Saprinal Manurung1
1
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
saprinal@umsu.ac.id
Abstract
Introduction
Konsekuensi dari keberadaan makro ekonomi dalam kajian ilmu ekonomi
disebabkan untuk memehami fenome terjadinya krisis ekonomi secara berulang dan
menjadi siklus dalam sistem ekonomi global. Dimana siklus tersebut senantiasa
memberikan dampak negatif terhadap kebijakan ekonomi dalam fiscal dan moneter,
terlepas dari berbagai perbedaan krisis terjadi dalam ekonomi. Hal ini tidak terlepas dari
keberadaan variabel ekonomi makro yang senantiasa mengikuti pola sama, yaitu
terdapat kerugian besar terhadap output dari variabel makroekonomi secara umum
seperti konsumsi, investasi, dan produksi industry, sehingga mengalami penurunan
secara signifikan (Claessens and Köse, 2013), serta kekhawatiran terhadap peningkatan
inflasi dan kesinambungan hutang,---namun jika kebijakan ekonomi makro dilakukan
secara ekspansif tentu dapat juga mencegah terjadinya suatu krisis ekonomi secara lebih
dalam (Takagi, 2009).
Krisis ekonomi pada dasarnya dapat mempengaruhi perubahan paradigma secara
substansial dalam pembuatan kebijakan makroekonomi. Kondisi ini tidak terlepas dari
retrospeksi dalam teori ekonomi, bahwa aktivitas ekonomi tidak pernah tumbuh dengan
mulus. Sebab kondisi ekonomi dalam setiap Negara, pada suatu waktu menikmati
ekspansi dan kemakmuran ekonomi menggembirakan, namun pencapaian yang
diperoleh pada suatu waktu akan diikuti dengan kondisi resesi, depresi, atau krisis
keuangan. Kondisi ini tentu mengakibatkan output nasional turun, laba dan pendapatan
1
menurun, harga barang dan jasa tidak stabil, dan tingkat pengangguran melonjak. Maka
siklu perubahan akan kembali terjadi ke awal ketika ekonomi mencapai titik terendah,
selanjutnya pasti akan diikuti dengan proses pemulihan.
Maka dapat dikatakan, krisis ekonomi dalam sepanjang aktivitas ekonomi yang
dilakukan manusia dalam kehidupan di dunia senantiasa pasti terjadi dan terus berulang.
Sebab orientasi dari kegiatan ekonomi manusia cenderung dalam kerangka homo
economicus/economic man (Pareto, 1971; Mill, 1948; Brzezicka & Wisniewski, 2014;
Meyer, 2016; Efeoğlu & Çalışkan, 2018), perilaku manusia senantiasa berusaha untuk
mendapatkan tingkat kepuasaan maksimal terhadap utilitas (barang dan jasa),
disebabkan hasrat dan keingin (Jevons, 1879) manusi yang tidak terbatas. Sehingga
menyebabkan muncul berbagai permasalahan ekonomi, salah satunya adalah krisis
ekonomi disebabkan perilaku manusia (Lynn, 1991) dalam mengalokasikan sumber
daya alam secara seimbang tanpa didasarkan pada skala prioritas antara kebutuhan dan
keinginan. Padahal struktur kehidupan alam semesta senantiasa berkorelasi antara satu
dengan lainya dalam struktur keseimbangan (Q.S. Al-Sumar (39):211), jika salah satu
diabaikan maka kemusnahan dan kehancuran akan bermetamorfosis dalam lingkup
seluruh kehidupan manusia. Berbagai bencana dan kehancuran dipermukaan bumi
merupakan bukti empirik dan simultan dari keserakahan dalam kehidupan manusia
(Q.S. ar-Ruum (30):412). Sebagai khalifah Allah tentunya diperlukan suatu pemahaman
tentang fungsi dan peran seluruh ciptaan-Nya khususnya manusia. Pemahaman ini akan
memberikan dampak positif dalam mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi.
Namun perilaku manusia dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi, menurut
Pareto (1935) cenderung memiliki perilaku non-rasional. Sehigga menyebabkan
orientasi dalam mendapatkan kebutuhan dan keinginan tanpa batas dalam
mengeksplorasi dan eksploitasi berbagai sumber ekonomi dan menghancurkan struktur
ekonomi, khususnya dalam tataran makroekonomi demi mendapatkan kebahagian
duniawi yang semu. Menghadapi perilaku manusia yang berorientasi duniawi, maka
Islam menawarkan konsep homo Islamicus sebagai bentuk manifestasi dari nilai-nilai
dalam krangka Islam, ketika manusia membuat pilihan dan tindakan, yang dianugerahi
kehendak bebas, kecerdasan, pemahaman, serta potensi dan kemampuan, tentu
memungkinkan dapat bertindak dan memilih antara yang baik dan buruk (Furqani and
Echchabi, 2022) berdasarkan sekumpulan preferensi (sikap, selera, tindakan dan
hukum) dengan memposisikan manusia dalam pandangan Islam sebagai hamba dan
khalifah di muka bumi, sehingga harus berjuang terus-menerus untuk dapat
1
“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka
diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-
tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-
kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”.
2
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar)”
2
menyesuaikan perilakunya agar lebih dekat dengan model tuntunan syariah (Lewis,
2010).
Dalam rentang sejarah, terjadinya berbagai krisis ekonomi, menurut penulis
tidak terlepas dari konsep pemikiran kapitalis yang mendorong perilaku ekonomi
manusia untuk bertindak dengan menekankan pentingnya semangat binatang (animal
spirits) dalam memahami dan melakukan tindakan ekonomi. Hal ini sebagaimana
dikemukakan Akerlof & Shiller (2009) dalam bukunya “Animal Spirits. How Human
Psychology Drives the Economy and Why It Matters for Global Capitalism”. Bahkan
Keynes mengilustrasikan perilaku manusia sebagian besar didorong oleh naluri
kebinatangan daripada rasionalitas (Klodt, 2011). Sehingga sepanjang sejarah
perekonomian dunia krisis ekonomi merupakan suatu kejadian yang terus berulang. Ge
(2010) mengungkapkan tahun 1825 di Inggris merupakan krisis ekonomi pertama di
dunia. Bahkan Jordà et al. (2011) mengungkapkan, terdapat lima periode utama krisis
ekonomi yaitu tahun 1890, 1907, 1921, 1930–1931, dan 2007–2008. Berulangnya krisis
ekonomi dalam pandangan Islam disebabkan perilaku buruk pelaku ekonomi, termasuk
keserakahan, kepentingan pribadi, hedonisme, spekulasi, tindakan kriminal dan harapan;
faktor eksternal dan peristiwa bersifat eksogen, termasuk siklus bisnis, bencana alam,
penularan, sistem moneter internasional, ketidakstabilan politik dan ketidakstabilan
sosial, tata kelola buruk pada lembaga publik dan swasta, termasuk administrasi buruk,
korupsi, kontrol harga, kurangnya regulasi, kurangnya pengungkapan dan kesalahan
dalam menempatkan seseorang; sistem moneter/keuangan yang tidak stabil, termasuk
sistem bunga, penggunaan uang, kecilnya sistem cadangan perbankan, pemanfaatan
sistem, penurunan produk dan penciptaan kredit melalui kartu kredit; sistem fiskal yang
tidak berkelanjutan, termasuk defisit fiskal, pajak berlebihan, kelebihan hutang negara,
pengeluaran berlebihan, manajemen persediaan komoditas strategis buruk dan sistem
fiskal tidak efektif (Ascarya, 2016).
Siklus krisis ekonomi yang terus terjadi dan berulang telah banyak dikaji oleh
para ekonom dari berbagai perspektif, diantaranya Philips (2010) meneliti tentang baik
dan buruk krisis ekonomi, Stiglitz (2009); Kirman (2010); Andrushkiv (2011); Arrow
(2013) menganalisis pemecahan krisis ekonomi melalaui teori ekonomi. Haralambie
(2011) dan Ge & Liu (2010) menganalisis tentang siklus ekonomi global. Sementara itu,
para ekonom Islam menganalisis krisis ekonomi dari perspektif Islam dalam aspek
krisis keuangan (Ahmed, 2010; Choudhury, 2014; Ebrahim, 2008; Diaw, 2015;
Ascarya, 2017; Ejaz & Khan, 2014), bahkan penelitian Ozsoy (2015) dan Alasrag
(2010) memberikan solusi terhadap penyelesaian terhadap krisis keuangan global.
Sementara Shabri & Ulina (2020) dan Shafique et al. (2012); menganalisis krisis
keuangan dalam kaitannya dengan perbankan Islam, serta berbagai kajian lainnya
tentang krisis ekonomi dalam aspek depresi ekonomi, fiscal, moneter, pisikologi dan
sebagainya.
3
Berbagai latar belakang masalah dan berbagai kajian yang telah dikelakukan
para peneliti sebelumnya. Maka pada artikel ini penulis menganalisis krisis ekonomi
melalui kajian literatur tentang teori krisis dan krisis ekonomi, sejarah krisis ekonomi
global, penyebab krisis ekonomi, jenis-jenis krisis ekonomi, serta solusi dalam
menyelesaikan krisis ekonomi dalam pandangan Islam.
Literature Review
Teori Krisis dan Krisis Ekonomi
Kata krisis sering menjadi ambiguinitas bagi para ahli sejarah ketika
memberikan makna baik secara etimologi maupun terminology. Sebab krisis dapat
dimaknai secara umum sebagai suaut kejadian, namun disisi lain sering dihubungkan
dengan aspek yang melingkupinya berdasarkan tujuannya, seperti krisis politik,
ekonomi, sosial, budaya, moral dan sebagainya. Para ahli sejarah mengemukakan, kata
krisis mengacu pada era Ancient Greek (Yunani Kuno) dalam bahasa Latin berasal dari
kata “κρῑ́νω (krī́ nō)”, kemudian disebut “κρίσις (krísis)” diartikan sebagai
"pemisahan”, “kekuatan untuk membedakan”, “memutuskan”, “keputusan”,
“pertimbangan”, “pilihan”, “pemilihan”, “penilaian”, dan “perselisihan" (Liddel &
Scott, 1897:847; Georg, 1891:169; Cunliffe, 1924;238).
Krisis tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang orang yang menjalaninya ---
sehingga krisis dihubungkan dengan gagasan tentang kekuatan objektif yang merampas
sebagian dari kedaulatan normal subjek. Menganggap suatu proses sebagai krisis berarti
secara diam-diam memberinya makna normatif—penyelesaian krisis berdampak pada
pembebasan subjek yang terperangkap di dalamnya (Habermas, 1973). Maka konsep
krisis di setiap bidang kehidupan publik, dalam rekayasa, sistem biologis memiliki
definisi dan interpretasi sendiri tentang fenomena yang menggambarkan perubahan atau
beberapa tahapan penting dalam fungsi sistem (Andrushkiv et al, 2011). Maka Starn
(1971:5) mengemukakan krisis sebagai suatu skema perubahan organik ke efek analitik
dan dramatis.—sebab secara filosofis, disebut sebagai fenomena yang diamati dan
dinilai dalam waktu yang memiliki ketidakteraturan pada tanggal dan jam, sehingga
terjadi interval waktu yang tidak sama pada nilai dan efeknya. Sementara dalam konteks
analogi organik, pola krisis bisa bersifat terbuka, tidak dapat diprediksi, dinamis (non-
statis). Namun krisis dapat diprediksi dalam skema siklus sebagai transisi antara satu
fase ke fase lain. Adapun (Haralambie, 2011) mengemukakan dalam evolusi
masyarakat, krisis dapat didefinisikan sebagai situasi yang ditandai dengan
ketidakstabilan yang nyata, disertai dengan pertumbuhan volatilitas dan ketidakpastian,
kontradiksi (ekonomi, politik, ideologis, militer, dll.) Krisis biasanya terjadi dengan
adanya konflik dan kontradiksi tertentu, yaitu dengan adanya faktor penyebab krisis
bipolar (Andrushkiv et al, 2011).
Disisin lain, krisis, pada tingkat tertentu, merupakan manifestasi ekstrim dari
interaksi antara sektor keuangan dan ekonomi riil (Claessens and Köse, 2013), dimana
4
secara praktis berasal dari abad ke-19, dan merupakan penyakit akut yang tampaknya
semakin menjadi sasaran bisnis (Jones, 1900:1). Maka dasar ini memunculkan suatu
teori krisis dalam lingkup ekonomi. National Bureau of Economic Research (Giuntella
et al, 2022) mendefinisikan krisis sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan
selama beberapa bulan yang tercermin dalam PDB yang lebih rendah, pendapatan
individu yang lebih rendah, pengurangan tingkat lapangan kerja, pengurangan produksi
dan konsumsi industri. Dimana krisis ekonomi dapat berupa stagflasi, resesi atau
depresi ekonomi, dan terkadang dapat menyebabkan keruntuhan ekonomi. Fine
(1975:51) mendefinisikan krisis ekonomi didefinisikan sebagai gangguan dalam
akumulasi kapital. Sebab krisis ekonomi merupakan fase siklus ekonomi, dimana
surplus barang relatif terbentuk sehubungan dengan terbatasnya daya beli penduduk,
sehingga menyebabkan penurunan produksi, kebangkrutan, pengangguran. Dalam
situasi krisis, kita terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan ketidakpastian masa
depan, ketakutan atau bahkan kepanikan, keadaan ekonomi yang kacau, ekspresi
pelanggaran berkaitan dengan bisnis terjadi. ----. Pada awal abad ke-19 biasanya terjadi
krisis kekurangan produksi yang disebabkan fenomena alam (kekeringan, banjir) atau
keadaan khusus sosio-politik (epidemic, perang) (Haralambie, 2011).
Munculnya krisis ekonomi tidak terlpas dari berkurangnya konsumsi disebabkan
—dari kegagalan permintaan konsumen akan barang dengan harga yang dapat
menguntungkan (Rothbard, 2000:11). Clark (1994) berpandangan krisis ekonomi adalah
situasi dimana reproduksi unit ekonomi tiba-tiba terganggu, biasanya ketika unit
tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya. Krisis dapat digeneralisasikan
dari satu unit ke sistem secara keseluruhan, dengan krisis menyebabkan kerusakan
sistem keuangan karena satu kegagalan dapat memprovokasi kegagalan lainnya dan
merusak kepercayaan investor. Bagi ekonom, krisis ekonomi pada dasarnya adalah
fenomena subyektif, yang muncul ketika harapan masa depan yang cerah terbukti salah.
Krisis umum biasanya merupakan puncak dari ledakan ekonomi, di mana agen optimis
tentang masa depan dan kredit murah dan mudah tersedia. Dalam pandang Ropke
(1936:30),Krisis ekonomi menyebabkan kelumpuhan sementara dari proses ekonomi
sehingga menggangu alat tukar dengan konsekuensi kelebihan produksi, surplus
persediaan, dan kebangkrutan. Oleh karena itu, krisis ekonomi bukanlah ekspresi
kekurangan tetapi kelimpahan atau—untuk membuatnya lebih baik—dari apa yang bagi
kita tampak "kelimpahan" karena kelumpuhan sementara proses pertukaran dan proses
ekonomi secara umum.
5
ekonomi tidak terlepas dari penerapan system kapitalis. Bahkan Ropke (1936)
mengemukakan bahwa kapitalis adalah krisis. Maka rentang siklus krisis ekonomi dapat
dikemukakan pertamakali awal kapitalis dan merupakan krisis ekonomi pertama kali,
dimana krisis terjadi disebabkan spekulasi dalam aktivitas perdagangan grosir dan pasar
sekuritas. Pada mulanya krisis ini hanya mempengaruhi superstruktur kapitalis kecil
dari sistem ekonomi, tetapi pengaruhnya meluas seiring dengan berkembangnya
superstruktur, hingga akhirnya seluruh kegiatan ekonomi ditarik ke dalam arus ekonomi
kapitalis.
Siklus dan krisis di abad ke-19 merupakan fase kedua dari sejarah siklus krisis.
Pada saat perkembangan ekonomi kapitalis, pertama di Inggris, kemudian di negara-
negara industri lainnya yang semakin meningkat, fenomena fluktuasi telah cirri dari
sistem ekonomi yang berkembang saat itu. Jika periode awal kapitalisme bersifat ekses
spekulatif yang tidak diatur, pada periode ini menjadi suatu ritme ekonomi umum yang
memiliki kepastian. Dalam hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
6
mengalami keruntuhan. Sementara di Amerika Serikat terjadi ledakan pada konstruksi
kereta api, spekulasi tanah, dan inflasi kredit, namun pada awal tersebut menjadi
pengalaman pertama kali bank Negara uang kertas, akan tetapi konsekuensi timbul
adalah terbukanya ekses spekulasi. Krisis yang terjadi tahun 1836, disebabkan kenaikan
tingkat diskonto Bank of England (untuk mencegah aliran emas ke Amerika Serikat).
Runtuhnya harga-harga barang, dan diikuti dengan krisis kredit berasal dari Irlandia.
7
Periode Siklus hingga Akhir Abad
Terjadinya krisis tahun 1873 diimbangi dengan gravitasi depresi sehingga
membuat sistem ekonomi hampir setiap negara dalam keadaan kelelahan selama
bertahun-tahun. Selama sepuluh tahun tidak ada pemulihan nyata, dan karenanya tidak
ada krisis nyata. Sehubungan dengan terjadinya depresi melanda industri dibeberapa
Negara Eropa menyebabkan krisis agrarian. Terjadinya kelangkaan emas, disebabkan
penurunan produksi emas dan peningkatan permintaannya telah memainkan peran
penting. Sementara itu pada tahun 1980 timbul krisis yang menghantam pasar London
disebabkan kegagalan Bank of Messrs.
8
Penyebab Krisis Ekonomi
Secara mendasar terjadinya krisis ekonomi tentunya dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang diakibatkan dari kegiatan ekonomi Negara dan hubungannya dengan Negara
lain. Espinosa (2013) mengemukakan bahwa terdapat tiga penyebab utama dari krisis,
yaitu manajemen ekonomi makro dunia yang tidak memadai, peraturan keuangan yang
tidak memadai dihubungkan dengan pemerintah AS (Walison, 2009), dan pertumbuhan
pesat derivatif over the counter (OTC) terkait dengan instrumen negosiasi keuangan
seperti saham, obligasi, materi baris atau derivatif hipotek. Sementara itu dalam
pandangan Chapra dan Siddiqi bahwa akar penyebab krisis rapuhnya sistem ribawi.
Bahkan semakin diperparah dengan ekspansi kredit disebabkan likuiditas berlebihan
dan pinjaman tidak hati-hati (mengakibatkan rasio leverage tinggi yang berasal dari
standar underwriting yang buruk). Penyebab lain adalah moral hazard disebabkan
inovasi keuangan, yaitu sekuritisasi. Padahal seharusnya perlu adanya upaya
mendistribusikan (mengalihkan) risiko dari mereka yang tidak mau (tidak mampu)
menanggungnya kepada mereka yang mau dengan melakukan secara bersamaan dengan
menggunakan derivatif (Credit Default Swaps - CDS). Kemudian penyebab krisis
jugalingkungan peraturan yang longgar (tidak ketat), Moral hazard pada sistem
keuangan dalam bentuk “too big to fail concept” sehingga memungkinkan para
eksekutif keuangan meningkatkan eksposur risiko institusi masing-masing, dan
munculnya perspektif keagenan (konflik) kepentingan agen ekonomi dimana secara
heterogen mengarah pada “kegagalan moral” (Ebrahim, 2008).
Ascarya (2016) mengemukakan, akar penyebab utama krisis dalam perspektif
ekonomi Islam adalah ketidakstabilan sosial (faktor eksternal), spekulasi (misbehavior),
sistem fiskal yang tidak efektif (sistem fiskal yang tidak berkelanjutan), hedonisme
(misbehavior), sistem perbankan cadangan fraksional (sistem moneter yang tidak
stabil), ketidakstabilan politik (faktor eksternal), korupsi (tata kelola yang buruk), suku
bunga (sistem moneter yang tidak stabil), uang fiat (sistem moneter yang tidak stabil),
dan orang yang salah di tempat yang salah (tata kelola yang buruk). Sementara
Mirakhor dan Krichene (Ahmeda, 2010) berpandangan bahwa penyebab terjadinya
krisis terbagi dalam dua pandanga, pertama, secara konvensional berpandangan bahwa
munculnya krisis disebabkan oleh factor likuiditas yang luar biasa tinggi; langkah cepat
dalam melakukan rekayasa keuangan sehingga menginovasi instrumen keuangan
yangkompleks, buram dan sulit dipahami serta jauh di depan pasar; masalah informasi
akibat kurangnya transparansi harga pasar aset, khususnya di pasar instrumen kredit
terstruktur; pengawasan peraturan dan pengawasan ketinggalan zaman, longgar atau
tidak ada upaya dalam mendorong pengambilan risiko berlebihan; penerapan model
akuntansi dan manajemen risiko diterapkan secara salah; dan munculnya struktur
insentif sehingga menciptakan koalisi rumit diantara lembaga keuangan, pengembang
dan penilai real estate, perusahaan asuransi, serta lembaga pemeringkat kredit dalam
tindakannya menyebabkan perkiraan terlalu rendah dan risiko terlalu rendah.
9
Aiginger (2009) memberikan pandangan penyebab krisis yaitu: munculnya
pemicu terhadap pinjaman tanpa jaminan dalam pemilik rumah di AS; terjadinya
kegagalan regulasi dengan meremehkan risiko dan kepercayaan pada pengaturan
sendiri; sehingga menyebabkan kelelahan dalam inovasi dan internasionalisasi; struktur
oligopoli lembaga pemeringkat, ketidaksesuaian; ekspektasi dalam pengembalian terus
meningkat; kurang hati-hati dalam sistem insentif/ manajemen risiko;
ketidakseimbangan ekonomi makro; terjadinyua gelembung dalam mata uang, bahan
mentah, minyak dan bahan makanan; lemahnya koordinasi diantara lembaga-lembaga
keuangan baik dalam peringak nasional, regional dan dunia.
Dalam pandangan Alasrag (2010) para ahli ekonomi Islam meyakini bahwa
krisis ekonomi yang terjadi secara global tidak terlepas dari berbagai hal, diantaranya:
pertama, ekspansi besar-besaran pada transaksi spekulasi di pasar keuangan, termasuk
dilakukan melalui internet, hingga membayangi transaksi riil. Sifat spekulasi dilakukan
pada akhirnya menyebabkan mereka tidak produktif, karena hanya mengalihkan
kekayaan dari pecundang menjadi pemenang; kedua, munculnya berbagai transaksi
ditujukan semata-mata untuk spekulasi harga. Dimana akhirnya transaksi tidak
menghasilkan nilai tambah apa pun di pasar, namun sejumlah besar uang dan
banyaknya kapasitas manusia diinvestasikan di dalamnya; ketiga, berkembangnya
budaya mendapatkan untuk cepat, tanpa mempertimbangkan hasil transaksi jangka
panjang. Sementara terdapat undang-undang, peraturan, dan instruksi administratif
dalam menindaklanjuti metode baru untuk menciptakan bentuk transaksi dan kontrak
baru. Budaya ini pada dasarnya berasal dari kapitalisme sebagai ide dan filosofi. Maka
selama hukum tidak dapat mengontrol perilaku orang atau menguasai mereka, mengapa
mereka tidak mendapatkan keuntungan maksimal?; keempat, terjadi pergeseran
kapitalisme dari fase produksi dan jasa ke fase kapitalisme finansial dan inflasi
keuntungan sektor finansial, sehingga membuat orang percaya bahwa ini merupakan
cara cepat dalam memperoleh kekayaan; kelima, ketergantungan pada pinjaman
berbasis bunga sebagai dasar pendanaan, dimana proses tersebut tentu tidak
menghasilkan nilai tambah dengan sendirinya; keenam. maraknya sekuritisasi yang
menimbulkan penyebaran secara mudah; ketujuh, budaya "memukul dan membebani
orang lain". Ini juga disebabkan oleh fakta bahwa lembaga keuangan menerima
sekuritisasi dengan batasan yang sedikit dan belum berkembang, ketika, di sisi lain, ada
metode baru yang dirancang untuk melindungi mereka dalam melakukan serangan;
kedelapan, sekuritisasi berusaha menciptakan interkoneksi antar lembaga keuangan.
Sehingga semua institusi dapat mengalami kejatuhan dengan jatuhnya domino pertama;
kesembilan, sistem pertukaran dan perdagangan hutang, dan perluasan transaksi
penjualan hutang; kesepuluh, kecenderungan alami investor dalam melakukan investasi
keuangan diarahkan agar melakukannya sangat berhati-hati. Kondisi ini tentu
berdampak pada peningkatan proses turunan investasi; kesebelas, ketergantungan yang
besar pada utang publik daripada pajak. Sehingga menghasilkan inflasi dalam proses
10
pertukaran keuangan, lokal dan internasional; keduabelas, kenaikan besar dalam
pengeluaran militer; dan ketigabelas, terjadinya peningkatan tenaga kerja dan lapangan
kerja, namun tidak cenderung meningkatkan kapasitas produktif perekonomian.
11
Daftar Pustaka
12
Furqani, H. and Echchabi, A. (2022) Who is Homo Islamicus? A Qurʾanic perspective
on the economic agent in Islamic economics, ISRA International Journal of
Islamic Finance.
Ge, C. (2010) The Global Economic Crisis in the Perspective of Keynesian Business
Cycle Theory, International Business Research, 3(2):21-23
Giuntella, O.; McManus, S.; Mujcic, R.; Oswald, A.J.; Powdthavee, N.; and Tohamy,
A. (2022) The Midlife Crisis, NBER Working Paper No. 30442
Habermas, J. (1973) Legitimation Crisis, UK: Polity Press.
Haralambie, G. (2011) The Global Crisis and Cyclical Theory, Theoretical and Applied
Economics, XVIII(11):79-88
Javons, W.S. (1879). The theory of Political Economy, London: Macmillan & Co.
Jones, E.D. (1900). Economic Crisis, New York & London: The Macmillan Company.
Jordà, O.; Schularick, M. and Taylor, A.M. (2011). Financial Crises, Credit Booms, and
External Imbalances: 140 Years of Lessons, IMF Economic Review, Palgrave
Macmillan, 59(2):340-378.
Kirman, A. (2010) The Economic Crisis is a Crisis for Economic Theory, CESifo
Economic Studies, 56(4):498–535
Klodt, H. (2011) The Psychology of Financial Crises, Central European Review of
Economics & Finance, 1(1):4-10.
Lewis, M. (2010) An Islamic Economic Perspective on the Global Financial Crisis, In
Steven Kates (ed), Macroeconomic Theory and its Failings: Alternative
Perspectives on the Global Financial Crisis, USA: Edwar Elgar.
Liddel, H.G. and Scott, R. (1897) A Greek-English Lexicon, New York: American Book
Company.
Lynn, M. (1991). Scarcity Effects on Value: A Quantitative Review of the Commodity
Theory Literature, Psychology & Marketing, 8(1):43-57.
Mill, J.S. (1948). On the Definition of Political Economy, and on the Method of
Investigation Proper to It, In Essays on Some Unsettled Questions of Political
Economy, London: John W. Parker, West Strand.
Pareto, V. (1935). Mind and Society, New York: Harcourt, Brace and Company
Pareto, V. (1971). Manual of Political Economy, London: The Macmillan Press Ltd.
Phillips, N. (2010) Global Economic Crisis and Global Development: Reflections on the
Emerging Panorama, Irish Studies in International Affairs, 21:17-28
Ropke, W. (1936). Crises and Cycles, London: William Hodge & Company, Limited.
Rothbard, M.N. (2000). America’s Great Depression, USA: Mises Institute
Shabri, M. And Ulina, S. (2020). Does the 2008 global financial crisis matter for the
determinants of conventional and Islamic banking performances in Indonesia?,
Jurnal Ekonomi & Keuangan Islam, 6 (2):77-90.
Starn, R. (1971). Historians and "Crisis", Past & Present, 52:3-22
Stiglitz, J.E. (2009). The Current Economic Crisis and Lessons for Economic Theory,
Eastern Economic Journal, 35:281-296.
Takagi, S. (2009). The Global Financial Crisis and Macroeconomic Policy Issues in
Asia, USA: Asian Development Bank Institute
Willison, P.J. (2009) Cause and Effect: Government Policies and the Financial Crisis, A
Journal of Politics and Society, 21(2-3):365-376.
13