Anda di halaman 1dari 3

Dari Kikugawa Restaurant ke Warung Sushi Pinggir Jalan:

Transformasi Citra Makanan Sushi di Indonesia

Siapa yang tidak mengenal sushi? Makanan dari Jepang yang terdiri dari nasi

yang dibentuk bersama lauk berupa makanan laut, daging, sayuran mentah atau

sudah dimasak ini, merupakan makanan yang sudah mengglobal dan mendapat

tempat tersendiri bagi masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia karena

kelezatannya. Memang tidak dapat dipungkiri, makanan tradisional Jepang telah go

internasional, dalam kasus ini telah dikenal oleh masyarakat dunia dengan gambaran

yang kuat. Sushi, sukiyaki, tempura, dan sebagainya sudah tidak asing lagi bagi

masyarakat dunia, dan mereka dapat dengan mudah menikmatinya di belahan dunia

manapun. Makanan Jepang dapat dipandang sebagai alat diplomasi negara Jepang di

kancah internasional. Kesungguhan masyarakat Jepang mempertahankan makanan

tradisionalnya ternyata memberikan sumbangan besar untuk negara Jepang dalam

hal menjaga identitas diri dan pelestarian budaya.

Citra elit dan ekslusif pada sushi sudah melekat dari awal pembuatan sushi

yang memiliki nilai filosofis tersendiri dan dibuat oleh orang yang sangat ahli dan

terlatih hingga penentuan lokasi gerai sushi. Jepang sendiri, sampai tahun 1970-an

sushi masih merupakan makanan mewah. Rakyat biasa di Jepang hanya makan sushi

untuk merayakan acara-acara khusus, dan terbatas pada sushi pesan-antar. Dalam

manga (komik Jepang), sering digambarkan pegawai kantor yang pulang tengah

malam ke rumah dalam keadaan mabuk. Oleh-oleh yang dibawa untuk menyogok

istri yang menunggu di rumah adalah sushi. Walaupun rumah makan kaitenzushi yang

pertama sudah dibuka tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke daerah-daerah lain di

Jepang memakan waktu lama. Makan sushi di restoran sebagai acara seluruh anggota

keluarga (family outing) terwujud di tahun 1980-an sejalan dengan makin meluasnya

kaitenzushi. Namun, di Indonesia sushi masih dikenal sebagai salah satu masakan

khas Jepang yang disajikan terbatas di beberapa restoran atau hotel berbintang. Tidak
heran bila kesan eksklusif dan mewah dengan harga yang di luar jangkauan orang

kebanyakan melekat pada kuliner ini.

Adalah Kikugawa restaurant, pelopor pertama restoran Jepang di Indonesia.

Tempat makan ini berdiri pada tahun 1969 oleh Kikuchi Surutake dan terletak di Jl.

Cikini IV No.13, RT.15/RW.5, Cikini, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah

Khusus Ibukota. Asal usul restoran ini berawal dari sang pendiri, Kikuchi Surutake,

yang sangat mencintai Indonesia. Bahkan, nama gerai makan ini diambil dari lagu

Indonesia kesukaannya, Bengawan Solo, yang dalam Bahasa Jepang memiliki arti

gawa dan digabungkan dengan Namanya sendiri, kikuchi. Jadi, jika digabungkan

menjadi kikugawa. Keaslian restoran ini tetap terjaga dari awal berdiri hingga

sekarang dan tetap mempertahankan menu yang tidak berubah, yaitu menu yang

hanya berkisar pada sushi, sashimi, agedashi tofu, udon, soba, dan ramen.
Selanjutnya terdapat Gerai Makan Keyaki dan Ajihara yang merupakan restoran

Jepang yang muncul dalam kurun waktu 1970-2000an. Citra elit dan ekslusif sushi masih

tetap dipertahankan pada kurun waktu tersebut. Kemudian pada medium tahun 2000-an ke

atas, citra sushi telah bergeser ke sedikit yang tidak terlalu elit dan ekslusif, hal ini ditandai

dengan semakin terjangkaunya harga sushi dan semakin menjamurnya restoran Jepang di

pusat perbelanjaan atau mall yang terletak di beberapa kota di Indonesia selain Jakarta. Sushi

tei, merupakan satu dari restoran Jepang yang hadir pada kurun waktu tersebut. Tepatnya

pada tahun 2003, sushi tei hadir dengan menu yang mulai terjangkau kantong masyarakat

dengan kisaran harga Rp100 ribu- Rp200 ribu.

Satu dua tahun belakangan ini, citra elit dan ekslusif pada sushi semakin memudar

akibat munculnya gerai sushi di pinggir jalan dan berharga murah. Sushi kini kian mulai

“turun ke jalan”—di jual di kedai kaki lima, pinggiran jalan—dan sudah merakyat.

Akibatnya, citra sushi dari makanan khas restoran dan hotel mewah itu berubah ke citra

makanan rakyat dengan citra kaki lima. Meskipun harganya murah, itu bukan berarti tidak

enak, yang berubah dari citra tersebut bukanlah kualitas, tetapi kuantitasnya yang diubah.

Sushi AEON yang terletak di Mall AEON Serpong Tangerang ini menjadi bukti berubahnya

citra sushi yang merakyat dari segi harga. Sushi pada gerai makan ini, dapat dijangkau

masyarakat mulai dari Rp 20ribu hingga Rp 70 ribu pada menu sushi set kecil hingga besar.
Salah satu kedai sushi jalanan ialah Tokyo Sushi yang terdapat di Tangerang. Gerai makan

ini berjualan di mobil pick up dan dijual dengan harga sangat murah, mulai dari Rp 8ribu per

pcs.

Transformasi perubahan citra makanan tersebut menandakan bahwa semakin

populernya sushi akibat dari proses globalisasi yang semakian kuat di dunia ini. Ketertarikan

orang terhadap sushi membuat menjamurnya restoran sushi dari citra mewah hinga citra kaki

lima.

Anda mungkin juga menyukai