KIMIA TOKSIKOLOGI
DDT
(DICHLORODIPHENYLTRICHLOROETHANE)
DISUSUN KELOMPOK V :
BAIQ RIZKYA M.H
(G1C 012 )
HUJANI OLTANTIA
(G1C 012 )
(G1C 012 )
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kahadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan hidayahNya, kami dapat menyusun makalah ini sebagai tugas untuk Mata Kuliah Toksikologi Program
Studi
Kimia,
Fakultas
MIPA.
Makalah
ini
berisi
materi
mengenai
DDT
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................1
KATA PENGANTAR..........................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................3
BAB I: PENDAHULUAN.......................................................................................4
BAB II: PEMBAHASAN........................................................................................7
BAB III: PENUTUP ............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................33
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, air minum, air sungai, air sumur,
maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam
makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan. Aplikasi pestisida
dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin.
Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab
hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang
disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi,
dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran. Pencemaran pestisida yang diaplikasikan
di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam pengairan dan terus ke sungai dan
akhirnya ke laut. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh
aliran air irigasi. Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplanktonmikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh
mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang
mengambang di dalam air.
Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan
demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida,
menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan
mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton-zooplankton
tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan
tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar
yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang
mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.
Dari hasil penelitian terdapat bahwa endosulfan terdeteksi pada semua titik (1,2 - 12,9
ppb). Jenis organoklorin lain yang terdeteksi yaitu aldrin dan heptaklor di 12 titik, dieldrin di
9 titik, dan DDT di 10 titik. Endosulfan juga merupakan organoklorin dengan konsentrasi
rata-rata tertinggi (4,246 ppb). Pada musim hujan, jenis organoklorin yang paling banyak
ditemukan pada sampel ikan, air dan sedimen secara berurutan adalah endosulfan, DDT
(diklorodifeniltrikloroetana), aldrin, dieldrin dan heptaklor.
Sebagian besar petani masih menggunakan pestisida karena kemampuannya untuk
memberantas hama sangat efektif. Bahkan, penggunaan pestisida di Indonesia dari tahun ke
tahun terus meningkat. Menurut Atmawijaya, pada tahun 1985 diperkirakan menggunakan
4
10.000 ton pestisida, pada tahun 1991 meningkat menjadi 600.000 ton. Jumlah ini mencapai
5 % konsumsi dunia. Praktek pengendalian hama menggunakan insektisida organik sintetik
berkembang sejak Perang Dunia II yang di mulai dengan penggunaan DDT
(diklorodifeniltrikloroetana).
DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama
Paul Herman Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis
serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT
dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida jika dibandingkan
dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak
seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan maupun efek toksisitas yang ditimbulkan
bagi organism yang semakin meluas akibat pemakaian DDT.
Pada bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu
pakta Persatuan Bangsa Bangsa untuk melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan 11
bahan kimia lainnya secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan negara-negara
industri lain menyetujui pelarangan ini karena bahan-bahan kimia ini adalah senyawa kimia
yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan merusak ekosistem
alami dan memasuki rantai makanan manusia. Namun banyak negara tidak setuju dengan
pelarangan DDT secara global karena DDT digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab
malaria. Malaria timbul di 90 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan
penyebab
kematian
dalam
jumlah
besar
terutama
daerah
ekuatorial
Afrika.
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat
malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu efektif
dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa insektisida
menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya.
Untuk itu, perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai Adsorbsi Distribusi
Metabolisme Ekskresi DDT apabila masuk kedalam tubuh manusia, selain itu juga perlu
diketahui nilai ambang batas DDT yang masih bisa ditoleransi oleh tubuh manusia. Apabila
jumlahnya telah terakumulasi dalam jumlah banyak atau melewati nilai Kadar Toksik
Minimal (KTM), maka DDT dikatagorikan sebagai toksikan dalam tubuh manusia. Untuk itu
perlu diketahui bagaimana metode antidotum DDT yang akan dibahas dalam makalah ini.
mengenai dampak negative penggunaan DDT, ADME, Uji Toksisitas untuk mengetahui nilai
ambang batas dan cara terapi antidotum yang sesuai untuk DDT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sifat Fisik dan Kimia DDT
DDT (diklorodifeniltrikloroetana) termasuk ke dalam kelas kimia alifatik difenil, yang
berarti terdiri dari alifatik/rantai karbon yang lurus, dengan dua (di-) rantai fenil yang
melekat dengan rumus struktur (ClC6H4)2CHCCl3. DDT murni berwarna putih dan akan cair
pada suhu 90C. Sangat stabil karena tidak mudah dipengaruhi oleh adanya cahaya. Senyawa
DDT tidak larut dalam air (>1ppm) tetapi larut dalam pelarut organik yaitu minyak petrol.
DDT sangat persisten, artinya bahan aktifnya dapat bertahan lama baik di tanah, air, jaringan
6
hewan, maupun tumbuhan. Tidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas, maupun
cahaya ultra violet. Tahan terhadap asam keras dan oksidasi terhadap asam permanganate.
Dari segi insektisida, senyawa dengan sifat-sifat ini adalah yang paling baik karena dapat
memberantas lalat nyamuk, tuma, pinjal, dan kutu busuk.Tetapi tidak baik dalam segi
lingkungan. Toksikologi DDT termasuk dalam kategori toksik sederhana.
nama
yang
DDT
telah
dipasarkan
antara
lain,
anofex,
cezarex,
Distribusi
DDT bersifat nonsistemik yaitu tidak diserap oleh jaringan tetapi hanya
menempel pada bagian luar sel. DDT bersifat lipofilik dan karenanya terdapat pada
cairan tubuh yang berlemak termasuk susu. Setelah DDT diabsorbsi, jaringan
lipoprotein dalam darah akan melarutkannya dan membawa ke sisitem sirkulasi organ
tubuh, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif. Apabila
kita terpejan oleh DDT dalam waktu yang relative lama, dimana DDT bersifat
sangkat sukar terurai di lingkungan, maka akan terjadi penyerapan DDT dari
lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama.
2.1.3
Metabolisme
DDT secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan
tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat mengganggu
susunan syaraf. DDT sangat membahayakan bagi kehidupan maupun lingkungan,
karena meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan
melalui rantai makanan. Di dalam tubuh, DDT diubah menjadi beberapa
metabolitnya,
seperi
DDE
(dichlorodiphenyldichloroethylen),
DDD
Cl
Cl
H
Cl
Cl
Cl
H
Cl
Cl
DDT
H
Cl
DDD
HO
Cl
DDMS
O
CH3
H
Cl
DDA
H
Cl
Cl
DDNS
Eliminasi
Hasil metabolisme DDT tersebut secara perlahan dikeluarkan dari dalam
tubuh sekitar 1% dari jumlah DDT yang tersimpan dalam tubuh. Ketika cadangan
lemak digunakan saat kelaparan, produk metabolit dari DDT dilepaskan ke dalam
darah, di mana metabolit tersebut dapat menyebabkan efek toksik pada hati dan
11
sistem saraf. Setelah DDT terakumulasi di dalam tubuh, DDT dapat diekskresikan
melalui urin, feses atau ASI. DDT bersifat lipofilik dan karenanya terdapat pada
cairan tubuh yang berlemak termasuk susu. Meskipun asupan DDT per hari pada
ibu 0,5 mg/kg, bayi yang disusuinya mungkin mendapat asupan sebesar 11,2 mg/kg.
Pembesaran ini berasal dari fakta bahwa DDT tersimpan dalam tubuh manusia pada
tingkat asupan harian kronik 10-20 kali lipat dan bayi itu pada dasarnya hanya
mengkonsumsi susu saja. Paparan terhadap DDT dapat diukur dalam darah dan
lemak. Pengukuran konsentrasi DDT dalam ASI sering digunakan dalam
pengukuran paparan DDT dalam suatu populasi (National Pesticide Information
Center, 2000).
2.3 Toksikologi DDT
DDT merupakan pestisida organoklorin yang masuk dalam kategori Persisten Organic
Pollutants (POPs) yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan
manusia dan lingkungan karena bahan kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan
merusak susunan saraf (baik sentral ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem
endokrin yang menyebabkan kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang
terjadi pada mahluk hidup, termasuk janin.
Karakteristik POPs yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman & Tynan
(Dalam Warlina, 2009),adalah:
a. Terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap dalam
lingkungan untuk waktu yang lama.
b. Masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga sukar
larut dalam air.
c. Dapat terbawa jauh melalui udara dan air.
Potensi DDT sebagai penyebab kanker payudara
Menurut pengamatan tim yang diketuai oleh Jean-Pierre Bourguignon dari University
of Liege, Belgia, anak-anak imigran dari berbagai negara berkembang mempunyai
kemungkinan 80 kali lebih besar untuk memasuki masa puber dalam usia yang sangat muda.
Selain itu, juga ditemukan bahwa tiga perempat di antara remaja ini mempunyai derivatif
kimia DDT yang kadarnya sangat tinggi dalam darah.
Penyebab pubertas dini ini ialah bahwa bahan kimia DDT sendiri, DDT mempunyai
efek yang mirip dengan hormon estrogen. Hormon ini diketahui sangat berperan dalam
12
mengatur perkembangan seks wanita. Anak-anak remaja dalam studi yang muncul dalam
majalah New Scientist ini mulai mengalami pertumbuhan payudara pada usia delapan tahun.
Sedangkan masa haid mereka mulai muncul sebelum memasuki usia 10 tahun. Tim ini
menemukan bahwa anak-anak imigran yang datang ke negara-negara Eropa lainnya juga
lebih cenderung mengalami masa puber dini. Mereka yakin, ini tidak mungkin terjadi akibat
konsumsi makanan yang lebih bergizi.
Peneliti ini mengetahuinya setelah melakukan tes berbagai jenis pestisida dalam darah
anak-anak tersebut. Ternyata, sebanyak 21 orang dari 26 anak-anak imigran yang mengalami
pubertas dini mempunyai kadar DDE yang sangat tinggi dalam darahnya. Sebagai
perbandingan, zat kimia ini hanya ditemukan dalam darah dua orang dari 15 anak-anak asli
Belgia.
Sejauh ini, masalah-masalah kronis yang timbul akibat DDT adalah kanker dan
gangguan reproduksi. Zat kimia ini dapat merusak sel dan juga sistem endokrin. Substansi
yang sangat mengganggu ini masuk ke tubuh manusia biasanya lewat makanan yang
dikonsumsi.
Karena itu, para pakar makin diyakinkan bahwa kecurigaan terhadap kemungkinan
gangguan pestisida terhadap hormon seks adalah benar. Efeknya pun sangat merugikan
dalam jangka panjang. Mereka pun mendesak agar dilakukan pelarangan terhadap setiap
pestisida yang dapat mengganggu hormon.
Di Uni Eropa dan Amerika Serikat sendiri, penggunaan DDT telah dilarang sejak
puluhan tahun lalu. Namun, zat kimia ini masih saja digunakan di negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk Indonesia. Terutama, pestisida ini dipakai untuk membasmi malaria.
Sebenarnya, studi ini hanya mempertegas efek negatif DDT terhadap hormon wanita.
Sebuah studi pernah dilakukan selama tiga tahun di Amerika Serikat 20 tahun lalu terhadap
ibu-ibu hamil. Ternyata, kandungan DDT yang sangat tinggi dalam darah dan air susu ibuibu ini menyebabkan anak-anak mereka lebih cepat dewasa secara seksual.
2.4 Pengujian Lethal Dosis (LD50)
Toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk menciderai
suatu organisme hidup. Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis atau pemberian
yang salah. Interaksi racun dan sel tubuh dapat bersifat reversible atau irreversible (Imono
2001). Menurut Siswandono dan Bambang (1995) obat merupakan zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup suatu organisme. Setiap obat pada dasarnya adalah racun.
13
Keracunan dapat terjadi karena dosis dan cara pemberian yang salah (Siswandono dan
Bambang 1995).
Uji toksisitas meliputi berbagai pengujian yang dirancang untuk mengevaluasi
keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan percobaan. Pengujian toksisitas meliputi
pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji
potensiasi, uji kekarsinogenikan, uji kemutagenikan, uji keteratogenikan, uji reproduksi, kulit
dan mata, serta perilaku.
Pengujian LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan
terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dengan takaran tertentu. Pada pengujian
toksisitas akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan yang dapat menyebabkan kematian
hewan percobaan. Gejala ketoksikan yang timbul berbeda dalam tingkat kesakitan pada
hewan (Connel dan Miller 1995) . Menurut Environmental Protection Agency (EPA 2002),
LD50 digunakan untuk mengetahui kematian 50% hewan percobaan dalam 24-96 jam.
Pengaruh LD50 secara umum diukur menggunakan dosis bertingkat. Dosis bertingkat terdiri
dari kelompok kontrol dan beberapa tingkat dosis yang berbeda. Toksisitas akut dilakukan
untuk mengetahui respon hewan percobaan terhadap dosis yang diberikan.
Penghitungan LD50 didasarkan pada jumlah kematian hewan percobaan. Pengamatan
hewan percobaan dilakukan selama 24 jam. Pada kasus tertentu sampai 7-24 hari (Donatus
1998). Kisaran tingkat dosis yang digunakan yaitu dosis terendah yang hampir tidak
mematikan seluruh hewan percobaan dan dosis tertinggi yang dapat menyebabkan kematian
seluruh atau hampir seluruh hewan percobaan. Setiap hewan percobaan akan memberikan
reaksi yang berbeda pada dosis tertentu. Perbedaan reaksi akibat pemberian suatu zat
diakibatkan oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan (Guyton dan Hall 2002).
Kisaran nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu zat. Semakin
besar kisaran LD50 semakin besar pula kisaran toksisitasnya. Letal Dosis (LD50) dapat
dihubungkan dengan Efektif Dosis (ED50) yaitu dosis yang secara terapeutik efektif
terhadap 50% dari sekelompok hewan percobaan. Hubungan tersebut dapat berupa
perbandingan antara LD50 dengan ED50 yang disebut Indeks Terapeutik (IT). Makin besar
indeks terapeutik suatu obat makin aman obat tersebut (Mutschler 1991). Selanjutnya
klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995) dapat disajikan pada Tabel.
Tabel Klasifikasi Toksisitas Menurut Lu (1995).
14
15
Penetuan dosis dalam pengujian LD50 dapat didasarkan pada berat badan. Pada
spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda
pula. Semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar
(Mutschler 1991).
e. Cara Pemberian
Letal dosis dipengaruhi juga oleh cara pemberian. Pemberian obat melalui suatu
cara yang berbeda pada spesies yang sama akan memberikan hasil yang berbeda. Menurut
Siswandono dan Bambang (1995) pemberian obat peroral tidak langsung didistribusikan
ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh
setelah terjadi proses penyerapan di saluran cerna. Sehingga mempengaruhi kecepatan
metabolisme suatu zat di dalam tubuh (Mutschler 1991).
f. Kesehatan Hewan
Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu toksikan.
Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan lingkungan. Hewan yang
tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda dibandingkan dengan nilai LD50
yang didapatkan dari hewan sehat (Siswandono dan Bambang 1995).
g. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain
temperatur, kelembaban, iklim, dan perbedaan siang dan malam. Perbedaan temperature
suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan.
h. Diet
Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50. Komposisi
makanan akan mempengarui status kesehatan hewan percobaan. Defisiensi zat makanan
tertentu dapat mempengaruhi nilai LD50 (Balls et al 1991).
2.4.1
memperoleh hasil yang lebih teliti. Beberapa tingkat dosis harus ditentukan terlebih
dahulu. Pengamatan dilakukan 24 jam setelah perlakuan dan ditentukan persen
kematian setiap kelompok. Antara log dosis dan persen kematian dihubungkan
sehingga didapatkan grafik yang berbentuk sigmoid. Nilai LD50 didapatkan dengan
cara menarik garis dari angka 50% pada sumbu Y dan diplotkan pada sumbu X. Titik
potong pada absis merupakan LD50 yang ditentukan.
2. Metode Perhitungan dengan Cara Grafik Miller dan Tainter
Metode perhitungan Miller dan Tainter mulai digunakan pada tahun 1944.
Metode Miller dan Tainter merupakan metoda yang paling umum dipakai dalam
perhitungan efektif dosis (Anonimous 2006). Perhitungan LD50 berdasarkan metode
ini memerlukan kertas probit logaritma. Skala yang digunakan adalah skala logaritma
dan skala probit. Skala logaritma digunakan pada absis sebelah kanan sedangkan skala
probit digunakan pada ordinat sebelah kiri. Skala dibuat dalam skala persen yang setara
dengan skala probit atau nilai persen dapat dilihat di dalam tabel probit.
3. Metode Aritmatik Reed dan Muench
Metode ini menggunakan nilai-nilai kumulatif. Asumsi yang dipakai bahwa
kematian seekor hewan akibat dosis tertentu akan mengalami kematian juga oleh dosis
yang lebih besar dan hewan bertahan hidup pada dosis tertentu juga akan tetap
bertahan hidup pada dosis yang lebih rendah. Kematian kumulatif diperoleh dengan
menambahkan secara suksesif ke bawah dan hidup kumulatif diperoleh dengan
menambahkan secara suksesif ke atas. Persen hidup dari dosis-dosis yang berdekatan
dengan LD50 dihitung. Penetuan LD50 didapatkan berdasarkan persamaan berikut:
17
4. Metode Karber
Metode Karber mulai digunakan pada tahun 1931 (Anonimous 2006). Perhitungan
nilai LD50 berdasarkan metode Karber menggunakan rata-rata dari jumlah kematian
hewan pada tiap kelompok dan perbedaan antar dosis untuk interval yang sama. Hasilhasil
dari dosis yang lebih besar dari dosis yang menyebabkan kematian seluruh hewan dalam
sekelompok dosis dan dosis yang lebih rendah yang dapat ditolerir oleh seluruh hewan
dalam suatu kelompok, tidak digunakan. Jumlah perkalian diperoleh dari hasil kali beda
dosis dengan rata-rata kematian pada interval yang sama. Nilai LD50, didapatkan dari
dosis terkecil yang menyebabkan kematian seluruh hewan dalam satu kelompok,
dikurangi dengan jumlah perkalian dibagi jumlah hewan dalam tiap kelompok. Apabila
dijabarkan dalam bentuk rumus adalah seperti berikut.
Rumus :
LD 50 = a (b/c)
Dimana :
a = Dosis terkecil yang menyebabkan kematian tertinggi dalam satu kelompok dosis
b = Jumlah perkalian antara beda dosis dengan rata-rata kematian pada interval sama.
c = Jumlah hewan dalam satu kelompok.
5. Metode Perhitungan Secara Grafik Litchfield dan Wilcoxon
Metode Litchfield dan Wilcoxon mulai digunakan pada tahun 1949. Metode ini
merupakan salah satu metode yang sering dipakai dalam penetuan efektif dosis
(Anonimous 2006). Metode ini terdiri dari tingkat data dan range data dosis yang
digunakan. Tingkat data akan dibandingkan dengan suatu nilai untuk melihat diterima
atau tidaknya hipotesis yang digunakan (EPA 2002). Metode ini menggunakan banyak
tabel dan beberapa monogram. Heterogenitas data ditentukan dengan uji chi kuadrat.
6. Metode Thomson dan Weil
Metode Thomson dan Weil mulai digunakan pada tahun 1952. Metode Thomson
dan Weil memiliki kelebihan dari pada metode-metode sebelumnya. Metode Thomson
18
dan Weil mempunyai tingkat kepercayaan yang cukup tinggi (Anonimous 2006). Metode
ini merupakan metode yang sering digunakan karena tidak memerlukan hewan percobaan
yang cukup banyak. Perhitungan LD50 tidak menggunakan kertas probit logaritma. Uji
heterogenitas data tidak dilakukan dalam metode Thomson dan Weil (Anonimous 2006).
Metode ini menggunakan daftar perhitungan LD50 sehingga hasil lebih akurat. Bentuk
rumus dari metode Thomson dan Weil adalah sebagai berikut
Log LD50 = Log D + d (f + 1)
Keterangan :
D = dosis terkecil yang digunakan
d = logaritma kelipatan
f = suatu faktor pada daftar perhitungan LD50 Weil (1952), dimana
r adalah jumlah kematian hewan dalam satu kelompok uji
n adalah jumlah hewan percobaan per kelompok
k adalah jumlah hewan percobaan -1
Kisaran nilai LD50 dihitung dengan rumus
Log kisaran = Log LD50 2 d f
Dimana f = suatu nilai pada tabel yang tergantung pada nilai n dan k
7. Cara Farmakope Indonesia
Menurut Farmakope Indonesia III penelitian toksisitas akut harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1) Menggunakan seri dosis dengan pengenceran berkelipatan tetap.
2) Jumlah hewan percobaan atau jumlah biakan jaringan tiap kelompok harus sama.
3) Dosis diatur sedemikikan rupa, sehingga memberikan efek dari 0% sampai 100%.
Nilai LD50 dapat dihitung dengan rumus:
m = a b (pi 0,5 )
m = log LD50
keterangan :
a = logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan kematian 100% tiap kelompok.
b = beda logaritma dosis yang berurutan.
pi = jumlah hewan yang mati yang menerima dosis i dibagi dengan jumlah hewan
seluruhnya yang menerima dosis i.
19
kolompok terdiri dari 4 ekor kellinci. Sedian Kristal DDT diberikan dengan dosis :
Dosis I : 500 mg/kg BB
Dosis II : 1000 mg/kg BB
Dosis III : 2000 mg/kg BB
Dosis IV : 4000 mg/kg BB.
Semua diberikan secara stomach tube. Sebelum diberikan bahan uji, mencit
diamati perilakunya dan setelah pemberian juga diamati prilakunya. Efek yang
diamati setelah pemberian meliputi : pengamatan fisik terhadap gejala klinis,
jumlah hewan yang mati dan hispatologi seluruh organ (warna). Data kelinci yang
mati diambil hingga 24 jam setelah pemberian sediaan. Kelinci yang bertahan
hidup diamati sampai hari ke-14. Bila sampai batas volume maksimum tidak
menimbulkan kematian hewan uji, maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan
sebagai LD50 semu.
5. Analisa Data
20
Nilai f
berdasa
rkan
jumlah
kelinci
yangma
ti (r)
2.4.3
Hasil Analisis
Mortalitas
Kelompo
Dosis
Hewan
keterangan
k
I
II
500 mg/kg BB
1000 mg/kg
kelompok
4
4
mati
0
0
III
BB
2000 mg/kg
Mati pada
BB
IV
4000 mg/kg
BB
V
ke-13
Mati pada
hari ke-7 dan
Control (-)
4
Log LD50
= log Do + d (f + 1)
ke-12
-
Berdasarkan hasil pengamatan dan anlisis data diperoleh LD 50 DDT sebesar 1949,
8446 mg/kg BB.
DDT sangat stabil baik di air, di tanah, dalam jaringan tanaman dan hewan. DDT
merupakan racun non sistemik, racun kontak dan racun perut serta sangan persisten di
lingkungan . LD50 terhadap tikus 113-118, mencit 150-300, kelinci 300, anjing 500700, dan kambing > 1000 mg/kg berat badan, sedangkan NOEL DDT 35 mg/orang/hari
(sekitar 0,5 mg/kg berat badan). NOEL adalah konsentrasi atau dosis terbesar suatu zat
kimia yang dapat menimbulkan efek buruk yang tidak teramati dalam sebuah populasi
uji. NOEL merupakan landasan pengkajian resiko dan merupakan dasar untuk
menetapkan dosis paparan pada manusia yang masih dapat ditoleransi oleh kesehatan.
2.5 Terapi Antidotum
Antidotum adalah penawar racun, sedangkan antitoksik adalah penawar terhadap zat yang
beracun (toksik) terhadap tubuh. Antidotum lebih difokuskan terhadap over dosis atau dosis
toksik dari suatu obat. Kondisi suatu obat dapat menimbulkan keracunan bila digunakan
melebihi dosis amannya. Selain itu, perbedaan metabolisme tubuh setiap orang terhadap
dosis obat juga mempengaruhi. Obat dapat menjadi racun bila dikonsumsi dalam dosis
berlebihan. Dalam hal ini, obat tidak akan menyembuhkan melainkan berbahaya. Umumnya
akan timbul efek sampingnya.
22
Praktisi kesehatan seperti dokter dan apoteker harus berhati-hati dalam memilih dosis obat
yang sesuai dengan kondisi penderita. Obat yang sama dapat diberikan dalam dosis yang
berbeda kepada bayi, anak-anak, dewasa dan usia lanjut. Hal ini disebabkan perbedaan
kesempurnaan pembentukan organ-organ tubuh terutama hati dalam tiga jenis manusia
tersebut.
Pengobatan terhadap keracunan obat yang umum untuk keracunan yang terjadi kurang
dari 24 jam yaitu dengan membilas lambung bila obat baru ditelan, memuntahkan obat
sampai tindakan khusus untuk mempercepat pengeluaran obat dari tubuh. Setelah bilas
lambung, karbon aktif dan suatu pencahar perlu diberikan. Pada keracunan yang parah
dibutuhkan antidotum yang memang terbukti menolong terhadap efek keracunan obat
tertentu, misal asam Folinat untuk keracunan metotrexat.
Nalokson, atropin, chelating agent, natrium tiosulfat, metilen biru merupakan antidotum
spesifik yang sangat ampuh dan sering menimbulkan reaksi pengobatan yang dramatis.
Namun, sebagian terbesar kasus keracunan harus dipuaskan dengan pengobatan gejalanya
saja, dan inipun hanya untuk menjaga fungsi vital tubuh, yaitu pernafasan dan sirkulasi
darah. Racun akan didetoksikasi oleh hepar secara alamiah dan racun atau metabolitnya akan
diekskresi melalui ginjal dan hati. Selama keracunan hanya perlu dipertahankan pernapasan
dan sistem kardiovaskuler (fungsi vital).
2.5.1
Zat Antitoksik
Saat ini manusia sering terkena zat-zat toksik baik dari makanan, air dan
lingkungan. Di rumah pun bukan berarti tidak berbahaya karena masih ada kemungkinan
keracunan insektisida maupun herbisida. Tergantung dari sifat yang dimiliki oleh zat
toksik tersebut, sehingga bisa terserap melalui lambung, usus, paru-paru dan atau kulit.
Untungnya, hati (liver) memiliki kemampuan mendetoksifikasi zat-zat toksik
tersebut sehingga dapat dikeluarkan melalui urine, empedu dan udara. Namun, apabila
kecepatan penyerapan melebihi kecepatan ekskresinya, zat toksik itu akan menumpuk
dalam konsentrasi kritis dan mengakibatkan munculnya efek toksik dari zat tersebut.
23
Zat-zat tosik seperti sulfida, arsenik, logam berat dapat masuk ke dalam tubuh dan
menyebabkan
efek
keracunan.
Untuk
itu,
dibutuhkan
zat
antitoksik
seperti
26
atau simetidin.
d. Penaikkan ambang toksik
Prinsipnya: memperbaiki kondisi tubuh dan daya tahan pasien. Dapat dilakukan
dengan cara:
Pemeliharaan oksigen darah (bantuan pernafasan)
Pemeliharaan sirkulasi darah
Pemeliharaan sirkulasi elektrolit dengan pemberian infuse kristaloid
Pemeliharaan fungsi organ
2. Metode Khas
Hanya dapat dilakukan jika zat beracun diketahui dengan pasti dan anti dot-nya
tersedia. Strateginya antara lain:
a. Pergeseran kurva absorbsi ke arah kanan
Lakukan khelat sehingga ukuran molekul menjadi lebih besar dan sulit
diabsorbsi. Misalnya:
Keracuan besi (Ferri, valensi 3), berikan sodium bicarbonate sehingga
oksidasi
Keracunan fluoride (misalnya dalam pasta gigi), berikan kalsium laktat
hepatotoksik
Konvulsi diazepam 10 mg IV perlahan
Belum berhasil : blokade neuromuskuler
Tremor : Na fenobarbital 100 mg sc/ jam ad 0,5 gr atau terkendali
Jangan diberi stimulan (epinefrin) fibrilasi ventrikuler
Fisostigmin
Yaitu untuk aktivitas kholinomimetik digunakan :
untuk pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis.
Untuk antidotum yaitu pengobatan toksisitas ingesti dari substansi
antikholinergik.
28
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. DDT merupakan pestisida golongan organoklorin yang secara kimiawi bersifat stabil
sehingga lama terurai.
2. DDT tidak terdapat secara alami, tapi diproduksi oleh reaksi antara chloral
(CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl) dengan penambahan asam sulfat, yang
bertindak sebagai katalis.
29
3. DDT dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur pemaparan dermal, inhalasi dan
ingesti.
4. Uji toksisitas DDT dapat dilkukan dengan menggunakan hewan uji kelinci dengan
variasi dosis.
5. LD50 DDT pada kelinci 300 mg/kg BB, dan berdasarkan perhitungan dengan metode
Thompson-Weil diperoleh LD50 sebesar 1949,8446 mg/kg BB.
6. NOAEL (no observed adverse effect level) DDT 35 mg/orang/hari (sekitar 0,5
mg/kg berat badan).
7. Terapi antidotum dapat dilakukan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia
atau menyembuhkannya sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya
yang berlanjut.
B. SARAN
Sebaiknya pemakaian DDT di kurangi karena dapat menyebabkan berbagai efek
toksik pada manusia, hewan, dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
http://metode1.blogspot.com/2013/06/sifat-kimiawi-dan-fisik-ddt.html. Diakses pada tanggal 28
Mei 2015 pukul 11.30 WITA.
http://www.atsdr.cdc.gov/toxguides/toxguide-185.pdf. Diakses pada tanggal 28 Mei 2015 pukul
11.00 WITA.
http://www.cdc.gov/biomonitoring/pdf/DDT_FactSheet.pdf. Diakses pada tanggal 15 Mei 2015
pukul 11.00 WITA.
http://en.wikipedia.org/wiki/Dichlorodiphenyldichloroethane. Diakses pada tanggal 21 Mei 2015
pukul 12.00 WITA.
30
31