Anda di halaman 1dari 5

Bulava Mpongeo (Emas Mengeong)

(Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tengah)

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Bulunggatugo atau Limboro/Towale ada


seorang raja baik hati. Apabila sedang tidak mengurusi masalah kerajaan, dia
menghabiskan waktu dengan menekuni hobi lamanya, yaitu mencari dan
menangkap udang di sungai dekat benteng kerajaan. Tetapi karena telah lanjut
usia, secara ngerangsur-angsur hobi ini tidak dilakukan sendiri, melainkan
menitah belasan orang dayang istana yang berparas cantik jelita dan
menggemaskan untuk mencarinya.

Suatu hari Sang Raja ingin sekali mendapat udang dari kuala sungai yang
bermuara di Gunung Ravi. Untuk itu, dikerahkanlah para dayang agar segera
mempersiapkan segala perlengkapan dan peralatan penangkap udang. Setelah
siap, berangkatlah mereka (para dayang) secara beriringan menuju kuala yang
diperkirakan masih terdapat banyak udang berukuran relatif besar.

Sesampai di lokasi para dayang mulai merentang jaring. Namun, setelah


ditunggu sekian lama, tidak ada seekor pun yang berhasil terjaring. Mereka lalu
pindah ke lokasi baru. Tetapi tetap saja tidak memperoleh hasil. Malah yang
terjaring adalah sebutir mirip telur ayam. Telur itu lantas dibuang begitu saja
karena target sasaran adalah udang.

Begitu seterusnya. Setiap menebar jaring yang terperangkap adalah sebutir telur
yang telah dibuang berulang kali, seakan si telur selalu mengikuti ke mana pun
jaring ditebar. Mereka akhirnya menyerah dan membawanya ke istana sebagai
“hasil tangkapan” pengganti udang. Rencananya telur tadi akan dijadikan
sebagai “tersangka” menghilangnya kawanan udang di sekitar kuala.

Sang Raja yang mendengar pengakuan para dayang tidak lantas mengambil
tindakan. Biasanya dia akan marah bila apa yang diinginkan tidak terpenuhi. Tapi
kali ini dia hanya terdiam sambil mengamati telur yang dipegang oleh salah
seorang dayang. Dia lalu memerintah koki istana membawa dan mengambil si
telur untuk disimpan dalam landue . Nanti malam akan dia minta koki istana
menggoreng telur itu sebagai lauk saat bersantap.

Tetapi, oleh karena hanya berupa sebutir telur, begitu tiba makan malam Sang
Raja lupa. Dia malah asyik bersenda gurau dengan para dayang serta penghuni
istana lainnya. Bahkan sesekali menggoda beberapa diantara mereka hingga
tersipu malu. Selesai makan barulah teringat akan telur yang disimpan dalam
landue. Dia lalu mengingatkan lagi pada Sang koki agar menggoreng terlur untuk
sarapan. Anehnya, kejadian serupa terulang kembali. Begitu seterusnya, telur
berkali-kali lupa digoreng dan baru teringat setelah selesai makan.

Telur tadi akhirnya dilupakan. Tidak ada seorang pun yang menyinggungnya.
Apalagi, para dayang sudah beraksi kembali menangkap udang dengan hasil
luar biasa banyak. Akibatnya, suatu hari terdengarlah sebuah ledakan maha
dahsyat di istana. Setelah dilakukan investigasi ^_^ ternyata sumber ledakan
berasal dari arah dapur. Pada bagian solopio dapur terdapat lubang sangat
besar besar sebagai tanda bahwa pusat ledakan tidak jauh dari situ. Seluruh
benda yang berada di dapur rusak atau bahkan hancur tidak bersisa, termasuk
telur yang berada dalam landue. Namun ajaibnya, hanya cangkang dan putih
telur saja yang hancur. Putih telur tersebut terbang bersama solopio sementara
bagian intinya (kuning telur) tetap utuh.

Kejadian luar biasa ini tidak dianggap serius oleh segenap penghuni istana.
Mereka tetap beraktivitas seperti biasa karena beranggapan bahwa dapur adalah
sebuah tempat yang selalu berhubungan dengan panas, api membara, serta
kepulan asap. Jadi, merupakan suata hal lumrah apabila kadangkala terjadi
kebakaran atau ledakan. Kemungkinan besar hal tersebut terjadi akibat kelalaian
orang yang sedang ada gawe di dalamnya.

Malam hari setelah kejadian, di atap kamar tidur raja samar-samar terdengar
suara sesuatu sedang melompat. Semakin lama suaranya semakin terdengar
jelas. Di sela-sela lompatan terdengar pula beberapa kali suara mengeong. Raja
yang sepanjang hidup tidak pernah melihat ada seekor kucing di dalam istana
langsung terkejut dan memerintahkan para pengawal mencari dan menemukan
makhluk yang mengeong di atas atap kamar tidurnya.

Setelah ditemukan, alangkah terkejutnya para pengawal. Mereka melihat


makhluk yang mengeong bukanlah seekor kucing melainkan kuning telur yang
ditinggal bagian putihnya. Si kuning telur mondar-mandir kesana-kemari sembari
mengeong layaknya seekor anak kucing. Dengan sangat hati-hati seorang
pengawal mendekat dan menangkapnya untuk diserahkan pada Sang Raja.

Ketika sudah berada di hadapan, Sang Raja mengamati “kucing telur” dengan
saksama. Rupanya kuning telur itu sudah berumah menjadi emas berwarna
kuning terang. Emas yang dapat melompat dan mengeong. Raja
menamakannya sebagai Bulava Mpongeo atau emas yang mengeong. Dia
dianggap sebagai benda keramat yang sangat langka sehingga harus dipelihara
dengan baik. Si Bulava Mpongeo dibiarkan berkeliaran di sekitar istana tanpa
ada yang boleh mengganggunya.

Agar tetap hidup, raja beranggapan Bulava Mpongeo harus mendapat makan
sebagaimana halnya makhluk hidup lain. Tetapi setelah diberi berbagai macam
makanan dari mulai nasi, jagung, hingga umbi-umbian dia tidak mau
menyentuhnya. Sang Raja menjadi khawatir kalau makhluk langka yang tidak
mau makan itu sebentar lagi akan mati atau menghilang.

Satu minggu kemudian, entah mengapa Bulava Mpongeo keluar dari istana
menuju sebatang pohon kolontigi yang sedang berbunga lebat. Dia lalu
mendekati salah satu ranting dan memakan bunga-bunga yang tumbuh di sana.
Semenjak itu seluruh penghuni istana tahu bahwa makanan Bulava Mpongeo
adalah bunga pohon kolontigi. Setiap minggu, tepatnya pada hari Jumat dia
selalu mendatangi pohon itu untuk memakan bunganya. Begitu seterusnya
hingga suatu hari ada seorang tamu kerajaan melihatnya sedang memakan
bunga sambil sesekali mengeong.

Sang tamu yang awalnya terperanjat lalu menyadari kalau telur mengeong itu
bukanlah makhluk sembarangan. Selesai bertamu dia bergegas pulang ke
daerahnya di Palu untuk menceritakan pada sanak kerabat tentang makhluk
ajaib yang kemungkinan dapat mendatangkan berkah serta kesejahteraan bagi
siapa saja yang dapat memilikinya. Walhasil, timbullah niat untuk mencuri Bulava
Mpongeo. Mereka sepakat mencuri pada hari Jumat, sesuai dengan laporan
kawan yang datang ke istana Raja.

Beberapa jam menjalang hari H mereka telah bersembunyi di luar tembok istana.
Ketika malam tiba secara mengendap-endap mereka menuju ke halaman tempat
biasa Bulava Mpongeo memakan bunga kolontigi. Tidak lama berselang, dari
dalam istana muncullah sinar terang menyilaukan mata yang perlahan-lahan
menuju pohon kolontigi. Saat sang sinar mulai menyantap bunga, dari arah
belakang kawanan pencuri datang menyergap dan membawanya pergi.

Keesokan hari barulah seisi istana sadar Bulava Mpongeo telah menghilang.
Spekulasi pun mulai berkembang. Ada berpendapat Bulava Mpongeo kembali ke
tempat asalnya di kahyangan. Ada lagi yang berprasangka dia telah dicuri
karena dianggap sebagai benda bertuah, dan ada juga yang mengira kembali
bersatu dengan bagian putihnya. Spekulasi-spekulasi tadi membuat Sang Raja
pasrah dan merelakan kepergian Bulava Mpongeo.

Selang beberapa bulan setelahnya, daerah tempat para pencuri menjadi subur
dan makmur. Seluruh penduduk hidup damai dan sejahtera. Sedangkan para
pemilik Bulava Mpongeo sendiri hidup lebih mewah dari warga yang makmur
tersebut. Mereka memiliki harta benda jauh lebih banyak dan besar, baik dari
segi jumlah maupun ukuran. Oleh karena itu, mereka bersepakat mengadakan
pesta besar-besaran dengan mengundang kerajaan-kerajaan terdekat sebagai
ungkapan rasa syukur atas anugerah berupa emas mengeong walau didapat
dari hasil curian.

Setelah sebagian besar tamu undangan datang, pesta dimulai dengan suguhan
berbagai macam tari dan musik. Saat para tamu tengah asyik mendengarkan
musik sambil menyantap aneka makanan, dari dalam sebuah rumah muncullah
Bulava Mpongeo melompat-lompat sembari mengeong di sela-sela tempat
duduk para tamu. Sang raja yang kebetulan melihat langsung berteriak bahwa
mahkluk ajaib itu adalah miliknya.

Tuan rumah yang merasa tertangkap basah tentu berusaha membela diri. Di
depan orang banyak dia mengatakan bahwa Bulava Mpongeo adalah miliknya
sehingga terjadi perdebatan berujung pertengkaran dengan Sang Raja.
Keduanya saling klaim sebagai pemilik sah Bulava Mpongeo tanpa memberikan
bukti-bukti kuat tentang klaim tersebut.

Walhasil, suasana yang tadinya riang gembira berubah menjadi tegang. Tuan
rumah dan Sang Raja sama-sama bersikeras ingin memiliki. Sementara para
tamu yang tidak terlibat ada yang memilih berdiam diri sambil mengamati, ada
yang mencoba melerai dan menjadi penengah, serta ada pula yang secara diam-
diam pergi meninggalkan arena pesta karena menganggap suasana sudah tidak
kondisuf lagi.

Di tengah kondisi semakin memanas, tiba-tiba seorang tamu mengusulkan agar


Bulava Mpongeo dibuang ke Karone (Sungai Palu). Apabila milik sang raja,
maka dia akan kembali ke istana. Sebaliknya bila milik si tuan rumah, maka dia
akan kembali lagi ke tempat pesta. Dengan demikian tidak akan terjadi
perselisihan karena si emas mengeong telah memilih sendiri siapa tuannya.

Usul tersebut diterima oleh kedua belah pihak. Selanjutnya bersama-sama


dengan para tamu mereka membawa Bulava Mpongeo ke Karone. Sampai di
sana si emas ajaib dilepas di tengah aliran sungai yang mengalir deras.
Kemudian mereka pulang kembali ke tempat masing-masing tanpa melanjutkan
pesta.

Begitu sampai di istana, Sang Raja sudah disambut oleh suara mengeong
Bulava Mpongeo. Sekarang tahulah Raja bahwa si emas mengeong memanglah
miliknya. Oleh karena itu, dia tidak mempersoalkan lagi mengapa emas tadi bisa
sampai di Palu. Baginya, dengan kembalinya Bulava maka persoalan dianggap
selesai. Dia tidak ingin masalah perebutan Bulava menjadi berlarut-larut hingga
menimbulkan permusuhan.

Sebaliknya, para pencuri yang merasa dipermalukan tidak terima dengan


kembalinya Bulava Mpongeo ke istana Raja. Mereka ingin merebut kembali
makhluk itu agar kemakmuran tetap terjaga dan orang-orang di sekitar tidak
mencemooh. Pencurian kedua dilakukan dengan perencanaan sangat matang
dan akhirnya berhasil mendapatkan Bulava Mpongeo.

Agar tidak dapat keluar rumah, atas nasihat seorang ahli nujum sekujur tubuh
Bulava Mpongeo disiram perasan air jeruk. Tetapi akibatnya malah sebaliknya.
Secara perlahan kondisi Bulava semakin melemah dan akhirnya mati. Ia tidak
dapat lagi melompat ataupun mengeong dan perlahan beralih ujud menjadi
seonggok emas bulat. Para pencuri tidak dapat berbuat apa-apa selain menyesal
telah menuruti nasihat sang ahli nujum.

Beberapa bulan setelahnya keadaan daerah para pencuri malah memburuk.


Tanaman tidak lagi tumbuh subur, kekeringan melanda, dan jumlah hewan
ternak berkurang. Atas kesepakatan bersama mereka bersepakat
mengembalikan pada pemiliknya walau dalam kondisi sudah mati dan telah
menjadi seonggok emas bulat. Alasan pengembalian adalah kematian Bulava
Mpongeo membawa kesengsaraan bagi banyak orang.

Ketika para pencuri datang ke istana untuk mengembalikan Bulava Mpongeo


Sang Raja tidak banyak bereaksi. Bahkan saat mereka menceritakan mengapa
sang makhluk ajaib berubah menjadi onggokan emas, Sang Raja hanya
tersenyum (kecut) dan tidak berusaha menyalahkan para pencuri atau ahli
nujumnya. Dia lalu memerintahkan para pengawal membawa dan menaruh
emas itu di suatu tempat khusus dalam istana.

Konon, walau telah mati Bulava Mpongeo malah benar-benar menjadi benda
keramat bagi kerajaan. Dia selalu dimandikan di daerah kuala (tempat
ditemukan) apabila kerajaan sedang terjadi kekacauan atau mengalami suatu
bencana, seperti kekeringan akibat kemarau panjang, kelaparan, maupun wabah
penyakit. Dengan begitu, segala macam wabah maupun kekacauan dapat
teratasi.

Anda mungkin juga menyukai