Pelatihan Survey
Keanekaragaman
Hayati
http://darwin.defra.gov.uk/
Pemateri:
Website: http://www.kent.ac.uk/dice/research/islam_conservation.html
DASAR-DASAR EKOLOGI
DALAM KONSERVASI KEANEKARAGAMAN
HAYATI
Pendahuluan
Sesungguhnya ekologi dalam arti proses alam telah dikenal sejak
lama, sesuai dengan sejarah manusia. Umpamanya, tumbuhan
memerlukan sinar Matahari, tanah dan air. Tumbuhan menjadi
makanan hewan. Ada pula hewan menjadi makanan hewan lain.
Demikian pula proses kelahiran,kehidupan, pergantian generasi,
dan kematian; kesemuanya telah menjadi pengetahuan manusia.
Proses itu berlangsung terus berkesenambungan mengikuti apa
yang menjadi apa yang kita namakan “Hukum Alam”. Ekologi
dalam pemahaman kuantitatif relatif masih berkembang terus,
umpamanya berapa jumlah sinar matahari, jumlah air, dan luasnya
tanah untuk suatu pohon kelapa ?, Berapa luas tanah dan padang
rumput untuk setiap kambing? Ekologi yang baru, bukan hanya
mencari pola kehidupan secara kualitatif, tetapi berusaha mencari
jawaban atas masalah kunatitatif seperti tersebut di atas dan juga
konsep keanekaragaman dan kehidupan di bumi merupakan sebagai
aplikasi konsep dasar ekologi.
Kehidupan di bumi merupakan satu mata rantai yang tidak
dapat dipisahkan. Oleh karena itu, para ahli ekologi dan biologi
mengemukan keterkaitan harmonisnya ekosistem dengan suatu
jaringan kehidupan yang terdiri dari berbagai rantai makanan. Sebab
spesies dalam komunitas biologi diklasifikasikan menurut caranya
memperoleh energi. Unsur yang paling utama dalam tingkatan ini
adalah spesies fotosintesis (tumbuh-umbuhan) yang disebut juga
produsen primer. Tumbuhan memperoleh energi langsung dari
matahari untuk membangun melekul organik yang yang diperlukan
untuk kehidupan untuk hidup dan tumbuh. Beberapa contoh dari
spesies ini di daratan (teresterial) dapat dijumpai pada berbagai
macam tumbuhan berbunga yang memiliki khlorofil. Sedangkan
di perairan dijumpai pada rumput, ganggang sel tunggal, ganggang
biru-hijau.
Kehidupan oerganisme tersebut tidak terlepas dari faktor
lingkungan, baik lingkungan biotik maupun abiotik. Faktor
lingkungan sangat menentukan penyebaran dan kepadatan populasi
suatu organisme. Bila kondisi lingkungan suatu daerah tidak
mendukung kehidupan suatu jenis organism maka organism itu tidak
dapat hidup dengan baik disana. Bila kepadatan sejenis hewan di
suatu daerah sangat berlimpah, maka itu menunjukkan bahwa faktor
biotik dan abiotik di daerah itu sangat mendukung kehidupan jenis
organism tersebut. Dari hal tersebut di atas merupakan dasar-dasar
ekologi, adanya habitat, organisme, dan faktor lingkungan yang
saling berkerja sama. Konsep dasar ekologi sudah banyak diterapkan
sebagai pondasi penyelamatan dan konservasi keanekaragam hayati
dengan metoda-metoda ekologi untuk pengukurannya. Selain
itu, konsep ini juga banyak dikaji dari bidang lain seperti bidang
agama yang memiliki kesenergisan yang kuat. Dalam kajian di
bawah ini bagaimana dasar-dasar ekologi terpakai dalam kajian
konservasi, penentuan keanekaragam hayati dan faktor lingkungan
dan konservasi alam dalam islam.
Konsep Ekosistem
Suatu kawasan alam yang didalamnya tercakup unsure-unsur hayati
(organism) dan unsur-unsur non-hayati (zat-zat tak hidup) serta
antara unsur-unsur tersebut terjadi hubungan timbale balik yang
disebut system ekologi atau lebih sering disebut ekosistem.
Kalau dilihat dari ekosistem dari segi penyusunnya, maka
dapat kita bedakan empat komponen:
1. Bahan tak hidup (abiotik, non-hayati), komponen fisik dan
kimia yang terdiri atas tanah, air, udara, sinar matahari, dan
sebagainya dan merupakan medium atau substrat untuk
berlangsungnya kehidupan.
2. Produksen, yaitu organism yang autotrofik yang umumnya
tumbuhan berklorofil, yang mensistensis makanan dari
bahan anorganik yang sederhana.
3. Konsumen, yaitu organisme heterotrofik, misalnya hewan
dan manusia yang memakan organisme lainnya.
4. Pengurai, perombak atau decomposer yaitu organisme
heterotrofik yang menguraikan bahan organic yang berasal
dari organism mati (bahan organic kompleks, meyerap
sebagian hasil penguraian tersebut dan melepas bahan-
bahan yang sederhana yang dapat dipakai oleh produksen.
Ekosistem merupakan satuan funsional dasar dalam ekologi,
mengingat bahwa di dalamnya tercakup organisme dan lingkungan
abiotik yang satu terhadap yang lain saling mempengaruhi.
Ekosistem merupakan benda dan mempunyai ukuran yang bereneka,
bergantung pada tingkat organisasinya (Gambar 1 dan Gambar 2)
Gambar 1. Diagram sebuah ekosistem kolam. Unit-unit dasar
terdiri atas, I, komponen abiotik, yaitu senyawa-senyawa
organic dasar, IIA, produksen tumbuh-tumbuhan berakar, IIB,
produksen-fitoplankton III-IA, konsumen primer (herbivora)-
hewan hewan kecil yang hidup di dasar kolam, III-IB, konsumen
primer (herbivora) plankton hewan; III-2, konsumen sekunder
(karnivora); III-3 konsumen tersier (karnivora seekunder); IV,
pengurai (Odum, 1966)
Populasi
Seringkali populasi didefenisikan sebagai himpunan individu-
individu suatu spesies organism yag terdapat di suatu tempat
pada suatu waktu. Populasi mempunyai karakteristik yang khas
untuk kelompok yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu
anggotanya. Karakteristik dasar populasi tersebut adalah ukuran
populasi atau kepadatan populasi. Ada empat peubah yang
menentukan kepadatan populasi, yaitu natalitas atau kelahiran,
mortalitas atau kematian, imigrasi yaitu masuknya anggota populasi
dari daerah lain, dan emigrasi yaitu keluarnya anggota populasi ke
daerah lain. Karakter populasi yang lain adalah distribusi umur, dan
distribusi penyebaran.
Komunitas
Komunitas adalah siatem kehidupan bersama dari kelompok
populasi organism yang saling berhubungan karena saling pengaruh
satu dengan yang lainnya dan berkaitan pula dengan lingkungan
hidupnya. Dalam komunitas organism hidup saling berhubungan
atau berinteaksi secara fungsional. Hal ini menunjukkan bahwa
komunitas tidak statis. Komunitas mempunyai tendensi menuju
stabilitas yang dinamik, dengan perkataan lain, komunitas itu
memperhatikan adanya pengaturan diri atau homeostatis. Dengan
demikian, komunitas dapat dianggap sebagai suatu superoragisme.
Sehubunngan dengan itu, dalam studi komunitas dikaji organism
penyusunnya dan hubungan satu dengan yang lainnya, dan juga
perubahan-perubahan yang terjadi padanya. Dengan perkataan lain,
komunitas mempunyai karakteristik organisasi komunitas, fungsi,
dan mengalami perubahan.
Konsep komunitas sangat penting dalam menerapkan
prinsip ekologi dalam pratek. Ada tiga konsep yang dapat diterapkan
dalam mengamati pola komunitas. Pertama, apa yang dinamakan
gradasi komunitas, kedua, konsep gradasi lingkungan, ketiga, apa
yang dinamakan gradasi ekosistem.
Habitat
Habitat (biotop) suatu populasi hewan atau tumbuhan pada dasarnya
menunjukkan totalitas corak lingkungan yang ditempati populasi.
Tercakup disini faktor-faktor abiotik berupa ruang, tipe substratum,
atau medium yang ditempati, cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.
Masalah kehadiran suatu populasi organisme di suatu
tempat dan penyebarannya di muka bumi ini selalu berkaitan dengan
masalah habitat dan relung ekologinya. Habitat secara umum
menunjukkan bagaimana corak lingkungan yang ditempati populasi
tersebut, sedangkan relung ekologinya menunjukkan dinama dan
bagaimana kedudukan populasi organisme itu, relative terhadap
berbagai faktor-faktor abiotik dan biotic lingkungannya.
Untuk mudahnya, habitat seringkali dibaratkan sebagai
“alamat” dari populasi organisme, sedangkan relung diibaratkan
sebagai “profesi” di “alamat” itu.
Metoda Ekologi
Hubungan timbal balik antara oerganisme dengan lingkungan
merupakan faktor kunci bagi pemanfaatan sumber daya hayati serta
kelestarian lingkungan hidup. Bumi yang merupakan sebagai habitat
(abiotik) dan di habitat hiidup makluk hidup (organisme). Pada
kedua kompoenen ini ada faktor lingkungan yang berkerja untuk
menjalankan proses kehidupan di Bumi, baik faktor itu dari luar
maupun dari dalam. Kesemua komponen ini yang saling berkerja
sama yang mempunyai hubungan yang sangat erat untuk kehidupan
di Bumi atau lebih dikenal kestabilan ekosistem. Namun demikian,
setiap komponen makluk hidup baik yang hidup di daratan, air dan
di udara harus di ketahui sebagai penyusun keanekaragaman hayati.
Untuk mengetahui kompenen tersebut dapat diketahui dengan
metoda ekologi dan metoda ini juga berbeda-beda untuk setiap
organisme. Begitu juga dengan faktor lingkungan dapat diketahui
dengan metoda ekologi seberapa hubungannya antara lingkungan
dengan makluk hidup. Pergeseran inilah yang banyak menyebabkan
keanekaragam hayati semakin hari semakin berkurang. Hal ini
merupakan suatu tantangan yang harus dilalui untuk menjaga
keselamatan keanekaragaman hayati dan keselamatan Bumi.
• Warna tanah
• Suhu tanah
• Konsistensi tanah
• Tekstur tanah
• Air tanah
• Kadar Air Tanah
• pH tanah
B. Lingkungan Perairan
Parameter lingkungan air yang sering merupakan faktor bagi
organism air adalah suhu, cahaya, konduktivitas, dan kecepatan
arus, sehingga faktor fisika itu selalu diukur dalam studi ekologi
perairan.
TUMBUH-TUMBUHAN
• Metoda Petak Contoh (plot methods)
• Metoda Petak Tunggal
• Metoda Petak Ganda
• Metoda jalur/transek
• Metoda jalur berpetak
ORGANISME AIR
• Plankton
• Hewan yang hidup di dasar
• Ikan
Metoda transeks
Metoda ini biasa digunakan untuk hewan atau tumbuhan, dengan
mencatat organisme yang masuk dalam jalur transeks.
Metoda kuadrat
Metoda ini bias adigunakan untuk hewan atau tumbuhan, dengan
mencatat organisme yang masuk dalam petak kuadrat.
1. Kurva spesies-area
Kurva ini sangat berguna untuk mengevaluasi spesies
richnes(jumlah spesies) dalam suatu habitat. Oleh karena itu,
kurva ini sering digunakan dalam studi biogeografi.
2. Keanekaragaman jenis
Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan
komunitas berdasarkan organisasi biologisnya, ia dapat digunakan
untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas disusun
oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies yang sama atau
hamper sama. Sebaliknya, jika komunitas itu disusun oleh sangat
sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan,
maka keanekaragaman jenisnya rendah. Banyak metoda untuk
menentukan ini, di antaranya Indeks Simpson.
Referensi
• Ibkar-Kramadibrata (1995). Ekologi Hewan
• Mangunjaya F. (2005). Konservasi alam dalam
islam
• Odum, E. P. (1971). Dasar-dasar ekologi
• Resosoedarma, S., K. Kartawinata, A. Soegiarto
(1984). Pengantar ekologi
• Suin, M. N. (2002). Metoda ekologi
• Soegianto A. (1994). Ekologi kuantitatif
”Mengintegrasikan Agama dalam Konservasi; Agama Islam dan Pengelolaan Hutan Sumatra”
METODE LAPANGAN BURUNG
DAN MAMALIA
Oleh ;
Dr. Wilson Novarino
PENDAHULUAN
Keunikan serta kekhasan fauna dan flora Indonesia merupakan
modal dasar yang sangat potensial. Karena itu perlu dimanfaatkan
secara bijak, lebih optimal dan lestari. Pola pembangunan ekstraktif
yang marak dilakukan di Indonesia dewasa ini, selayaknya harus
mulai dikurangi dan digantikan dengan pola-pola pemanfaatan
alternatif. Beberapa kajian valuasi ekonomi kawasan hutan yang
dimanfaatkan menjadi konsesi hak pengusahaan hutan ternyata
menunjukkan bahwa pada jangka panjang pola pengusahaan tersebut
justru lebih merugikan. Sementara bentuk-bentuk pemanfaatan
alternatif masih sangat sedikit dikembangkan.
Untuk mengetahui kekayaan dan keanekaragaman secara
terperinci, perlu dilakukan serangkaian kegiatan inventarisasi.
Kegiatan ini tentunya membutuhkan keterampilan tersendiri, dan
untuk membandingkan dengan data dari daerah lain dibutuhkan
adanya metode yang standar. Tulisan berikut mencoba menjabarkan
dasar-dasar teknik lapangan untuk pemantauan satwa burung dan
mamalia
PENGIDENTIFIKASIAN DI LAPANGAN
1. Buku Panduan; Hampir seluruh kawasan di dunia ini
sudah mempunyai bukupanduan pengamatan burung. Dewasa
ini yang paling banyak digunakan untuk daerah Sumatera, Jawa,
Kalimantan dan Bali adalah buku Mackinnon (1993).
2. Bagian penting untuk identifikasi; Cara terbaik untuk
mengidentifikasi burung adalah dengan mengennal karakter
setiap kelompok burung. Hal ini biasanya akan semakin difahami
jika kita semakin sering melakukan kegiatan pengamatan burung.
Adapun langkah yang paling cepat;
- Kenali ukurannya dan bentuk umumnya; sebesar
merpati, bentuk elang
- Kenali dan ingat ciri khusus yang ada
- Perhatikan warna bagian tubuh
- Catat semuanya dalam buku catatan
- Bandingkan dengan buku panduan
Pembuatan sketsa suatu jenis burung yang terlihat sangat membantu
dalam proses pengidentifikasian, terutama bagi mereka yang baru
dalam kegiatan pengamatan burung. Pembuatan sketsa ini selain
mengacu pada dasar-dasar bentuk topografi burung (seperti tipe
paruh, ekor, cakar dan sayap), juga perlu memperhatikan hal-
hal lain seperti; bentuk umum burung (apakah tubuhnya relatif
ramping, gemuk, panjang, pendek, besar atau kecil), bentuk
garis yang dibentuk saat terbang (ada yang bergelombang, datar,
bertingkat), outline atau bentuk umum tubuh sewaktu terbang
(bagaimana panjang dan bentuk sayapnya, panjang bagian kepala
dan ekor dibandingkan dengan panjang tubuh,ukuran dan panjang
bagian ekor, posisi kaki pada saat terbang), posisi saat hinggap
pada kabel (tegak, miring, seluruh tubuh terlihat pada bagian atas
kawat, sebagian diatas dan sebagian dibawah), posisi saat hinggap
pada sebatang pohon (apakah hinggap pada pohon utama, dahan,
cabang, ranting atau daun; apakah hinggap dengan posisi tegak
atau miring), posisi saat mengapung pada badan perairan (apakah
seluruh tubuh diatas permukaan air, sebagian tubuh terbenam, atau
hanya meninggalkan bagian leher dan sedikit bagian punggung
saja diatas permukaan air), posisi saat berjalan diatas pasir pantai
atau lumpur.
3. Bagaimana mencocokkan hasil pengamatan dengan
buku; Sebagian besar buku panduan yang ada disusun dengan
urutan jenis yang sama, yaitu berdasarkan phylogenetic Sibley
and Monroe, Phenology (Peter’s sequence), atau kekerabatan hasil
analisa DNA (Howard & Moore). Hal ini sangat memudahkan
kita untuk mengikuti setiap buku panduan dan mecari kelompok
burung teretntu.
4. Buku Catatan; Yang paling baik adalah buku saku,adapun
format pencatatan yang terbaik adalah berdasarkan kebiasaan kita
membikin suatu catatan.
METODE PENDUGAAN KENAKERAGAMAN BURUNG
Beberapa metoda yang sering digunakan dalam pengamatan
burung seperti berikut ini:
1. Daftar Jenis Sederhana
Dilakukan dengan mencatat semua jenis yang dijumpai pada
daerah pengamatan, tanpa adanya batasan-batasan seperti waktu,
jarak tempuh, dan hanya menghasilkan daftar jenis burung yang
dijumpai didaerah tersebut.
A. Kegunaan : Menentukan jenis yang ada disuatu
lokasi
B. Keunggulan :Sangat sederhana dan tidak membutuhkan
adanya analisa lanjutan
C. Kelemahan :Tidak memperhitungkan besarnya usaha
pengamatan yang dilakukan, sehingga
tidak bisa dibandingkan dengan kegiatan
yang dilakukan pada daerah lainnya.
3. Tingkat Pertemuan
Dalam metoda ini, waktu pengamatan dibedakan berdasarkan jam
pengamatan (1 jam pertama, 1 jam kedua, dst). Selain mencatat
jumlah jenis yang teramati pada setiap selang waktu juga dicatat
jumlah individu dari masing-masing jenis. Sebagai batasan
sederhana jumlah individu bisa dikelompokkan atas jarang, tidak
umum, sering, umum dan melimpah.
A. Kegunaan : Melengkapi daftar jenis burung yang
dijumpai dengan indeks kelimpahan relatif berdasarkan jumlah
individu suatu jenis yang dijumpai per satuan waktu.
B. Keunggulan : Bisa digunakan untuk membandingkan
kelimpahan relatif jenis burung secara kasar dari lokasi yang
berbeda.
C. Kelemahan : Adanya perbedaan tingkat kemudahan
dalam penemuan dan pengidentifikasi serta penghitungan
jumlah individu, bisa menjadi sumber bias yang besar dalam
penghitungan maupun dalam pelaksanaan dilapangan.
140
120
100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
7. Titik Hitung
Metode ini dilakukan dengan mencatat semua jenis yang
memasuki daerah pengamatan yang dibatasi dalam titik-titik
pengamatan tertentu. Pada metode ini pengamat berjalan
sepanjang jalur/jalan yang sudah ditentukan disertai dengan titik
pengamatan yang telah ditentukan. Di setiap titik, pengamatan
dilakukan selama 15 menit dengan jarak pengamatan ke kiri dan
kanan sejauh 25 meter dan jarak antar titik sejauh 100 meter, agar
tidak terjadi pengulangan pencatatan. Parameter yang diamati
adalah jumlah jenis dan jumlah individu di lokasi pengamatan,
pada masing-masing habitat yang berbeda. Analisa bisa
dilakukan untuk melihat kelimpahan relatif, keanekaragaman
jenis menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon &
Weaner, serta melihat tingkat kesamaan anatara beberapa lokasi
dengan membuat klaster. Bisa juga dilakukan untuk menganalisa
perbedaan keragaman pada waktu pengamatan yang berbeda
(pagi – sore, bulan basah-bulan kering)
A. Kegunaan : Metoda ini bisa dilakukan untuk
menghitung kepadatan suatu jenis secara mutlak.
B. Keunggulan : Data yang didapat dari metoda ini bisa
digunakan untuk membandingkan kepadatan suatu lokasi
dengan lokasi lainnya. Fokus pengamatan adalah pada
burung yang terlihat, sehingga memungkinkan mengamati
jenis burung yang bersifat kriptis, serta mudah digunakan
untuk menghubungkannya dengan data-data mengenai
habitat sekitar.
C. Kelemahan : Metoda ini mebutuhkan waktu yang
panjang, kemungkinan mencatat jenis yang sama sangat besar,
dan sangat lemah dalam memperkirakan jarak pengamatan.
8. Garis transek
Metoda ini hampir sama dengan metoda titik hitung, namun
plot pengamatan adalah dalam bentuk garis. Semua jenis yang
teramati disepanjang garis pengamatan dicatat dan dihitung
individunya. Lebih sering digunakan untuk pengamatan jenis
burung tertentu, terutama untuk penghitungan populasi. Namun
bisa juga digunakan untuk pendugaan keanekaragaman. Metoda
ini lebih dianjurkan untuk daerah terbuka.
A. Kegunaan : Metoda ini bisa dilakukan untuk
menghitung kepadatan suatu jenis secara mutlak.
B. Keunggulan : Data yang didapat dari metoda ini bisa
digunakan untuk membandingkan kepadatan suatu lokasi
dengan lokasi lainnya. Lebih cepat menyelesaikan kawasan
yang diamati, kesempatan mencatat jenis yang sama lebih
kecil, baik untuk jenis yang aktif bergerak, kesalahan dalam
memperhitungkan jarak tidak sebesar seperti pada metoda
titik hitung.
C. Kelemahan : Metoda ini mebutuhkan pembagian
fokus pengamatan pada jenis yang dijumpai dan panjang
jalur pengamatan, sehingga kita juga mengalami kendala
untuk pengenalan jenis-jenis kriptis.
PENGAMATAN LANGSUNG
Pengamatan satwa liar yang tergolong mamalia relatif lebih sulit
dibandingkan dengan burung. Hal ini disebabkan pola ativitas
dan sifat mereka yang lebih menghindari kontak dengan manusia.
Jenis mamalia yang sering bisa diamti secara langsung adalah
dari kelompok primata (ungko, siamang, simpai, kera, beruk),
atau beberapa mamalia terestrial seperti babi hutan, kijang, rusa,
landak. Karenanya, pengamatan langsung biasanya hanya ditujukan
kepada satwa primata. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan penagamatan satwa primata adalah suara primata itu
sendiri, suara daun atau daun yang berisik, tanda-tanda atau bekas
makanan di lantai hutan, kotoran serta bau.
SENSUS SUARA
Merupakan sensus dengan menggunakan suara hewan sebagai
patokan. Sebelum melakukan sensus, suara hewan tersebut harus
dikenali dengan baik. Biasanya dilakukan terhadap hewan-hewan
yang bersuara nyaring dan suaranya dapat didengarkan dari jarak
yang jauh, seperti pada beberapa jenis primata, seperti Ungko
(Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus). Pengamat
harus mencari posisi pada suatu tempat yang diperkirakan dapat
mendengarkan suara hewan objek dengan cukup jelas. Pengamatan
dilakukan pada saat hewan objek banyak melakukan aktifitas
bersuara, yaitu antar pukul 06.00 sampai 09.00 WIB. Arah datangnya
suara serta jarak dari titik pengamatan dicatat dan digambarkan pada
peta. Suara yang berasal kira-kira dari jarak yang terpisah sejauh
50 meter atau lebih dapat dianggap sebagai individu atau kelompok
yang berbeda.
PENGAMATAN JEJAK
Semua hewan hidup dengan berbagai tanda yang mereka perlihatkan,
misalnya dalam bentuk jejak kaki, jalur, feses, serpihan kulit, bagian
tubuh, tulang, gigi, sisa makanan, sarang dan sebagainya. Jejak
mamalia merupakan cetakan kaki atau kuku dari hewan mamalia
pada substrat tertentu sesuai dengan kebiasaan hidup dari hewan
tersebut, banyak hal yang dapat diambil sebagai data dari mengamati
jejak yang kita temukan di lapangan. Data morfologi dan ekologi
yang mungkin diperoleh dari pengamatan jejak seperti karakter
(spesies, ukuran tubuh dan berat), pola jejak (walking / berjalan,
dengan ciri jejak yang simetris; galloping / berlari cepat, jejak yang
non simetris; jumping / melompat, jejak yang non simetris), kajian
populasi, homerange (daerah jelajah) serta tingkah laku lanilla
seperti makan dan aktivitas.
PERANGKAP KAMERA
Penggunaan perangkap kamera sudah dimulai sejak awal tahun
1900-an, pada masa tersebut perangkap kamera digunakan oleh para
pemburu dan kolektor satwa liar yang ingin mengetahui satwa apa
saja yang melintasi daerah pengamatan atau perburuan mereka. Alat
ini kemudian mulai dimanfaatkan untuk tujuan ilmiah pada tahun
1960-an. Penggunaan kamera trap telah banyak digunakan oleh para
peneliti (Carbone et al., 2001), baik untuk pemantauan kehadiran
satwa dan memperkirakan populasi (Kawanishi, 2002; Holden et
al. 2003), melihat penggunaan habitat dan aktivitas harian hewan
(Novarino et al. 2005, 2007), serta melihat pengaruh fragmentasi
habitat terhadap satwa (Kinnaird et al. 2003).
PERANGKAP JEBAK
Penangkapan mamalia bisa dilakukan dengan menggunakan jala
kabut seperti digunakan dalam metode lapangan untuk burung.
Selain itu, untuk mamalia tanah seperti bajing, tupai dan tikus
ditangkap dengan menggunakan perangkap jebak. Perangkap ini
dipasang pada lokasi pinggir sungai, pinggang dan puncak bukit
sesuai dengan target pengamatan.. Pemasangan dilakukan pada
ketinggian 0-10 meter dari permukaan tanah, tergantung padaenis
satwa target. Umpan yang digunakan bisa berupa bungkil kelapa,
nangka, pisang atau ikan asin. Pohon atau lokasi tempat memasang
perangkap juga sebaiknya diberi tanda agar memudahkan dalam
pemeriksaaan pada hari berikutnya. Data-data yang dicatat untuk
setiap individu yang tertangkap adalah:
• Lokasi perangkap, jumlah perangkap dan jenis umpan yang
dipakai.
• Data kualitatif, seperti jenis kelamin, usia, letak dan jumlah
puting susu, formula gigi, warna rambut.
• Data kuantitatif (morfometrik), yaitu panjang total, panjang
ekor, panjang badan dan kepala, panjang kaki belakang dan
depan serta panjang telinga.
• Data-data lain yang dianggap perlu.
Untuk identifikasi dapat digunakan panduan lapangan mamalia.
BAHAN BACAAN
Bibby, C., Martin C, Stuart M. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survey Burung.
BirdLife International Indonesia Programme. Bogor-Indonesia.
Carbone, C., Christie S., Conforti K., Coulson T., Franklin N., Ginsberg J.R., Griffiths M.,
Holden J., Kawanishi K., Kinnaird M., Laidlaw R., Lynam A., Macdonald D.W.,
Martyr D., McDougal C., Nath L., O’Brien T.G., Seidensticker J., Smith D.J.L.,
Sunquist M., Tilson R. & Wan Shahruddin W.N. 2001. The use of photographic rates
to estimate densities of tigers and other cryptic mammals. Animal Conservation 4
: 75–79
Holden, J., Yanuar A. & Martyr D. 2003. The Asian tapir in Kerinci Seblat National Park,
Sumatra: Evidence collected through photo-trapping. Oryx 37 (1): 34-40.
Kawanishi, K., Sunquist M. & Othman S. 2002. Malay Tapirs (Tapirus indicus): Far from
Extinction in a Malaysian Rainforest. Tapir Cons. 11 (1): 23-27
Kinnaird, M. F. K., Sanderson E.W., O’brien T.G., Wibisono H.T. & Woolmer G. 2003.
Deforestation Trends in a Tropical Landscape and Implications for Endangered
Large Mammals. Conservation Biology 17 (1): 245-257.
MacKinnon, J.K. Phillips dan B. van Ballen. (1998). Burung-burung di Sumatra, Jawa, Bali
dan Kalimantan. LIPI-Seri Panduan Lapangan. Puslitbang Biologi—LIPI. Bogor.
Indonesia.
Novarino, W. Kamilah S.N., Nugroho A., Janra M.N. Silmi M. & Syafri M. 2005. Habitat Use
and Density of the Malayan Tapir (Tapirus indicus) in the Taratak Forest Reserve,
Sumatra, Indonesia.. Tapir Conservation 14 (2): 28-30.
O’Brien T.G., Kinnaird M.F. & Wibisono H.T. 2003. Crouching tigers, hidden prey: Sumatran
tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131-
139.
Payne, J. and C. M. Francis. 1985. Field Guide to The Mammals of Borneo. Sabah Society and
Wildlife Conservation Society. Malaysia.
Rabinowitz, A. (1993). Wildlife Field Research and Conservation Training Manual. NYZS
Wildlife Conservation Society.
Sukmantoro W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp, M. Muchtar. 2007. Daftar
Burung Indonesia no. 2. Indonesia Ornithologists’ Union. Bogor.
”Mengintegrasikan Agama dalam Konservasi; Agama Islam dan Pengelolaan Hutan Sumatra”