Nomor 15
Dikerjakan oleh:
Pembimbing:
Ir. Wahyu Hasokowati, M.A.Sc.
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa laporan Tugas Prarancangan
Pabrik Kimia (TPPK) Tahap 2 (Preliminary Feasibility Study) ini disusun setelah
melalui proses konsultasi sesuai aturan Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada, dan karenanya menyetujui untuk dikumpulkan.
Dosen Pembimbing,
I. Latar Belakang
Perkembangan industri di dunia sedang mengalami peningkatan yang cukup
pesat, sebagai akibat dari era revolusi industri. Sektor industri mengalami
berbagai kemajuan teknologi, mulai dari penggunaan proses yang lebih
menguntungkan maupun penggunaan tenaga mesin menggantikan tenaga
manusia, sehingga proses kerja yang ada di pabrik pun berjalan lebih efektif dan
efisien. Salah satu industri yang mengalami perkembangan cukup pesat adalah
industri kimia. Hal ini didasarkan atas pemenuhan kebutuhan hidup manusia
yang semakin lama semakin meningkat. Industri kimia yang mengolah bahan
mentah menjadi bahan intermediate maupun bahan jadi terus mengalami
perkembangan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Di Indonesia
perkembangan industri kimia ini perlu mendapatkan perhatian lebih, karena
dengan majunya industri kimia dapat menjadi penunjang bagi kegiatan ekonomi
lainnya, sehingga perekonomian negara pun juga meningkat.
Polimer adalah senyawa yang memiliki rantai panjang dan dihasilkan
melalui reaksi polimerisasi. Penggunaan polimer di dunia sangat banyak untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Penggunaan polimer di kehidupan sehari-
hari contohnya adalah plastik sebagai wadah kemasan makanan, polyvinyl
chloride (PVC) sebagai pipa paralon, dan nilon sebagai bahan tekstil. Karena
kegunaannya yang banyak tersebut, industri kimia yang memproduksi polimer
terus meningkat tiap tahunnya. Industri polimer terus mengalami perkembangan,
baik dari segi proses yang semakin efisien maupun kuantitas produksi yang
dihasilkan tiap tahunnya.
Expanded polystyrene (EPS) adalah salah satu jenis polimer yang dihasilkan
dari proses polimerisasi monomer styrene lalu diekspansikan menggunakan zat
blowing agent. EPS dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan styrofoam..
Penggunaan EPS sangat luas di berbagai bidang, antara lain sebagai wadah
kemasan makanan, kotak pendingin ikan, kemasan alat elektronik, dan panel
isolasi untuk bangunan.
Industri pembuatan EPS mengalami banyak tantangan, salah satunya isu
lingkungan dan kebijakan pemerintah. Tren permintaan EPS cenderung
1. Bulk polymerization
2. Emulsion polymerization
3. Suspension polymerization
Bulk polimerisasi merupakan pemanasan dari monomer tanpa
menggunakan pelarut dalam sebuah reaktor. Penambahan inisiator dalam
campuran polimerisasi akan membentuk padatan polimer dalam reaktor.
Kerugian dalam proses ini adalah susahnya mengangkat polimer yang terbentuk
pada reaktor dan menjaga suhu reaktor karena reaksi sangat eksotermis. Metode
solution (bulk) polimerisasi menjadi favorit dalam produksi cast atau molded
produk, seperti plastic scintillators, pada skala kecil atau besar, namun proses
ini sangat susah karena pembentukan hot spots yang harus dihindari dan rantai
radikal bebas reaksi dalam prosesnya.
Pada pembentukan polystyrene, reaksi polimerisasi berlangsung eksotermis
hingga dapat mencapai 17 Kcal/mol atau 200 BTU/lb. Produk polystyrene yang
dibentuk menghasilkan berat molekul yang tidak seragam dan sifat mekanik
yang buruk. Nilai polydispersity dari polimerisasi styrene pada proses ini sebesar
2.6 dengan konversi 93% menghasilkan berat molekul sekitar 100.000. Hal ini
dicapai dengan mereaksikan monomer styrene dengan 1,0% 4-
terbutylpyrocatechol pada suhu 127oC dan 2,27 jam (Sandler & Karo, 1992).
Polimerisasi Emulsion biasanya terdiri atas air yang berisi 1-3% surfaktan
(seperti natrium lauryl sulfat, natrium dodecyl benezesulfonat, atau
dodecylamine hidroklorida) dan air yang bebas radikal terlarut (seperti alkali
persulfat, hidroperoxides, atau hidrogen peroxide-ferrous ion). Monomer
ditambahkan secara gradual atau langsung semuanya saat awal. Polimerisasi
emulsi biasanya terjadi sangat cepat dibandingkan proses bulk polimerisasi pada
temperatur yang sama, serta memberikan berat molekul yang lebih berat. Hal
yang menarik adalah locus polimerisasi tepat pada misel dan hanya satu radikal
yang dapat menyerang. Mekanisme proses ini sebagai berikut, monomer masuk
densitas, dan sifat isolasi ditentukan oleh proses parameter, konsentrasi gas yang
mendifusi, laju pendinginan, dan temperatur atau tekanan foam. Proses
penambahan blowing agents ini dibagi menjadi dua tipe, tipe atmosferik dan
bertekanan. Struktur sel terbuka dan tak terhubung satu dengan yang lain
diperoleh pada proses atmosferik, sedangkan pada proses bertekanan tinggi
menghasilkan struktur tertutup. Umumnya blowing agent memiliki rentang
konsentrasi dari 5-30% (Schildknecht, 1956).
a. Atmospheric blowing
Apabila pelet polimer tidak memiliki sifat internal strength yang dapat
menahan gas, kumpulan gas akan lepas atau hanya terakumulasi pada bawah
permukaan polimer. Oleh karena itu diperlukan polimer dengan suhu
dekomposisi yang tinggi dan aditif seperti resin. Umumnya densitas polimer
yang dihasilkan berkisaran pada nilai 7 lb/ft3.
b. Pressure blowing
Kesulitan pada proses ini adalah mempertahankan gas berada didalam
polimer saat akan dicetak. Karena cetakan harus memiliki gasket yang sangat
rapat agar tidak ada gas yang bisa keluar. Oleh karena itu pressure blowing
dilakukan pada tekanan yang sangat tinggi hingga 100 bar saat pencetakan.
Untuk menghindari retakan pada polimer, saat penurunan tekanan harus
dilakukan pada suhu ruangan. Polimer yang dihasilkan memiliki densitas antara
4-6 lb/ft3.
penting lainnya adalah menentukan harga ongkos produk dari pemilihan blowing
agent yang cocok untuk konsumen (Singh, 2002).
Telah ada beberapa jenis blowing agent yang hingga saat ini telah
diaplikasikan, seperti hidrochloroflorocarbon, hydroflorocarbon, dan
hydrocarbon.
a. Hidrokloroflorokarbon (HCFC)
Senyawa yang umum digunakan sebagai blowing agent adalah CFC-11
(CCl3F), CFC-12 (CC2F2), HCFC-141b (CH3CCl2F2), HCFC-22 (CHClF2), dan
HCFC-142b (CH3ClF3). Umumnya hidrokloroflorokarbon memiliki titik didih
yang rendah dengan massa molekul yang tinggi, namun tidak flammable dan
heat conductivity sekitar 7-9 mW/mK. Hidrokloroflorokarbon mulai dilarang
penggunaannya sebagai blowing agent pada akhir tahun 1900 dikarenakan
menyebabkan penipisan lapisan ozon serta gas efek rumah kaca dengan nilai
global warming potential (GWP) 5000-10600 setara dengan CO2.
b. Hidroflorokarbon (HFC)
Senyawa yang umum digunakan sebagai blowing agent adalah HFC-134a
(CH2FCF3), HFC-245fa (CF2CH2CHF2), HFC-365mc (CF3CH2CF2CH3), dan
HFC-152a (CHF2CH3). Hidroflorokarbon hampir memiliki persamaan dengan
hidrokloroflorokarbon dari segi titik didih dan massa molekul, namun tingkat
toksisitas senyawanya lebih berbahaya. Hal ini membuat HFC masih belum
diterima oleh Kyoto Protocol untuk digunakan sebagai blowing agent (Singh,
2002).
c. Hidrokarbon
Senyawa yang umum digunakan sebagai blowing agent adalah n-pentana,
isopentana, isobutana, dan hexana. Harganya yang murah, nilai ODP nol, dan
hampir nol untuk nilai GWP-nya. Namun untuk tingkat keamanannya harus
ditingkatkan karena bahan blowing agent ini mudah terbakar, dengan rentang
flammability limits diantara 1,4-8,0%.
d. Blowing agent lainnya
Selain tiga macam jenis diatas, terdapat blowing agent lain yang umum
digunakan, yaitu metil kloroform (CCl3CH3), aseton (CH3COCH3), dan
karbondioksida cair. Pada temperatur kritis 31oC dan tekanan 7,38 MPa, CO2
cair digadang-gadang sebagai alternatif lain yang menarik sebagai blowing
agent. Namun hal ini dihambat oleh tingginya biaya penanganan gas tersebut
karena digunakan pada tekanan tinggi dan suhu yang rendah. Zat lain seperti
air (H2O) memiliki titik didih yang sangat tinggi yang membuatnya susah untuk
larut kedalam polystyrene. Namun saat ini telah dikembangan proses blowing
yang ramah lingkungan dengan menggunakan CO2 dengan co-blowing agent
H2O. Proses ini memerlukan tambahan luar agar dapat menjadi zat penerima
panas yaitu zat dengan thermal conductivity yang tinggi seperti karbon. Namun
hal ini berpengaruh pada penampilan expanded polystyrene yang dihasilkan
lebih berwarna hitam dan tidak bersih karena terdapat impurity seperti karbon.
Untuk menghasilkan foam dengan densitas yang rendah, diperlukan gas
dengan konduktivitas termal dan permeabilitas pada polimer yang rendah
daripada udara. Untuk meningkatkan tekanan parsial blowing agent bisa dipilih
blowing agent dengan titik didih dan kelarutan yang rendah pada polimer.
Tabel I. Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Jenis Proses pada Pembuatan Expanded Polystyrene
Polimerisasi
Bulk (solution) Emulsion Suspension
Kelebihan: Kelebihan: Kelebihan:
- Konversi tinggi - Mudah menjaga disipasi panas dari reaksi - Mudah menjaga disipasi panas reaksi
- Berat molekul polimer rendah dan seragam - Laju reaksi lebih cepat pada suhu rendah - Hasil polimer granular dan mudah dipisahkan
Kekurangan: dibandingkan proses lainnya - Konversi tinggi
- Temperatur reaktor sangat tinggi - Berat molekul yang dihasilkan sangat tinggi Kekurangan:
- Hasil polimer sangat viscous, sehingga perlu Kekurangan - Perlu menambahkan aditif surface agents agar
desain yang mahal - Berat molekul tidak seragam granul yang dihasilkan kecil
- Proses pemurnian rumit, dan menggunakan banyak
pelarut
Blowing under atmospheric pressure Blowing at high pressure
Kelebihan: Pengoperasian lebih mudah, mudah stabil hasil polimer Kelebihan:Struktur sel lebih rapat
Kekurangan: Struktur sel polimer terbuka dan retak-retak permukaannya. Kekurangan: Pengoperasian lebih sulit karena pada tekanan tinggi.
Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) Hydrofluorocarbons (HFCs) Hydrocarbons (HCs) H 2O CO2
Tidak ramah lingkungan, namun Tidak beracun, tidak Mudah didapatkan,tidak Mudah didapatkan, Mudah didapatkan, aman
mudah dalam pengoperasian dan menimbulkan gas rumah kaca, menimbulkan polusi lingkungan, memiliki kelarutan untuk digunakan, namun sulit
utilitas, mudah terurai menjadi tidak merusak ozon, namun kelarutan yang tinggi dalam yang rendah pada dalam pengoperasian dan
hidrogen halida yang berbahaya. cost-nya sangat tinggi karena polimer, namun termasuk bahan polimer, harga utilitas transportasi bahannya
tidak ada produksinya di yang flammable. sangat tinggi.
Indonesia.
600
500
400
$1M
300
200
100
0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun
adanya pabrik. Gangguan yang dimaksud dapat berupa paparan zat kimia,
buangan limbah, maupun kebisingan yang dihasilkan oleh pabrik expanded
polystyrene ini.
f. Ketersediaan tenaga kerja
Sumber daya manusia yang tersedia juga menjadi salah satu
pertimbangan dalam memilih lokasi pabrik yang akan dibangun. Masyarakat
Indonesia yang berusia kerja/produktif saat ini jumlahnya lebih banyak
daripada usia yang tidak produktif. Hal ini merupakan akibat dari bonus
demografi. Bonus demografi ini apabila dimanfaatkan dengan baik maka
dapat memajukan perekonomian Indonesia. Sebaliknya apabila tidak
dimanfaatkan dengan baik, tingkat pengangguran akan meningkat, sehingga
dengan berdirinya pabrik ini diharapkan dapat menambah lapangan pekerjaan
dan menjadi solusi untuk memberdayakan tenaga kerja yang ada di Indonesia.
Selain itu pendirian pabrik juga dapat menyerap tenaga kerja yang berkualitas
dari tingkat SMA, Diploma, hingga Strata, sehingga perekonomian
masyarakat dapat meningkat.
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten mencatat data jumlah penduduk
Kota Cilegon pada tahun 2018 sebanyak 431.305 jiwa, dengan penduduk laki-
laki sebanyak 220.105 jiwa dan perempuan sebanyak 211.200 jiwa. Laju
pertumbuhan penduduk pada tahun 2018 sebesar 1,46 persen. Jumlah
angkatan kerja pada tahun 2017 sebanyak 185.832 jiwa, dengan penduduk
yang bekerja sebanyak 163.756 jiwa dan pengangguran sebanyak 22.076
jiwa. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2017 sebesar 11,88 persen.
Jumlah pengangguran di Kota Cilegon ini tiap tahunnya semakin menurun,
dikarenakan industri yang tumbuh pesat di Kota Cilegon.
Pertimbangan lainnya yaitu mengenai upah minimum regional yang ada
di Kota Cilegon. Hal ini dilakukan demi menjamin terpenuhinya hak pegawai
mendapatkan pendapatan yang sesuai. Data dari Badan Pusat Statistik
Provinsi Banten pada tahun 2015 menjelaskan upah minimum regional pada
tahun 2015 sebesar Rp 2.760.590,00. Jumlah upah minimum regional ini terus