Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

“DDT (DICHLORO DIPHENYL TRICHLOROETHANE)”

DISUSUN OLEH

NADA PIRMA SARI L1B115013


NANDA GASUKA L1B115032
HANA MARINTAN S SIMARMATA L1B116045

DOSEN PEMBIMBING
ZULI RODHIYAH S.Si., M.T
Prof. Dr. Dra. ASNI JOHARI, M.Si

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu masalah lingkungan hidup yang berkaitan dengan farmakologi
adalah penggunaan pestisida. Tidak bisa dipungkiri bahwa pestisida adalah salah
satu hasil teknologi modern dan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Pestisida merupakan zat kimia serta jasad renik dan virus
yang digunakan membunuh hama dan penyakit. Penggunaannya meliputi sektor
perikanan, perkebunan dan pertanian tanaman pangan yang menangani komoditi
padi, palawija, dan hortikultura (sayuran, buah-buahan dan tanaman hias ).
Sebagian besar petani masih menggunakan pestisida karena kemampuannya
untuk memberantas hama sangat efektif. Bahkan, penggunaan pestisida di
Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut Atmawijaya, pada tahun
1985 diperkirakan menggunakan 10.000 ton pestisida, pada tahun 1991 meningkat
menjadi 600.000 ton. Jumlah ini mencapai 5% konsumsi dunia. Praktek
pengendalian hama menggunakan insektisida organik sintetik berkembang sejak
Perang Dunia II yang di mulai dengan penggunaan DDT.
DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan
bernama Paul Herman Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka
hampir semua jenis serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf
mereka. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai alternatif murah dan aman
sebagai jenis insektisida jika dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya
yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari
kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT .
Karena bahan-bahan kimia yang terkandung dalam DDT adalah senyawa
kimia yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan
merusak ekosistem alami dan memasuki rantai makanan manusia maka dilakukan
penyusunan makalah ini agar dapat diambil suatu tindakan yang dapat mencegah
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh DDT tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah dalam
penulisan makalah ini, yaitu:
1. Apa itu DDT?
2. Bagaimana sejarah penggunaan DDT?
3. Apa dampak penggunaan DDT terhadap makhluk hidup sebagai pestisida?
4. Bagaimana upaya penanggulangan DDT?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Menjelaskan deskripsi singkat DDT
2. Menjelaskan sejarah penggunaan DDT
3. Menginformasikan dampak penggunaan DDT terhadap mahluk hidup sebagai
pestisida
4. Mengetahui upaya penanggulangan terhadap DDT

1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui tentang DDT
2. Mengetahui sejarah penggunaan DDT
3. Mengetahui dampak penggunaan DDT terhadap mahluk hidup sebagai
pestisida
4. Mengetahui upaya penanggulangan DDT
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi DDT

DDT atau Dichloro Diphenyl Trichloroethane merupakan senyawa yang


digunakan untuk mengendalikan populasi serangga umumnya pada iklim panas.
DDT adalah organoklorin, mirip struktur pada methoxychlor insektisida dan
dicofol acaricide. DDT sangat hidrofobik, tidak berwarna, padat kristalin dengan
bau, lemah kimia. DDT hampir tidak larut dalam air tetapi memiliki kelarutan
yang baik dalam pelarut organik kebanyakan, lemak, dan minyak. DDT tidak
terjadi secara alami, tapi diproduksi oleh reaksi chloral (CCl3CHO) dengan
chlorobenzene (C6H5Cl) dengan adanya asam sulfat, yang bertindak sebagai
katalis. Perdagangan nama yang DDT telah dipasarkan dengan meliputi: Anofex,
Cezarex, Chlorophenothane, Clofenotane, Dicophane, Dinocide, Gesarol,
Guesapon, Guesarol, Gyron, Ixodex, Neocid, Neocidol, dan Zerdane.

2.1.1 Sifat Kimiawi dan Fisik DDT

Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2, 2-bis-


(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichloro Diphenyl
Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan menyampurkan chloralhydrate dengan
chlorobenzene.

Gambar 2.1 Rumus struktur dan molekul DDT


DDT secara teknis terdiri atas campuran tiga bentuk isomer DDT (65-
80%), dan dalam jumlah yang kecil sebagai pencemar juga terkandung DDE dan
DDD. DDT berupa tepung kristal putih tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya
sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air,
tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhasap asam permanganat. oleh
karena itu tidak baik menggunakan insektisida ini di tempat pemeliharaan sapi
perah. Daya bunuhnya besar, tidak terlalu toksik untuk mamalia dan bersifat serba
guna (all purpose insecticide).
DDT termasuk kelompok insektisida yang disebut seri DDT (DDT series),
bersama-sama dengan DDD (Dikloro-Difenil-Dikloroetan), Metoksiklor, DMC
(Di-Metil-Karbinol) dan Klorobenzilat. DDT digunakan untuk pemberantasan
lalat, nyamuk, tuma, pinjal dan kutu busuk. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
pada tahun 1954 Anopheles sundaicus telah dilaporkan resisten terhadap DDT dan
pada tahun 1962 Anopheles aconitus juga dilaporkan resisten terhadap DDT.

2.1.2 Toksikologi DDT

Cyclodien (subgroup organoklorin) mengikat y-aminobutyric acid


(GABA) reseptor dalam chloride channel dari neuron. Organoklorin (DDT dan
analognya) serta pyrethroid mengikat sodium channel dari membran syaraf dan
mengganggu impuls ke axon. DDT pada serangga dan mamalia merusak
keseimbangan ion-ion Na dan K pada akson yang mencegah transmisi impuls
saraf secara normal. Keracunan DDT menyebabkan kejang otot (“DDT” jitter)
yang diikuti konvulsi dan kematian. DDT memiliki korelasi negatif terhadap suhu,
yaitu semakin rendah suhu lingkungan semakin meningkat daya racunnya
terhadap serangga (Harsoyo, dkk 2006).
Keracunan DDT menimbulkan repetitive discharge (pembuangan muatan
yang berulang-ulang), yang menunjukkan bahwa pada serangga yang keracunan
DDT terjadi gangguan dalam rekalsifikasi permukaan membrane akson.
Rekalsifikasi ini diperlukan untuk memulihkan potensial istirahat yang normal
pada membrane akson setelah satu rangsangan (dari depolarisasi ke repolarisasi).
Sifat DDT yang berafinitas dengan kolesterol pada membrane (yang lipoid)
dianggap mengurangi permeabilitas membran untuk ion-ion Ca2+. Pada
insektisida-insektisida analog DDT yang juga lipofilik, dan dalam keadaan tidak
ada ion Ca2+ pada medium eksternal, tidak timbul fenomena repetitive discharge.
Gejala elektrofisiologi lainnya pada keracunan DDT adalah respons pasca-
potensial yang lebih lama (prolongation of afterpotential). Jika pasca potensial
negatif ditingkatkan sampai tahap tertentu maka dengan satu stimulus akan terjadi
repetitive discharge.
Dengan demikian disimpulkan bahwa DDT mempengaruhi derajat
penghantaran, tahanan dan kapasitas membran akson, dengan menghambat
pengikatan Ca2+ yang bekerja dengan ATP, atau menghambat Ca-ATPase pada
membran akson sehingga terjadi tandatanda hipoklasemik (kekurangan Ca).
karena ATP merupakan sumber energi utama dalam mekanisme pemompaan
CaNa pada membrane akson (aksolema) maka keracunan DDT dapat
menyebabkan gangguan pada mekanisme penghantaran rangsangan.

2.1.3 Bahaya Penggunaan DDT

Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun,


bahkan mungkin sampai 100 tahun atau lebih), bertahan dalam lingkungan hidup
sambil meracuni ekosistem tanpa dapat didegradasi secara fisik maupun biologis,
sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat
buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT. Pengaruh buruk DDT
terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun
1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di
Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari
makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. DDT
menyebabkan cangkang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika
dieram.
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap
lingkungan hidup adalah:
a. Sifat kelarutan DDT: ia tidak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak.
Makin larut suatu insektisida dalam lemak semakin mudah DDT menembus
kulit.
b. Sifat DDT yang sangat stabil dan sangat sukar terurai sehingga cenderung
bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui
bahan lemak jaringan mahluk hidup.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di
dalam tanah, bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel
tanah. Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke 3 dari polutan
organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants, POP), yang memiliki sifat-
sifat berikut:
a. Tak terurai melalui penguraian cahaya, biologis maupun secara kimia
b. Berhalogen (biasanya klor)
c. Daya larut dalam air sangat rendah
d. Sangat larut dalam lemak
e. Mudah menguap
f. Di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh
g. Terakumulasi dalam tubuh
h. Daya racun meningkat sepanjang rantai makanan

2.1.4 Mekanisme Pencemaran DDT

Mekanisme pencemaran dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun


komponen kimia ini sudah dibuat sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya
pengaruh racunnya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan
serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan target toksisitas
tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya tidaklah
nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan
keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk
manusia adalah 300-500 mg/Kg.
Akibat lain dari penggunaan DDT, banyak binatang dalam mata rantai
makanan yang panjang akan terkena dampaknya. Proses mata rantai makanan dari
satu hewan ke hewan lain yang mengakumulasi zat DDT akan ikut tercemar zat
DTT, termasuk pada manusia. DDT yang telah masuk ke dalam tubuh kemudian
larut dalam lemak, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek
negatif.
Penggunaan DDT berdampak pada pembesaran biologis pada organisme
sehingga dapat merusak jaringan tubuh setiap makhluk hidup yang secara
perlahan dapat menyebabkan penyakit kanker, dapat menimbulkan otot kejang
hingga kelumpuhan, serta dapat menghambat proses pengapuran dinding telur
pada hewan bertelur yang mengakibatkan telur itu tidak dapat menetas.
Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara:
kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0.18 sampai 5.86 parts per million
(ppm), sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT 0.00001 sampai
1.56 microgram per meter kubik udara (ug/m3), dan di perairan (danau)
kandungan DDT dan DDE pada taraf 0.001 microgram per liter (ug/L). Gejala
keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan
dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal,
sistem saraf, system imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada
unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan
demaskulinisasi
DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya
masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang
residu DDT masih dapat terdeteksi. Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan
DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam
bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak
dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan
unggas.
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas
setiap tahun akibat malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun
karena DDT begitu efektif dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak
ahli berpikir bahwa insektisida menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan
bahan kimia lainnya. Kimiawan berharap untuk mengembangkan suatu insektisida
yang efektif namun ramah lingkungan, dimana senyawa ini akan mudah
terdegradasi.
Gambar 2.2. Mekanisme Pencemaran DDT di Laut

2.2 Sejarah Penggunaan DDT

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang


digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida sintetik pertama yang
digunakan secara umum adalah senyawa-senyawa dinitro dan tiosianat. Penemuan
paling penting yang mengawali penemuan-penemuan insektisida sintetik, adalah
penemuan DDT oleh Zeidler pada tahun 1874. Namun sifat insektisidanya baru
dapat diketahui pada tahun 1939 oleh Dr. Paul Muller di Swiss. Dapat dikatakan
bahwa munculnya DDT merupakan revolusi dalam pengendalian atau pengelolaan
hama. Secara kimia DDT tergolong dalam hidrokarbon berklor (chlorinated
hydrocarbons atau organochlorines).
Penggunaan DDT menjadi sangat terkenal selama Perang Dunia II, terutama
untuk penanggulangan penyakit malaria, tifus dan berbagai penyakit lain yang
ditularkan oleh nyamuk, lalat dan kutu. Di India, pada tahun 1960 kematian oleh
malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun 1970.
WHO memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan
sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus, sehingga Paul
Mueller dianugerahi hadiah Nobel dalam ilmu kedokteran dan fisiologi pada
tahun 1948.
DDT digunakan secara luas sejak tahun 1945. Indonesia dan pekerja
Belanda mengujicobakan DDT untuk mengontrol malaria di Jawa Barat sesudah
Perang Dunia ke-II. Penggunaan DDT ini diharapkan dapat menekan kepadatan
populasi Anopheles aconitus yang tinggi di area persawahan dan Anopheles
sundaicus di pesisir air payau.
Institut Malaria di Jakarta didukung oleh International Cooperation
Administration (ICA) dan WHO mengadakan penyemprotan menggunakan DDT
di beberapa pedalaman dan daerah pesisir pantai di Jawa, Sumatra Selatan,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Ambon (Maluku). Malaria Pilot Project
WHO didirikan pada tahun yang sama di Cilacap, Jawa Tengah. Sejak 1952
penyemprotan rumah dengan DDT diimplementasikan secara rutin. Observasi
pada tahun 1955 di desa-desa pesisir pantai dekat Semarang menunjukkan Infant
Parasite Rate (IPR) tidak menurun, IPR tahun 1953, 1954 dan 1955 berturut-turut
adalah 5,8%, 0,2% dan 5,4%. Penemuan Anopheles sundaicus yang resisten
terhadap DDT oleh Crendell pada tahun 1954 di pesisir pantai utara Cirebon, Jawa
Barat diasumsikan dapat menjelaskan tidak menurunnya IPR di Semarang
(Tarumingkeng, 1989).

2.3 Dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan DDT

2.3.1 Efek Terhadap Manusia

Efek yang ditimbulkan oleh penggunaan DDT terhadap manusia adalah


sebagai berikut:
a. Potensi mekanisme tindakan manusia genotoxicity dan gangguan endokrin
b. Dapat menyebabkan enzim untuk menghasilkan intermediet genotoksik lainnya
dan mencampur DNA
c. Disruptor endokrin, DDT memetabolisme DDE bertindak sebagai antiandrogen
(tapi bukan sebagai sebuah estrogen)
d. DDT diklasifikasikan berbahaya dan beracun oleh United States National
Toxicology Program (NTP) dan World Health Organization (WHO)
e. Toksisitas kronis
f. Diabetes
g. DDT dan DDE, seperti Organoklorin lainnya, telah terbukti memiliki aktivitas
xenoestrogenic, berarti mereka secara kimiawi serupa cukup untuk estrogen
untuk memicu respons hormonal pada hewan Efek ini dapat menyebabkan
keracunan perkembangan dan reproduksi.
h. Penyebab Kanker termasuk Kanker Payudara, pankreas, dan hati.

2.3.2 Efek Terhadap Lingkungan

Gambar 2.3. Siklus DDT di Lingkungan


Efek yang ditimbulkan oleh penggunaan DDT terhadap lingkungan adalah
sebagai berikut:
a. DDT merupakan polutan organik yang persisten yang sangat hidrofobik dan
kuat diserap oleh tanah. Tergantung pada kondisi, tanah kehidupan setengah
yang dapat berkisar dari 22 hari sampai 30 tahun. Rute kerugian dan kerusakan
meliputi debit, penguapan, fotolisis dan biodegradasi aerobik dan anaerobik.
b. Bila diterapkan pada ekosistem perairan maka dengan cepat diserap oleh
organisme dan oleh tanah atau menguap
c. DDT, DDE, dan DDD memperbesar melalui rantai makanan, dengan pemangsa
puncak seperti burung raptor, Mereka sangat lipofilik dan disimpan terutama di
lemak tubuh. DDT dan DDE sangat resisten terhadap metabolisme. Di
Amerika Serikat, bahan kimia ini terdeteksi di hampir semua sampel darah
manusia diuji oleh Centers for Disease Control di tahun 2005.

2.3.3 Efek Terhadap Hewan

Efek yang ditimbulkan oleh penggunaan DDT terhadap hewan adalah


sebagai berikut:
a. DDT adalah racun bagi berbagai binatang selain serangga, termasuk hewan
laut seperti lobster, daphnids, udang laut dan banyak spesies ikan. Hal ini
kurang beracun untuk mamalia, tapi mungkin agak beracun untuk beberapa
spesies amfibia, terutama pada tahap larva. Paling terkenal, adalah racun bagi
spesies burung reproduksi tertentu, dan merupakan alasan utama untuk
penurunan dari elang botak.
b. Burung pemangsa, burung air, dan burung lagu lebih rentan terhadap penipisan
kulit telur dari ayam dan spesies terkait, dan DDE nampaknya lebih kuat
daripada DDT.
c. Mekanisme menipis biologis tidak sepenuhnya diketahui, tetapi ada bukti kuat
bahwa p, p'-DDE menghambat kalsium ATPase pada membran kelenjar shell
dan mengurangi transportasi karbonat kalsium dari darah ke dalam kelenjar
cangkang telur. Hal ini menghasilkan pengurangan ketebalan tergantung dosis.
Ada juga bukti bahwa o, p'-DDT mengganggu pembangunan saluran
reproduksi perempuan kemudian mempengaruhi kualitas kulit telur kemudian.
Beberapa mekanisme mungkin bekerja disuatu tempat, atau mekanisme yang
berbeda dapat beroperasi pada spesies yang berbeda. Beberapa studi
menunjukkan bahwa meskipun tingkat DDE telah jatuh secara dramatis,
ketebalan cangkang tetap 10-12% lebih tipis dibandingkan sebelum DDT
pertama kali digunakan.

2.4 Awal Mula Pencegahan DDT

Perhatian penulis populer, Rachel Carson. William Shawn, editor The New
Yorker, mendorongnya untuk menulis artikel tentang subjek, yang berkembang
menjadi terkenal buku Silent Spring nya, yang diterbitkan pada tahun 1962. Buku
ini berargumen bahwa pestisida, termasuk DDT adalah racun baik satwa liar dan
lingkungan dan juga membahayakan kesehatan manusia.
Silent Spring adalah buku penjualan terbaik, dan reaksi publik untuk
meluncurkan gerakan lingkungan modern di Amerika Serikat. Tahun setelah itu
muncul, Presiden Kennedy memerintahkan nya Ilmu Komite Penasihat untuk
menyelidiki klaim Carson. DDT menjadi target utama dari kimia-anti
pertumbuhan dan gerakan anti-pestisida, dan pada tahun 1967 sekelompok
ilmuwan dan pengacara mendirikan Environmental Defense Fund (EDF) dengan
tujuan spesifik untuk memenangkan sebuah larangan DDT. Tapi sampai sekarang
DDT masih digunakan.

2.4.1 Upaya Penanggulangan DDT

Beberapa cara untuk mengurangi penggunaan DDT yang diharapkan dapat


mengurangi dampak negative DDT terhadap lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Membudidayakan makroalga Kelautan (rumput laut) membantu mengurangi
toksisitas tanah hingga 80% dalam waktu enam minggu.
b. Sebisa mungkin tidak menggunakan DDT, DDT hanya dipakai jika musim
malaria.
c. Pengurangan DDT setiap tahunnya harus dilaksanakan atau tidak digunakan
lagi. DDT dapat digantikan dengan malation walaupun lebih mahal itu lebih
aman.
2.4.2 Bahan Alternatif sebagai Pengganti DDT

Bahan pestisida alami merupakan bahan alami yang berasal dari tumbuhan
dan dapat dimanfaatkan sebagai pestisida. Yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan tersebut diantaranya adalah tumbuhan beracun dan berbau tajam.
a. Kecubung
Klasifikasi ilmiah:
Kerajaan : Plantae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Datura
Spesies : D. metel
Kecubung adalah tumbuhan penghasil bahan obat-obatan yang telah dikenal
sejak ribuan tahun. Sebagai anggota suku Solanaceae, tumbuhan ini masih
sekerabat dengan datura, tumbuhan hias dengan bunga berbentuk terompet yang
besar. Kecubung biasanya berbunga putih dan atau ungu, namun hibridanya
berbunga aneka warna.
Rasanya pahit, pedas, sifatnya hangat, beracun (toksik), masuk meridian
jantung, paru dan limpa. Kecubung berkhasiat antiasmatik, antibatuk (antitusif),
antirematik, penghilang nyeri (analgesik), afrodisiak dan pemati rasa (anestetik).
Kecubung mengandung 0.3-0.4% alkaloid (sekitar 85% skopolamin dan
15% hyoscyamine), hycoscin dan atropin (tergantung pada varietas, lokasi dan
musim). Zat aktifnya dapat menimbulkan halusinasi bagi pemakainya. Jika
alkaloid kecubung diisolasi maka akan terdeteksi adanya senyawa methyl
crystalline yang mempunyai efek relaksasi pada otot gerak. Kecubung termasuk
bahan beracun terutama bijinya, mengandung alkaloid yang berefek halusinogen.
Dengan demikian dapat dijadikan sebagai pestisida.
b. Lempuyang
Klasifikasi ilmiah :
Kerajaan : Plantae
Devisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberelas
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Z. zerumbut
Lempuyang meupakan bahan alami yang sering digunakan sebagai obat
demam, asam urat, dan obat sakit perut oleh masyarakat tradisional. Ciri khas dari
lempuyang adalah mengandung bau yang menyengat sehingga membuat kepala
pusing dan mual. Sehingga sangat cocok digunakan sebagai pestisida untuk
membasmi seranga.
Tumbuhan ini memiliki ciri khas yang bau yang sangat tajam dan berasa
pahit, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pestisida.

2.4.3 Studi Kasus Penggunaan DDT di Dunia

Banyak dugaan mengenai dampak berbahaya dari pestisida secara


umum,salah satunya adalah dampak DDT terhadap kesehatan manusia.
Meskipun pernyataan tentang jumlah kasusnya belum jelas. Pada tanggal 15 Mei
1975,Environmental Protection Agency (EPA) merilis laporan yang menyatakan
bahwaorang-orang di Amerika Serikat yang menelan 15 miligram DDT setiap
hari. Dalam tanggapan atas surat yang menyatakan bahwa ini adalah jelas tidak
benar,seorang pejabat EPA menjawab bahwa benar dalam menyatakan bahwa
DDT laporan EPA keliru pada penyerapan makanan manusia. Memang, EPA
tidak mengeluarkan koreksi yang menyatakan bahwa jumlah sebenarnya adalah
seribukali lebih sedikit dari yang diberikan dalam laporan mereka.EPA
menyatakan bahwa DDT menimbulkan risiko karsinogenik.untuk manusia.
Penggunaan pestisida yang dipengaruhi oleh daya racun, volume
dantingkat pemajanan secara signifikan mempengaruhi dampak kesehatan
manusia. Semakin tinggi daya racun pestisida yang digunakan semakin
banyak tanda gejala keracunan yang dialami petani. Risiko keracunan
dapat diminimalisir apabila perilaku dan cara kerja petani yang aman dan tidak
menggangu kesehatan. Misalnya dalam melakukan kegiatan pertanian seperti
menyemprot pestisida, mencampur pestisida menggunakan alat pelindung diri len
gkap dan menerapkan penggunaan pestisida yang benar. Gejala keracunan akut
pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakitkepala, keletihan dan muntah.Efek
keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, sistem
imunitas dan sistem reproduksi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:


1. DDT atau Dichloro Diphenyl Trichloroethane merupakan senyawa yang
digunakan untuk mengendalikan populasi serangga umumnya
pada iklim panas. DDT berupa tepung kristal putih tak berasa dan tak berbau.
Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik,
tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhasap asam
permanganat.
2. Penemuan paling penting yang mengawali penemuan-penemuan insektisida
sintetik, adalah penemuan DDT oleh Zeidler pada tahun 1874. Namun sifat
insektisidanya baru dapat diketahui pada tahun 1939 oleh Dr. Paul Muller di
Swiss.
3. DDT memberikan dampak kepada manusia, hewan, dan lingkungan. Efek yang
ditimbulkan oleh penggunaan DDT terhadap manusia adalah sebagai berikut:
a. Potensi mekanisme tindakan manusia genotoxicity dan gangguan
endokrin
b. Dapat menyebabkan enzim untuk menghasilkan intermediet genotoksik
lainnya dan mencampur DNA
c. Disruptor endokrin, DDT memetabolisme DDE bertindak sebagai
antiandrogen (tapi bukan sebagai sebuah estrogen)
d. DDT diklasifikasikan berbahaya dan beracun oleh United States National
Toxicology Program (NTP) dan World Health Organization (WHO)
e. Toksisitas kronis
f. Diabetes
Efek yang ditimbulkan oleh penggunaan DDT terhadap hewan adalah sebagai
berikut:
a. DDT adalah racun bagi berbagai binatang selain serangga, termasuk
hewan laut seperti lobster, daphnids, udang laut dan banyak spesies ikan.
b. Burung pemangsa, burung air, dan burung lagu lebih rentan terhadap
penipisan kulit telur dari ayam dan spesies terkait, dan DDE nampaknya
lebih kuat daripada DDT.
Efek yang ditimbulkan oleh penggunaan DDT terhadap lingkungan adalah
sebagai berikut:
a. DDT merupakan polutan organik yang persisten yang sangat hidrofobik
dan kuat diserap oleh tanah.
b. DDT, DDE, dan DDD memperbesar melalui rantai makanan, dengan
pemangsa puncak seperti burung raptor.
4. Beberapa cara untuk mengurangi penggunaan DDT yang diharapkan dapat
mengurangi dampak negatif DDT terhadap lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Membudidayakan makroalga Kelautan (rumput laut) membantu
mengurangi toksisitas tanah hingga 80% dalam waktu enam minggu.
b. Sebisa mungkin tidak menggunakan DDT, DDT hanya dipakai jika
musim malaria.
c. Pengurangan DDT setiap tahunnya harus dilaksanakan atau tidak
digunakan lagi. DDT dapat digantikan dengan malation walaupun lebih
mahal itu lebih aman.

3.2 Saran

Saran yang dapat diberikan penulis terkait dengan permasalahan DDT ini
yaitu sebaiknya penggunaan zat-zat kimia yang dapat mencemari lingkungan
perlu ditekan penggunaannya dan mencari alternatif lain yang lebih aman untuk
digunakan khususnya bagi lingkungan seperti pestisida alami dari tumbuh-
tumbuhan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Penjualan pestsida kimia
harus di kontrol agar tidak sembarang orang dapat menggunakannya demi
kepentingan pribadi. Beberapa peraturan harus diterapkan terkait penggunaan zat-
zat yang dapat mencemari lingkungan agar dapat memperkecil terjadinya
pencemaran di lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Frank, C Lu. 1995. Toksikologi Dasar (Azas, Organ Sasaran dan Penilaian
Resiko). Jakarta : Universitas Indonesia.

Riza, V. T dan Gayatri. 1994. Ingatlah Bahaya Pestisida, Residu Pestisida dan
Alternatifnya. Jakarta : Bunga Rampai Press.

Sumarwoto, et al. 1978. Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian. Seminar


Pengendalian Pencemaran Air.

Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida : Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak


Penggunaannya. Bandung ; UKRIDA Press.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta :


Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai