Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM PIDANA

TENTANG DELIK RESIDIVIS


Dosen Pengampu : Nani Widya Sari S.H., M.H.

Kelas : 02HUKP008

Disusun oleh : Kelompok 3

Anggota :
1.) Achmad Wahid Habibi Arsya (221010201258)

2.) Aditya Arif Mulyana (221010201312)


3.) Putra Kherfi Pratama (221010201275)
4.) Rinaldi Ilham (221010201260)
5.) Rizka Fadilla Tussadah (221010201317)
6.) Salsabila Dyka Zahirah (221010201325)
7.) Violin Shyfa Kamrilla (221010201313)
8.) Suci Shafarina (221010200376)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
Jl. Raya Puspitek No. 45, Buaran, Serpong, Kota Tangerang Selatan
Banten, Indonesia
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah
tentang "Delik Residivis".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,
baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Kota Tangerang Selatan, 20 Mei 2023


DAFTAR ISI
JUDUL ...........................................................................................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................

2.1 Bagaimanakah peraturan hukum dan perundang-undangan tentang pengulangan


kejahatan “residiv”? ............................................................................................................

2.2 Bagaimanakah upaya-upaya Lembaga pemasyarakatan dalam menanggulangi


terjadinya pengulangan kejahatan “residiv”? .....................................................................

2.3 Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi seorang narapidana menjadi residivis......

BAB III PENUTUP......................................................................................................................

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................

3.1 Saran............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial yang senantiasa dan
harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Dalam hal melakukan interaksinya setiap
manusia berpeluang kepada siapa saja untuk melakukan kejahatan. Karna kejahatan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Segala aktifitas manusia
baik politik, sosial dan ekonomi sangat potensial menjadi pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan
sendiri dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau tindakan anti sosial yang mendapat
kecaman dari masyarakat karna dianggapnya bertentangan dengan norma.

Maka dari itu hukum sangat diperlukan sebagai sarana untuk mengatur kehidupan
manusia agar tercipta ketenteraman dan ketertiban dan tentunya hukum memberikan ancaman
kepada siapa saja yang menjadi pelaku kejahatan. Masyarakat sudah terbiasa atau dibiasakan
memandang pelaku sebagai satu-satunya faktor dalam gejala kejahatan.Maka tidaklah
mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan
penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap
sebagai obat manjur untuk menyembuhkan baik luka atau derita korban maupun kelainan
perilaku yang diidap pelaku kejahatan.

Herbert L. Packer dalam bukunya “The Umits of The Criminal Sanction”


menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik
dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri.
Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara cermat dan manusiawi.
Sementara, sebaliknya bisa merupakan ancaman jika digunakan secara sembarangan dan
tidak konsisten.

Pidana penjara adalah suatu bentuk pidana yang berupa pembatasan gerak yang
dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,
dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib bagi pelaku tindak
pidana yang melanggar peraturan tersebut. Sistem pemasyarakatan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan memiliki
filosofi yang berbeda dari lembaga kepenjaraan. Sistem kepenjaraan yang lebih menekankan
pada unsur balas dendam dan penjeraan dipandang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi
sosial agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan
tindak pidana dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri
sendiri dan lingkungannya.

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan mempunyai banyak kesempatan untuk saling


berinteraksi serta bersosialisasi antar sesama narapidana. Interaksi ini membawa dampak
positif sekaligus negatif. Mereka dapat saling berbagi pengalaman dalam hal kejahatan,
sehingga Lembaga Pemasyarakatan justru berfungsi sebagai sekolah kejahatan, dimana
narapidana yang baru telah menimba ilmu kepada narapidana yang senior dalam hal
kejahatan. Dan akhirnya akan dipraktikkan pada saat keluar dari tahanan.

Sebutan sebagai sekolah kejahatan semakin nyata terlihat ketika narapidana yang
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan melakukan kejahatan ulang setelah bebas. Hal ini
menandakan bahwa masyarakat masih menganggap Lembaga Pemasyarakatan sebagai pusat
latihan untuk para penjahat agar berlatih melakukan tindak kriminal.

Secara konsep seharusnya narapidana mendapatkan pembinaan di Lembaga


Pemasyarakatan, namun pada kenyataannya banyak narapidana yang justru melakukan tindak
pidana lagi baik ketika masih di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan maupun ketika
bebas. Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahat-penjahat
kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini biasanya mengulang
kejahatan yang sama, meskipun dia pernah dijatuhi hukuman.

Pengulangan tindak pidana bukanlah hal yang baru dalam dunia hukum, karena
dimana ada kejahatan maka disitu ada pengulangan kejahatan. Dan pengulangan kejahatan
dianggap sebagai penerusan dari niat jahat sebagaimana dikemukakan oleh Bartolus seorang
ahli hukum, bahwa “Humamum enimest peccare, angilicum, seemendare, diabolicum
perseverare” atau kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat
jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya
dengan praktik kejahatan.

Pendapat ini dikemumukan untuk menjelaskan betapa pentingnya kedudukan


pengulangan tindak pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Hal ini terbukti dengan
dimasukkannya pengulangan tindak pidana itu ke dalam bagian yang esensi dalam ajaran
hukum pidana di berbagai Negara. Residive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan
tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti
dalam concursus relais, dalam residive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam residive
telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Seseorang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan oleh beberapa faktor


seperti kurang bekerjanya salah satu subsistem secara efektif dari salah satu sistem peradilan
pidana (criminal justice system) di Indonesia, dan juga karna faktor ekonomi, sosial, budaya.
Dalam KUHP Indonesia, pengulangan tindak pidana hanya dikenal dalam bentuk
residivisme, tanpa menentukan dengan jelas berapa batasan jumlah pengulangan.

Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana pada awalnya berfungsi untuk
memberikan efek jera kepada si pelaku, sehingga si pelaku akan berfikir lagi jika ingin
melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun adakalanya si pelaku bukannya merasa
jera, malah melakukan kejahatan yang sama, padahal secara legal yuridis dia telah dihukum
karena kejahatannya. Kondisi ini disebut dengan pengulangan kejahatan pidana (residive).

Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu institusi yang diberikan tugas untuk


melakukan pembinaan dan rehabilitasi terhadap Warga Anak Binaan atau Anak Pidana
dinilai tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan efektif karna dalam faktanya masih
dapat dijumpai penjahat-penjahat yang berkualifikasi residivis. Secara singkat tujuan dari
pidana penjara meliputi :

1. Pembalasan (vergelding/retribusi)

2. Penjeraan (afschriking/deterence)

3. Penutupan (onschadelike/incarcaeration)

4. Rehabilitasi, reformasi dan resosialisasi

Terkait dengan residivis, tujuan yang terpenting adalah pada aspek penjeraan dan rehabilitasi.
Penjeraan terkait dengan hukuman atau pembalasan yang diterima oleh residivis karena
perbuatannya, dan aspek rahabilitasi merupakan aspek penyiapan mental dan ketrampilan
agar mereka tidak melakukan kejahatan lagi dan dapat dimaafkan serta diterima oleh
masyarakat. Selanjutnya pokok pikiran tersebut dijadikan prinsip-prinsip pokok konsepsi
terhadap aspek-aspek sosiologi dan kriminologi, mengingat kedua aspek tersebut memegang
peranan penting dalam penaganan residivis.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan dan perbaikan terhadap para


narapidana diharapkan dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga dapat menanggulangi
volume kejahatan dalam masyarakat. Mengingat banyaknya tindak pidana dengan berbagai
latar belakang serta tingkat kejahatan yang berada dalam satu tempat yang sama, yang
menyebabkan proses pembinaan belum berjalan sesuai yang diharapkan. Pidana penjara
belum dapat membuat jera para pelaku kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat baik para
pendatang baru maupun para residivis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum dan perundang-undangan tentang pengulangan


kejahatan “residiv” ?

2. Bagaimanakah upaya-upaya Lembaga Pemasyarakatan dalam menanggulangi terjadinya


pengulangan kejahatan “residiv” ?

3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi seorang narapidana menjadi residivis ?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peraturan Hukum dan Perundangan-Undangan Tentang Pengulangan


Kejahatan atau Residiv

Sejauh ini peraturan hukum dan perundang-undangan ini belum diatur secara khusus
tentang pengulangan kejahatan atau residiv, mengenai residiv sampai saat ini masih diatur
secara terbatas di dalam KUHP. Di dalam KUHP pun tidak ada yang mengatur secara umum
tentang residiv, namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur
tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (residive). Ada dua kelompok yang
dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (residive), yaitu :

1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-


syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada
tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488
KUHP.

2. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai pada Pasal 388, KUHP juga
menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan,
misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal
512 ayat (3).

Dari ketentuan pasal-pasal yang telah disebut diatas, maka untuk pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis) akan dikenakan tambahan 1/3 (sepertiga)dari ancaman pidana
maksimal dari tindak pidana.

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau


menjatuhkan pidana dimuat dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU-KUHP) tahun 2000. Di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai
teori pemidanaan mengakibatkan para sarjana berpikir untuk merumuskan tujuan pemidanaan
yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritik-kritik mengenai dasar pemidanaan yang
menyangkut hubungan antara teori pidana, pelaksanaan pidana dan tujuan yang hendak
dicapai serta hasil yang diperoleh dari penerapan pidana.
2.2 Bagaimanakah upaya-upaya Lembaga Pemasyarakatan dalam
menanggulangi terjadinya pengulangan kejahatan “residiv”

Untuk menanggulangi terjadinya pengulangan kejahatan, pihak Lembaga


Pemasyarakatan melakukan berbagai upaya diantaranya adalah dengan melakukan program
pembinaan dan pelatihan terhadap narapidana dengan tujuan memberikan keterampilan serta
pemberian program asimilasi secara berkala terhadap narapidana dengan tujuan memberikan
ruang kepada narapidana untuk berbaur dengan masyarakat luar.

1. Memberikan Program Pelatihan

Untuk mengisi waktu narapidana agar bermanfaat, ditentukan jadwal-jadwal kegiatan


yang dilakukan dari pagi hingga sore dalam setiap harinya. Salah satu kegiatan yang dinilai
penting dan manfaatnya besar adalah program pelatihan baik terhadap petugas maupun
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Sebagai petugas mengikuti program pelatihan merupakan keharusan karena mereka


langsung berhadapan dengan narapidana. Dengan kata lain terampilnya narapidana dalam
bidang pekerjaan tertentu sangat tergantung kepada keterampilan petugas Lembaga
Pemasyarakatan.

Perlunya pelatihan untuk petugas, semata-mata untuk memenuhi kebutuhan


narapidana. Selama ini bentuk pelatihan yang diberikan kepada petugas hanya bersifat
insidentil. Di samping itu sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang mengatakan bahwa
pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh hanya bersifat mengisi waktu saja
atau hanya untuk kepentingan negara saja, melainkan pelatihan tersebut diharapkan
bermanfaat bagi narapidana sebagai bekal kembali dalam masyarakat.Sebagaimana yang
dikemukakan oleh narapinana bahwa program pelatihan bermanfaat bagi narapidana jika
diikuti sungguh-sungguh dalam waktu 3 (tiga) bulan. Hal ini menunjukkan bahwa narapidana
menginginkan pelatihan yang benar-benar berguna dan bermanfaat bagi dirinya sebagai bekal
bekerja dimasyarakat, namun mereka mengungkapkan bahwa sering terkendala dengan
modal untuk mebuka usaha seperti pertukangan atau yang lainnya. Program pelatihan ini
ternyata mendapat respon positif dari narapidana, karena narapidana berharap pelatihan
tersebut dapat dijadikan bekal bekerja di masyarakat.

2. Mekanisme Pembinaan terhadap Narapidan Residivis


Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dimulai sejak
bersangkutan ditahan di rumah tahanan negara (rutan) sebagai tersangka atau terdakwa untuk
kepentingan penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pembinaan
para tahanan dalam wujud perawatan tahanan yaitu proses pelayanan tahanan yang termasuk
di dalamnya program-program perawatan rohani maupun jasmani.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap salah satu staf registrasi
Lembaga Pemasyarakatan, mengatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan mekanisme
pembinaan narapidana biasa dengan narapidana residivis. Pembinaan terhadap narapidana
residivis lebih difokuskan kepada kegiatan yang bersifat mandiri, sehingga diharapkan
kepada residivis yang sudah pernh melakukan tindak pidana tidak lagi berbuat kejahatan dan
setelah keluar dari masa hukuman dapat diterima baik oleh masyarakat luar.

Narapidana yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
yang kemudian disebut narapidana, penempatannya di lembaga pemasyarakatan. Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Makassar memberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk
meningkatkan kwalitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan
prilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani WBP yang dilaksanakan dalam beberapa
tahap, yaitu; kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk
menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.
Waktunya dimulai pada saat narapidana berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 hari
masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam LAPAS dan
pengawasannya maksimum (maksimum security).

Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian sampai


dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang pelaksanaannya
terdiri atas dua bagian. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang
dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan. Menyadari bahwa
pembinaan WBP berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara
komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat merupakan
salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta masyarakat dalam pembinaan,
tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya reintegrasi WBP tidak akan tercapai
bagaimanapun baiknya kwalitas program-program pembinaan yang diterapkan.

Dalam membina narapidana, dapat digunakan banyak metode pembinaan. Metode


pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan, agar dapat secara efektif
dan efisien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan perubahan dalam diri
narapidana, baik perubahan dalam berpikir maupun dalam bertindak. Penyampaian materi
dalam pembinaan bukan hanya dilakukan asal dapat menyapaikan, atau dengan kata lain
berdasar ketentuan kemampauan pembawa materi, tetapi harus juga diperhatikan sampai
seberapa jauh kesiapan para narapidana dalam menerima materi pembinaan.

2.3 Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi seorang narapidana


menjadi residis?

Faktor penyebab timbulnya kejahatan yang biasa terdapat pada diri manusia itu
sendiri yang meliputi faktor internal yaitu agama dan pendidikan, serta faktor eksternal yang
berasal dari luar diri manusia, antara lain faktor lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat,
dan faktor lingkungan ekonomi. Penyebab terjadinya residivis merupakan faktor yang saling
berkaitan satu sama lain. Baik karena faktor pendidikan, masyarakat maupun ekonomi.

Adapun upaya pemberantasan kejahatan terdiri dari dua aspek yaitu dari segi sebelum
terjadinya kejahatan yang sering dikenal dengan cara preventif yaitu dalam upaya ini
dilakukan melalui sistem abiolisionistik untuk menghilangkan faktor-faktor penyebab suatu
kejahatan dan sistem moralistik yaitu penerangan atau penyebarluasan dalam masyarakat
berarti memperkuat moral dan mental seseorang agar terlayani dari keinginan untuk
melakukan kejahatan.

Dari segi setelah terjadinya sejahtan yaitu melalui cara-cara represif dimana segala
tindakan yang dilakukan oleh residivis tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitar dan
minimnya pengetahuan agama, serta rendahnya pendidikan, disamping tidak adanya
pendapatan yang diperoleh. setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Karena seorang
residivis telah dicap sebagai kriminal di masyarakat, sehingga tidak ada lagi rasa percaya
terhadap seorang residivis.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Mengenai peraturan tentang residiv sampai saat ini masih diatur secara terbatas di
dalam KUHP. Di dalam KUHP pun tidak ada yang mengatur secara umum tentang
residiv, namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur
tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (residive), yaitu pelaku
pengulangan tindak pidana (residive) akan dikenakan tambahan 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana maksimal dari tindak pidana.

2. Lembaga Pemasyarakatan telah berupaya untuk menanggulangi terjadinya


pengulangan kejatahan (residive) dengan memberikan program pelatihan bagi
narapidana dengan tujuan untuk memberikan keterampilan kepada narapidana guna
sebagai bekal modal kerja selepas menjalani masa pidana di Lembaga
Pemasyarakatan, selain itu pihak Lembaga Pemasyarakatan juga memberikan
asimilasi yang bertujuan untuk memberikan ruang kepada narapidana untuk berbaur
dengan masyarakat sebelum betul-betul kembali ke dalam lingkungan masyarakat.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi narapidana untuk melakukan pengulangan


kejahatan (residive) adalah diantaranya ; stigmatisasi dari masyarakat dan dampak
buruk dari kondisi lembaga pemasyarakatan yang sering disebut sebagai dampak
prisonisasi.

3.2 Saran

1. Demi terciptanya kepastian hukum, perlu segera diterbitkan regulasi khusus mengenai
tindak pidana pengulangan kejahatan (residive) yang selama ini pengaturannya masih
terbatas di dalam KUHP

2. Agar program pembinaan terhadap narapidana berjalan dengan baik, perlu


ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga petugas
memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang berkaitan
dengan kegiatan keterampilan.
DAFTAR PUSAKA

Abidin Zainal Farid, 1995.Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika

Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukumdan HAM RI

Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2.Jakarta: Raja Grafindo Persada

A.Widiada Gunakaya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan , Bandung Armico

Bachtiar Agus Salim, 2003, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya
Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, Medan:Pustaka Bangsa, Pemikiran
Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa

Burhan Bungi, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta RajaGrafindo Persada

C.I. Harsono Hs, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana , Jakarta: Djambatan D.
Schaffmeister, et al, 1995, Hukum Pidana editor penerjemah J,E sahetapi,
Yogyakarta: Liberty

David J. Cooke, Pamela J. Baldwin dan Jaqueline Howison, 2008, Menyikap Dunia Gelap
Penjara , Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Dwidja Prayatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, Refika
Aditama

Friedrich Stumpl di kutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny.L.
Moeljatno

Gerson W Bawengan, 1997, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Didalam Teori
Dan Praktik, Jakarta: Pradnya Paramitha

J.E. Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap
Pembunuhan Berencana , Jakarta Rajawali

Joko P. Subagyo, 1997, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta Rineka Cipta
J.C.T. Simorangkir, 2008, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika Lexy J. Moleong, 2004,
Metode Kualitatif , Bandung: Remaja Rosdakarya Muladi dan barda nawawi arif ,
1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni

Mardjono Reksodiputro, 1997, hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana, Jakarta:
pusat pelayanan keadilan dan pengabdian hukum UniversitasIndonesia

Anda mungkin juga menyukai