadi di bagian lain di dunia.

Penyerangan penyakit ini dalam waktu setengah sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi
kerang yang telah memakan alga beracun. Gejalanya berupa gangguan pencernaan (diare, mual,
muntah, sakit perut), dan korban sembuh dalam 3-4 hari. Sepanjang yang diketahui, tidak pernah
terjadi korban jiwa akibat keracunan ini.

Ketiga, keracunan kerang neurotoksik (Neurotoxic Shellfish Poisoning/NSP). Keracunan kerang


neurotoksik (NSP) terjadi pada orang yang mengkonsumsi kerang yang telah terkena "red tide"
dari dinoflagellata (Ptychodiscus breve).

Penyakit ini terbatas di Teluk Meksiko dan daerah lepas pantai Florida. Racunnya,
yaitu brevetoxin, sangat mematikan untuk ikan sehingga red tide dinoflagellata menyebabkan
kematian sejumlah besar ikan. Gejala NSP menyerupai PSP namun tidak terjadi kelumpuhan. NSP
jarang yang fatal.

Keempat, keracunan kerang amnesik (Amnesic Shellfish Poisoning/ASP). Keracunan kerang


amnesik (ASP) disebabkan oleh asam domoic, asam amino yang dihasilkan oleh diatom Nitzschia
pungens.

Gejala-gejala ASP sangat bervariasi seperti mual dan muntah, kehilangan keseimbangan, dan
defisit saraf pusat termasuk kebingungan dan kehilangan memori. Hilangnya memori jangka
pendek tampaknya permanen pada korban yang masih hidup, sehingga keracunan ini disebut
keracunan kerang amnesik.

Kelima, keracunan kerang azaspirasid (Azaspiracid Shellfish Poisoning/AZP). Meskipun


gejalanya menyerupai DSP, namun konsentrasi racun DSP-nya sangat rendah. Namun organisme
yang dikenal memproduksi racun DSP juga tidak ditemukan dalam sampel air yang dikumpulkan.

Informasi terakhir menyatakan bahwa Protoceratum crassipes yang termasuk dalam


genus Protoperidinium adalah dinoflagellata yang memproduksi AZP. Gejala pada korban serupa
dengan DSP, seperti mual, muntah, diare berat, dan kram perut.

Biotoksi Pada Ikan

Ada dua jenis keracunan biotoksin yang disebabkan oleh ikan, yaitu keracunan
ikan ciguatera (Ciguatera Fish Poisoning/CFP) dan keracunan tetrodotoxin dari ikan buntal.

Keracunan ciguatera, bahan racunnya adalah ciguatoxin (CTX), disebabkan mengkonsumsi ikan
yang menjadi beracun setelah memakan dinoflagellata beracun. Sumber utamanya adalah
dinoflagellata bentik Gambierdiscus toxicus, yang hidup di sekitar terumbu karang dan menempel
pada makroalga.

Peningkatan produksi dinoflagellata beracun terjadi ketika terumbu karang terganggu (badai,
peledakan terumbu, dll). Lebih dari 400 spesies ikan perairan tropis atau sub tropis, telah
dilaporkan menyebabkan ciguatera. Toksin terakumulasi pada ikan herbivora yang memakan
ganggang beracun, atau karnivora besar yang memangsa herbivora ini.

Gambaran klinis bervariasi, tapi waktu serangan adalah beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan
beracun. Organ yang terpengaruh adalah gastrointestinal dan sistem saraf (muntah, diare,
kesemutan, ataksia, kelemahan). Durasi penyakit 2-3 hari, tetapi ada yang bertahan selama
beberapa minggu atau bahkan bertahun-tahun dalam kasus yang parah. Kematian dapat terjadi
karena kolapnya peredaran darah. Tingkat kasus yang fatal sekitar 12%.

Tetrodotoxin (TTX) tidak seperti biotoksin lainnya, yang terakumulasi dalam ikan atau kerang
setelah memakan alga beracun, tetapi oleh berbagai jenis ikan buntal (fugu), yang merupakan
anggota yang paling beracun dari keluarga Tetraodontidae, walaupun tidak semua spesies dalam
keluarga ini beracun.

Mekanisme yang tepat bagaimana produksi toksin yang sangat kuat ini belum jelas, tetapi
tampaknya terjadi karena terlibatnya bakteri simbion. Bakteri laut mengkolonisasi usus dan lapisan
mucus kulit dari ikan fugu, dan menghasilkan tetrodotoxin yang kemudian disimpan oleh ikan
tersebut digonad, hati, dan usus. Jaringan otot ikan beracun biasanya bebas dari racun.

Oleh karena itu, jika penanganannya tidak dilakukan oleh orang yang ahli, maka bisa terjadi daging
ikan terkontaminasi oleh racun ini. Keracunan ikan buntal menyebabkan gejala neurologis 10-45
menit setelah mengkonsumsi. Gejalanya kesemutan di wajah, kelumpuhan, kesulitan pernapasan
dan kardiovaskular kolaps. Dalam kasus yang fatal kematian terjadi dalam waktu 6 jam.
Penyembuhan dapat diharapkan apabila korban tidak meninggal dalam waktu 24 jam.

Pencegahan dan Penanganan

Kontrol biotoksin laut sangatlah sulit, dan penyakit ini tidak dapat sepenuhnya dicegah. Seluruh
racunnya adalah non-protein alami dan sangat stabil (tahan panas). Jadi pemasakan, pengasapan,
pengeringan, pengasinan tidak menghancurkannya, dan dari penampilan daging ikan atau kerang,
kita tidak dapat mengenali apakah itu beracun atau tidak.

Upaya pencegahan utama adalah pemeriksaan dan pengambilan sampel dari daerah penangkapan
ikan dan habitat kerang, dan dianalisis untuk mengetahui adanya racun. Percobaan dengan tikus
sering digunakan untuk tujuan ini. Jika tingkat tinggi racun ditemukan, penangkapan komersial
harus dihentikan.

Tampaknya sulit untuk mengontrol komposisi fitoplankton, kemudian menghilangkan spesies


yang beracun, dan tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk memprediksi blooming spesies
beracun.

Sedangkan untuk pencegahan keracunan tetrodotoxin dari ikan buntal, satu-satunya cara adalah
dengan tidak mengkonsumsi spesies ikan buntal apapun. Belum ada obat penawar untuk keracunan
ikan buntal.
Keracunan kerang dan ikan merupakan keadaan darurat medis, sehingga korban harus segera
dibawa ke pusat medis darurat. Informasi penting yang perlu disiapkan adalah usia, berat badan,
jenis yang dikonsumsi, waktu mengkonsumsi, dan jumlah yang ditelan.

Kemungkinan bentuk penanganan di ruang darurat untuk keracunan kekerangan adalah pemberian
obat untuk menghentikan muntah, cairan infus untuk menggantikan cairan yang hilang karena
muntah dan diare.

Bila keracunannya adalah paralytic shellfish poisoning, mungkin harus dirawat di rumah sakit
sampai gejala membaik. Untuk keracunan ciguatera berupa pemberian obat untuk menghentikan
muntah, cairan infus dan obat untuk mengurangi gejala-gejala neurologis.

Sedangkan untuk keracunan tetrodotoxin penanganannya berupa pencucian perut, pemberian


karbon aktif (misalnya Norit), cairan infus, bantuan oksigen untuk pernapasan.

Anda mungkin juga menyukai