Anda di halaman 1dari 22

MATERI INTI 4

TATA LAKSANA TB-HIV

DESKRIPSI SINGKAT

Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan pengaruhnya terhadap


peningkatan epidemi Tuberkulosis (TB) di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya
jumlah kasus TB di masyarakat. Epidemi ini merupakan tantangan besar dalam
pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan
berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya, TB
merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada Orang
dengan HIV-AIDS (ODHA).
Dengan demikian, upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV harus juga
menjadi kegiatan prioritas bagi petugas program pengendalian TB. Pelayanan HIV
yang baik harus juga memberikan pelayanan TB sehingga ODHA yang sakit TB dapat
didiagnosis secara dini dan mendapat pengobatan dengan tepat supaya risiko
kematian karena TB dapat diminimalkan serendah mungkin. Demikian juga dengan
pengendalian infeksi TB haruslah menjadi prioritas bagi petugas program pegendalian
HIV.
Oleh karena itu, kolaborasi TB-HIV merupakan hal penting yang dilakukan oleh kedua
program dan juga masyaraat agar kita mampu menanggulangi kedua penyakit tersebut
secara efektif dan efisien.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti mata pelatihan ini peserta mampu melakukan tata laksana TB-HIV
dengan benar.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mempelajari materi peserta akan mampu:
1. Menjelaskan kolaborasi TB HIV di layanan:
a. Layanan satu atap TB dan HIV
2. Melakukan tata laksana layanan HIV pada pasien TB:
a. Skrining HIV pada pasien TB
b. Pengobatan ARV pada pasien dengan TB-HIV
c. Terapi kotrimoksasol pada ODHA dengan TB-HIV
d. Edukasi pencegahan penularan HIV pada pasien dengan TB-HIV
3. Tata laksana Layanan TB dan HIV pada ODHA:
a. skrining gejala TB pada ODHA
b. rujukan pemeriksaan tes cepat molekular pada ODHA yang terduga TB
c. pengobatan pada ODHA dengan TB aktif
d. Terapi Pencegahan Tuberkulosis pada ODHA yang memenuhi syarat
e. langkah-langkah pengendalian infeksi TB di layanan
4. Melakukan pencatatan TB-HIV di formulir pencatatan program TB dan formulir
pencatatan program HIV.

POKOK BAHASAN
Pokok Bahasan 1: Kolaborasi TB-HIV di Layanan
Pokok Bahasan 2: Tata laksana layanan HIV pada pasien TB
Pokok Bahasan 3: Tata laksana layanan TB pada ODHA
Pokok Bahasan 4: Pencatatan TB-HIV di Formulir Pencatatan Program TB dan
Formulir Pencatatan Program HIV

URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1: Kolaborasi TB-HIV di Layanan

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan dan menempati peringkat 10


teratas penyebab kematian di dunia. Tahun 2018, sekitar 10 juta orang di dunia
diperkirakan sakit TBC. Secara global pada tahun 2018, sekitar 1,2 juta kematian
akibat TBC pada orang dengan HIV negatif dan sekitar 251.000 kematian akibat TBC
pada orang dengan HIV positif (Global TB Report, 2019).

Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk kasus Tuberkulosis (TB) terbanyak di


dunia. Angka insiden tuberkulosis mengalami sedikit penurunan dari 319 per 100.000
penduduk di tahun 2017 menjadi 316 per 100.000 penduduk di tahun 2018 (GTB 2018
dan GTB 2019). Pada tahun 2018, angka kematian akibat TB sekitar 35 per 100.000
populasi dan akibat TB-HIV sekitar 2 per 100.000 penduduk (GTB 2019)
Koinfeksi TB sering terjadi pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). Orang dengan HIV
mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk sakit TB dibandingkan
dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada ODHA
disebabkan oleh TB. Sebagai respons terdapatnya epidemi ganda HIV dan TB, World
Health Organization (WHO) merekomendasikan 12 aktivitas kolaborasi TB/HIV yang
terbagi menjadi 3 kegiatan utama yaitu:

A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS


A.1. Pokja TB-HIV
A.2 Surveilans HIV pada pasien TB
A.3. Perencanaan bersama TB-HIV
A.4. Monitoring dan evaluasi

B. Menurunkan beban TB pada ODHA


B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB
B.2. Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT)
B.3. Pengendalian infeksi TB

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB


C.1. Konseling dan tes HIV
C.2. Pencegahan HIV dan IMS
C.3. Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol (PPK)
C.4. Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV
C.5. Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV

Pada tahun 2019 tercatat dari target 100%, sebanyak 85% ODHA dilakukan skrining
gejala TB, dan dari target 40%, sebanyak 15% ODHA baru yang masuk perawatan
mendapat TPT (6,568/45,542). Dari program TB tercatat sebesar 37%
(210,141/565,869) pasien TB mengetahui status HIVnya dari target 50%, dan dari
target 100%, baru 40% pasien TB dengan HIV mendapat ART.
Kolaborasi TB-HIV di tingkat layanan bertujuan untuk menjamin kesinambungan
perawatan pasien yang berkualitas; memastikan pasien mendapatkan kedua layanan
baik TB dan HIV, serta memastikan tindak lanjut sesuai dengan keadaan dan
diagnosis pasien. Kolaborasi TB-HIV yang kuat di tingkat layanan akan mengurangi
angka kesakitan dan kematian akibat infeksi ganda TB-HIV.
Ketersediaan layanan tes dan terapi yang berada di bawah satu atap, telah terbukti
meningkatkan cakupan layanan dan memastikan inisiasi ARV dini. Demikian juga,
ketersediaan layanan HIV dan TB di dalam satu fasyankes meningkatkan cakupan tes
HIV pada pasien TB serta meningkatkan deteksi TB pada pasien yang datang di
layanan PDP (Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan). Ketersediaan ART di lokasi
yang sama akan mempermudah linkage (tautan) dan inisiasi ART. Kementerian
Kesehatan saat ini sedang melakukan upaya-upaya untuk memperluas layanan satu
atap tes dan terapi HIV.
Memastikan Adanya Mekanisme Kolaborasi/Koordinasi TB-HIV di Fasyankes

Untuk melaksanakan kegiatan TB-HIV, pada tingkat layanan kesehatan dapat


dibentuk mekanisme kolaborasi/koordinasi TB-HIV yang dapat berupa pembentukan
tim TB-HIV yang padu dan terdiri dari Tim DOTS, Tim HIV dan unsur manajemen dan
ditentukan ketua dari Tim TB-HIV tersebut.
Sebagai contoh Tim TB-HIV tersebut dapat terdiri atas:

  Wadir Pelayanan/Komite Medik (RS), Kepala Puskesmas


 Dokter
  Perawat
  Petugas Laboratorium
 Petugas Farmasi

8
Materi Inti 2, Organisasi dan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Tingkat Fasyankes

  Konselor
  Manajer kasus
 Kelompok pendukung
  Petugas pencatatan & pelaporan
 Petugas kesehatan lainnya

Tim TB-HIV ini melakukan koordinasi rutin terkait hal-hal berikut:



 Membangun dan memperkuat sistim rujukan internal dan eksternal diantara
pelayanan TB dan HIV serta unit terkait lainnya.
 Melakukan monitoring dan evaluasi cakupan pasien antara lain terkait indikator
utama kolaborasi TB-HIV, yaitu:
- Jumlah pasien TB tahu status HIV
- Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ARV
- Jumlah ODHA diskrining TB
- Jumlah ODHA yang mendapatkan TPT
 Melakukan koordinasi dengan mitra di luar layanan, misalnya LSM atau layanan
lain untuk memastikan keberlanjutan tindak lanjut pasien termasuk keberlanjutan
pengobatan baik ART dan OAT. 

Koordinasi antar anggota tim TB-HIV adalah kunci pelaksanaan kegiatan kolaborasi
TB-HIV. Melalui koordinasi dapat disepakati penyusunan rencana bersama, protap
rujukan internal maupun eksternal dan evaluasi pelaksanaan kegiatan kolaborasi.
Tim TB-HIV perlu melakukan pertemuan secara rutin untuk membahas dan
menyelesaikan isu-isu yang terkait dengan pelayanan TB-HIV.

Pokok Bahasan 2: Tata laksana layanan HIV pada pasien TB

Sesuai dengan Permenkes no. 4 tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu
Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan: bahwa pasien
TB merupakan salah satu populasi untuk dilakukan skrining HIV, sehingga tes/skrining
HIV menjadi standar minimal di layanan TB. Contoh komunikasi meminta tes HIV pada
pasien TB adalah sebagai berikut:
“Banyak pasien TB juga terinfeksi HIV. Pada pasien dengan TB dan HIV, perlu
diberikan pengobatan baik pengobatan TB dan juga pengobatan HIV. Pengobatan
tidak akan berhasil jika hanya diberikan salah satu. Dengan demikian, sangat penting
bagi semua pasien TB dilakukan tes HIV dan mengetahui status HIVnya. Kami akan
lakukan tes HIV pada Bapak/Ibu ya, agar kami dapat melakukan tatalaksana dengan
lebih baik.”

Layanan yang hanya dapat melakukan skrining dengan menggunakan 1 reagen (R0)
dapat merujuk pasien TB dengan hasil tes HIV reaktif ke layanan lain yang memiliki
fasilitas diagnostik HIV dengan menggunakan 3 reagen.

Alur layanan TB-HIV di unit DOTS digambarkan dalam skema berikut ini:

Tanyakan riwayat tes HIV pada semua pasien TB:


1. Jika pasien TB telah dites HIV sebelumnya dengan hasil positif, pastikan bahwa
pasien tersebut sudah mendapatkan ART.
2. Jika status pasien TB tidak diketahui apakah pasien TB pernah tes HIV
sebelumnya atau belum atau sudah pernah dilakukan tes HIV dan hasilnya
negatif, maka lakukan tes HIV, jika hasil positif, berikan ART atau rujuk pasien
untuk mendapatkan ART di unit/layanan yang memberikan layanan ART. ART
diberikan setelah pasien TB mendapatkan OAT selama 2-8 minggu.
Jika hasilnya tes HIV negatif, berikan informasi tentang pencegahan penularan
HIV. ART Sarankan pasien untuk tes HIV jika pasien merasa berisiko untuk
terinfeksi HIV.
3. Jika pasien menolak untuk dilakukan tes HIV, minta pasien untuk
menandatangani pernyataan bahwa pasien menolak tes, dan sarankan kembali
untuk tes HIV pada kunjungan pasien berikutnya ke fasyankes. Jika pasien
masih menolak, lakukan konseling atau rujuk pasien ke layanan konseling agar
pasien mau dilakukan tes HIV.

Regimen ARV yang diberikan pada pasien dengan ko-infeksi TB HIV:

TDF+3TC+EFV 1 kali tiap malam

atau

TDF+3TC+DTG dengan penambahan tablet DTG dengan jarak 12 jam


Semua pasien TB yang terdiagnosis HIV mendapatkan Obat Anti Tuberkulosis (OAT),
Antiretroviral (ARV), dan Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK).

Pokok Bahasan 3: Tata laksana layanan TB pada ODHA

Alur layanan TB-HIV di Layanan HIV adalah sebagai berikut:

Semua ODHA yang ada di dalam perawatan HIV baik yang telah mendapatkan ART
ataupun belum dilakukan pengkajian status TB pada setiap kunjungan ke layanan HIV.
Pengkajian status TB dilakukan dengan menanyakan gejala:
- Batuk
- Demam
- Berkeringat malam tanpa aktivitas
Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
- Memiliki gejala TBC ekstra paru (misalnya pembesaran Kelenjar Getah Bening
pada leher)

 Jika ada salah satu gejala, maka harus dilakukan tindak lanjut yaitu
memastikan diagnosis TB dengan menggunakan Tes Cepat Molekular. Jika
pasien terdiagnosis TB, maka OAT dan Pengobatan Pencegahan dengan
Kotrimoksasol (PPK) harus diberikan pada pasien.
 Jika tidak ada gejala TB, maka diberikan Terapi Pencegahan Tuberkulosis.

Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia


Keterangan alur:
1) Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
a) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis TB pada terduga TB
dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak
memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami
kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB-RO dan terduga TB dengan HIV positif, harus
tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara
melakukan rujukan ke layanan Tes Cepat Molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien
atau rujukan contoh uji.
c) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM sebanyak 2 (dua) dengan
kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan
sementara dan akan diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif
Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB-RO, pada hasil Rif Resistan untuk
selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan
metode cepat).
d) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas cairan serebrospinal
(Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan
lambung (gastric aspirate).
e) Pasien dengan hasil M.tb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari kriteria terduga TB-
RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil
pemeriksaan TCM yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
f) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil tetap sama, berikan
pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.
g) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB RR, tanpa menunggu
hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil resistansi menunjukkan
MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan resistansi terhadap OAT lainnya,
pengobatan harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
h) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe Assay) Lini-2 atau dengan
metode konvensional.
i) Pengobatan TB pre XDR/TB XDR menggunakan paduan standar TB pre XDR atau TB XDR
atau menggunakan paduan obat baru.
j) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks. Jika gambaran foto
toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien
TB terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB,
dicari kemungkinan penyebab lain.
Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB
a) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM, penegakan diagnosis
TB tetap menggunakan mikroskop.
b) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang
bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.
c) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil pemeriksaan
BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien
dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+).
d) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif. Apabila
pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat
dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya
pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
e) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak memilki akses rujukan
(radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan
Non kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi
maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
(1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
(2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
(3) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll
Semua ODHA yang tidak sakit TBC dengan CD4<200 sel/mm3 diberikan paket
pengobatan: Antiretroviral (OAT), Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT),
Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK)

Terapi Pencegahan Tuberkulosis

Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB) adalah suatu keadaaan dimana sistem imun tubuh orang yang
terinfeksi tidak mampu mengeliminasi kuman Mycobacterium tuberculosis dari tubuh secara
sempurna tetapi mampu mengendalikan kuman TBC sehingga tidak timbul gejala sakit TBC.
Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat
yang penting untuk mencegah ODHA menderita sakit TB. Tujuan pemberian TPT adalah untuk
menurunkan beban TB pada ODHA dengan sasaran para ODHA baik baru maupun sudah lama
yang berkunjung ke fasyankes yang memiliki layanan HIV dan tidak memiliki kontraindikasi
dalam pemberian TPT. Dibandingkan dengan populasi dengan HIV negatif, ODHA memiliki
risiko 20 kali lebih besar untuk sakit TB1. Secara global, TB aktif merupakan penyebab kematian
utama pada ODHA2. Pada tahun 2018, TBC menyebabkan 251.000 kematian pada ODHA dan
sekitar sepertiga dari semua kematian ODHA1. Bukti ilmiah yang ada saat ini menunjukkan bahwa
TPT menaikkan tingkat kelangsungan hidup (survival) pada ODHA ketika dalam pengobatan
ART3. Pemberian TPT diprioritaskan kepada ODHA baru yang belum terbukti sakit TBC
berapapun usianya. Penelitian observasional kohort di 4 Rumah Sakit (RSHS, RS Marzuki Mahdi,
RSCM, RS Persahabatan) pada tahun 2021-2016, menunjukkan bahwa TPT dengan menggunakan
regimen INH selama 6 bulan terbukti menurunkan risko ODHA mengalami TBC sebesar 75%.
Efek proteksi dari pemberian TPT pada ODHA bertahan selama 3 sampai dengan 5 tahun4,
sehingga pemberian TPT ulang dapat dilakukan setelah 5 tahun. Disamping itu TPT juga dapat
segera diberikan pada ODHA yang sakit TB, telah menyelesaikan OAT dan dinyatakan sembuh.
Menurut studi pada pasien ODHA yang sudah menyelesaikan OAT dan dinyatakan sembuh, 14%
mengalami TB kambuh, dimana 90% diantaranya akibat dari reinfeksi dengan bakteri M.
Tuberculosis yang berbeda5. Hal ini menunjukkan pentingnya pemberian TPT sekunder.
Alur tata laksana pemberian TPT adalah sebagai berikut:

1. Pada semua ODHA dilakukan skrining 5 gejala TB setiap kunjungan ke layanan.


Jika ada salah satu gejala, maka dilakukan tindak lanjut untuk memastikan
diagnosis TB, jika dipastikan ODHA mengalami sakit TB, maka diberikan ART
dan OAT.
2. ODHA yang tidak memiliki salah satu dari 5 gejala TB, dilakukan penilaian
adanya kontraindikasi TPT, yaitu:
- Gangguan fungsi hati (SGOT/SGPT >3x batas atas normal/ikterus),
- Neuropati perifer berat (mengganggu aktivitas),
- Riwayat alergi INH,
- Ketergantungan alkohol,
- Riwayat resisten INH (monoresisten/poliresisten/TB MDR).

Jika tidak ada kontraindikasi TPT, maka dapat diberikan salah satu dari regimen
berikut ini:

1. INH setiap hari selama 6 bulan (6H)


 Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,
siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan).
 Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan Vitamin B6
dengan dosis 25 mg per hari atau 50 mg selang sehari atau 2 hari sekali.
Meskipun demikian, tidak tersedianya vitamin B6 tidak menjadi hambatan
untuk memulai TPT.

2. INH dan Rifapentine


 Paduan ini merupakan paduan jangka pendek yang dapat digunakan
sebagai alternatif pilihan TPT karena tingkat hepatotoksisitas yang lebih
rendah dan memiliki durasi pengobatan yang lebih pendek serta efektivitas
pengobatan yang tidak kalah dengan paduan TPT lainnya.
 3HP adalah paduan obat Isoniazid dan Rifapentine yang dikonsumsi sekali
seminggu selama 3 bulan.
 Beberapa studi menunjukan bahwa tingkat toksisitas 3HP lebih rendah
dibandingkan dengan PP INH. Meskipun harga obat rifapentin mahal,
paduan ini dianggap lebih cost effective karena memiliki durasi pengobatan
yang lebih singkat dan tingkat penyelesaian pengobatan yang lebih tinggi.
 3HP dapat diberikan kepada pasien HIV yang menjalani pengobatan ARV
yang umum digunakan kecuali Nevirapine dan golongan protase inhibitor.
ARV seperti efavirenz atau dolutegravir aman digunakan tanpa adanya
perubahan dosis.
 Suplemen yang belum diatur dosis pemakaiannya harus dihindari ketika
mengkonsumsi 3HP karena efeknya pada rejimen tidak dapat diantisipasi
atau diukur
 Sebagai catatan, obat ini tidak direkomendasikan penggunaannya pada
anak berusia < 2 tahun dan ibu hamil karena hingga saat ini belum adanya
data atau informasi terkait dengan keamanan serta farmakokinetik dari
rifapentin.
 Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal harus disarankan untuk
menggunakan metode kontrasepsi tambahan seperti kondom, kap serviks,
contraceptive sponge, dan diafragma untuk mencegah kehamilan.

Pokok Bahasan 4: Pencatatan TB-HIV di Formulir Pencatatan Program TB dan


Formulir Pencatatan Program HIV

Formulir pencatatan yang digunakan untuk mencatat yang terkait dengan TB-HIV
adalah iktisar keperawatan dan lembar follow up.

Ikthisar Perawatan berisi informasi pasien yang di catatat secara seragam untuk semua pasien
HIV yang terdaftar, disimpan di layanan serta digunakan setiap kali kunjungan. Ikhtisar di buat
segera setelah pasien HIV positif (+) memulai perawatan, dimulai dengan pemberian no registrasi
nasional yang berlaku seumur hidup dengan mengabaikan apakah pasien saat itu memerlukan
ARV atau tidak. Ikhtisar perawatan diisi oleh petugas kesehan yang berhadapan langsung
dengan pasien (Dokter/Perawat).
Ikhtisar perawatan terdiri dari dua halaman. Halaman 1 berisi:
a. Identifikasi penting
b. Informasi Sosial Demografi
c. Klinis
d. Pengobatan
Biasanya di isi hanya 1 kali pada saat kunjungan pertama pasien dan dapat di update sesua
kebutuhan.
Halaman 2 berisi:
a. Follow up pasien. Di isi setiap barisnya setiap pasien berkunjung.

Pencatatan terkait TB-HIV biasanya pada kolom yang di dalam kotak merah.
Pengisian data skrining TB dan TPT untuk ODHA di dalam SIHA 2.0 adalah sebagai berikut:
PENANGGULANGAN TB NASIONAL TB.01
KARTU PENGOBATAN PASIEN TB INDONESIA/2015
Nama Pasien TB : No.Telp/HP : Nama PMO : No. Telp/HP :
Nomor Induk Alamat PMO :
:
Kependudukan (NIK) Nama Faskes :
Alamat Lengkap : Kab/Kota :
Jenis Kelamin : L P No. Reg TB.03 Faskes :
Jika wanita usia subur : Hamil Tidak Hamil Tahun :
Tanggal lahir : __/__/____ Umur : tahun bulan Provinsi :
Berat badan : kg Tinggi badan : cm No. Reg TB.03 Kab/Kota :

Parut BCG : Tidak ada Ada Tipe Diagnosis dan Klasifikasi Pasien TB
Jumlah Skoring TB Anak: ………………………… Tipe Diagnosis Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi
……………………………………………………………………………………………………….. Terkonfirmasi bakteriologis TB Paru
Terdiagnosis klinis TB Ekstraparu, Lokasi………………………..
Hasil Pemeriksaan Contoh Uji (Sesuai dengan TB.05) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Bulan
ke Tanggal No. Reg Lab BTA*) Biakan Tes Cepat Baru Kambuh
0 Diobati setelah gagal Diobati setelah putus berobat (lost to follow up )
2 Lain-lain Riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3 Klasifikasi berdasarkan status HIV
5 Positif Negatif Tidak diketahui
6 Dirujuk oleh : Inisiatif Pasien/Keluarga Anggota Masyarakat/Kader………………
8 Faskes…………………………. Dokter Praktek Mandiri……………………..
*) Tulislah 1+, 2+, 3+, scanty, atau Neg sesuai hasil pemeriksaan dahak Poli Lain………………………. Lain-lain…………………………………………….
Pemeriksaan Lain-lain Pindahan dari:
● Uji Tuberkulin: ………………….. mm (Indurasi bukan eritema) Nama Faskes : ……………………………………… Kab/Kota : ………………………………………
● Foto toraks: Tanggal: ___/___/_____ No Seri: ……………………. Alamat Faskes : ……………………………………… Provinsi : ………………………………………
Kesan: ………………………………………………………………………………………. Pemeriksaan Kontak Kontak erat dengan anak, sebutkan……………………………..
Hasil pemeriksaan
● Biopsi jarum halus (FNAB): Tanggal __/__/____ Hasil: ………………….. No. Nama L/P Umur Tindak Lanjut
kontak*)
● Biakan hasil contoh uji selain dahak : MTB Bukan MTB 1
Sebutkan……………………………………….. 2
Kegiatan TB DM 3
Riwayat DM : Ya Tidak 4
5
Hasil Tes DM : Positif Negatif
*) Hasil diisi: Untuk Dewasa: Sehat/Sakit TB
Terapi DM : OHO Inj. Insulin Untuk Anak: Sehat/Infeksi Laten TB/Sakit TB
Paduan OAT : Kategori-1 Kategori-2 Kategori anak Sumber Obat : Program TB Bayar sendiri
Bentuk OAT: KDT Kombipak/Obat lepas Asuransi Lain-lain
………………… …………………
I. TAHAP AWAL : *)
KDT : __________ Tablet No. Batch ____________________ Streptomisin**) mg/hari No. Batch __________________
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah BB (kg)

*) Berilah tanda √ jika pasien datang mengambil obat dan menelan obat di depan petugas kesehatan
Berilah tanda "garis lurus sesuai tanggal minum obat" jika obat dibawa pulang dan ditelan sendiri di rumah
**) Diisi untuk OAT kategori-2 dan keadaan khusus
II. TAHAP LANJUTAN : ***)
KDT : __________ Tablet No. Batch ____________________ Etambutol ****) mg/hari No. Batch __________________
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah BB (kg)

***) Berilah tanda √ jika pasien datang mengambil obat dan menelan obat di depan petugas kesehatan
Berilah tanda "garis lurus putus-putus sesuai tanggal minum obat" jika obat dibawa pulang dan ditelan sendiri di rumah
****) Diisi untuk OAT kategori-2

Catatan (baca petunjuk pengisian): Rujukan/ Pindah Pasien TB Layanan Tes dan Konseling HIV Selama
*Pindah Pengobatan Pengobatan TB
Nama Faskes Tujuan ……………………………..
Tanggal dianjurkan Hasil Tes*
Kab/ Kota ……………………………………………… Tgl. Tes
Tes (R/I/NR)
Provinsi ………………………………………………
*Pindah Register Pasien TB RO
Hasil Akhir Pengobatan No. Register TB RO …………………………………
(Tulis tanggal dalam kotak yang sesuai)

Pengobatan *Hasil Tes ditulis dengan kode: R= Reaktif, I=


Sembuh Gagal
Lengkap Indeterminate, NR= Non Reaktif
Layanan PDP (Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan)
Putus Berobat (Lost to Tidak
Meninggal follow up)
Nama Faskes PDP No. Reg. Nasional PPK (Ya/Tidak) ART (Ya/Tidak)
dievaluasi
PENANGGULANGAN TB NASIONAL TB.01 P
INDONESIA/ 2015

KARTU PENGOBATAN PENCEGAHAN TB


Nama Pasien : Jenis Kelamin : L P
Alamt Lengkap : No. Telp/ HP : Tanggal Lahir : ___ /___ /___ Umur : Tahun Bulan
Kab/ Kota : Provinsi : No. Register PPTB Kab/ Kota :
Nama Ayah/ Ibu : Nama Faskes :

Kreteria Pengobatan Pencegahan :


Anak < 5 Tahun Kasus Indeks

ODHA Lainnya, sebutkan:______________________ Nama

Pemeriksaan Lain-lain: Alamat


Uji Tuberkulin ____________________________
Foto Rontgen Dada ____________________________ No.Reg TB

Parut BCG: Ya Tidak Pemeriksaan Bakteriologis

Tanggal Pemeriksaan No reg Lab BTA Biakan Tes Cepat


Tinggi Badan: _______________ Berat Badan: ______________

Dosis INH:
10 mg/kg BB
Sumber Obat : Program Bayar Sendiri
20 mg/kgBB (dosis tinggi)
Asuransi Lain-lain
PENGOBATAN
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah dosis
PENANGGULANGAN TB NASIONAL TB.01
KARTU PENGOBATAN PASIEN TB INDONESIA/2015
Nama Pasien TB : No.Telp/HP : Nama PMO : No. Telp/HP :
Nomor Induk Alamat PMO :
:
Kependudukan (NIK) Nama Faskes :
Alamat Lengkap : Kab/Kota :
Jenis Kelamin : L P No. Reg TB.03 Faskes :
Jika wanita usia subur : Hamil Tidak Hamil Tahun :
Tanggal lahir : __/__/____ Umur : tahun bulan Provinsi :
Berat badan : kg Tinggi badan : cm No. Reg TB.03 Kab/Kota :

Parut BCG : Tidak ada Ada Tipe Diagnosis dan Klasifikasi Pasien TB
Jumlah Skoring TB Anak: ………………………… Tipe Diagnosis Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi
……………………………………………………………………………………………………….. Terkonfirmasi bakteriologis TB Paru
Terdiagnosis klinis TB Ekstraparu, Lokasi………………………..
Hasil Pemeriksaan Contoh Uji (Sesuai dengan TB.05) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Bulan
ke Tanggal No. Reg Lab BTA*) Biakan Tes Cepat Baru Kambuh
0 Diobati setelah gagal Diobati setelah putus berobat (lost to follow up )
2 Lain-lain Riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3 Klasifikasi berdasarkan status HIV
5 Positif Negatif Tidak diketahui
6 Dirujuk oleh : Inisiatif Pasien/Keluarga Anggota Masyarakat/Kader………………
8 Faskes…………………………. Dokter Praktek Mandiri……………………..
*) Tulislah 1+, 2+, 3+, scanty, atau Neg sesuai hasil pemeriksaan dahak Poli Lain………………………. Lain-lain…………………………………………….
Pemeriksaan Lain-lain Pindahan dari:
● Uji Tuberkulin: ………………….. mm (Indurasi bukan eritema) Nama Faskes : ……………………………………… Kab/Kota : ………………………………………
● Foto toraks: Tanggal: ___/___/_____ No Seri: ……………………. Alamat Faskes : ……………………………………… Provinsi : ………………………………………
Kesan: ………………………………………………………………………………………. Pemeriksaan Kontak Kontak erat dengan anak, sebutkan……………………………..
Hasil pemeriksaan
● Biopsi jarum halus (FNAB): Tanggal __/__/____ Hasil: ………………….. No. Nama L/P Umur Tindak Lanjut
kontak*)
● Biakan hasil contoh uji selain dahak : MTB Bukan MTB 1
Sebutkan……………………………………….. 2
Kegiatan TB DM 3
Riwayat DM : Ya Tidak 4
5
Hasil Tes DM : Positif Negatif
*) Hasil diisi: Untuk Dewasa: Sehat/Sakit TB
Terapi DM : OHO Inj. Insulin Untuk Anak: Sehat/Infeksi Laten TB/Sakit TB
Referensi:

1. Global tuberculosis report 2019. Geneva: World Health Organization; 2019

2. Ford N, Matteelli A, Shubber Z, Hermans S, Meintjes G, Grinsztejn B, et al. TB as a cause of


hospitalization and in-hospital mortality among people living with HIV worldwide: a systematic review
and meta-analysis. J Int AIDS Soc. 2016;19(1):20714.

3. Badje A, Moh R, Gabillard D, Guéhi C, Kabran M, Ntakpé J-B, et al. Effect of isoniazid preventive
therapy on risk of death in west African, HIV-infected adults with high CD4 cell counts: long-term
follow-up of the Temprano ANRS 12136 trial. Lancet Glob Health. 2017;5(11):e1080–9. World Health
Organization. Latent tuberculosis infection: updated and

4. Consolidated guidelines for programmatic management. Geneva, 2018

5. Narayanan S, Swaminathan S, Supply P, Shanmugam S, Narendran G, Hari L, et al. Impact of HIV


infectionon the recurrence of tuberculosis in South India. J Infect Dis. 2010;201(5):691–703.

Anda mungkin juga menyukai