Pidana 1
Pidana 1
Kelas : 02HUKP008
Anggota :
1.) Achmad Wahid Habibi Arsya (221010201258)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
Jl. Raya Puspitek No. 45, Buaran, Serpong, Kota Tangerang Selatan
Banten, Indonesia
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah
tentang "Delik Residivis".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,
baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................
3.1 Saran............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Maka dari itu hukum sangat diperlukan sebagai sarana untuk mengatur kehidupan
manusia agar tercipta ketenteraman dan ketertiban dan tentunya hukum memberikan ancaman
kepada siapa saja yang menjadi pelaku kejahatan. Masyarakat sudah terbiasa atau dibiasakan
memandang pelaku sebagai satu-satunya faktor dalam gejala kejahatan.Maka tidaklah
mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan
penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap
sebagai obat manjur untuk menyembuhkan baik luka atau derita korban maupun kelainan
perilaku yang diidap pelaku kejahatan.
Pidana penjara adalah suatu bentuk pidana yang berupa pembatasan gerak yang
dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,
dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib bagi pelaku tindak
pidana yang melanggar peraturan tersebut. Sistem pemasyarakatan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan memiliki
filosofi yang berbeda dari lembaga kepenjaraan. Sistem kepenjaraan yang lebih menekankan
pada unsur balas dendam dan penjeraan dipandang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi
sosial agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan
tindak pidana dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri
sendiri dan lingkungannya.
Sebutan sebagai sekolah kejahatan semakin nyata terlihat ketika narapidana yang
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan melakukan kejahatan ulang setelah bebas. Hal ini
menandakan bahwa masyarakat masih menganggap Lembaga Pemasyarakatan sebagai pusat
latihan untuk para penjahat agar berlatih melakukan tindak kriminal.
Pengulangan tindak pidana bukanlah hal yang baru dalam dunia hukum, karena
dimana ada kejahatan maka disitu ada pengulangan kejahatan. Dan pengulangan kejahatan
dianggap sebagai penerusan dari niat jahat sebagaimana dikemukakan oleh Bartolus seorang
ahli hukum, bahwa “Humamum enimest peccare, angilicum, seemendare, diabolicum
perseverare” atau kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat
jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya
dengan praktik kejahatan.
Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana pada awalnya berfungsi untuk
memberikan efek jera kepada si pelaku, sehingga si pelaku akan berfikir lagi jika ingin
melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun adakalanya si pelaku bukannya merasa
jera, malah melakukan kejahatan yang sama, padahal secara legal yuridis dia telah dihukum
karena kejahatannya. Kondisi ini disebut dengan pengulangan kejahatan pidana (residive).
1. Pembalasan (vergelding/retribusi)
2. Penjeraan (afschriking/deterence)
3. Penutupan (onschadelike/incarcaeration)
Terkait dengan residivis, tujuan yang terpenting adalah pada aspek penjeraan dan rehabilitasi.
Penjeraan terkait dengan hukuman atau pembalasan yang diterima oleh residivis karena
perbuatannya, dan aspek rahabilitasi merupakan aspek penyiapan mental dan ketrampilan
agar mereka tidak melakukan kejahatan lagi dan dapat dimaafkan serta diterima oleh
masyarakat. Selanjutnya pokok pikiran tersebut dijadikan prinsip-prinsip pokok konsepsi
terhadap aspek-aspek sosiologi dan kriminologi, mengingat kedua aspek tersebut memegang
peranan penting dalam penaganan residivis.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
PEMBAHASAN
Sejauh ini peraturan hukum dan perundang-undangan ini belum diatur secara khusus
tentang pengulangan kejahatan atau residiv, mengenai residiv sampai saat ini masih diatur
secara terbatas di dalam KUHP. Di dalam KUHP pun tidak ada yang mengatur secara umum
tentang residiv, namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur
tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (residive). Ada dua kelompok yang
dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (residive), yaitu :
2. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai pada Pasal 388, KUHP juga
menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan,
misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal
512 ayat (3).
Dari ketentuan pasal-pasal yang telah disebut diatas, maka untuk pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis) akan dikenakan tambahan 1/3 (sepertiga)dari ancaman pidana
maksimal dari tindak pidana.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap salah satu staf registrasi
Lembaga Pemasyarakatan, mengatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan mekanisme
pembinaan narapidana biasa dengan narapidana residivis. Pembinaan terhadap narapidana
residivis lebih difokuskan kepada kegiatan yang bersifat mandiri, sehingga diharapkan
kepada residivis yang sudah pernh melakukan tindak pidana tidak lagi berbuat kejahatan dan
setelah keluar dari masa hukuman dapat diterima baik oleh masyarakat luar.
Narapidana yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
yang kemudian disebut narapidana, penempatannya di lembaga pemasyarakatan. Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Makassar memberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk
meningkatkan kwalitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan
prilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani WBP yang dilaksanakan dalam beberapa
tahap, yaitu; kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk
menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.
Waktunya dimulai pada saat narapidana berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 hari
masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam LAPAS dan
pengawasannya maksimum (maksimum security).
Faktor penyebab timbulnya kejahatan yang biasa terdapat pada diri manusia itu
sendiri yang meliputi faktor internal yaitu agama dan pendidikan, serta faktor eksternal yang
berasal dari luar diri manusia, antara lain faktor lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat,
dan faktor lingkungan ekonomi. Penyebab terjadinya residivis merupakan faktor yang saling
berkaitan satu sama lain. Baik karena faktor pendidikan, masyarakat maupun ekonomi.
Adapun upaya pemberantasan kejahatan terdiri dari dua aspek yaitu dari segi sebelum
terjadinya kejahatan yang sering dikenal dengan cara preventif yaitu dalam upaya ini
dilakukan melalui sistem abiolisionistik untuk menghilangkan faktor-faktor penyebab suatu
kejahatan dan sistem moralistik yaitu penerangan atau penyebarluasan dalam masyarakat
berarti memperkuat moral dan mental seseorang agar terlayani dari keinginan untuk
melakukan kejahatan.
Dari segi setelah terjadinya sejahtan yaitu melalui cara-cara represif dimana segala
tindakan yang dilakukan oleh residivis tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitar dan
minimnya pengetahuan agama, serta rendahnya pendidikan, disamping tidak adanya
pendapatan yang diperoleh. setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Karena seorang
residivis telah dicap sebagai kriminal di masyarakat, sehingga tidak ada lagi rasa percaya
terhadap seorang residivis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Mengenai peraturan tentang residiv sampai saat ini masih diatur secara terbatas di
dalam KUHP. Di dalam KUHP pun tidak ada yang mengatur secara umum tentang
residiv, namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur
tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (residive), yaitu pelaku
pengulangan tindak pidana (residive) akan dikenakan tambahan 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana maksimal dari tindak pidana.
3.2 Saran
1. Demi terciptanya kepastian hukum, perlu segera diterbitkan regulasi khusus mengenai
tindak pidana pengulangan kejahatan (residive) yang selama ini pengaturannya masih
terbatas di dalam KUHP
Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukumdan HAM RI
Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Bachtiar Agus Salim, 2003, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya
Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, Medan:Pustaka Bangsa, Pemikiran
Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa
Burhan Bungi, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta RajaGrafindo Persada
C.I. Harsono Hs, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana , Jakarta: Djambatan D.
Schaffmeister, et al, 1995, Hukum Pidana editor penerjemah J,E sahetapi,
Yogyakarta: Liberty
David J. Cooke, Pamela J. Baldwin dan Jaqueline Howison, 2008, Menyikap Dunia Gelap
Penjara , Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Dwidja Prayatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, Refika
Aditama
Friedrich Stumpl di kutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny.L.
Moeljatno
Gerson W Bawengan, 1997, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Didalam Teori
Dan Praktik, Jakarta: Pradnya Paramitha
J.E. Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap
Pembunuhan Berencana , Jakarta Rajawali
Joko P. Subagyo, 1997, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta Rineka Cipta
J.C.T. Simorangkir, 2008, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika Lexy J. Moleong, 2004,
Metode Kualitatif , Bandung: Remaja Rosdakarya Muladi dan barda nawawi arif ,
1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni
Mardjono Reksodiputro, 1997, hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana, Jakarta:
pusat pelayanan keadilan dan pengabdian hukum UniversitasIndonesia