Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Salah satu masalah lingkungan hidup yang berkaitan dengan farmakologi


adalah penggunaan pestisida. Tidak bisa dipungkiri bahwa pestisida adalah salah satu
hasil teknologi modern dan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Pestisida merupakan zat kimia serta jasad renik dan virus yang digunakan membunuh
hama dan penyakit. Penggunaannya meliputi sektor perikanan, perkebunan dan pertanian
tanaman pangan yang menangani komoditi padi, palawija, dan hortikultura (sayuran, buah-
buahan dan tanaman hias).

Sebagian besar petani masih menggunakan pestisida karena kemampuannya


untuk memberantas hama sangat efektif. Bahkan, penggunaan pestisida di Indonesia dari
tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1985 diperkirakan menggunakan 10.000 ton
pestisida, pada tahun 1991 meningkat menjadi 600.000 ton. Jumlah ini mencapai 5 % konsumsi
dunia.

Praktek pengendalian hama menggunakan insektisida organic sintetik


berkembang sejak Perang Dunia II yang di mulai dengan penggunaan DDT. DDT
diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama Paul Herman
Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat
dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai
alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida jika dibandingkan dengan senyawa
insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang
menyadari kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT.

I.2 Rumusan Masalah

Adapun Rumusan masalah dari makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan DDT (Dichoro Diphenyl Trichlorethane)?


2. Bagaimana sifat kimia dan fisik DDT?
3. Apa sajakah Bahaya Penggunaan DDT?
4. Bagaimana Mekanisme Pencemaran DDT?
5. Bagaimana Upaya Penanggulangan akibat penggunaan DDT?

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :

1. Mengetahui yang dimaksud dengan DDT (Dichoro Diphenyl Trichlorethane).


2. Mengetahui sifat kimia dan fisik DDT.
3. Mengetahui bahaya penggunaan DDT.
4. Mengetahui mekanisme Pencemaran DDT.
5. Mengetahui upaya penanggulangan akibat penggunaan DDT.
PEMBAHASAN

1. Pengertian

DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) merupakan sebuah senyawa yang biasanya


digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang kerap melanda tanaman tertentu
terutama pada saat iklim panas. Penggunaan DDT ini sangat populer digunakan oleh para
petani karena adanya serangga yang mengganggu tanaman mereka. Namun penggunaan
DDT ini sudah mulai dibatasi dan dilarang karena bisa membuat serangga memiliki sifat
resistensi atau tahan banting terhadap DDT sehingga sangat mungkin diwariskan kepada
keturunan serangga lainnya dan pada akhirnya membuat populasi serangga kian bertahan
karena tidak bisa dibasmi oleh DDT.

DDT merupakan senyawa sintesis dari peptisida yang kerap digunakan untuk mengusir
serangga. Penggunaan DDT ini sudah mulai ketika terjadi perang dunia ke I di amerika
serikat untuk mengusir nyamuk penyebab malaria dan kutu yang saat itu mewabah. Dengan
penggunaan DDT ini memang kedua jenis penyakit tersebut menurun drastis. Namun setelah
beberapa saat dilakukan ternyata terdapat kontroversi dari penggunaan DDT ini sendiri
terutama karena bahaya yang terdapat di dalamnya.

2. Sifat Fisik dan Kimia DDT

DDT (diklorodifeniltrikloroetana) termasuk ke dalam kelas kimia alifatik difenil, yang


berarti terdiri dari alifatik/rantai karbon yang lurus, dengan dua (di-) rantai fenil yang
melekat dengan rumus struktur (ClC6H4)2CHCCl3. DDT murni berwarna putih dan akan
cair pada suhu 90°C. Sangat stabil karena tidak mudah dipengaruhi oleh adanya cahaya.
Senyawa DDT tidak larut dalam air (>1ppm) tetapi larut dalam pelarut organik yaitu minyak
petrol. DDT sangat persisten artinya bahan aktifnya dapat bertahan lama baik di tanah, air,
jaringan hewan, maupun tumbuhan. Tidak mudah terurai oleh mikroorganisme,
enzim, panas,maupun cahaya ultra violet. Tahan terhadap asam keras dan oksidasi
terhadap asam permanganate. Dari segi insektisida, senyawa dengan sifat-sifat ini adalah
yang paling baik karena dapat memberantas lalat nyamuk, tuma, pinjal, dan kutu busuk.
Tetapi tidak baik dalam segi ingkungan. Toksikologi DDT termasuk dalam kategori toksik
sederhana.

Gambar Struktur Molekul DDT


Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup
adalah:

1. Sifat apolar DDT

DDT tak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam
lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab DDT sangat mudah menembus kulit.

2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten

DDT sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai
makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat
bioakumulatif dan biomagnifikatif. Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan
sangat lama di dalam tanah, bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel
tanah.

DDT tidak terjadi secara alami, tapi diproduksi oleh reaksi chloral (CCl3CHO) dengan
chlorobenzene (C6H5Cl) dengan adanya asam sulfat, yang bertindak sebagai katalis.
Perdagangan nama yang DDT telah dipasarkan antara lain, anofex, cezarex,
clorophenothane, clofenotane, dicophane, dinocide, gesarol, guesapon, guesarol, gyron,
ixodex, neocid, neocidol, dan zerdane. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) adalah
senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl)
ethane. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan menyampurkan
chloralhydrate dengan chlorobenzene. Mengingat pengaruh sampingnya yang cukup
berbahaya terhadap lingkungan (pengaruh residunya yang lama dan bersifat akumulatif) maka
sejak 1 Januari 1973, DDT telah dilarang penggunaannya oleh Badan Proteksi Lingkungan
di Amerika. Meskipun demikian, ada tiga senyawa turunan DDT yang masih bebas digunakan
yaitu metoksikhlor, dikofol, dan khlorobenzilat.

3. Bahaya Penggunaan DDT

Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluhtahun, bahkan mungkin
sampai 100 tahun atau lebih), bertahan dalamlingkungan hidup sambil meracuni
ekosistem tanpa dapat didegradasi secarafisik maupun biologis, sehingga kini dan di masa
mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan
olehkeracunan DDT . Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulaitampak sejak awal
penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnyapopulasi burung elang sampai
hampir punah di Amerika Serikat. Daripengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT
dari makanannya (terutamaikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. DDT
menyebabkancang¬kang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram.
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahayaterhadap lingkungan
hidup adalah:

a. Sifat kelarutan DDT : ia tidak larut dalam air tapi sangat larut dalamlemak. Makin
larut suatu insektisida dalam lemak semakin mudahDDT menembus kulit.
b. Sifat DDT yang sangat stabil dan sangat sukar terurai sehinggacenderung
bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan(foodchain) melalui bahan
lemak jaringan mahluk hidup.

Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangatlama di dalam tanah;
bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organikdalam partikel tanah. Dalam ilmu lingkungan
DDT termasuk dalam urutan ke 3 daripolutan organik yang persisten (Persistent Organic
Pollutants, POP), yang memiliki sifat-sifat berikut:1) tak terurai melalui penguraian cahaya,
biologis maupun secara kimia,2) berhalogen (biasanya klor),3) daya larut dalam air sangat
rendah,4) sangat larut dalam lemak, 5) mudah menguap,6) di udara dapat dipindahkan oleh angin
melalui jarak jauh,7) terakumulasi dalam tubuh,8) daya racun meningkat sepanjang rantai
makanan

4. Mekanisme Pencemaran DDT

Mekanisme pencemaran dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun komponen


kimia ini sudah dibuat sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya pengaruh racunnya terfokus pada
neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah
merupakan target toksisitas tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan
patologiknya tidaklah nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat
menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan
LD50 untuk manusia adalah 300-500 mg/Kg. Akibat lain dari penggunaan DDT, banyak
binatang dalam mata rantai makanan yang panjang akan terkena dampaknya. Proses mata rantai
makanan dari satu hewan ke hewan lain yang mengakumulasi zat DDT akan ikut tercemar zat
DTT, termasuk pada manusia. DDT yang telah masuk ke dalam tubuh kemudian larut dalam
lemak, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif.

Penggunaan DDT berdampak pada pembesaran biologis pada organisme sehingga


dapat merusak jaringan tubuh setiap makhluk hidup yang secara perlahan dapat
menyebabkan penyakit kanker, dapat menimbulkan otot kejang hingga kelumpuhan,
serta dapat menghambat proses pengapuran dinding telur pada hewan bertelur yang
mengakibatkan telur itu tidak dapat menetas.

5. Penanganan
a. Remediasi

Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada
dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site).Pembersihan
on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari
pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.

Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke
daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar.
Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang
kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal
dan rumit.

b. Bioremediasi

Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan


mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

c. Fitoremediasi

Fitoremediasi teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya,


seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air dengan
menggunakan bantuan tanaman (hiperakumulator plant).

2.5 Pencegahan

Tindakan pencegahan dan tindakan penanggulangan terhadap terjadinya pencemaran


dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan macam bahan pencemaryang perlu
ditanggulangi.
PENUTUP

Kesimpulan

1) DDT merupakan pestisida golongan organoklorin yang secara kimiawi bersifatstabil


sehingga lama terurai.
2) DDT tidak terdapat secara alami, tapi diproduksi oleh reaksi antara
chloral(CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl) dengan penambahan asam sulfat, yang
bertindak sebagai katalis.
3) Kerusakaan akibat pencemaran DDT dapat ditanggulangi dengan remediasi, bioremediasi
dan fitoremediasi

Saran

Sebaiknya pemakaian DDT di kurangi karena dapat menyebabkan berbagai efektoksik


pada manusia, hewan, dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Bumpus, John A., et al. Tanpa tahun. Biodegradasi Dikloro Difenil Trikloroetan oleh FungiPhanerochaete
Chrysosporium. East Lansing. Michigan State Unversity.

Cottam, Clarence And Elmer Higgins. 1946. DDT: Its Effect on Fish and Wildlife. United States : United
States Department Of The Interior.

Supriyono. 2007. Pengujian Lethal Dosis (Ld50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium Domesticum
Corr) pada Mencit (Mus Musculus). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Yuanita, MG Catur. 2011. Dampak PestisidaOrganoklorin Terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan
serta Penanggulangannya. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Anda mungkin juga menyukai