Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AKIDAH AKHLAK

Materi Ar-Razzaq

Disusun Oleh:

Kelompok II XII MIPA VI

Syira Rahman

Rayyani Aulia Pertiwi

Muhammad Amin

Nur Admazalza Masjid

Moh.Adhi Ramadhan

Asrianti

Amelia Afifah
KATA PENGANTAR

Assalaualaikum wr.wr. Puji syukur atas rahmat Allah SWT berkat rahmat serta karunianya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas pada mata pelajaran Aqidah Ahlak semester 1 kelas
XII dari Ibu Akidah Akhlak Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
kepada para pembaca..

Penulis menyampaikan ucapan terimah kasih kepada Ibu Akidah Akhlak selaku guru, berkat tugas yang
diberikan ini agar sekiranya dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topic yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak kesalahan. Oleh
karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam
makalah ini. Penulis juga mengharapkan adanya kritik sera saran dari pembaca apabila menemukan
kesalahan dalam penulisan makalah ini.

Palu, 06 Agustus 2023

Penulis
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………...i

KATA PENGANTAR………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………… iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………………….iv

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………iv

C. Tujuan………………………………………………………………………iv

BAB II PEMBAHASAN

1. Empat macam sikap manusia terhadap rezeki……………………………v

2. Tipe-tipe manusia dalam menyikapi rezeki……….…………………..…vi

3. Mengenal Allah dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat nnya.….vii

BAB III PENUTUP

Kesimpulan…………………………………………………………………………..xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nama ar-Razzāq merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata Ar- Razzāq terambil
dari akar kata ra`, za`, dan qaf, berarti rezeki atau penghidupan. Dalam KBBI, rezeki berarti
sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan, dapat berupa makanan, nafkah, dan hal-hal
lain. Imam Ghazali menjelaskan kata ar-Razzāq adalah Dia yang menciptakan rezeki dan
menciptakan yang memberi rezeki, serta Dia pula yang mengantarnya kepada mereka dan
menciptakan sebab-sebab sehingga mereka dapat menikmatinya.

Dalam al-Qur`an, ayat-ayat yang menggunakan akar kata razaqa banyak ditemukan. Akan tetapi
ayat yang mengandung kata ar-Razzāq hanya ditemukan pada Surah ad-Dzāriyāt [51]: 58:

“Sesungguhnya Allah adalah Ar-Razzāq (Maha Pemberi Rezeki) yang memiliki kekuatan yang
kukuh”. (QS. ad-Dzāriyāt [51]: 58)
B. Rumusan Masalah
1.) Empat macam sikap manusia terhadap rezeki
2.) Tipe-tipe manusia dalam menyikapi rezeki
3.) Mengenal Allah dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat nnya

C. Tujuan
1.) Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Aqidah Ahlak di kelas XII IPA 4 Man 2 Kota Palu
tahun ajaran 2023/2024
2.) Untuk mengetahui tentang materi Ar-Razzaq
3.) Untuk mengetahui bagaimana cara menciptakan rezeky dan menciptakan yang memberi
rezeki.
BAB II

PEMBAHASAN

 Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du. Sebaik-baik pujian
hanya bagi Allah dzat pemilik kesempurnaan. Pada kesempatan ini akan kami uraikan salah satu
dari Asmaul Husna yang berupa Ar-Razzaq artinya Maha Pemberi Rizki. Ini merupakan salah satu dari
sekian nama-nama Allah yang mulia. In syaa Allah dengan memahami nama ini akan semakin kuat
keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Selamat membaca.

1. Empat macam sikap manusia terhadap rezeki

 Setiap Manusia di dalam menjalani kehidupannya di dunia, tidak bisa terlepas dari rezeki,
sesuatu yang ia butuhkan untuk keberlangsungan hidupnya di muka bumi ini. Sulit atau
mudahnya, riang-gembiranya serta susah-payahnya manusia dalam mencari rezeki membuat
mereka memilih sikap yang berbeda-beda dalam mencari dan cara menikmatinya. Ada orang
yang miskin namun bersabar dengan kemiskinannya, ada pula orang yang kaya dan bersyukur
dengan kekayaannya, sehingga semakin kaya semakin ta’at kepada Rabb nya. Namun ada pula
yang rakus, tamak alias serakah dalam mencari rezeki, sehingga yang haram pun ia terjang,
namun ada yang justru sebaliknya, bermalas-malasan bahkan berputus asa.

2. Tipe-tipe manusia dalam menyikapi rezeki

Putus asa
            Jenis orang yang pertama ini adalah jenis orang yang berputus asa dari rezeki Allah,
karena pengetahuannya tentang Allah sedikit dan ketipisan imannya ia merasa tidak kuat
menghadapi susah-payahnya mencari rezeki, bahkan tidak heran jika ia mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri.

Bermalas-malasan
            Tipe ini adalah tipe orang yang cari enaknya sendiri, ia berharap dengan kerja yang
semaunya lalu bisa mendapatkan rezeki yang sesuai dengan impiannya. Kalau bisa malah muda
foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk Surga. Tipe orang seperti ini adalah tipe orang yang
tertipu dengan iklan-iklan murahan agar bisa kaya mendadak dengan modal dengkul yang
menyesatkan, tanpa meninjau dari sisi Syar’inya.

Rakus atau tidak sabar


            Tipe ini adalah sekelompok orang yang berlebihan (rakus) dalam mencari dunia dan ingin
mendapatkan rezeki dengan cara yang cepat dan dalam jumlah yang sangat banyak. Ia tidak
qona’ah (menerima dan ridho) terhadap pembagian rezeki dari Allah, sehingga terus merasa
kurang dan kurang, sampai ia pun berusaha mencarinya dengan cara yang haram walaupun harta
yang dimilikinya sudah banyak (kaya), maka korupsi, riba, usaha ilegal yang haram tidak jadi
masalah baginya, asal omsetnya milyaran atau bahkan trilyunan.
Tipe orang ini, bisa jadi ia miskin, namun menyimpan ketamakan dalam hatinya, ia tidak bisa
bersabar menghadapi kemiskinannya, sehingga berbagai perbuatan harampun dilakukan, mencuri,
menipu, melacur, merampok, dan yang lainnya.

Tengah-tengah
            Ini adalah sikap yang benar terhadap rezeki, yaitu tengah-tengah diantara ifrath (berlebih-
lebihan) dan tafrith (teledor). Sikap tengah-tengah ini adalah sikap orang-orang yang bertakwa,
yang tahu tujuan diciptakannya di muka bumi ini, ia tidak rakus berlebih-lebihan dalam mencari
rezeki, sehingga tidak mau mencarinya dengan jalan yang haram, namun ia tidak pula bermalas-
malasan dan teledor dalam mencari rezeki yang halal, apalagi sampai berputus asa. Jika ia kaya
maka ia menjadi orang kaya yang bersyukur dan syukur itu baik baginya, semakin kaya maka
semakin bertakwa.
Namun jika ia miskin, maka ia menjadi orang miskin yang bersabar dan kesabaran itu baik
baginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫ َوِإ ْن َأ‬،ُ‫صابَ ْتهُ َسرَّا ُء َش َك َر فَ َكانَ خَ ْيرًا لَه‬
َ ُ‫صابَ ْته‬
‫ضرَّا ُء‬ َ ‫ ِإ ْن َأ‬،‫ك َِأل َح ٍد ِإالَّ لِ ْل ُمْؤ ِم ِن‬ َ ‫إن َأ ْم َرهُ ُكلَّهُ لَهُ خَ ْي ٌر َولَي‬
َ ِ‫ْس َذل‬ َّ ‫ع ََجبًا َِأل ْم ِر ْال ُمْؤ ِم ِن‬
ُ‫صبَ َر فَ َكانَ َخيْراً لَه‬
َ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik
baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan
kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya
apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan
baginya” (HR. Muslim).
            Tiga kelompok pertama di atas adalah tiga kelompok yang salah dalam menyikapi rezeki,
apakah gerangan penyebabnya? Di antara penyebab terbesar yang mendorong tiga kelompok
pertama di atas bersikap dengan sikap yang salah di atas, adalah mereka tidak mengenal Allah
dengan benar.
            Mereka tidak mengenal kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahamuliaan sifat-sifat-
Nya dan tidak melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung di dalam nama-nama-Nya
dengan baik. Mengapa seseorang sampai berputus asa atau rakus terhadap rezeki, tidakkah
mereka mengetahui bahwa Allah adalah ُ‫الر َّزاق‬ (Yang
َ Banyak Memberi rezeqi)?
            Pentingnya ma’rifatullah (mengenal Allah) dan beribadah kepada-Nya
Seorang yang hidup di dunia ini hakikatnya sedang melakukan perjalanan hidup menuju kepada
Tuhannya, ia harus mengetahui tujuan perjalanan hidupnya, untuk apa ia diciptakan di muka
bumi ini.

Tujuan penciptaan manusia (tujuan hidup) itu ada dua:


1. Ma’rifatullah, agar manusia mengenal siapa Rabb-nya melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
‫َي ٍء‬ْ ‫َي ٍء قَ ِدي ٌر َوَأ َّن هَّللا َ قَ ْد َأ َحاطَ ِب ُكلِّ ش‬
ْ ‫ض ِم ْثلَه َُّن يَتَنَ َّز ُل اَأْل ْم ُر بَ ْينَه َُّن لِتَ ْعلَ ُموا َأ َّن هَّللا َ َعلَ ٰى ُك ِّل ش‬
ِ ْ‫ت َو ِمنَ اَأْلر‬
ٍ ‫اوا‬ َ َ‫هَّللا ُ الَّ ِذي خَ ل‬
َ ‫ق َس ْب َع َس َم‬
‫ِع ْل ًما‬
”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar klian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” (QS.Ath-Thalaaq: 12).
2. Ibadatullah, agar kita beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar.
Allah Ta’ala berfirman :
َ ‫ت ْال ِج َّن َواِإْل ْن‬
ِ ‫س ِإاَّل لِيَ ْعبُد‬
‫ُون‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku
semata” (QS.Adz-Dzaariyaat : 56) [Fiqhul Asmaa`il Husnaa, hal. 8])
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang tingginya kedudukan mengenal Allah
(ma’rifatullah):
‫ والجهل به مستلزم للجهل بنفسه‬،‫ وهو أصل علم العبد بسعادته وكماله ومصالح دنياه وآخرته‬،‫أن العلم باهلل أصل كل علم‬
‫ فالعلم به سعادة العبد والجهل به أصل شقاوته‬،‫ومصالحها وكمالها وما تزكو به وتفلح به‬
“Bahwa mengenal Allah adalah dasar dari seluruh ilmu (yang bermanfa’at), ia juga sebagai dasar
ilmu seorang hamba tentang kebahagiaan , kesempurnaan, maslahat dunia dan akheratnya. Dan
tidak mengenal Allah mengakibatkan (seseorang) tidak mengenal dirinya , tidak tahu maslahat
dan kesempurnaan dirinya serta tidak mengetahui perkara yang menyebabkan suci dan beruntung
dirinya. Maka mengetahui tentang Allah sebab kebahagiaan seorang hamba, sedangkan tidak
mengetahui-Nya sebab kesengsaraannya” (Miftah Daris Sa’adah 1/312).

3. Mengenal Allah Dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat nnya

 Sesungguhnya pintu ilmu dan iman yang paling besar adalah mengenal Allah Tabaraka wa
Ta’ala dengan mengenal nama-nama-Nya yang husna (terindah) dan sifat-sifat-Nya yang ‘ulya
(termulia) yang terkandung dalam nama-nama-Nya tersebut, Allah Ta’ala berfirman:
‫وهَّلِل ِ اَأْل ْس َما ُ§ء ْال ُح ْسن َٰى فَا ْدعُوهُ بِهَا‬ 
َ
"anya milik Allah lah nama-nama yang terindah, maka berdo’a (dan beribadahlah) kalian kepada-
Nya dengan nama-nama yang terindah itu” (Al-A’raaf:180).
Makna firman Allah : {‫فَا ْدعُوهُ بِهَا‬ } “maka berdo’a (dan beribadahlah) kalian kepada-Nya dengan
nama-nama yang terindah itu” mengandung tiga perkara:
            Perintah untuk berdo’a dengan menyebut nama-nama-Nya yang husna (terindah) , seperti
perkataan kita  “Ya Ghaffar (Yang Maha Pengampun) ampunilah dosa-dosa kami”.
Perintah untuk memuji-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang husna (terindah) , seperti
perkataan kita “Subhanallah dan Alhamdulillah”
            Perintah untuk beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan tuntutan peribadatan yang
terkandung dalam nama-nama-Nya yang terindah itu, seperti Al-Khasyah (takut kepada Allah),
mencintai Allah, sabar ,ruku’, sujud, dan yang lainnya (Diolah dari Madarijus Salikin: 1/420).
            Dari sinilah dapat kita ambil pelajaran bahwa mempelajari nama-nama dan sifat-sifat
Allah Ta’ala memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seorang hamba. Ia akan terbimbing
ucapan dan perbuatannya, lahir dan batinnya, dengan memahami nama-nama dan sifat Allah
Ta’ala dan melakukan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama dan sifat Allah tersebut.
Oleh karena itu berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah :
‫وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع األسماء والصفات التى يطلع عليها البشر‬
“Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah orang yang beribadah kepada Allah dengan
melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam semua nama-nama dan sifat-sifat-Nya
yang diketahui oleh manusia” (Madarijus Salikin: 1/420).

Mengenal nama Allah ُ‫الر َّزاق‬  (Yang


َ Banyak Memberi rezeqi)
            Nama Allah itu banyak jumlahnya, diantara nama Allah adalah ُ‫ال َر َّزاق‬ (Ar-Razzaaq).
Menyebut suatu nama sebagai nama Allah haruslah berdasarkan dalil atau yang diistilahkan oleh
ulama kita dengan istilah tauqifiyyah.
Adapun dalil nama ini, telah disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim,
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
ُ‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة ْال َمتِين‬
ُ ‫ ِإ َّن هَّللا َ هُ َو ال َّر َّزا‬   
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat
Kokoh” (Surah Adz-Dzaariyaat:58).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

 Setiap Manusia di dalam menjalani kehidupannya di dunia, tidak bisa terlepas dari rezeki, sesuatu yang
ia butuhkan untuk keberlangsungan hidupnya di muka bumi ini. Sulit atau mudahnya, riang-gembiranya
serta susah-payahnya manusia dalam mencari rezeki membuat mereka memilih sikap yang berbeda-
beda dalam mencari dan cara menikmatinya. Ada orang yang miskin namun bersabar dengan
kemiskinannya, ada pula orang yang kaya dan bersyukur dengan kekayaannya, sehingga semakin kaya
semakin ta’at kepada Rabb nya. Namun ada pula yang rakus, tamak alias serakah dalam mencari rezeki,
sehingga yang haram pun ia terjang, namun ada yang justru sebaliknya, bermalas-malasan bahkan
berputus asa.

Demikian,hasil makalah kami semoga dapat memberi manfaat kepada man-temanku semua dan tak
lupa pula kami berterima kasih kepada ibu atas perhatiannya,Terima Kasih.
bahasa Indonesia. fiqh, fiqh gaul, dan sebagainya.

fiqh politik (fiqh as-siyasah), dan sekarang sedang dikembangkan fiqh sosial, fiqh gender,
bahasa Indonesia. fiqh, fiqh gaul, dan sebagainya.

sesuai dengan tuntutan zaman, selain fiqh ibadah, fiqh munakahat, fiqh al-mawarits, ada juga
fiqh politik (fiqh as-siyasah), dan sekarang sedang dikembangkan fiqh sosial, fiqh gender,
bahasa Indonesia. fiqh, fiqh gaul, dan sebagainya.1.3 Ahlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistik (bahasa) dan pendekatan terminologis (istilah). Dari segi bahasa,
akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tabiat (perilaku atau watak dasar),
kebiasaan atau kelaziman, dan peradaban yang baik. Adapun pengertian akhlak menurut
istilah sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan dan pemikiran.
Akhlak merupakan dimensi nilai dari syariat Islam. Kualitas keberagaman justru
ditentukan oleh nilai-nilai moral. Jika syariat berbicara tentang rukun-rukun, sah atau tidak
sah, akhlak lebih menekankan pada kualitas perbuatan, misalnya beramal dilihat dari
keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusyuannya, perjuangan dilihat dari kesabarannya, haji
dilihat dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, aset dilihat
dari aspek dimana dan untuk apa, kedudukan dilihat dari ukuran apa yang diberikan, bukan
apa yang diterima.
Karena akhlak juga merupakan subsistem dari sistem ajaran Islam, pembidangan akhlak
juga bersifat vertikal dan horizontal. Ada akhlak manusia terhadap Tuhan, akhlak manusia
terhadap sesama manusia, akhlak manusia terhadap diri sendiri, dan akhlak manusia terhadap
alam hewan dan tumbuhan. Pengertian akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber
lahirnya perbuatan dan perbuatan tersebut lahir secara spontan tanpa memikirkan untung rugi.
Kajian akhlak secara mendalam dilakukan oleh suatu ilmu yang disebut tasawuf.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistik (bahasa) dan pendekatan terminologis (istilah). Dari segi bahasa,
akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tabiat (perilaku atau watak dasar),
kebiasaan atau kelaziman, dan peradaban yang baik. Adapun pengertian akhlak menurut
istilah sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan dan pemikiran.
Akhlak merupakan dimensi nilai dari syariat Islam. Kualitas keberagaman justru
ditentukan oleh nilai-nilai moral. Jika syariat berbicara tentang rukun-rukun, sah atau tidak
sah, akhlak lebih menekankan pada kualitas perbuatan, misalnya beramal dilihat dari
keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusyuannya, perjuangan dilihat dari kesabarannya, haji
dilihat dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, aset dilihat
dari aspek dimana dan untuk apa, kedudukan dilihat dari ukuran apa yang diberikan, bukan
apa yang diterima.
Karena akhlak juga merupakan subsistem dari sistem ajaran Islam, pembidangan akhlak
juga bersifat vertikal dan horizontal. Ada akhlak manusia terhadap Tuhan, akhlak manusia
terhadap sesama manusia, akhlak manusia terhadap diri sendiri, dan akhlak manusia terhadap
alam hewan dan tumbuhan. Pengertian akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber
lahirnya perbuatan dan perbuatan tersebut lahir secara spontan tanpa memikirkan untung rugi.
Kajian akhlak secara mendalam dilakukan oleh suatu ilmu yang disebut tasawuf
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistik (bahasa) dan pendekatan terminologis (istilah). Dari segi bahasa,
akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tabiat (perilaku atau watak dasar),
kebiasaan atau kelaziman, dan peradaban yang baik. Adapun pengertian akhlak menurut
istilah sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan dan pemikiran.
Akhlak merupakan dimensi nilai dari syariat Islam. Kualitas keberagaman justru
ditentukan oleh nilai-nilai moral. Jika syariat berbicara tentang rukun-rukun, sah atau tidak
sah, akhlak lebih menekankan pada kualitas perbuatan, misalnya beramal dilihat dari
keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusyuannya, perjuangan dilihat dari kesabarannya, haji
dilihat dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, aset dilihat
dari aspek dimana dan untuk apa, kedudukan dilihat dari ukuran apa yang diberikan, bukan
apa yang diterima.
Karena akhlak juga merupakan subsistem dari sistem ajaran Islam, pembidangan akhlak
juga bersifat vertikal dan horizontal. Ada akhlak manusia terhadap Tuhan, akhlak manusia
terhadap sesama manusia, akhlak manusia terhadap diri sendiri, dan akhlak manusia terhadap
alam hewan dan tumbuhan. Pengertian akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber
lahirnya perbuatan dan perbuatan tersebut lahir secara spontan tanpa memikirkan untung rugi.
Kajian akhlak secara mendalam dilakukan oleh suatu ilmu yang disebut tasawuf

Anda mungkin juga menyukai