INTERNASIONAL
Pendahuluan
Pearl Harbor adalah film drama perang romantis Amerika tahun 2001 yang
disutradarai oleh Michael Bay. Film ini menyajikan versi serangan fiksi Jepang di Pearl
Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, yang berfokus pada kisah cinta yang terjadi
menjelang serangan terhadap pangkalan militer Pearl Harbor, setelahnya, dan Serangan
Doolittle. Adapun tulisan ini akan berfokus kepada analisa hukum humaniter internasional
terhadap serangan terhadap Pearl Harbor, bukan Serangan Doolittle, karena Serangan Pearl
Harbor lah yang pada akhirnya diputus sebagai kejahatan perang dalam Pengadilan Tokyo
(International Military Tribunal for the Far East).
Serangan dimulai pada pukul 7:48 Waktu Hawaii (18:18 GMT). Pangkalan Pearl
Harbor diserang oleh 353 pesawat Kekaisaran Jepang (termasuk pesawat tempur, pembom
level dan dive, dan pembom torpedo) di dua gelombang, diluncurkan dari enam kapal induk.2
Kedelapan kapal perang Angkatan Laut AS rusak, dengan empat tenggelam. Semua kecuali
USS Arizona kemudian dibesarkan, dan enam dikembalikan ke layanan dan melanjutkan
untuk berperang. Jepang juga menenggelamkan atau merusak tiga kapal penjelajah, tiga kapal
perusak, sebuah kapal pelatihan anti-pesawat, dan satu minelayer. 188 pesawat A.S.
dihancurkan; 2.403 orang Amerika terbunuh dan 1.178 lainnya terluka. Instalasi pangkalan
penting seperti pembangkit listrik, dok kering, galangan kapal, pemeliharaan, dan fasilitas
penyimpanan bahan bakar dan torpedo, serta dermaga dan bangunan markas kapal selam
1
(Goldstein & Dillon, 1999), hlm. 17
2
(Parillo, 2006), hlm. 288
(juga rumah bagian intelijen) tidak diserang. Kerugian Jepang ringan: 29 pesawat dan lima
kapal selam kerdil hilang, dan 64 prajurit tewas. Kazuo Sakamaki, komandan salah satu kapal
selam, ditangkap.
Jepang mengumumkan deklarasi perang terhadap Amerika Serikat pada hari itu (8
Desember di Tokyo), tetapi deklarasi itu tidak disampaikan sampai hari berikutnya. Hari
berikutnya, 8 Desember, Kongres mendeklarasikan perang terhadap Jepang. Pada tanggal 11
Desember, Jerman dan Italia masing-masing mendeklarasikan perang terhadap A.S., yang
merespons dengan deklarasi perang melawan Jerman dan Italia. Ada banyak preseden historis
untuk aksi militer yang tidak diumumkan oleh Jepang, tetapi tidak adanya peringatan formal,
terutama sementara negosiasi perdamaian masih tampaknya sedang berlangsung,
menyebabkan Presiden Franklin D. Roosevelt untuk mengumumkan 7 Desember 1941, "a
date which will live in infamy". Karena serangan itu terjadi tanpa deklarasi perang dan tanpa
peringatan eksplisit, serangan terhadap Pearl Harbor kemudian diadili di Pengadilan Tokyo
sebagai kejahatan perang.3
Pembahasan
Hukum yang dilanggar dengan adanya serangan Pearl Harbor ini adalah Hague
Convention III of 1907 atau Convention Relative to the Opening of Hostilities, sebagaimana
diperjelas dalam putusan akhir dari Pengadilan Tokyo. Walaupun dalam putusan akhirnya
tidak ada penemuan langsung akan terlanggarnya kejahatan surprise attack sebagaimana
dilarang Hague Convention III 1907, hal ini dikarenakan perlunya keringkasan (ada 55
tuntutan dalam Pengadilan Tokyo) dan menurut beberapa perumus tuntutan dalam
persidangan, pelanggaran ini sudah termasuk sebagai bagian dasar dari tuntutan-tuntutan lain.
Surprise attack ini sudah dianggap secara implisit termasuk dalam tuntutan seperti waging
aggressive war against the United States.
3
(Totani, 2008), hlm. 57
Baru, Filipina, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Perjanjian itu ditandatangani pada 18
Oktober 1907, oleh 42 negara, di mana 25 negara meratifikasi perjanjian tersebut.
Perjanjian ini singkat dan sederhana. Esensinya dinyatakan dalam pasal pertama
hanya dalam 36 kata, sebagai berikut:
The Contracting Powers recognize that hostilities between themselves must not
commence without a previous and explicit warning, in the form either of a reasoned
declaration of war or of an ultimatum with conditional declaration of war.
Yang bila diterjemahkan menjadi “Para Pihak mengakui bahwa permusuhan di antara
mereka sendiri tidak boleh dimulai tanpa peringatan sebelumnya yang eksplisit, dalam bentuk
pernyataan perang yang beralasan atau ultimatum dengan pernyataan perang bersyarat.” Dari
ketentuan sebelumnya, yang berlaku untuk serangan mendadak di Pearl Harbor dapat
dikurangi menjadi sembilan belas kata berikut (dengan angka ditempatkan sebelum lima kata
kunci yang menentukan lima syarat atau kondisi yang diperlukan):
.. hostilities ... must not commence without a (1) previous and (2)
explicit (3) warning, in the form . . . of a (4) reasoned (5) declaration of war . . .
Ada juga ketentuan untuk pemberitahuan kepada negara netral tentang keadaan
perang (Pasal 2). Konvensi ini berlaku jika terjadi perang antara dua atau lebih negara pihak
(Pasal 3). Negara-negara tambahan dapat menjadi pihak dalam perjanjian dengan
pemberitahuan formal kepada Pemerintah Belanda. Jika salah satu negara pihak ingin
menarik diri, ia harus memberitahukan penolakannya kepada Pemerintah Belanda, agar
efektif satu tahun setelah penerimaan (Pasal 7). Ketentuan terakhir ini tampaknya menjadi
satu-satunya ketentuan untuk pencabutan atau untuk pembebasan salah satu pihak dari
perjanjian. Pengadilan internasional di Tokyo pada tahun 1946-48 mengakui perjanjian ini
berlaku dan tidak digantikan atau dicabut. Tidak ada perubahan terkait dalam status
hukumnya yang terjadi sejak 1948.
Persyaratan dasar dari Hague Convention III 1907 adalah 5 ketentuan sebagaimana
tercantum di atas, yaitu bahwa negara yang menyerang harus membuat deklarasi perang.
Deklarasi tentu saja tidak diperlukan untuk mengungkapkan tempat di mana serangan
pertama akan dilakukan. Persidangan dengan jelas mengungkap kebingungan menyesatkan
yang telah diangkat pada titik ini, apakah Jepang pernah membuat atau mencoba membuat
deklarasi perang yang sah. Duta Besar Jepang di Washington dikirim ke Sekretaris Hull pada
7 Desember 1941, sebuah "nota" yang mengakhiri pembicaraan diplomatik. Nota ini tidak
memiliki kemiripan dengan deklarasi perang Hague Convention III 1907. Jepang sendiri pada
dasarnya mengakui bahwa nota ini bukan deklarasi perang karena mereka menyiapkan
deklarasi perang setelah serangan. Deklarasi ini diterima oleh Pemerintah AS di Washington
enam puluh enam jam setelah serangan. Nota yang mengakhiri pembicaraan diplomatik
sering disebut oleh pihak penasihat hukum Jepang sebagai "deklarasi perang". Banyak contoh
malang dari pernyataan yang keliru ini ditemukan dalam catatan persidangan dan dalam
tulisan Jepang tentang persidangan ini.
Deklarasi perang yang disyaratkan oleh Hague Convention III 1907 tidak hanya harus
ada tetapi juga harus mematuhi empat persyaratan lain yang disebutkan di atas. Deklarasi ini
harus (1) deklarasi perang peringatan yang diberikan "sebelumnya", disampaikan sebelum
dimulainya permusuhan. Pihak penasihat hukum Jepang telah menyatakan bahwa deklarasi
perang yang disyaratkan sebelumnya dapat secara hukum dibuat "hanya setengah detik"
sebelum dimulainya permusuhan. Penegasan semacam itu berupaya untuk mengubah kata-
kata, niat, dan efek legislatif dari Hague Convention III 1907. Salah satu perumus Hague
Convention III 1907, Renault, mengatakan bahwa "peringatan" seperti itu akan menjadi
"formalistis" dan "tidak berguna". Hal ini juga tidak mungkin dilakukan. Baik susunan kata
dan juga sejarah legislatif dan latar belakang Hague Convention III 1907, sebagaimana
dijelaskan kemudian, menunjukkan bahwa pernyataan dari Jepang itu tidak dapat didukung
secara hukum. Semua pernyataan tentang lamanya periode peringatan yang diperlukan antara
deklarasi perang dan serangan tidak relevan sejauh menyangkut serangan Pearl Harbor
karena tidak ada deklarasi perang sebelumnya yang diberikan.
Pengadilan dalam penilaiannya mengatakan parapenyerang ini "tidak berprinsip"
karena mengurangi waktu peringatan terlalu banyak. Mengenai interpretasi yang tepat dari
kata "sebelumnya" dan "peringatan", bagaimanapun, pengadilan tampaknya mengabaikan
fakta bahwa para perumus perjanjian di Ghent dan di Den Haag menunjukkan secara efektif
bahwa periode peringatan, sementara tidak dinyatakan dalam jam, harus merupakan periode
yang masuk akal dalam semua keadaan situasi tertentu. Standar umum "kewajaran" itu diakui
dengan baik dalam hukum.
Deklarasi perang di bawah Hague Convention III 1907 tidak hanya harus
"sebelumnya" tetapi juga harus berupa sebuah (2) peringatan "eksplisit" akan deklarasi
perang, yang sifatnya tidak boleh ambigu atau tidak pasti. Jelas sebuah nota yang menyatakan
bahwa pembicaraan diplomatik diakhiri tidak dapat sepenuhnya menjadi deklarasi perang
"eksplisit". Fakta bahwa Jepang di sini sekali lagi menghindari perjanjian itu dinyatakan oleh
pengadilan. Namun, pengadilan tidak secara tegas menunjukkan bahwa dalam hal apa pun
nota itu tidak penting karena itu bukan deklarasi perang.
Dalam Hague Convention III 1907 ada naluri manusia untuk mempertahankan diri
agar tidak terbunuh oleh serangan mendadak yang tersembunyi. Ada kejijikan manusia pada
umumnya terhadap ketidakadilan dan pembunuhan yang sifatnya pengecut yang diakibatkan
oleh serangan diam-diam atau oleh bom atau rudal nuklir yang dijatuhkan pada manusia yang
tidak diperingati pada saat damai. Naluri dan penolakan ini adalah faktor utama dalam asal-
usul dari perjanjian ini. Akal sehat, apalagi orang-orang dari berbagai negara tidak mentolerir
gagasan saling memusnahkan suatu negara atau ras oleh perang mendadak atau oleh
kehancuran ekonomi dalam perlombaan senjata. Perjanjian ini menemukan dukungan
mendasar dalam kepercayaan rakyat terhadap aturan keadilan bahwa siapa pun yang pertama
kali menyerang dengan pedang akan binasa oleh pedang. Ahli sejarah hukum Pollock telah
mengamati bahwa "hukum adalah rasa keadilan yang terbentuk dalam diri manusia". Hukum
Hague Convention III 1907 dapat dikatakan sebagai rasa keadilan yang terbentuk secara
internasional dalam ras manusia.
Sekali lagi, mengutip Renault, salah satu perumus Hague Convention III 1907, ia
menjelaskan, “A warning [declaration of war] explicit—the reason for requiring a warning
is to dispel uncertainty; a warning previous—because if I stab a person with a dagger, as a
warning to him that I am stabbing him it is useless to say that I am stabbing him, because he
who is receiving the stab is feeling it. The warning, however, is not necessarily formalistic
and uniform. . . Because the warning must be previous, it follows that between the
declaration of war and the commencement of hostilities, there must be a delay such that this
condition [of previous warning] cannot become illusory.”
Kesimpulan
Serangan dadakan dan diam-diam yang dilakukan oleh Jepang terhadap Amerika
Serikat di Pearl Harbor merupakan kejahatan perang yang telah melanggar Hague
Convention III 1907, dimana baik Jepang maupun Amerika Serikat sama-sama merupakan
negara pihak. Serangan ini melanggar Pasal 1 dari konvensi ini yang menyatakan, “The
Contracting Powers recognize that hostilities between themselves must not commence
without a previous and explicit warning, in the form either of a reasoned declaration of war
or of an ultimatum with conditional declaration of war.” Dari pasal ini dapat ditarik 5
parameter pelanggarannya (yang semuanya dilangar Jepang) yaitu (1) harus ada peringatan
yang (2) eksplisit dan (3) telah diberikan sebelumnya, baik dalam bentuk (4) deklarasi perang
yang berisikan (5) alasan mengapa negara tersebut mendeklarasikan perang, atau dalam
bentuk ultimatum dengan deklarasi perang yang bersyarat. Pelanggaran ini tidak secara
eksplisit dijadikan salah satu tuntutan dari 55 tuntutan yang diberikan dalam Pengadilan
Tokyo karena perlunya ada keringkasan dan menurut beberapa perumus tuntutan dalam
persidangan, pelanggaran ini sudah termasuk sebagai bagian dasar dari tuntutan-tuntutan lain.
Surprise attack ini sudah dianggap secara implisit termasuk dalam tuntutan seperti waging
aggressive war against the United States.
Daftar Pustaka
Goldstein, D. M., & Dillon, K. V. (1999). The Pearl Harbor Papers: Inside the Japanese
Plans. Washington: Potomac Books, Inc.
Parillo, M. (2006). Why Air Forces Fail: The Anatomy of Defeat. Kentucky: University Press
of Kentucky.
Robinson, James J. (1960). Surprise Attack: Crime at Pearl Harbor and Now. American Bar
Assosciate Journal. 973-979.
Totani, Y. (2008). The Tokyo War Crimes Trial: The Pursuit of Justice in the Wake of World
War II. London: Harvard University Asia Center.