Anda di halaman 1dari 39

KOLABORASI TB-HIV

PROVINSI JAWA BARAT


LATAR BELAKANG
• Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban ganda TBC dan HIV
• TBC merupakan penyebab kematian utama ODHIV
• Risiko kejadian TBC diperkirakan antara 16-27 kali lebih besar pada ODHIV
dibandingkan mereka yang tidak terinfeksi HIV.
• Indonesia menempati urutan kedua jumlah kasus TBC terbanyak di dunia dengan jumlah
kasus TBC 845.000 dan 19.000 pasien koinfeksi TB-HIV pada tahun 2019.
• Dari 271 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 543.100 orang yang hidup
dengan HIV
• Diperkirakan dari sekitar 96.000 kematian dengan TBC, sekitar 4.700 orang diantaranya adalah
koinfeksi TB-HIV
ARAH KEBIJAKAN KOLABORASI TB-HIV
DI INDONESIA
RPJMN 2020-2024
Terdapat lima belas indikator Sasaran Strategis RPJMN 2020-2024 yang akan dicapai
pada tahun 2024 dan menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, dua
diantaranya terkait TBC dan HIV yaitu:

• Menurunkan kejadian infeksi baru (insidensi) HIV dari angka 0,24 per 1000
penduduk pada 2018 menjadi 0,18 per 1000 penduduk tidak terinfeksi HIV pada
tahun 2024

• Menurunkan kejadian (insidensi) Tuberkulosis dari 319 per 100.000 penduduk di


tahun 2017 menjadi 190 per 100.000 penduduk di tahun 2024.
POKOK-POKOK KEBIJAKAN
KOLABORASI TB-HIV
1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tata laksana Pengendalian TBC dan
Pengendalian HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring dan rujukan
di antara fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Mekanisme kolaborasi TB-HIV dibentuk di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan Faskes
sebagai upaya untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Mekanisme kolaborasi dapat
berbentuk tim atau kelompok kerja TB-HIV atau forum komunikasi TB-HIV, dengan melibatkan
unsur- unsur organisasi terkait dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV.
3. Perencanaan TB-HIV bersama antara program TBC dan HIV dibutuhkan untuk menentukan arah,
tujuan dan strategi pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, perencanaan penguatan dan perluasan
layanan dan kegiatan TB-HIV, penetapan peran dan tanggung jawab masing-masing program dan
organisasi, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV.
4. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang
dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik dari
layanan TBC dan HIV dengan menggunakan SITB untuk program TBC dan SIHA untuk program
HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan dan sumber daya tersedia.
POKOK-POKOK KEBIJAKAN
5. Kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi memerlukan kerjasama erat dari
kedua program dan mitra terkait. Dalam pelaksanaannya dapat diintegrasikan
dengan sistem monitoring dan evaluasi yang sudah ada.
6. Dalam penetapan tatalaksana pasien dengan koinfeksi TB-HIV perlu
kerjasama antara unit DOTS dan unit HIV
7. KIE tentang TBC dan HIV/IMS merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
program dan dalam pelaksanaannya dapat diintegrasikan ke dalam program
TBC dan HIV-AIDS, dengan tujuan untuk mengurangi stigma di masyarakat,
menemukan kasus secara dini dan pengobatan segera, serta upaya
pencegahan kedua penyakit di masyarakat.
8. Dukungan kepada pasien TB-HIV perlu diperkuat dengan melibatkan unsur
kelompok masyarakat dan komunitas TBC dan HIV dan mitra lainnya.
REKOMENDASI JOINT EXTERNAL
MONITORING MISSION (JEMM) DAN KAJIAN
NASIONAL HIV DAN IMS 2020
Mitigasi dampak HIV pada kasus Memperluas
Melaksanakan TBC. Semua pasien TBC perlu
pemberian TPT
mendapatkan tes dan konseling
penemuan kasus HIV atas inisiasi petugas kepada seluruh kontak
secara aktif (active kesehatan dan semua ODHIV
dari kasus TBC yang
case finding) secara yang mengalami TBC perlu
mendapatkan ART & OAT, terkonfirmasi secara
hemat biaya (cost- Semua ODHIV yang tidak sakit bakteriologis serta
effective) TBC perlu mendapatkan TPT.
ODHIV.

Kementerian Kesehatan perlu merekrut Mengintensifkan kegiatan kolaborasi


staf yang memadai untuk mengelola TB-HIV, melalui: integrasi layanan HIV
peningkatan jumlah pasien dan yang kuat dengan layanan TBC,
melaksanakan fungsi kesehatan perluas implementasi
masyarakat yang terutama dibutuhkan pendekatan satu pintu untuk layanan
dalam pengendalian TBC dan HIV. HIV dan TBC,
STRATEGI DAN INTERVENSI KOLABORASITB-HIV
SURAT EDARAN DIRJEN P2P
TENTANG PENATALAKSANAAN ODHA
UNTUK ELIMINASI HIV AIDS TAHUN 2030
DATA TBC HIV TAHUN 2021 DAN 2022
DI PROVINSI JAWA BARAT
JUMLAH PUSKESMAS DAN RUMAH SAKIT
DOTS DAN LAYANAN KONSELING DAN TES HIV (KT HIV)
1200 1094
887
1000

800

600

400 281 163


200

0
Puskesmas DOTS Puskesmas Layanan Rumah Sakit DOTS Rumah Sakit Layanan
Konseling dan Test HIV (KT Konseling dan Test HIV (KT
HIV) HIV)
Target 65%

PRESENTASE
PASIEN TBC
YANG
MENGETAHUI
STATUS HIV
TAHUN 2021

Data Per Tanggal 19 April 2022


JUMLAH PASIEN
TBC HIV
TAHUN 2021

Data Per Tanggal 19 April 2022


Target 100%

CAPAIAN PASIEN
TBC HIV YANG
DIBERIKAN ART
TAHUN 2021

Data Per Tanggal 19 April 2022


Target 70%

PRESENTASE
PASIEN TBC
YANG
MENGETAHUI
STATUS HIV
JANUARI – APRIL
TAHUN 2022

Data Per Tanggal 19 April 2022


JUMLAH PASIEN
TBC HIV
JANUARI – APRIL
TAHUN 2022

Data Per Tanggal 19 April 2022


Target 100%

CAPAIAN PASIEN
TBC HIV YANG
DIBERIKAN ART
JANUARI – APRIL
TAHUN 2022

Data Per Tanggal 19 April 2022


Situasi TBC HIV
Di Kota Cimahi Tahun 2021
Situasi TBC HIV
Di Kota Cimahi Tahun 2022
DIAGNOSIS TBC

1. Tes Cepat Molekuler (TCM)


2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC
paru maupun TBC ekstra paru, baik riwayat pengobatan TBC baru
maupun yang memiliki riwayat pengobatan TBC sebelumnya, dan
pada semua golongan umur termasuk pada ODHA.
3. Pemeriksaan TCM dilakukan dari spesimen dahak (untuk terduga TBC
paru) dan non dahak (untuk terduga TBC ekstra paru, yaitu dari cairan
serebro spinal, kelenjar limfe dan jaringan).
4. Seluruh terduga TBC harus dilakukan pemeriksaan TCM pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang saat ini sudah mempunyai alat TCM.
PENGOBATAN TBC
Terkait dengan tatalaksana pengobatan, perubahan yang terjadi adalah
sebagai berikut:
Obat Anti TBC (OAT) Kategori 1 fase awal dan lanjutan dengan dosis
harian. OAT Kat 1 dosis harian akan mulai dipergunakan secara bertahap.
Pada tahun 2021, prioritas pemberian OAT ini adalah untuk:
1) Pasien TBC HIV
2) Kasus TBC yang diobati di Rumah Sakit
3) Kasus TBC dengan hasil MTB pos Rifampisin sensitif
dan Rifampisin indeterminate dengan riwayat
pengobatan sebelumnya.
KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV
STRATEGI
1. Memperkuat Mekanisme Kolaborasi 2. Menurunkan Beban TBC pada Orang 3. Menurunkan Beban HIV pada Pasien
antara Program TB dan HIV AIDS Dengan HIV TBC

INTERVENSI
1. lntensifikasi penemuan kasus TBC pada
ODHIV dan penemuan aktif kasus TBC 1. Memastikan semua pasien TBC
1. Memperkuat koordinasi dan pada populasi kunci HIV dan mengetahui status HIV
perencanaan bersama program TBC dan memastikan pengobatan TBC yang 2. Meningkatkan pencegahan HIV untuk
HIV di semua tingkat. berkualitas. pasien TBC dan pasien TB-HIV
2. Memperkuat monitoring, evaluasi dan 2. Pemberian Terapi Pencegahan TBC 3. Menyediakan pengobatan pencegahan
surveilans TB-HIV (TPT) pada ODHIV dengan kotrimoksasol untuk pasien TB-
3. Memperkuat peran serta LSM/Komunitas 3. Penguatan pencegahan dan HIV
dalam kegiatan TB-HIV pengendalian infeksi (PPI) TBC di 4. Memastikan perawatan, dukungan dan
fasilitas kesehatan yang memberikan pengobatan pada pasien TB-HIV
pelayanan HIV

KEGIATAN KOLABORATIF
MENURUNKAN BEBAN TBC PADA ODHIV (1)

1. Intensifikasi Penemuan Kasus TBC pada ODHIV dan Penemuan Aktif


kasus TBC pada populasi kunci HIV dan Memastikan Pengobatan TBC
yang Berkualitas
a. Intensifikasi Penemuan Kasus TBC pada ODHIV
 Perlu dipastikan cakupan pemeriksaan dengan TCM yang tinggi dengan
meningkatkan akses terhadap pemeriksaan TCM,
 Memperkuat jejaring rujukan TCM dari layanan ARV ke layanan TCM, maupun
memperkuat pencatatannya
 ODHIV yang hasil skrining TBC (skrining gejala/tanda TBC atau pemeriksaan
foto toraks) adalah bukan TBC diberika Terapi Pencegahan TBC (TPT)
b. Meningkatkan penemuan aktif kasus TBC pada populasi kunci HIV, seperti
penasun dan pasangannya, WPS, Waria, LSL dan WBP
 Penjangkau (LSM/Komunitas) mengintegrasikan pemberian informasi dan
edukasi terkait TBC pada saat penjangkauan populasi kunci HIV
 Lapas/Rutan dan LPKA melakukan skrining TBC pada setiap WBP yang baru
masuk, dan WBP terduga TBC dilakukan pemeriksaan diagnosis di layanan
rujukan
 Cara lain yaitu skrining gejala TBC melalui kader kesehatan dengan pemantauan
batuk (survey batuk), pelacakan kontak, skrining gejala TBC menjelang bebas
dan skrining gejala TBC massal secara berkala
c. Meningkatkan kualitas pengobatan TBC diantara ODHIV dengan memperbaiki
layanan DOTS di dalam layanan HIV
 Penggunaan OAT kategori 1 dosis harian (tahap awal dan lanjutan), ODHIV
dengan TBC menjadi prioritas mendapatkan pengobatan OAT dosis harian,
sehingga perlu dipastikan kecukupan penyediaan dosis bagi pasien TB-HIV
MENURUNKAN BEBAN TBC PADA ODHIV (2)
2. Pemberian Teapi Pencegahan TBC (TPT) pada ODHIV
• TPT Merupakan paket perawatan bagi ODHIV untuk mencegah TBC aktif selain pemberian ARV
• Memastikan tingginya permintaan/kebutuhan ketersediaan TPT merupakan hal yang sangat penting untuk
meningkatkan cakupan TPT
• Organisasi profesi dapat sangat berperan dalam di dalam mendorong dan meningkatkan komitmen serta
kapasitas petugas kesehatan di dalam memberikan layanan TPT
• LSM/komunitas dapat sangat berperan di dalam promosi TPT
• Strategi promosi TPT harus diterapkan dan penerapannya perlu dimonitor
• KEMENKES beserta DI NKES harus memastikan logistic TPT tersedian dengan jumlah yang cukup hingga ke
Fasyankes
• Studi kelayakan metode skrining terbarumaupun obat TPT baru yang direkomendasikan global dapat juga
dilakukan dan dievaluasi kemungkinan manfaatnya jika diterapkan untuk perluasan di seluruh Indonesia
3. Penguatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TBC di Fasilitas kesehatan yang
memberikan pelayanan HIV
MENURUNKAN BEBAN HIV PADA PASIEN TBC (1)
1. Memastikan semua pasien TBC mengetahui status HIV
 Perluasan layanan tes dan terapi HIV akan mengikuti perencanaan perluasan layanan
program HIV
 Peningkatan Kapasitas petugas TBC untuk dapat meminta tes HIV dan memberikan informasi
pasca tes akan dilakukan baik oleh program TBC dan Program HIV

2. Meningkatkan pencegahan HIV untuk pasien TBC dan pasien TB-HIV


 Penyediaan KIE HIV di dalam layanan TBC, Penyediaan layanan IMS sebagai pencegahan HIV
dan memastikan petugas TBC memiliki kapasitas untuk memberikan KIE HIV/IMS serta dapat
memfasilitasi rujukan ke layanan HIV/IMS bagi pasien TBC dan pasangannya yang
membutuhkan
 Pengembangan layanan IMS di PUSKESMAS akan mengikuti perencanaan program HIV,
beberapa fasyankes khusus TBC juga dapat dikembangkan layanan IMS sebagai inovasi, selain
layanan HIV
 Lapas/rutan dan LPKA perlu mengembangkan jejaring dengan Fasyankes dan LSM/Komunitas
di Kabupaten/Kota untuk intervensi HIV dan rujukan IMS
MENURUNKAN BEBAN TBC PADA PASIEN TBC (2)
3. Menyediakan Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol untuk
Pasien TB-HIV
 Pengobatan pencegahan dengan Kotrimoksasol untuk pasien TB-HIV terintegrasi menjadi
satu kesatuan/paket di dalam perawatan TB-HIV dan dipromosikan Bersama dengan strategi
promosi TPT

4. Memastikan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan ARV


 Perluasan layanan tes dan terapi HIV mengikuti perencanaan perluasan layanan program HIV
 Di beberapa Fasyankes TB DOTS dengan jumlah PX TBC yang banyak dan teridentifikasi
memiliki kasus TB-HIV yang tinggi, perlu disediakan layanan ARV, sehingga pasien bisa
langsung mendapatkan ARV tan[a harus dirujuk ke layanan ARV dan tidak memulai terapi
ARV
 Peningkatan Kapasitas petugas DOTS untuk memberikan layanan ARV akan dilakukan secara
bertahap atau bersamaan dengan studi implementasi
STRATEGI KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV PADA MASA
PANDEMI C-19 (1)

1. Menerapkan langkah Kewaspadaan Standar untuk semua pasien


2. Memastikan dilakukan Triase COVID-19, identifikasi awal dan
pengendalian sumber untuk mencegah penularan pathogen ke
tenaga kesehatan dan pasien lain
3. Menerapkan langkah-langkah pencegahan tambahan empiris
atau kasus-kasus suspek infeksi Covid – 19
4. Menerapkan pengendalian administrative
5. Menggunakan pengendalian dan rekayasa lingkungan
STRATEGI KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV PADA MASA
PANDEMI C-19 (2)

6. Melakukan perencanaan dana pemantauan ketersediaan logistic TB-HIV yang tepat


7. Petugas TBC dan HIV di Fasyankes memastikan ketersediaan logistic OAT, ARV,
Kotrimoksasol dan obat IO lainnya
8. Pemberian OAT bagi px TBC dapat diberikan untuk jangka waktu lebih lama,
melibatkan PMO dan menggunakan modalitas teknologi digital dalam memantau
pengobatan. Interval pemberian OAT bisa dierpendek meliat kondisi pasien
9. Pasien TBC RO yang masih menggunakan terapi injeksi tetap melakukan kinjungan
setiap hari ke Faskes yang ditunjuk mengikuti prinsip yang sudah ditetapkan
10. ODHIV diupayakan seminimal mungkin dating ke Fasyankes untuk menghindari
paparan COVID-19
MENGHINDARI RISIKO COVID-19 DI FASKES
BAGI ODHIV
• Pemberian ARV untuk 2-3 bulan dapat dipertimbangkan bagi ODHIV yang
stabil, secara selektif dan jika persediaan ARV mencukupi. Pemberian ARV
multi-bulan (2-3 bulan) diprioritaskan bagi ODHIV yang tinggal di wilayah
episentrum COVID-19
Pemberian obat ARV dapat diberikan seperti biasa di fasyankes atau diantar oleh
pendamping menggunakan jasa logistik
• Bagi ODHIV dengan IO, infeksi lanut atau pertama kali mendapat ARV, tetap
diperlukan control setiap bulan. Perlu kerjasama dengan LSM/Komunitas
pendukung/pendamping ODHIV untuk memastkan kondisi dan keberlangsungan
pengobatan ARV pada ODHIV
• Peran serta masyarakat/LSM/Komunitas sangat besar dalam upaya
penanggulangan TBC dan HIV
Mengatasi Hambatan dan Tantangan
Kolaborasi TB HIV
1. MEMPERKUAT KOORDINASI BERSAMA PROGRAM TB DAN HIV DI SEMUA
TINGKATAN

 Pembentukan pokja/Forkom TB-


HIV atau Penguatan
pokja/Forkom yang sudah
terbentuk PROPINSI / KK
 Pertemuan rutin minimum 2X/thn
; perencanaan bersama
 Monitoring dan Evaluasi
kegiatan kolaborasi TBHIV

 Koordinasi pelaksanaan kegiatan


Kolaborasi TBHIV  Pemanfaatkan
FASKES Pokja HIV dan tim DOTS yang sudah
ada di faskes masing-masing dengan
penunjukan satu orang sebagai
koordinator TBHIV
 Pertemuan rutin tim TB-HIV faskes
untuk perencanaan, monitoring dan
evaluasi kegiatan kolaborasi TBHIV
2. MELAKSANAKAN SURVEILANS TB-HIV
Surveilans HIV Surveilans TB
pada pasien TB pada ODHA

Data ODHA yang diskrining dan tes TB


Data pasien TB yang di tes HIV (cek di TB
(cek di ikhtisar keperawatan) cek
01)  cek apakah sudah tercatat di
apakah sudah tercatat di layanan TB
layanan HIV (punya Ikhtisar
(punya TB 01)  catat register TB
Keperawatan)  catat nomor Register
kabupaten/Kota
nasional di TB 01

Validasi data di Layanan


Validasi data di Kab/kota
3. MELAKUKAN PERENCANAAN BERSAMA TB-HIV UNTUK
INTEGRASI LAYANAN TB-HIV
Kegiatan ini untuk mengupayakan integrasi layanan TB dan HIV terutama di
wilayah dengan beban TB dan HIV yang tinggi.

IPK TB diantara ODHA


PPINH

Layanan
Tes HIV pada pasien TB
Pencegahan HIV/IMS
Layanan
TB
PDP pada Pasien TBHIV HIV
4. MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN TB-HIV

1. Mengembangkan dan memperkuat tautan (link) antara


SITB dan SIHA di semua tingkatan (belum terintegrasi)

2. Memperkuat monitoring dan evaluasi TB-HIV


bersama di semua tingkatan kab kota dan faskes

3. Meningkatkan Kualitas Layanan


Kolaborasi TB-HIV
5. MENDORONG PERAN SERTA KOMUNITAS DAN LSM
DALAM KEGIATAN TB-HIV

Komunitas
dan LSM
Memperkuat
koordinasi antara Mendorong peran
pemangku komunitas dan
kepentingan LSM TB dalam
untuk kegiatan
pelaksanaan TB- kolaborasi TB-HIV
HIV

Menyebarluaskan
Advokasi untuk
edukasi dan
memperoleh Pendampingan
informasi tentang
dukungan kepada populasi
TB dan HIV
sumber daya kunci untuk
lokal mendukung kegiatan
kolaborasi TB-HIV
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai