Anda di halaman 1dari 103

“Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia-Harimau”

Copyright © 2017 Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Penyunting : Erwin Wilianto (Forum HarimauKita)


Perancang Sampul : Yanuar Ishaq Dwi C (Forum HarimauKita)
Tata Letak : Yanuar Ishaq Dwi C (Forum HarimauKita)

Foto Sampul : Ken Bohn dan Sandra Hoyn

Saran Sitasi:
Kholis, M., Faisal A., Widodo F.A., Musabine, E.S., & Hasiholan, W. 2017. Pedoman Penanggulangan
Konflik Manusia-Harimau. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, DITJEN KSDAE - KLHK.
Jakarta

Buku ini tersusun melalui kerjasama antara Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati -
Ditjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Forum HarimauKita
(FHK). Penyusunan pedoman ini didukung sepenuhnya oleh Sumatran Tiger Project GEF-UNDP. -
“Transforming Effectiveness of Biodiversity Conservation in Priority Sumatran Landscape”.

Cetakan I : September 2017

viii + 89 halaman

Disusun dan diterbitkan atas dukungan:


PEDOMAN
PENANGGULANGAN KONFLIK
MANUSIA-HARIMAU

Tim Penyusun :

Munawar Kholis, Ahmad Faisal, Febri A. Widodo,


Erni Suyanti Musabine dan Waldemar Hasiholan

Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2017
KATA PENGANTAR

T
Konflik manusia dan satwa liar adalah segala interaksi antara manusia dan satwa

F
liar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi,
kebudayaan, dan pada konservasi satwaliar dan atau pada lingkungannya.

A
Konflik antara manusia dengan harimau atau lazim disebut konflik manusia-harimau

R
dapat disebabkan oleh faktor diantaranya perilaku harimau, perburuan, ketersediaan
makanan dan irisan ruang gerak. Sementara itu, konversi hutan menjadi pemukiman,
perkebunan, pertambangan dan jaringan jalan telah mempersempit habitat yang

D
dapat dihuni oleh harimau. Tidak sepenuhnya disadari dan dipahami bahwa konversi
hutan di Sumatera serta tingginya aktivitas perburuan satwa telah menyebabkan
semakin tinggi juga peluang terjadinya konflik manusia dan harimau (KMH). Aktivitas
perburuan satwa liar terutama yang merupakan hewan mangsa harimau menurunkan
ketersediaan mangsa bagi harimau dan merupakan faktor penyebab secara tidak
langsung.
Kedua belah pihak, baik harimau maupun manusia, sama-sama mengalami kerugian
atau menjadi korban dari insiden konflik. Manusia kerugian dalam bentuk kehilangan
hewan ternak dan korban jiwa serta dampak psikologis. Harimau mengalami
kematian atau kerusakan anggota gerak secara permanen, harimau konflik sebagian
ditangkap dan dipindahkan ke fasilitas konservasi ek-situ, sanctuary atau pusat
rehabilitasi. Banyak juga individu harimau yang kemudian diracun atau terjerat
hingga mati. Individu harimau yang memiliki kelayakan pelepasliaran kadangkala
ditempatkan dan dikelola tidak tepat sehingga mengalami perubahan perilaku dan
ketergantungan terhadap manusia membuat peluang untuk dapat dilepasliarkan
makin surut.
Harimau yang berada di pusat-pusat rehabilitasi maupun di sanctuary membutuhkan
manajemen yang sesuai, sehingga harimau yang memang masih layak untuk
dilepasliarkan dapat dikelola secara tepat dan dapat difungsikan untuk memperbaiki
kondisi populasi di alam baik dalam hal jumlah populasi maupun keragaman genetik.
Dalam upaya penanggulangan konflik, tindakan-tindakan pencegahan konflik
seharusnya merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Namun pada kenyataannya

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau i


dalam kurun 10 tahun terakhir, upaya pencegahan masih kurang terprogram.
Kegiatan penanganan konflik banyak didominasi respon insiden konflik saja.

T
Insiden konflik manusia dan harimau manusia umumnya sulit diprediksi kapan
terjadinya, namun dengan mempelajari perilaku alami harimau, data sebaran dan

F
penggunaan ruang oleh harimau, data insiden konflik yang pernah terjadi, wilayah
aktifitas manusia, pola beternak masyarakat, perburuan satwa mangsa dan kondisi

A
topografi, kita dapat memperkirakan lokasi yang memiliki potensi tinggi terjadinya
KMH. Kegiatan pencegahan yang perlu ditempuh antara lain sosialisasi kepada
masyarakat, aparat desa dan instansi pemerintah yang terkait di wilayah-wilayah

R
berpotensi konflik untuk tujuan meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dan juga
mampu mendukung SATGAS dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan
awal secara tepat untuk insiden konflik yang masih dalam tingkat resiko rendah.

D

ii Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Daftar Isi

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR SINGKATAN viii

BAB I BIO-EKOLOGI HARIMAU SUMATERA 1


A. Harimau Sumatera dan Aspek Ekologi 2
1. Mengenal habitat dan sebaran harimau sumatera 3
2. Peran harimau sumatera dalam ekosistem dan budaya 5
3. Identifikasi harimau sumatera dan tanda keberadaannya 6
4. Sampel biologis harimau sumatera 10
B. Pengenalan Survey, Monitoring dan Perlindungan Satwa Liar 20
1. Survei dan monitoring 20
2. Tatacara pemasangan kamera penjebak di lokasi konflik 20
3. Perlindungan satwa liar 27

BAB II PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KONFLIK ANTARA MANUSIA


DENGAN HARIMAU 30
A. Pengertian Konflik Manusia dan Harimau (KMH) 32
1. Tipologi konflik 32
2. Tingkat Resiko Konflik (terhadap keselamatan manusia) 33
3. Faktor-faktor pemicu KMH 35
B. Prinsip-Prinsip Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Harimau
Sumatera 36
C. Strategi Pencegahan Konflik 38
1. Pemetaan area potensi dan pemantauan dini insiden KMH 38

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau iii


2. Sosialisasi upaya pencegahan KMH 39
3. Menjalankan kegiatan pencegahan konflik 41

BAB III PENANGANAN KONFLIK ANTARA MANUSIA DENGAN HARIMAU


SUMATERA 45
A. Alur Informasi dan Penanganan Konflik 46
1. Alur penanganan konflik 46
2. Penjelasan alur penanganan konflik 47
B. Perlengkapan Tim Satuan Tugas Penanggulangan KMH 50
1. Perlengkapan minimal penanggulangan konflik 50
2. Perlengkapan medis standar untuk penanganan awal dan lanjut 52
3. Perlengkapan medis evakuasi untuk penanganan lanjut 52
4. Perlengkapan tambahan 55
C. Penanganan Awal 57
1. Penanganan terhadap masyarakat 57
2. Melakukan pemantauan dan pengambilan sampel 58
3. Pengamanan lokasi kejadian konflik dari gangguan akibat aktivitas
masyarakat 59
4. Pengamanan dan penanganan masyarakat korban akibat konflik 59
5. Pengamanan barang dan alat bukti, (jejak, kotoran rambut, jerat, foto,
korban, dll.) 59
D. Penanganan Lanjut 60
1. Pemantauan dan penghalauan harimau 60
2. Penangkapan (rescue) untuk translokasi 64
3. Pemantauan paska penanganan 68
E. Kelembagaan Penanggulangan Konflik 68
1. Kelembagaan penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar 68
2. Sumber daya manusia dan sarana pendukung penanggulangan konflik 71
3. Peran para pihak dalam penanggulangan KMH 72
4. Mekanisme koordinasi SATGAS penanggulangan konflik 74

BAB IV PENANGANAN PASCA KONFLIK 75


A. Penilaian Kelayakan Translokasi Harimau Sumatera 76
B. Indikator Keberhasilan dalam Translokasi Harimau konflik 78
1. Mampu hidup (survive) 78

iv Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


2. Pengulangan konflik di lokasi baru 79
3. Berkembang-biak 79
C. Tahapan Pengelolaan Harimau Konflik 79
Tahap 1. Tahap verifikasi tipe konflik 79
Tahap 2. Skoring kelayakan pelepasliaran 80
Tahap 3. Recovery, rehabilitasi persiapan lokasi 82
D. Monitoring Pasca Pelepasliaran 86
E. Pelepasliaran Langsung 86
F. Pusat Rehabilitasi 87
G. Sanctuary 88
H. Eutanasia 88

PENUTUP 89

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau v


Daftar Gambar

Gambar 1. Peta kawasan konservasi yang masih dihuni oleh harimau


sumatera 4
Gambar 2. Bekas tapak harimau sumatera pada tanah basah 6
Gambar 3. Pembanding besaran tapak 7
Gambar 4. Bekas tapak anjing memperllihatkan adanya kuku didepan jari 7
Gambar 5. Boli kotoran harimau yang telah lama dan memutih 8
Gambar 6. Foto cakaran harimau pada pohon 8
Gambar 7. Foto cakarang beruang madu 8
Gambar 8. Kaisan pada tanah ditemukan pada pinggiran jalur lintasan satwa 9
Gambar 9. Sapi yang telah dimangsa harimau, pada hari kedua setelah
dilaporkannya informasi konflik 9
Gambar 10. Rambut harimau yang tersangkut pada ranting atau cabang
pohon 10
Gambar 11. Foto pengambilan darah dari vena saphena 11
Gambar 12. Contoh dry box, biasanya alat ini dipergunakan untuk menyimpan
lensa dan kamera 12
Gambar 13. Endoparasit cacing yang ditemukan pada usus harimau 17
Gambar 14. Ektoparasit yang ditemukan pada harimau 18
Gambar 15. Vaccutainer dengan anti-koagulan EDT 18
Gambar 16. Tabung ependorf berisi serum 18
Gambar 17. Contoh kotak transport vaksin yang dapat dipergunakan untuk
membawa sampel selama di lapangan 19
Gambar 18. Contoh kamera penjebak yang tahan air 21
Gambar 19. Ilustrasi pemasangan kemera penjebak 21

vi Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Gambar 20. Pemasangan kamera penjebak dengan menggunakan tiang
buatan 22
Gambar 21. Contoh perbedaan pola loreng untuk mengetahui perbedaan
individu harimau sumatera 24
Gambar 22. Contoh foto harimau berkelamin jantan, (sumber dari internet) 24
Gambar 23. Bagian-bagian pada gigi harimau yang dipergunakan untuk
menaksir umur 25
Gambar 24. Contoh gigi harimau 26
Gambar 25. Taring yang telah patah dan terdapat karies gigi 26
Gambar 26. Kandang anti serangan harimau untuk ternak kambing 41
Gambar 27. Jerat-jerat yang ditemukan di pinggir dan di dalam kawasan
sebagai hasil patroli 43
Gambar 28. Harimau yang terkena jerat sling baja 44
Gambar 29. Bagan proses penanggulangan KMH 46
Gambar 30. Desain kandang perangkap harimau sederhana beserta
dengan prinsip kerjanya 56

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau vii


DAFTAR SINGKATAN

BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam


BUMN : Badan Usaha Milik Negara
DNA : Deoxyribonucleic Acid
FFI : Fauna & Flora International
FHK : Forum HarimauKita
GPS : Global Positioning System
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
IUCN : International Union for Conservation of Nature
KKH : Konservasi Keanekaragaman Hayati
KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
KMH : Konflik Manusia Harimau
KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan
KPHK : Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
KPHL : Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
KPHP : Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
KSDAE : Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
MUSPIKA : Musyawarah Pimpinan Kecamatan
RAI : Relative Abundance Index
SATGAS : Satuan Tugas
SRI : Sumatran Rainforest Institiute
WCS : Wildlife Conversation Society
WWF : World Widelife Fund
ZSL : Zoological Society of London

viii Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


BAB I

BIO-EKOLOGI HARIMAU SUMATERA


Dalam melakukan penanggulangan konflik, diperlukan sebuah tim yang memiliki
kemampuan dan pemahaman mengenai aspek biologi dan ekologi harimau dengan
baik. Mengingat bahwa konflik merupakan sebuah situasi yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor biologi dan perilaku harimau, kondisi lingkungan sekitar.
Konflik manusia dan harimau (selanjutnya disingkat menjadi KMH) dapat terjadi
karena tingkat perburuan yang tinggi terhadap satwa mangsa, jumlah kepadatan
mangsa yang rendah akan “memaksa” harimau untuk menjelajah lebih jauh guna
mendapatkan mangsa.
Penyakit distemper pada anjing (Canine Distemper) yang disebabkan oleh virus
yang pada kondisi tertentu dapat menjangkiti harimau. Proses perkembangan
penyakit didalam tubuh harimau dapat merubah perilaku harimau menjadi tidak
responsif dengan keberadaan manusia (harimau berkeliaran di sekitar pemukiman),
berkembangnya suatu penyakit akan menurunkan kondisi harimau secara umum
termasuk kemampuan harimau dalam berburu mangsa, harimau memilih berada di
sekitar pemukiman untuk mendapatkan jenis mangsa yang mudah diburu, seperti
ternak yang tidak dikandangkan, anjing bahkan manusia.
Memahami harimau sumatera, perilaku dan ekologinya merupakan dasar yang perlu
dimiliki oleh tim penanggulangan konflik. Bab ini secara ringkas membahas mengenai
perilaku, pola pemangsaan dan berbagai hal terkait ekologi harimau lainnya.
Dalam situasi konflik, tim/SATGAS akan berhadapan dengan masyarakat awam yang
kemungkinan besar memiliki cara pandang berbeda terhadap harimau. Masyarakat
memiliki asumsi-asumsi yang salah terkait harimau.
Tujuan pembelajaran dari bab ini adalah anggota tim/SATGAS penanggulangan
KMH dapat:

1. Mengetahui perilaku individual harimau sumatera dan memahami hubungan


antara individu.
2. Mengetahui jenis-jenis tanda keberadaan harimau, sampel-sampel yang dapat
ditemukan dan perlu dikoleksi sebagai bukti keberadaan harimau.
3. Mengetahui tatacara pengambilan sampel untuk kepentingan pembuktian
keberadaan harimau.
4. Mengetahui tatacara pemilihan lokasi dan pemasangan kamera penjebak di
lokasi kejadian KMH. Identifikasi individu melalui pola loreng, identifikasi jenis
kelamin dari foto kamera penjebak dan menaksir umur harimau melalui kondisi
gigi.
5. Untuk tujuan meningkatkan pemahaman masyarakat, tim/SATGAS dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat yang berada di dalam situasi
konflik mengenai faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya KMH.

A. Harimau Sumatera dan Aspek Ekologi


Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu anak jenis
harimau Indonesia yang tersisa setelah dua anak jenis lain telah punah yaitu harimau
Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica). Anak jenis

2 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


ini dikategorikan kedalam status kritis atau critically endangered dalam daftar merah
IUCN (Linkie et al, 2008). Perkiraan populasi terakhirnya adalah sekitar 371 individu
di alam dan tren populasi mereka cenderung turun (IUCN, 2015). Ancaman utama
terhadap populasi dan habitat harimau sumatera adalah hilang, menyusut dan
fragmentasi habitat yang sebagian besar sebagai akibat tekanan pembangunan dan
penggunaan lahan oleh manusia seperti untuk perkebunan skala kecil dan besar,
pemukiman, pembangunan infrastruktur dan sebagainya, kemudian diperparah
dengan adanya perburuan harimau serta satwa mangsanya (Linkie et al. 2003,
Kinnaird et al. 2003, Indonesian Ministry of Forestry, 2007).
Harimau memiliki ciri spesifik yaitu belang yang melekat pada tubuh mereka ibarat
sidik jari manusia sebagai ciri pembeda antara individu satu dengan yang lainnya.
Dalam ekosistem, harimau memegang peranan penting dalam rantai makanan. Satwa
mangsa utama satwa ini adalah mamalia besar dan sedang seperti rusa sambar
(Cervus unicolor) kijang muncak (Muntiacus muntjac), babi hutan (Sus scrofa), babi
hutan berjenggot (Sus barbatus), kambing gunung (Capricornis sumatraensis) dan
termasuk juga primata seperti beruk (Macaca nemestrina) serta jenis burung besar
seperti burung kuau raja (Argusianus argus), (Sriyanto, 2003; Widodo et al, 2017).
Rusa, babi hutan dan kambing gunung merupakan satwa target yang sering diburu
oleh masyarakat. Akibat langsung dari perburuan ini adalah peralatan buru yang
terbuat dari sling baja sering kali mengenai harimau. Dampak tidak langsung yang
ditimbulkan adalah penurunan jumlah satwa mangsa yang menyebabkan harimau
beralih untuk memburu ternak. Sapi, kerbau dan kambing merupakan ternak yang
paling sering dimangsa oleh harimau

1. Mengenal habitat dan sebaran harimau sumatera


Harimau sumatera hidup di berbagai tipe habitat di Sumatera meliputi habitat rawa
gambut, dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan (0–2300 m dpl). Tersebar
mulai dari sisi utara bukit barisan (populasinya dari hutan Leuser-Ulu masen dari
ujung utara pulau Sumatera hingga ujung selatan pulau Sumatera di Lampung.
Kepadatan harimau telah terdeteksi pada beberapa kantong populasi diantaranya
kawasan dataran rendah Taman Nasional Way Kambas 4.3 individu/100 km2
(Franklin, et al., 1999), tipe habitat perbukitan yaitu Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan 1.6 individu/100 km2 (O’Brien, Kinnaird, & Wibisono, 2003) and tipe habitat
pegunungan seperti di Bungo dan Ipuh pada Taman Nasional Kerinci Seblat (2.95 ±
0.56 individu/100 km2 and 1.55 ± SE 0.34 individu/100 km2), (Linkie, Haidir, Nugroho,
& Dinata, 2008), sedangkan untuk tipe habitat rawa gambut masih minim informasi
tentang kepadatan karena minimnya sampel foto harimau dari kamera penjebak
seperti di Suaka Margasatwa Kerumutan (Sunarto et al., 2013). Selain di kawasan-
kawasan konservasi tersebut, harimau juga dilaporkan terdapat pada blok hutan-
hutan kecil dan wilayah perkebunan yang masih berhubungan dengan hutan lindung,
hutan produksi dan wilayah berhutan lainnya.
Luas wilayah jelajah harimau sumatera jantan dewasa diperkirakan sekitar 180
hingga 380 km2 sedangkan untuk betina sekitar 40 hingga 70 km2 (Franklin et al.,
1999; Tilson et al., 2010). Harimau sumatera juga merupakan satwa teritorial yang
akan menguasai kawasan didalam teritorinya. Perilaku teritorial ini menyebabkan
terjadi kompetisi yang tinggi antar individu-individu harimau di alam, khususnya bagi
individu jantan. Penguasaan teritori ini memiliki kaitan untuk pemenuhan kebutuhan

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 3


Gambar 1. Peta kawasan konservasi yang masih dihuni oleh harimau sumatera (PVA Harimau Sumatera
2016, Forum HarimauKita).

hidup dan penunjang kehidupannya. Adapun pada harimau kebutuhan hidup utama
yang harus dipenuhi antara lain pakan utama berupa mangsa dan pakan penunjang,
air, tempat berlindung dan interaksinya dengan pasangan. Hal ini memiliki korelasi
terhadap luas teritori didalam sebuah home range atau wilayah jelajah harimau.
Bagi individu jantan, teritori menjadi penting guna meneruskan kelangsungan
genetiknya. Bagi individu muda setelah lepas dari asuhan induk selama 18–22

4 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


bulan, mereka mencari teritori masing–masing. Individu betina cenderung lebih dekat
dengan teritori induknya sedangkan individu jantan cenderung akan menjauh untuk
menghindar dari kompetisi pejantan lainnya. Biasanya mereka menjadi transient
yang mengembara dan pada beberapa kasus ditemui melintas pada kawasan
aktifitas manusia sehingga berpotensi menimbulkan konflik dengan manusia.
Luas wilayah jelajah harimau sumatera dipengaruhi berbagai faktor seperti
ketinggian, sumber air, tipe hutan, pemukiman dan ketersediaan mangsa. Salah satu
faktor yang paling berpengaruh adalah kepadatan dan sebaran mangsa, semakin
tinggi jumlah dan kepadatan mangsa. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seekor
harimau jantan memerlukan mangsa 1 ekor rusa setiap pekan, jika ketersedian satwa
mangsa cukup pada, maka harimau relatif lebih mudah untuk mendapatkan mangsa,
sehingga tidak membentuk wilayah jelajah yang luas.
Perilaku infanticide (membunuh anak) juga terjadi pada harimau, pejantan akan
membunuh anakan harimau yang bukan anak keturunannya. Perilaku ini telah diteliti
di India dan membuktikan bahwa individu betina akan bergerak membawa anaknya
ke pinggiran hutan atau ke blok hutan lain untuk menghindari pejantan. Dengan
demikian betina ini berada semakin dekat dengan pemukiman dan berpotensi
berkonflik dengan manusia.

2. Peran harimau sumatera dalam ekosistem dan budaya


Sebagai satwa pemangsa puncak (top predator), harimau memegang peranan kunci
dalam mengendalikan kelimpahan satwa yang berada di tingkat dibawahnya. Satwa
kharismatik ini dibekali dengan kemampuan bertahan hidup dan memangsa yang
tinggi. Harimau sumatera merupakan flagship species di Indonesia, yang merupakan
salah satu ikon keanekaragaman hayati yang menjadi kebanggaan masyarakat
Indonesia. Selain itu dikalangan konservasionis dikelompokkan sebagai umbrella
species atau spesies payung karena memiliki daya jelajah yang luas. Dengan
memastikan keberlangsungan populasi harimau tetap alami, dengan artian luasan
habitat harimau dapat dikelola secara optimal, kita berarti sekaligus melakukan upaya
konservasi kepada ekosistem termasuk sistem penyangga kehidupan manusia.
Kebudayaan masyarakat di Sumatera tidak terlepas dari keberadaan harimau
sumatera semenjak dahulu. Sebagian masyarakat lokal memiliki kepercayaan
bahwa harimau merupakan nenek moyang atau yang mereka tuakan dan dihormati,
(McNeely and Sochaczewski, 1988; Widodo et al, 2016). Suku Melayu memanggil
harimau sebagai datuk sebagai simbol “kakek” bagi mereka. Begitu juga suku
Minangkabau memanggil harimau sebagai “inyiak” yang juga berarti kakek (McNeely
and Sochaczewski, 1988; Boomgard, 2001). Terdapat beberapa kearifan lokal
yang mengadopsi nilai-nilai keberadaan harimau maupun perilakunya seperti silat
harimau, bahkan petani hutan juga mengeramatkan harimau dengan membiarkan
durian jatuh pertama untuk satwa tersebut sebagai simbol bahwa mereka dituakan.
Di Aceh, sebagian masyarakat memahami bahwa di hutan terdapat harimau jahat
dan harimau baik. Harimau baik akan memahami keberadaan manusia dan tidak
menimbulkan konflik. Harimau jahat adalah harimau yang sering memangsa ternak-
ternak masyarakat.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 5


3. Identifikasi harimau sumatera dan tanda keberadaannya
Sebagai karnivora terbesar di Sumatera dan tidak terdapatnya macan tutul (Panthera
pardus ssp.) di pulau ini, maka karnivora terbesar di Sumatera adalah macan dahan
(Neofelis nebulosa). Dengan perbedaan fisik yang sangat signifikan, temuan tanda-
tanda harimau akan mudah dibedakan dengan jenis kucing lain di hutan Sumatera.
Beberapa tanda-tanda paling umum keberadaan harimau yang dipergunakan untuk
identifikasi antara lain:

a. Bekas tapak
Identifikasi bekas tapak sangat penting untuk diketahui karena tanda ini paling
mudah ditemukan di lapangan dan paling sering terjadi kesalahan identifikasi.
Kesalahan identifikasi paling sering adalah kekeliruan membedakan bekas tapak
anjing dan bekas tapak harimau. Di lokasi yang rawan konflik, masyarakat masih
sering mengalami kekeliruan ini, meskipun kedua tapak ini sebenarnya cukup mudah
dibedakan. Ukuran tapak dipengaruhi oleh besar harimau itu sendiri serta jenis
substrat tanah yang dipijak harimau.
Mengukur bekas tapak harimau
Pengukuran tapak dipelukan untuk memberikan data dan informasi yang lengkap.
Dalam melakukan penanganan konflik, ukuran tapak cukup penting untuk
membedakan dengan tapak dari satwa lainnya.
Selain ukuran tapak, kondisi substrat (permukaan tanah) dimana terdapatnya bekas
tapak ini perlu didefininisikan. Tanah basah, tanah berpasir, lumpur kering.

A B

Gambar 2. Bekas tapak harimau sumatera pada tanah basah (A) jejak masih baru, (B) jejak dari kaki
kiri dan kanan, (C) pengukuran jejak. Keterangan pengukuran: 1. lebar bantalan; 2. lebar tapak dan 3.
panjang tapak.

6 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Pengambilan dokumentasi foto
Dokumentasi foto merupakan hal yang penting untuk dapat meyakinkan para pihak
yang mungkin tidak turut serta dalam kegiatan penanganan di lapangan.

Gambar 3. Pembanding besaran tapak

Pada Gambar 3. diatas, jika kita hanya diperlihatkan foto sebelah kiri, maka kita
akan kesulitan membedakan bekas tapak harimau atau bekas tapak kucing rumah.
Bentuk tapak relatif sama. Pada Gambar 2. bagian kanan (C) maka kita akan mudah
memastikan bahwa bekas tapak tersebut adalah harimau berdasarkan ukurannya.

1. Pengambilan foto tanpa menggunakan pita ukur, biasa dipergunakan untuk


dokumentasi biasa dan bahan desain grafis.

2. Pengambilan foto dengan menempatkan pita ukur disamping temuan tapak


sebagai alat pembanding besaran ukuran tapak. Kegiatan verifikasi memerlukan
dokumentasi yang lebih detail.
Membedakan bekas tapak harimau dan anjing
Anjing dewasa dapat memiliki bekas tapak yang cukup besar. Untuk membedakan
antara bekas tapak harimau dan anjing, selain ukuran dan bentuk bantalan tapak
yang berbeda, pada tapak anjing biasanya terdapat bekas kuku di depan jari,
sedangkan harimau tidak terdapat bekas kuku.

Gambar 4. Bekas tapak anjing memperllihatkan adanya kuku didepan jari

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 7


b. Kotoran (feces)
Kotoran harimau sumatera berbetuk bolus
memanjang dengan ukuran diameter antara
40-60 mm. Di lapangan boli biasa tidak selalu
ditemukan dalam keadaan utuh karena akan
mulai terpecah dan terurai akibat kondisi
lingkungan.
Kotoran beruang madu seringkali dianggap
keliru sebagai kotoran harimau sumatera,
yang membedakan kotoran kedua spesies
ini adalah pada kotoran harimau akan Gambar 5. Boli kotoran harimau yang telah
terdapat rambut-rambut dan pecahan tulang lama dan telah memutih.
satwa mangsa, sedangkan kotoran beruang
tidak terdapat tanda-tanda tersebut. Pada boli yang sudah cukup lama akan terlihat
memutih dan tersebar.

c. Cakaran pada pohon


Di lokasi pinggir hutan yang merupakan area potensi
konflik jarang ditemukan adanya cakaran harimau
pada batang pohon. Tanda ini lebih sering ditemukan
pada jalur-jalur satwa di dalam hutan. Cakaran
harimau pada pohon akan membentuk garis bekas
kuku dengan jarak garis antar kuku sekitar 2-3 cm.
dan terletak cukup tinggi dari permukaan tanah yaitu
sekitar 1,5-2,5 meter. Perbedaan bekas cakaran
harimau dan satwa lainnya adalah besarnya lubang
alur kuku pada kulit pohon dan bentuk garis cakaran.
Beruang madu memiliki perilaku memanjat pohon dan
meninggalkan bekas kuku pada pohon. Perbedaan
antara bekas kuku beruang madu dan harimau adalah
cakaran beruang madu tidak berbentuk memanjang,
selain itu kuku yang relatif lebih tumpul menyebabkan
kopekan kulit kayu yang lebih besar namun tidak Gambar 6. Foto cakaran harimau
terlalu dalam. Cakaran beruang madu bisa lebih dari pada pohon (Foto: FFI)
5 meter dikarenakan beruang madu memanjat pohon,
sedangkan harimau hanya melakukan cakaran pada
pohon untuk tujuan mengasah kuku.

d. Kaisan di tanah
Kaisan pada tanah sangat jarang ditemukan, biasanya
tim penanggulangan konflik dapat menemukan kaisan
ini pada pinggir jalan setapak, dimana harimau seing
menggunakan jalan yang juga dipakai oleh manusia.
Jika menamukan bekas seperti ini, biasa tidak jauh
juga ditemukan tanda-tanda lainnya. Gambar 7. Foto cakaran beruang
madu

8 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Gambar 8. Kaisan pada tanah ditemukan pada pinggiran jalur lintasan satwa (Foto: Erwin W.)

e. Tanda-tanda lain juga dapat ditemukan namun tidak cukup mudah diidentifikasi
Selain keempat tanda-tanda yang paling umum dipergunakan untuk identifikasi tanda
keberadaan harimau, masih ada tanda-tanda lain yang dapat diamati, diantaranya:
i. Bau kelenjar pada urin
Jenis tanda keberadaan ini sebenarnya cukup mudah diidentifikasi, tim lapangan
yang sudah terlatih akan dapat mengidentifikasi melalui penciuman, namun
karena bau kelenjar ini cukup sulit dideskripsikan maka diperlukan pelatihan
lapangan untuk dapat mengidentifikasi bau kelenjar ini.
ii. Mangsa buruan harimau.
Mangsa utama harimau adalah
rusa sambar dan babi, pada
konflik yang menimbulkan
korban ternak, maka akan dapat
ditemukan bekas gigitan harimau
dan cakaran pada tubuh mangsa.
Dalam melakukan identifikasi
terhadap mangsa harimau ini
harus dilakukan secara hati-
hati dikarenakan harimau akan
kembali mendatangi mangsa
dalam beberapa hari untuk
menghabiskan mangsanya.
Dalam melakukan identifikasi Gambar 9. Sapi yang telah dimangsa harimau, pada
hari kedua setelah dilaporkannya informasi konflik.
harimau konflik, akan sangat
tepat memasang kamera penjebak pada temuan mangsa buruan harimau.
Dengan adanya mangsa buruan harimau ini, dapat juga tim mengidentifikasi dari
bau bangkai mangsa yang terbawa angin, sehingga dapat menentukan lokasi
adanya bangkai mangsa.
iii. Rambut harimau.
Pada kejadian konflik harimau, sangat dimungkinkan ditemukan rambut-rambut
harimau pada lokasi konflik.
• Harimau yang terjerat akan banyak meninggalkan rambut-rambut yang

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 9


tercabut pada saat berusaha
melepaskan diri dari jerat.

Harimau yang memasuki
kandang ternak. Kandang
ternak yang cukup sempit dan
kadangkala terdapat paku,
kawat, kayu yang berbentuk
runcing. Pada saat harimau
berusaha memaksakan masuk
ke dalam kandang ternak,
akan dimungkinkan rambut-
rambut menempel pada paku Gambar 10. Rambut harimau yang tersangkut pada
atau kayu. Jika rambut harimau ranting atau cabang pohon (Foto: Erni Suyanti)
tercampur dan warna sulit
dibedakan dengan rambut ternak, maka dapat dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop untuk membedakannya dengan melihat susunan
elemen rambut.

4. Sampel biologis harimau sumatera

Setelah mempelajari mengenai tanda-tanda keberadaan harimau, petugas perlu


mengenali juga sampel-sampel yang perlu diambil dari individu harimau. Hal ini
penting dan perlu dipahami oleh tim yang melakukan respon KMH. Harimau adalah
satwa liar yang tidak mudah dijumpai, pada saat dijumpai pun tidak akan mudah
melakukan pengambilan sampel untuk kepentingan penelitian. Jika melakukan
penelitian dengan sengaja menangkap harimau akan diperlukan perijinan dan
proses penangkapan yang cukup sulit dan beresiko. Dengan alasan tersebut, maka
seyogyanya harimau konflik dapat diambil sampel dan informasinya untuk kebutuhan
penelitian.

Untuk itu, tim yang melakukan penanganan KMH perlu memahami sampel-sampel
yang dapat diambil dan dibekali pemahaman perijinan atau hal-hal administratif
terkait pengambilan dan penyimpanan sampel.

Sampel harus diambil dengan sepengetahuan petugas, dilakukan pendataan dan


disimpan atau dibawa dengan proses administrasi yang benar sesuai dengan
undang-undang yang mengaturnya. Tanpa hal-hal administratif ini, maka mengambil,
membawa dan menyimpan sampel ini dapat saja dikategorikan melanggar peraturan
dan perundangan yang berlaku.
Jika harimau tidak tertangkap, maka sampel berupa kotoran (feces) dan rambut
dapat dikoleksi untuk kepentingan forensik atau paling tidak menjadi bukti otentik
bahwa konflik disebabkan oleh harimau. Dengan sampel rambut yang memiliki folikel
(akar rambut), dapat juga dilakukan pemetaan DNA (Deoxyribonucleic Acid). Namun
untuk dapat melakukan analisis DNA, sampel ini harus diambil dan ditangani secara
benar.

10 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Gambar 11. Foto pengambilan darah dari vena saphena (Foto: Erni Suyanti)

Tim yang menangani konflik harus mengetahui tatacara penanganan sampel


dan secara administratif diberikan mandate pengambilan sampel oleh otoritas
terkait. Otortitas terkait dalam hal ini adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA).
Lebih jelasnya, BKSDA memerintahkan pengambilan sampel dan termuat secara
eksplisit di dalam Surat Perintah Tugas (SPT) tim penanggulangan konflik.

a. Jenis sampel dan koleksinya


Sampel dapat dikoleksi dari harimau hidup atau mati untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan terkait kondisi kesehatan harimau dan populasi secara keseluruhan.
Sampel perlu secara rutin dikoleksi untuk diperiksa apakah ada penyakit-penyakit
tertentu yang menjangkiti harimau dan membahayakan populasi alami.
Pemeriksaan dan bank DNA
DNA (Deoxyribonucleic Acid) merupakan asam nukleat yang menyimpan semua
tentang informasi genetika.
1. Sampel Darah
Untuk kebutuhan pemeriksaan DNA, darah tidak perlu diambil dalam jumlah yang
banyak. Sel darah adalah sumber DNA terbaik, jumlah minimal sampel darah yang
dapat dianalis sebanyak 0,05 ml.
Lokasi pembuluh darah pada harimau untuk koleksi sampel darah:
1. Vena Lateralis pada ekor
2. Vena Saphena Medialis pada betis-paha
3. Vena Saphena Medialis pada betis-paha

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 11


4. Vena Femoralis pada paha
5. Vena Sublingualis pada lidah bagian bawah
6. Vena Jugularis pada leher
Untuk menyimpan dan memastikan
sampel dapat diperiksa, diperlukan
media transport atau senyawa tertentu
untuk dicampurkan di dalam darah guna
mengawetkan. Setelah diambil dan darah
dimasukkan didalam tabung, diperlukan
ruang pendingin selama darah tersebut
dibawa dalam perjalanan:
• Darah dimasukkan dalam
Vaccuntainer + EDTA dibawa
menggunakan cool box + ice pack.
• Darah diteteskan pada FTA Card
dimasukkan kedalam amplop kering.
Untuk penggunaan metode ini, Gambar 12. Contoh dry box, biasanya alat
amplop tidak perlu disimpan didalam ini dipergunakan untuk menyimpan lensa dan
ruangan pendingin, namun disimpan kamera. Fitur pengatur suhu dan kelembaban
didalam ruangan dengan suhu yang sangat membantu menghindari perkembangan
jamur.
stabil dan tidak didalam ruangan
yang lembab. Penggunaan dry box (lemari kering) yang memiliki pengatur suhu
dan kelembaban adalah pilihan tepat. Selama membawa amplop berisi sampel
ini, dapat dibawa didalam tas atau lebih baik dimasukkan didalam buku agar
terjaga dengan baik.
2. Sampel Rambut
Pada akar rambut terdapat materi DNA yang sering juga digunakan untuk koleksi
sampel bagi pengujian DNA. Ambil rambut dengan menggunakan perlengkapan
steril (jangan menggunakan tangan secara langsung). Pengambilan sampel dengan
menggunakan pinset yang sebelumnya telah disterilisasi akan menjamin tidak
adanya materi genetik lain yang tercampur di dalam sampel. Sampel rambut yang
diambil secara steril adalah sampel yang kering, sampel ini kemudian dimasukkan
ke dalam amplop yang masih baru. Berikan label pada amplop lokasi, koordinat,
pengambil sampel dan kode-kode pengenal sampel. Cara paling sederhana
menyimpan amplop ini selama perjalanan adalah dengan memasukkan amplop ke
dalam buku. Jika sampel rambut ini disimpan tanpa menggunakan media, maka
cukup cepat akan ditumbuhi jamur. Sesampai di kantor atau tempat yang memiliki
perlengkapan memadai, sebaiknya amplop disimpan di dalam dry box atau lemari
kering yang memiliki pengatur suhu dan kelembaban.
3. Sampel Feces
Dalam proses pencernaan makanan di dalam saluran pencernaan, sebagian sel-sel
dari dinding usus terlepas dan terbawa bersama makanan hingga terbuang menjadi
bentuk kotoran/feces. Sel-sel ini mengandung informasi genetika. Sampel terbaik
untuk analisa genetik adalah permukaan boli kotoran, karena merupakan konsentrasi
terbanyak materi yang mengandung DNA.

12 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Kriteria sampel kotoran/feces yang bagus untuk keperluan analisa DNA adalah:

• Pilih kotoran segar, kondisinya masih segar semakin baik. DNA rusak dengan
cepat bila terkena sinar matahari dan air. Usia kotoran/feces tidak boleh lebih
dari satu atau dua hari. Kotoran lama akan sulit dianalisa genetiknya.
• Kotoran segar mempunyai ciri-ciri masih lembab, dengan lapisan lendir yang
mengkilat di bagian luar dan baunya tajam. Kotoran yang sangat segar biasanya
masih hangat. Kotoran segar adalah sumber terbaik untuk mengambil sampel
untuk pemeriksaan DNA.
• Kotoran baru adalah setelah dikeluarkan satu atau dua hari, lapisan lendir di
permukaan kotoran biasanya telah hilang tetapi baunya masih ada. Bila tidak
ada kotoran segar, anda dapat mengambil sampel dari kotoran baru ini.
• Apabila bau kotoran/feces telah mendekati bau tanah dibandingkan bau kotoran
harimau, ataunya kondisinya sudah kering, ada jamur atau tanaman yang
tumbuh di kotoran, berarti kotoran tersebut sudah lama. Jangan ambil sampel
dari kotoran seperti itu.
Perlengkapan yang perlu dipersiapkan untuk mengambil sampel kotoran/feces guna
pemeriksaan DNA, adalah:

1. Tabung sampel yang telah diisi media alkohol absolut;


2. Parafilm untuk menyegel tabung sampel;
3. Stik es krim/ranting kering untuk pengambilan
sampel;
4. Spidol permanen/pensil untuk memberi label tabung
sampel;
5. GPS untuk mengambil koordinat lokasi pengambilan
sampel;
6. Plastik hitam/boks warna gelap untuk menyimpan
tabung yang berisi sampel kotoran/feces. Warna hitam melindungi sampel dari
sinar matahari yang merusak.
Teknik mengambil sampel kotoran untuk tujuan analisa genetika

• Jangan sentuh kotoran dengan tangan telanjang anda. Hal ini akan
mengkontaminasi (bercampur) antara DNA satwa dengan DNA anda. Gunakan
sarung tangan atau dedaunan.
• Apabila anda menggunakan sarung tangan/dedaunan, gunakan sepasang
sarung tangan yang baru/dedaunan baru untuk setiap tumpukan kotoran.
Pastikan anda tidak menyentuh permukaan luar sarung tangan dengan
tangan telanjang anda!
• Pengambilan sampel harus dilakukan menggunakan sebuah ranting kering atau
stik kayu kecil. Hanya sentuh satu ujung ranting. Apabila anda menyentuh kedua
ujungnya, anda akan mengkontaminasi sampel dengan DNA anda.
• Gunakan ranting untuk mengambil sebagian kotoran dari permukaan atas, dan
masukkan dalam tabung sampel. Tabung sudah diisi dengan alkohol absolut.
Setelah anda mengambil kira-kira satu sendok kecil kotoran harimau, tutup rapat
tabung, dan letakkan tabung di sebelah anda. Kemudian buang ranting yang

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 13


anda gunakan tadi.
• Apabila anda mengambil sampel dari tumpukan kotoran baru, gunakan stik/
ranting baru dan sarung tangan baru. Apabila anda tidak melakukannya, sampel
baru akan terkontaminasi dengan DNA dari sampel sebelumnya.
• Ketika sample sudah di dalam tabung dan tabung telah ditutup rapat, segel
bagian atas dengan parafilm. Anda membutuhkan kira-kira 2 cm parafilm. Taruh
satu ujung pada tabung, setengah parafilm ditutup tabung dan setengahnya di
permukaan tabung.
• Dengan satu tangan menahan ujung tersebut, tarik parafilm mengelilingi tabung
dengan rapat, sampai tabung tertutup dengan rapat.
• Terakhir kocok tabung untuk mencampur alkohol dan sampel (kira-kira 1 menit).

• Setelah anda memastikan bahwa tabung sudah


ditutup dengan rapat dan disegel dengan parafilm,
tulis nomor sampel (No. ID) pada tabung sampel.
Hati-hati, pastikan anda tidak mencampur sampel.
Kemudian simpan tabung sampel dalam plastik
hitam untuk menghindari hancurnya DNA karena
sinar matahari. Tambahkan kertas label yang berisi
No ID sampel, koordinat GPS, tanggal dan informasi
sampel (permukaan atas, bawah, atau dalam).
• Kemudian tutup plastik hitam, dan simpan dalam box sampel atau ransel.
Berapa banyak sampel harus diambil per boli kotoran/feces ?

• Jumlah kotoran/feces yang baik untuk diambil adalah kira-kira 1/3 (sepertiga)
dari tabung sampel. Jangan isi tabung penuh dengan sampel kotoran.
• Koleksi sampel dari kotoran segar (+/- 1 hari), ambil 1 sampel dari permukaan
atas, dan dari kotoran baru (2-3 hari), ambil 1 sampel dari permukaan atas, 1
sampel dari permukaan bawah. Dari kotoran yang usianya lebih dari 3 hari ambil
1 sampel dari bagian dalam.
• Anda akan membutuhkan sebuah ranting kering atau lebih baik apabila
menggunakan stik es krim untuk mengambil sampel. Hati-hati, hanya sentuh
satu ujung ranting/stik es krim. Jangan sentuh bagian yang akan anda gunakan
untuk mengambil sampel.
Data pendukung saat pengambilan sampel adalah:
• Ambil dokumentasi/foto kotoran, paling baik adalah mengambil dari atas, dengan
pembanding (misalnya pita meteran).

14 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


• Ambil koordinat posisi anda dengan GPS. Simpan koordinat di GPS anda, dan
gunakan ID Waypoint sampel sebagai nama Waypoint. (Misalnya: No ID sample
= A-01, jadi nama Waypoint juga A-01).
• Ukur, baik diameter maupun keliling boli kotoran, hanya ukur boli yang utuh,
Jangan ukur boli yang telah rusak.
• Anda harus menulis informasi umum (misalnya keterangan tentang lokasi dimana
anda mengambil sampel, informasi tentang vegetasi di sekitar anda; hutan,
ladang, perkebunan, jalan, dan sebagainya), dan keterangan lain yang menurut
anda penting misalnya perkiraan jumlah satwa harimau, dan seterusnya. Tulis
dengan jelas dan singkat.
• Setelah anda selesai mengumpulkan sampel, sebaiknya anda meninggalkan
dedaunan di atas tumpukan kotoran, atau secara umum menandai tumpukan
kotoran yang telah anda ambil sampelnya. Ini dilakukan untuk menghindari
pengambilan sample dari kotoran/feces yang sama dua kali.

Sampel lainnya yang dapat digunakan untuk analisa genetik adalah:


• Jaringan lunak, berupa otot, tendon, ligamentum, fasia, saraf, jaringan serabut,
lemak, pembuluh darah dan membran synovial
• Air liur
• Tulang dan gigi
• Sel kulit mati
• Sperma.

b. Pemeriksaan jenis penyakit


Penyakit parasiter
Parasit merupakan organisme yang hidupnya merugikan induk semang yang
ditumpanginya. Tempat hidup parasit terbagi ke dalam 2 golongan:

1. Endoparasit seperti cacing cestoda, nematoda, trematoda, dan protozoa. Parasit


ini hidupnya di dalam jaringan atau organisme bagian dalam hospes;
2. Ektoparasit dari golongan lalat, tungau dan caplak. Parasit yang hidupnya pada
permukaan tubuh bagian luar atau bagian tubuh yang berhubungan langsung
dengan dunia luar dari hospes. Seperti: kulit, rongga telinga, hidung, rambut,
ekor dan mata.
Investasi endoparasit pada satwa menunjukkan gangguan pertumbuhan, anemia
dan diare, sedangkan investasi ektoparasit menunjukkan adanya perdarahan kulit
akibat luka-luka dan permukaan kulit kasar.
Jenis-Jenis Endoparasit pada satwa harimau sumatera di habitat alam

• Cacing kelas Nematoda (cacing gilig)


• Cacing kelas Cestoda (cacing pita)
• Cacing kelas Trematoda (cacing hisap/gepeng)
• Protozoa: Babesia, Anaplasmosis (menyerang sel darah merah)

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 15


Pemeriksaan sampel apus/ulas darah
Pemeriksaan menggunakan preparat apus/ulas darah (blood smear). Bahan yang
diperlukan adalah:
• Darah 1 tetes
• Object glass 2 buah
• Larutan metil alkohol
Cara pembuatan preparat ulas:
1. Teteskan darah pada salah satu object glass
2. Buatlah preparat ulas dengan bantuan object glass lainnya, letakkan pada
tengah object glass dan tarik hingga menyentuh tetesan darah
3. Dorong object glass tersebut ke arah berlawanan dengan nomor 2.
4. Preparat yang baik adalah preparat yang tipis dan merata pada object glass,
lanjutkan dengan melakukan fiksasi dengan meneteskan metil alkohol dan
angin-anginkan hingga kering
5. Berilah kode identifikasi sampel pada salah satu ujung object glass
6. Bungkuslah dengan tisu yang bersih dan kering dan disimpan pada kotak sampel
yang aman dari benturan
7. Hingga pada tahap ini sampel sudah aman untuk perjalanan. Jika telah sampai
di laboratorium, dapat dilakukan pengecatan dengan metode Giemza atau teknik
pengecatan preparat lainnya untuk mengantisipasi jika terjadi kerusakan.

Identifikasi penyakit akibat protozoa dapat dilakukan dengan pemeriksaan preparat


ulas darah menggunakan bantuan mikroskop.
Pemeriksaan endoparasit
Identifikasi penyakit akibat cacing seperti Nematoda, Cestoda maupun Trematoda
dari pemeriksaan sampel kotoran/feces atau identifikasi dari sampel cacing dewasa
yang ditemukan dalam kotoran atau dalam organ tubuh satwa harimau yang telah
mati karena penyakit parasiter.

16 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Gambar 13. Endoparasit cacing yang ditemukan pada usus harimau (Foto: Erni Suyanti)

Cara pengambilan sampel:

• Koleksi sampel kotoran/feces yang masih segar dimasukkan ke dalam tabung


sampel/plastik sampel dan ditetesi Formalin 10% sebagai media transport.
• Koleksi sampel cacing dewasa dapat diambil dari cacing yang keluar bersama
kotoran atau dari organ satwa harimau yang telah mati akibat penyakit parasiter.
Sampel cacing dimasukkan kedalam tabung sampel yang telah diisi Alkohol
70%.

Pemeriksaan ektoparasit
Jenis-jenis ektoparasit pada satwa harimau sumatera di habitat alami yakni:

• Golongan lalat
• Golongan tungau
• Golongan caplak: Rhipicephalus sp. (caplak anjing), Boophilus sp.
Identifikasi jenis ektoparasit dari koleksi sampel berupa caplak atau tungau dapat
diambil pada kulit atau pangkal rambut harimau. Sampel juga dapat diambil pada
saat melakukan penanganan langsung. Bagian tubuh yang sering menjadi tempat
parasit ini antara lain:
1. Dagu
2. Sela-sela jari kaki
3. Telinga bagian dalam
4. Bagian kulit yang tersembunyi, dibawah rambut.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 17


Gambar 14. Ektoparasit yang ditemukan pada harimau (Foto: Erni Suyanti)

Pemeriksaan microbiology, immunology dan virology


Harimau memiliki potensi terserang penyakit yang dapat mematikan individu dan
dan dapat menular kepada populasi liar. Harimau konflik dapat disebabkan salah
satunya oleh terjangkitnya suatu penyakit. Oleh karena itu sangat penting melakukan
pengambilan sampel untuk tujuan pemeriksaan lanjutan.
Dua jenis sampel yang diperlukan untuk pemeriksaan ini adalah
a. Serum
Untuk mendapatkan serum, sampel yang telah diambil harus dimasukkan kedalam
tabung vaccutainer tanpa zat anti pengentalan (anti-koagulan)

1. Ambil sampel sekitar 10-15 cc ke dalam tabung vaccutainer


2. Letakkan pada tempat yang stabil hingga membeku

Gambar 15. Vaccutainer dengan anti- Gambar 16. Tabung ependorf berisi
koagulan EDTA serum.

18 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


3. Ambil cairan bening diatas darah yang telah membeku tersebut (serum) dengan
menggunakan spuit dan disimpan kedalam tabung ependorf
4. Tabung ependorf adalah tabung yang kecil, sehingga serum yang diperoleh
dapat dipindahkan ke dalam beberapa tabung (usahakan tidak ada yang
tersisa)
5. Tuliskan kode label dan catat kode label dalam buku database sampel
6. Simpan tabung ependorf ke dalam freezer untuk menunggu dilakukan
pemeriksaan.
b. Whole blood
Sampel darah dalam bentuk whole blood diperlukan untuk pemeriksaan hematologi.
Kondisi di lapangan sering tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan
secara langsung, sehingga diperlukan pengambilan darah dan penyimpanan yang
benar. Sampel whole blood diperoleh dengan memasukkan darah sebanyak 5-10
cc kedalam tabung vaccutainer yang sudah terdapat zat anti pembekuan darah
(anti-koagulan). Darah disimpan pada kotak penyimpanan yang dingin (ice box)
dan usahakan ditempatkan pada lokasi yang tidak banyak bergerak. Gerakan
yang terlalu banyak dapat menyebabkan darah mengalami kerusakan.

Gambar 17. Contoh kotak transport vaksin yang dapat dipergunakan untuk membawa sampel selama
di lapangan.

Pastikan es di dalam kotak penyimpanan selama perjalanan selalu tersedia,


tambahkan es jika telah berkurang. Pada saat tiba di laboratorium atau di kantor,
pindahkan tabung ini pada lemari es dan usahakan segera dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan sampel organ
Sampel organ akan diperlukan untuk membuat preparat mikrobiologi, pemeriksaan
forensik maupun untuk melakukan isolasi virus. Kematian harimau dengan tanda-
tanda tidak wajar perlu dilanjutkan dengan pendataan kondisi ketidakwajaran,
pengambilan sampel organ sesuai dengan kebutuhan dan dugaan penyakit.
Contoh penggunaan sampel organ adalah:
a. Sampel hypothalamus yang harus diambil dari harimau mati dengan kecurigaan
mati disebabkan oleh penyakit rabies.
b. Pengambilan sampel usus, isi usus, hati dan ginjal untuk melakukan pemeriksaan
kemungkinan adanya racun.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 19


B. Pengenalan Survei, Monitoring dan Perlindungan
Satwa Liar
1. Survei dan monitoring
Salah satu komponen dasar dalam konservasi harimau adalah kegiatan survei dan
monitoring populasi harimau dan habitatnya, tidak luput juga pengetahuan mengenai
satwa mangsanya. Dengan mengetahui informasi dasar tersebut, arah dan kebijakan
konservasi harimau yang tepat dapat diambil. Harimau merupakan satwa yang tidak
mudah ditemukan di hutan, sehingga untuk dapat menghitung dengan menghasilkan
angka pasti jumlah individu adalah hal yang tidak mudah. Oleh karena itu, para peneliti
melakukan survei dengan pendekatan kepadatan populasi serta sebaran yang relatif
di berbagai tipe dan kondisi hutan. Dua kegiatan monitoring yang harimau yang perlu
dilakukan secara berkala yakni:
a. Survei sebaran penggunaan habitat oleh harimau. Survei ini sering disebut
dengan survey of occupancy. Tujuan dari survei ini untuk memetakan berbagai
jenis dan tipe hutan terkait ada dan tidaknya harimau. Hasil informasi diperoleh
dari survei ini juga memberikan pemahaman dimana saja harimau ini terdistribusi.
Selain informasi keberadaan harimau, indeks kelimpahan satwa mangsa juga
dapat diketahui.
b. Survei kepadatan populasi dengan metode Capture-Mark-Recapture (CMR).
Metode ini di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat kamera penjebak
(camera trap) untuk mendapatkan foto harimau dari sisi kiri maupun kanan.
Prinsip dari survei ini dan penggunaan kamera penjebak adalah membedakan
setiap individu harimau melalui perbedaan pola lorengnya, mencatat di kamera
mana saja harimau akan terfoto serta menghitung kerapatan populasi harimau
di wilayah tersebut secara statistik. Hasil dari penghitungan kepadatan ini biasa
akan ditampilkan sebagai jumlah individu per satuan luas.
“Sebagai contoh, sebuah data survei dianalisis menghasilkan informasi kepadatan
harimau 2,5–6,5 individu/100km2.”
Nilai tersebut diartikan bahwa jumlah individu yang berada dalam setiap luasan 100
km2 adalah antara 2,5–6,5 ekor. Angka kepadatan populasi 2,5-6,5 tidak dibulatkan
dan hal ini tidak perlu dipersoalkan. Nilai ini merupakan metode statistika dalam
melakukan estimasi atau perkiraan populasi. Angka dapat dibulatkan apabila telah
diekstrapolasi dalam luasan yang lebih besar. Dalam melakukan ekstrapolasi tidak
hanya sesederhana mengalikan jumlah kepadatan dengan luasan kawasan saja,
namun memerlukan informasi kondisi habitat dan sebaran harimau. Ekstrapolasi
yang tepat adalah dengan melakukan ekstrapolasi berdasarkan nilai variabel pada
hasil occupancy.

2. Tatacara pemasangan kamera penjebak di lokasi konflik


Pemasangan kamera penjebak sangat diperlukan dalam melakukan penanganan
konflik. Di wilayah yang memiliki potensi konflik tinggi perlu dilakukan identifikasi
harimau-harimau berada di wilayah tersebut. Database individu harimau di lokasi
potensial konflik berguna untuk mengetahui mendukung proses verifikasi, terutama
pada situasi yang mengharuskan melakukan penangkapan.

20 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


i. Apakah individu yang terlibat konflik adalah individu
resident (yang menetap pada teritori tersebut) atau individu
transient (harimau yang menjelajah untuk mendapatkan
wilayah teritori).
ii. Apakah harimau memiliki anak, sehingga penanganan
dapat direncanakan lebih matang
iii. Harimau yang terjerat dapat juga terekam dalam foto-foto
kamera penjebak, sehingga perlu melakukan tindakan
penyelamatan. Gambar 18. Contoh
kamera penjebak
iv. Apakah harimau konflik memiliki sejarah konflik sebelumnya. (camera trap) yang
tahan air.
a. Pemasangan kamera penjebak
Untuk menghindari kesalahan identifikasi individu, maka kamera penjebak perlu
dipasang 2 unit yang dipasang berhadapan dengan tujuan mendapatkan gambar
harimau dari posisi sebelah kiri maupun sebelah kanan. Lokasi pemasangan sering
disebut sebagai “stasiun”. Jadi idealnya, pemasangan kamera mempergunakan 2
unit kamera penjebak dalam 1 stasiun.
Dalam melakukan pemasangan kamera penjebak berikut ini panduan singkatnya:
• Pastikan jalur satwa bersih dan di depan titik penempatan kamera harus
dibersihkan dari tanaman-tanaman yang dapat menutup lensa kamera.
• Pilih pohon penempatan kamera yang kokoh namun jika tidak terdapat pohon
maka dapat memasang tiang pada lokasi yang tepat. pasang kamera dengan
lensa menghadap ke jalur harimau.
• Ketinggian lensa kamera (t-c) diukur sekitar 40-50 cm diatas permukaan jalur
(bukan diukur dari ketinggian dasar pohon).
• Jarak horizontal (A–c atau B–c) antara kamera dengan jalur harimau sekitar 3-4
meter.

Gambar 19. Ilustrasi pemasangan kemera penjebak.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 21


• Catat koordinat lokasi pemasangan dan data hasil kamera untuk tujuan
identifikasi harimau dapat dicek jika terdapat tanda-tanda harimau telah
melintas.
• Pemantauan lokasi dapat dilakukan setiap 2 hari sekali. Jumlah tim yang paling
tidak 3 orang dengan perlengkapan kerja dan keselamatan yang memadai.
• Sebelum memasang, pastikan kartu memori kamera dapat berfungsi dengan
baik dan memiliki kapasitas yang cukup besar.
• Sebelum dan setelah dipasang, lakukanlah tes fungsi kamera penjebak, tes
fungsi sensitivitas sensor, pengaturan tanggal dan jam.
• Penggunaan lampu flash untuk malam hari, atau jenis kamera infrared (tanpa
flash).
• Pilihan jenis rekaman video atau foto atau keduanya.
• Jarak rekam atau “delay”
• Pastikan baterai masih memiliki daya yang cukup serta silica gel yang masih
baik untuk menyerap kelembaban.

Gambar 20. Pemasangan kamera penjebak dengan menggunakan tiang buatan (Foto: WCS)

Pemasangan kamera diatas menggunakan tiang buatan dikarenakan tidak


terdapat pohon yang bisa dipergunakan untuk memasang kamera. Metode ini
tidak menimbulkan kendala, rentan terjadi pencurian kamera karena terlihat cukup
mencolok.

b. Memilih lokasi “stasiun” pemasangan kamera penjebak


Dalam menentukan titik lokasi pemasangan
diperlukan peahaman perilaku harimau. Harimau
cenderung akan berjalan pada jalur-jalur satwa
yang telah ada. Karena harimau adalah satwa
yang memiliki teritori luas, maka harimau akan
berjalan dari bukit ke bukit dengan mengikuti jalur
satwa yang cukup landai.
Jalur pada punggungan landai yang dan yang
menuju ke sumber air merupakan jalur satwa
yang paling banyak dilalui oleh satwa mangsa,
begitu juga dengan harimau. Untuk dapat melihat
punggungan yang sesuai dengan karakteristik

22 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


harimau, maka diperlukan peta topografi, tim harus mampu membaca peta topografi
dan dapat mempergunakan perlengkapan navigasi dengan baik.
Jika berada pada wilayah seperti pada contoh peta topografi di halaman sebelumnya,
garis hijau menunjukkan jalur punggungan yang lebih berpotensi dilewati harimau
maupun satwa lain (punggungan relatif landai), garis merah karena lebih terjal,
sedikit kurang potensial dilewati harimau.
Meskipun dapat diprediksi dari peta topografi, kondisi lokasi perlu dicek dan perlu
mencari tanda-tanda keberadaan harimau pada jalur tersebut, artinya kita tidak
dapat hanya mengandalkan prediksi lokasi hanya dengan menggunakan peta saja.

c. Identifikasi individu harimau hasil kamera penjebak


Foto-foto harimau hasil kamera penjebak dimasukkan didalam database dengan
contoh format sebagai berikut.

Tgl & Tgl Tgl Foto kiri Foto ID Note


Lokasi ID Kam Koordinat
Jam pasang lepas kanan harimau

Data yang baik akan memudahkan saat proses analisis. Foto-foto hewan mangsa atau
jenis satwa lain yang terekam sebaiknya tetap disimpan karena dapat dipergunakan
untuk analisis pendukung.
Keterangan pengisian data kamera penjebak
Lokasi Diisi dengan informasi nama desa, kecamatan dan kabupaten

Tgl & Jam Tanggal dan Jam. Diisikan dengan tanggal dan jam pada saat foto tersebut diperoleh,
data ini dapat diperoleh dari metadata file foto hasil kamera penjebak
ID kam ID Kamera. Diisi dengan nomor seri atau kode kamera yang dipergunakan

Koordinat Koordinat diisikan titik koordinat penempatan kamera, jika menggunakan sepasang
kamera (2 unit), maka koordinat dari kedua kamera dapat menggunakan koordinat
yang sama. Sistem koordinat dapat menggunakan sistem UTM maupun derajat sesuai
dengan metode yang biasa dipergunakan. Jika menggunakan sistem koordinat UTM
maka kode zona harus dicantumkan.

Tgl pasang Tanggal pemasangan kamera

Tgl lepas Tanggal melepas kamera

Foto kiri Diisi dengan foto harimau yang menunjukkan tubuh sebelah kiri, ditambahkan juga
nama file foto

Foto kanan Diisi dengan foto harimau yang menunjukkan tubuh sebelah kanan, ditambahkan juga
nama file foto
ID harimau Penamaan harimau untuk setiap sepasang foto yang diperoleh.

Note Keterangan. Diisikan informasi tambahan yang diperoleh dari informasi konflik. Kondisi
saat melepas kamera bisa juga dicatat di dalam note ini. Apakah kamera masih dalam
kondisi baik/rusak/hilang, kamera aktif/tidak aktif.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 23


Jika terdapat 2 foto dari sisi yang sama dapat dilakukan pengamatan untuk melihat
perbedaan pola lorengnya, jika pola loreng sama berarti kedua foto tersebut
disimpulkan sebagai satu individu yang sama namun terfoto lebih dari satu kali atau
terfoto pada lebih dari satu stasiun.

A B

C Perhatikan bagian yang dilingkari merah.


Harimau pada gambar (A) dengan harimau
(B) adalah individu yang berbeda, sedangkan
harimau (A) dengan harimau (C) adalah individu
yang sama. Dari ketiga foto yang berbeda stasiun
dan waktu, dapat disimpulkan bahwa terdapat
minimal 2 individu harimau.

Gambar 21. Contoh perbedaan pola loreng untuk identifikasi perbedaan individu harimau sumatera.
(Foto: FFI)

Jika tidak dapat mendapatkan foto yang menunjukkan sisi yang sama maka proses
identifikasi menjadi lebih sulit.

d. Identifikasi jenis kelamin harimau dari kamera penjebak


Pada ketiga foto diatas, bisa diperhatikan bahwa seluruh foto adalah harimau betina
karena pada bagian tepat dibawah ekor tidak terdapat adanya testicle (testis).

Gambar 22. Contoh foto harimau berkelamin jantan (Foto: FFI).

Pada foto diatas terdapat testis dibawah ekor. Organ ini memastikan bahwa harimau
tersebut berkelamin jantan.

24 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


e. Perkiraan umur harimau dari kondisi gigi
Secara umum, foto kamera penjebak dapat dipergunakan untuk memperkirakan
umur harimau dengan memperhatikan kondisi tubuh, bentuk fisik dan hanya dapat
memberikan perkiraan apakah harimau tersebut dewasa atau anakan. Bahkan jika
foto diperoleh dengan optimal, kondisi harimau yang sedang menyusui juga dapat
terlihat pada foto. Perkiraan umur yang lebih akurat adalah dengan memeriksa gigi
secara langsung.

Setiap melakukan penanganan pembiusan atau menangani harimau mati, harus


mengambil sampel, membuat foto susunan gigi, pola loreng kiri, kanan maupun
kepala dan mengambil foto-foto kondisi tidak wajar untuk dapat memberikan
informasi tambahan terkait penyebab konflik atau penyebab kematian. Data-data
ini disimpan dengan baik sebagai database. Penyimpanan data yang baik akan
memudahkan melakukan penelusuran riwayat konflik.

2 1

4
3
5

Gambar 23. Bagian-bagian pada gigi harimau yang dipergunakan untuk menaksir umur (Foto: WCS).

Keterangan:
1. Gigi seri. Pada contoh gambar diatas, gigi seri sudah merupakan gigi permanen.
2. Taring. Pada gambar diatas, taring sudah merupakan taring permanen
3. Alur taring. Tepian tajam pada pinggir taring mulai dari pangkal hingga ujung taring. Alur taring
akan semakin menghilang dengan bertambahnya umur karena bergesekan dengan tulang-
tulang hewan yang dimangsa.
4. Pengeroposan. Biasa ditemukan pada harimau yang sudah dewasa, pengeroposan ini banyak
sebagai akibat alami pergesekan dengan tulang.
5. Tarikan gusi. Semakin bertambahnya umur, gusi akan sedikit mengalami perubahan, sehingga
terlihat bagian taring yang dahulunya tertutup oleh gusi. Bagian taring yang dahulunya tertutup
gusi akan lebih gelap dan biasa berbatas jelas.
Warna gigi. Dari kedua foto diatas tampak perbedaan warna (putih dan kuning-kecoklatan).
Harimau muda cenderung bergigi putih, sedangkan yang berwarna menunjukkan umur yang lebih
tua.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 25


A B

Gambar 24. Contoh gigi harimau. (A) adalah bentuk taring susu (taring terlihat kecil dan ramping),
sedangkan (B) adalah taring permanen yang sedang tumbuh. (Foto: WCS).

Berikut ini beberapa contoh memperkirakan umur harimau dengan menggunakan


susunan gigi. Metode ini merupakan hasil penelitian dari Wildlife Conservation
Society (WCS) untuk harimau amur (Panthera tigris altaica). Meskipun dalam kondisi
alami dapat terjadi kerusakan gigi yang diakibatkan oleh faktor-faktor lain, metode ini
merupakan hasil sintesis dari data-data harimau-harimau liar yang terpantau melalui
GPS collar, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk yang cukup akurat.
Kita dapat mempelajari dengan mudah susunan gigi dengan mudah di kebun
binatang. Namun standar umur yang diperoleh dari penelitian di kebun binatang
tidak akan tepat dipergunakan untuk menaksir umur harimau liar. Hal ini disebabkan
aktifitas harimau yang berbeda antara dialam liar dan dikebun binatang, jenis hewan
mangsa juga berbeda, sehingga tingkat ke-aus-an gigi juga akan sangat berbeda.
Dalam praktik diperlukan pengamatan dari kondisi-kondisi yang ditemukan di
lapangan dan dibandingkan dengan tabel dibawah. Tabel ini cukup akurat meskipun
berbagai faktor seperti penyakit dan ketersediaan jenis hewan mangsa atau kondisi
kandungan mineral didalam air juga dapat mempengaruri akurasi penaksiran umur.

Gambar 25. Taring yang telah patah dan terdapat karies gigi
(Foto: WCS).

26 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Tabel 1. Panduan dalam menaksir umur harimau

Kondisi Gigi Umur

a. Gigi seri sudah berganti menjadi gigi dewasa


11–12 bulan
b. Taring masih berupa gigi susu

a. Gigi seri sudah berupa gigi dewasa


14 bulan
b. Taring permanen mulai tumbuh (masih pendek)

a. Taring sudah tumbuh panjang, runcing, kuat, besar namun belum maksimal
15 bulan
b. Gigi berwarna putih bersih

a. Taring tumbuh maksimal namun masih berwarna putih 16 bulan


b. Alur taring masih terasa tajam jika diraba dengan tangan

a. Taring mulai berubah warna dari putih menjadi sedikit kuning 3 tahun
b. Alur taring berkurang, namun masih bisa teraba pada bagian yang lebih dekat
dasar gigi

a. Gigi taring sudah mulai menguning


b. Alur taring sudah tidak teraba tajam
5 tahun 2 bulan
c. Ada keropos pada alur taring bagian dekat dasar gigi
d. Terdapat sedikit tarikan gusi

a. Gigi kuning-kecoklatan, alur gigi tidak teraba 7 tahun


b. Terdapat sedikit pengeroposan

a. Gigi kecoklatan, alur gigi tidak teraba, terdapat pengeroposan yang cukup 9-10 tahun
signifikan
b. Terlihat jelas adanya tarikan gusi

a. Gigi kuning-kecoklatan, alur gigi tidak teraba, terdapat pengeroposan yang


cukup signifikan 13-14 tahun
b. Terlihat jelas adanya tarikan gusi
c. Terdapat gigi taring yang telah patah dan terlihat karies gigi

3. Perlindungan satwa liar


Harimau sumatera merupakan satwa yang menjadi target utama dalam perburuan
dan kerusakan habitatnya. Hal ini juga menjadi kontribusi utama dalam penyusutan
populasi harimau di alam.

a. Dalam menghadapi perburuan dan perusakan habitat, dilakukan dengan


meningkatkan efektifitas patroli salah satunya dengan adalah penerapan patroli
berbasis SMART (Spatial Monitoring and Reporting Tool) atau penggunaan
sistem patroli terpadu dengan perangkat lunak yang dapat dengan mudah dan
cepat menghasilkan informasi spasial dan temporal.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 27


b. Investigasi dan penegakan hukum juga dilakukan secara intensif untuk
menangkap para aktor perdagangan harimau dan bagian-bagian tubuhnya.

c. Penanggulangan konflik manusia dan satwa liar. Perburuan dan perdagangan


harimau ini juga sangat erat kaitannya dengan kejadian konflik, pemburu
dapat saja memanfaatkan informasi konflik dan melakukan perburuan di lokasi
tersebut. Oleh karena itu, penanganan konflik sangat penting untuk mencegah
perburuan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk tujuan
perdagangan harimau.
Daya jelajah harimau pada area yang memiliki jumlah satwa mangsa rendah, akan
jauh lebih luas disbanding dengan di wilayah yang banyak terdapat satwa mangsa.
Luasnya daya jelajah ini berhubungan dengan perilaku individu harimau untuk
mendapatkan ketercukupan mangsa. Perburuan yang tinggi terhadap satwa mangsa
alami mengakibatkan penurunan jumlah satwa mangsa. Potensi untuk terjadinya
konflik akan menjadi lebih tinggi.

Referensi
Boomgaard, P. (2001). Frontiers of fear: Tigers and people in the Malay World, 1600
– 1950 . Yale University Press, New Haven and London.
Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, Siswomartono, D. Manansang, J., & Tilson, R.
(1999). Last of the Indonesian tigers: a cause for optimism. In Riding the Tiger: Tiger
Conservation in Human-dominated Landscapes (eds J. Seidensticker, S. Christie &
P. Jackson). Cambridge University Press, 130-147.
Hines JE (2006) Program PRESENCE Version 2.4. Program PRESENCE Version
2.4 ed. Laurel, USA: USGS-Patuxent Widlife Research Center.
IUCN. (2015). Redlist: Tiger (Panthera tigris). downloaded: May 05, 2016 available
on www.iucnredlist.org.
Indonesian Ministry of Forestry. (2007). Strategy and action plan for the Sumatran
tiger (Panthera tigris sumatrae) 2007 - 2017. Indonesian Ministry of Forestry, Jakarta,
Indonesia.
Kinnaird, M. F., Sanderson, E. W., O’Brien, T. G., Wibisono, H. T., & Woolmer, G.
(2003). Deforestation trends in a tropical landscape and implications for endangered
large mammals. Conservation Biology Volume 17, 245-257.
Linkie, M., Martyr, D. J., Holden, J., Yanuar, A., Hartana, A. T., Sugardjito, J., &
Leader-Williams, N. (2003). Habitat destruction and poaching threaten the Sumatran
tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Oryx, 37(1), 41–48 DOI: 10.1017/
S0030605303000103.
Linkie, M., Wibisono, H. T., Martyr, D. J., & Sunarto, S. (2008). Panthera tigris
spp. sumatrae. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. www.
iucnredlist.org. Downloaded on 1st February 2015.
McNeely, J. A., & Sochaczewski, P. S. (1988). Soul of the tiger: Searching for nature’s
answers in Southeast Asia. A Kolowalu Book, University of Hawai’i Press, Honolulu.
Page 192

28 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Sriyanto. (2003). Kajian mangsa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae,
Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Institut Pertaninan Bogor,
Bogor, Indonesia (Thesis, unpublished).
Sunarto, Kelly, M. J., Klenzendorf, S., Vaughan, M. R., Zulfahmi, Hutajulu, M. B., &
Parakkasi, K. (2013). Threatened predator on the equator: multi-point abundance
estimates of the tiger Panthera tigris in central Sumatra. Fauna & Flora International,
Oryx, 47(2), 211–220 doi:10.1017/S0030605311001530.
Tilson, R. L., & Nyhus, P. J. (2010). Tribe of tigers: Introduction. In R. L. Tilson &
P. J. Nyhus (Eds.), Tigers of the World: The Biology, Politics, and Conservation of
Panthera tigris (2nd ed.,). San Diego: Academic Press/Elsevier.
Widodo, F. A., Hanny, S., Utomo, E. H., Zulfahmi, Kusdianto, Septayuda, E., Sunarto.
(2017). Tiger and prey in Bukit Rimbang Bukit Baling: abundance baseline for effective
wildlife reserve management. Journal of Forest Science (Jurnal Ilmu Kehutanan) Vol
11 No.2.
Widodo, F. A., Mazzolli, M., & Hammer, M. (2016). Sumatran tiger conservation -
Forest flagship: researching & conserving critically endangered Sumatran tigers
in Rimbang Baling Wildlife Sanctuary, Sumatra, Indonesia. Biosphere Expeditions
report. Norwich, UK. Available via www.biosphere-expeditions.org/reports

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 29


BAB II

PENCEGAHAN DAN Penanganan


KONFLIK ANTARA MANUSIA DENGAN
HARIMAU SUMATERA
Pada bab I telah dijelaskan mengenai ekologi harimau, pengenalan tanda keberadaan
harimau dan sampel-sampel penting yang perlu diambil guna melakukan identifikasi
dan pemeriksaan lanjut.
Bab II ini bertujuan untuk:

1. Memberikan pemahaman dasar kepada petugas lapangan yang berasal dari


berbagai instansi terkait kondisi-kondisi yang mungkin dihadapi.
2. Petugas mampu menggunakan sistem skoring di dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2008 dalam menentukan skor situasi konflik
dan dapat menentukan langkah-langkah yang perlu diambil sesuai dengan
situasi yang dihadapi.
Pada masa mendekati kepunahan harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan
harimau bali (Panthera tigris balica), insiden-insiden konflik banyak terjadi di
masyarakat. Konflik tersebut terjadi akibat berkurangnya tutupan hutan di kedua
pulau. Harimau membutuhkan hutan yang luas dan ketersediaan satwa mangsa.
Meskipun masih terdapat beberapa blok hutan di Pulau Jawa dan Bali, hutan-hutan
ini sudah terfragmentasi dan didominasi oleh penduduk. Belajar dari kepunahan
kedua sub-spesies tersebut, kita harus melihat kondisi hutan sumatera yang juga
semakin mengalami fragmentasi. Konflik dapat dianalogikan sebagai sebuah
drainase, mengeluarkan satu per satu individu harimau dari dalam hutan. Kegagalan
mempertahankan hutan dalam satu kesatuan lansekap yang luas ditambah kegagalan
dalam menangani insiden konflik berujung pada kepunahan kedua spesies tersebut.
Pembangunan wilayah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat tidak dapat
dielakkan, terjadinya irisan pengunaan ruang akan terus terjadi di masa mendatang.
Pembangunan merupakan tujuan dari pemerintah, namun pemerintah juga harus
menyadari bahwa sehatnya sebuah ekosistem dalam skala lansekap sangat
diperlukan manusia sebagai penyangga kehidupan dan keberlanjutan pembangunan
serta kesejahteraan manusia.
Belajar dari kepunahan harimau jawa dan bali serta untuk mengantisipasi
kepunahan harimau sumatera, pemerintah Republik Indonesia menyusun pedoman
penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar melalui Permenhut Nomor
P.48/2008.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 31


Terdapat 3 hal pokok dalam penanggulangan konflik antar manusia dan harimau,
antara lain mencegah terjadinya konflik, penanganan situasi konflik dan penanganan
paska konflik.
Diantara ketiga hal pokok diatas, banyak pihak belum menyadari bahwa pencegahan
adalah hal yang sangat penting dalam menunjang keseluruhan keberhasilan
penanggulangan konflik. Sayangnya kegiatan-kegiatan pencegahan belum banyak
diterapkan, dan sumber daya terkuras untuk melakukan penanganan konflik dan
paska konflik.
Urgensi dibutuhkannya pedoman ini adalah untuk melengkapi dan mendukung
Permenhut tersebut supaya dapat diimplementasikan dengan lebih baik.

A. Pengertian Konflik Manusia dan Harimau (KMH)


Menggunakan definisi konflik manusia dan satwa liar dalam Permenhut Nomor
P.48/2008, yaitu segala interaksi antara manusia dan satwa liar yang mengakibatkan
efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan pada
konservasi satwa liar dan atau pada lingkungannya.

1. Tipologi konflik
Pada umumnya insiden KMH yang sering dihadapi oleh petugas atau tim
penanggulangan konflik ini terjadi dengan bentuk/tipe kejadian sebagai berikut:

a. Harimau terdeteksi di areal penduduk

Harimau terdeteksi di sekitar pemukiman atau ladang, meskipun tidak ada


konflik langsung namun menyebabkan ketakutan atau dianggap mengancam
oleh masyarakat. Biasanya masyarakat akan mencoba menangkap atau
membunuh harimau. Pada tipe ini, sebenarnya ancaman terhadap manusia
masih rendah. Sebaliknya ancaman terhadap harimau lebih besar. Pada situasi
ini, bisa saja situasi konflik berkembang menjadi tipe konflik kedua apabila tidak
dilakukan penanganan dan pemahaman terhadap masyarakat.

b. Harimau menyerang ternak

Harimau memangsa hewan peliharaan atau ternak merupakan bentuk


konflik yang paling umum di banyak negara termasuk di Pulau Sumatera.
Dapat menyebabkan hilangnya pendapatan dan kerugian bagi masyarakat,
serta meningkatkan citra negatif terhadap harimau sehingga akhirnya dapat
meningkatkan keinginan untuk membunuhnya. Sisa hewan yang dimangsa
sering digunakan sebagai umpan untuk menangkap harimau, kemudian
membunuh dan menjual bagian tubuh harimau tersebut.

c. Harimau menyerang manusia

Walaupun relatif jarang namun di beberapa tempat cukup sering terjadi.


Frekuensi serangan harimau yang terjadi dapat menyebabkan kuatnya respon
negatif dari masyarakat bahkan pemerintah daerah setempat.

32 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


d. Perburuan harimau (murni atau dengan motif balas dendam)

Perburuan harimau dengan menggunakan alasan mencegah konflik. Di dalam


masyarakat di sumatera terdapat pemburu-pemburu lokal yang jika mengetahui
keberadaan harimau berkeliaran di pemukiman akan melakukan perburuan.
Sebagian masyarakat juga menggunakan alasan balas dendam akibat adanya
ternak yang hilang meskipun sudah terjadi cukup lama. Sebagai contoh, terjadi
kehilangan ternak setahun lalu, namun ketika terdapat informasi keberadaan
harimau di sekitar pemukiman, maka masyarakat akan mengundang pemburu
lokal untuk melenyapkan harimau tersebut.

Kondisi ini perlu diperhatikan oleh tim yang melakukan pemantauan lokasi-
lokasi konflik karena informasi dan cerita yang disampaikan kadang kala bukan
merupakan kejadian baru.

2. Tingkat resiko konflik (terhadap keselamatan manusia)


Insiden konflik tidak dapat ditangani dengan metode yang sama setiap kali terjadi.
Tatacara penanganan konflik disesuaikan dengan situasi konflik yang terjadi. Salah
satu parameter dalam menentukan jenis tindakan antara lain yang juga tercantum di
dalam Permenhut Nomor P.48/2008 tentang penanggulangan konflik antara manusia
dan satwa liar adalah tingkat resiko konflik. Tingkat resiko konflik ini dikategorikan
berdasarkan kerugian masyarakat, lokasi dan frekuensi kejadian.
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan tingkat resiko konfik yakni:

a. Lokasi konflik di dalam dan di luar kawasan konservasi

Pada umumnya istiah KMH dianggap sebagai kejadian ganguan harimau


terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat diluar kawasan konservasi,
namun KMH dapat terjadi di dalam maupun di luar kawasan konservasi. Sebagai
contoh konflik yang terjadi dialam kawasan konservasi adalah jika terjadi
serangan terhadap pengunjung wisata sebuah kawasan, atau serangan harimau
terhadap masyarakat yang terjadi pada zona/blok pemanfaatan dari kawasan.
Oleh karena itu, di dalam zona/blok yang memang diperbolehkan ada akses
masyarakat harus dimonitor oleh pengelola kawasan dan terdapat mekanisme
penyampaian informasi mengenai keberadaan harimau dari masyarakat yang
memanfaatkan kawasan ini terhadap pengelola kawasan.

b. Kerugian akibat KMH sumatera bagi manusia dan harimau.

Konflik antara manusia dan harimau dapat dan berpotensi menimbulkan


jatuhnya korban baik harimau maupun manusia. Apabila hal tersebut tidak dapat
tertangani dengan baik juga berdampak pada persepsi atau respon masyarakat
terhadap satwa liar dalam hal ini harimau selalu yang beresiko paling tinggi
dieliminasi pertama kali.
Kerugian bagi manusia akibat KMH dapat berbentuk antara lain:
• Kerugian psikologis
Kerugian pada manusia akibat trauma setelah terjadinya konflik dengan
harimau.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 33


• Kerugian jiwa/fisik
Kerugian pada manusia berupa luka, cacat dan meninggal dunia akibat
terjadinya konflik dengan harimau.
• Kerugian ekonomi
KMH juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi seperti terbunuhnya ternak,
kerusakan sarana manusia dsb. Kerugian ekonomi dapat diminimalisir
melalui pencegahan KMH.
Sedangkan kerugian bagi harimau akibat KMH antara lain harimau terluka,
cacat, dan terbunuh. Pada beberapa kasus, kelangsungan hidup anak
harimau menjadi terdampak atas terbunuhnya induk atau terpisah dari induk
akibat penangkapan.

c. Frekuensi kejadian
Frekuensi kejadian (berulang atau tidaknya konflik) juga merupakan faktor yang
dipertimbangkan, sebagai contoh, situasi konflik yang tidak terlalu berpotensi
membahayakan jika terjadi berulang kali akan dapat berujung pada perburuan.
Tabel 2. Tabel tingkat konflik (sumber: Permenhut Nomor P.48/2008)
A.Kerugian B. Kerugian ekonomi C. Kerugian Fisik/jiwa
Psikologis
1. Korban ternak diluar 1. Korban luka-luka
KORBAN 1.Harimau kandang
Muncul 2. Korban luka-luka
2. Korban ternak di luar (berulang)
2.Harimau kandang berulang-
Muncul ulang 3. Korban Meningal
Berulang 4. Korban Meningal
dalam waktu > 3. Korban ternak di
dalam kandang Berulang
1 minggu
LOKASI 4. Korban ternak di
dalam kandang
berulang

A1 A2 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4
Taman Nasional,
I. Kawasan
Cagar Alam, SM,
Konservasi
Tahura, HL

II. Kawasan Tanpa pengelolaan


Hutan Non
Konservasi Ada Pengelolaan

Perkebunan
III. Areal
Penggunaan Ladang
Lain
Pemukiman

rendah sedang tinggi

34 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Penjelasan:

a. Resiko rendah adalah informasi keberadaan harimau di kawasan konservasi


yang berdekatan dengan pemukiman atau harimau terdeteksi masuk ke wilayah
pemukiman namun tidak berulang.

b. Resiko sedang adalah kejadian konflik yang menimbulkan kerugian ekonomi


seperti kehilangan ternak secara berulang atau kemunculan harimau yang
dinilai cukup sering sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat untuk bisa
bekerja dengan tenang.

c. Resiko tinggi adalah kejadian konflik yang mempunyai potensi sangat


mengancam keselamatan manusia apabila tidak dilakukan langkah-langkah
penanganan. Mengingat potensi dan resikonya, SATGAS penanggulangan KMH
segera menurunkan tim lokasi konflik untuk segera melakukan penanggulangan.

3. Faktor-faktor pemicu KMH


Tidak sepenuhnya disadari dan dipahami bahwa selain perilaku harimau, kegiatan
manusia juga memerikan andil terjadinya KMH. Dibawah ini berbagai kondisi yang
berhubungan dengan KMH.
a) Konversi hutan menjadi pemukiman, perkebunan, pertambangan dan jaringan
jalan telah mempersempit habitat yang dapat dihuni oleh harimau.
b) Perilaku harimau induk beranak kadangkala berada di pinggiran hutan untuk
menghindari infanticide dari penjantan.
c) Populasi harimau yang tinggi, terjadi penyebaran populasi harimau hingga
keluar wilayah hutan.
d) Perburuan satwa mangsa. Penurunan populasi satwa mangsa menyebabkan
harimau memperluas daerah jelajah agar bisa mencukupi kebutuhan makanan.
Ternak menjadi salah satu alternatif bagi harimau.

Grafik 1. Jenis ternak yang paling sering dimangsa oleh harimau. Kambing merupakan jenis yang sering
menjadi korban, diikuti sapi. (Erlinda C. Kartika, data KLHK).

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 35


e) Perburuan harimau. Anak remaja harimau yang kehilangan induk karena
perburuan dapat masuk ke wilayah pemukiman. Sebagian harimau meski
terjerat, masih ada yang dapat bertahan hidup sebagai cacat permanen.
f) Harimau tua atau harimau cacat. Pilihan jenis satwa mangsa adalah yang lebih
mudah diburu termasuk ternak.
g) Harimau sakit dapat mengalami perubahan perilaku dan menjadi sering terlihat
di pinggiran hutan atau pemukiman.
h) Perilaku masyarakat yang tidak mengkandangkan ternak dengan cara yang
benar. Jumlah ternak yang banyak dan dibiarkan tanpa pengawasan.
i) Bepergian sendirian di wilayah yang dihuni harimau dapat berakibat fatal.
j) Masyarakat belum mengetahui bagaimana melakukan pencegahan terjadinya
KMH.
Berbagai kondisi diatas dapat saling terkait satu sama lain dan menimbulkan
kecenderungan terjadinya konflik.

B. Prinsip - Prinsip Penanggulangan Konflik Antara


Manusia dengan Harimau Sumatera
Berdasarkan Permenhut Nomor P.48/2008 tentang Pedoman Penanggulangan
Konflik antara Manusia dan Satwa Liar, dalam pelaksanaan penanggulangan konflik
antara manusia dengan satwa liar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Manusia dan satwa liar sama-sama penting.
Konflik manusia dan satwa liar menempatkan kedua pihak pada situasi
dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang diterapkan, pertimbangan
langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara
bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwa liar
yang terlibat konflik.
Penjelasan: Sebagian kelompok beranggapan bahwa kepentingan manusia
berada diatas makhluk lain. Kelompok yang seperti ini perlu mendapatkan
pemahaman bahwa manusia memiliki ketergantungan dengan kelestarian
sumber daya alam. Sehatnya sebuah ekosistem akan memberikan jasa
lingkungan yang setiap hari dinikmati. Sehatnya sebuah ekosistem dipengaruhi
oleh berbagai makhluk hidup didalamnya.
2. Site spesifik.
Secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau menyempitnya
habitat satwa liar yang disebabkan salah satunya karena aktifitas pembukaan
areal dan konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan atau Hutan
Tanaman Industri.
Disamping itu, berkurangnya satwa mangsa (khususnya untuk harimau) karena
perburuan liar, juga sering menimbulkan konflik. Variasi karakteristik habitat,
kondisi populasi, dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas
dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut

36 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam
sebuah konflik. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pilihan kombinasi
solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif
disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain,
demikian pula sebaliknya.
Penjelasan: sudah cukup jelas.
3. Tidak ada solusi tunggal.
Konflik antara manusia dan satwa liar dan tindakan penanggulangannya
merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi
berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan
konflik yang komprehensif.
Penjelasan: sudah cukup jelas.
4. Skala lansekap.
Satwa liar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah jelajah
yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus
berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya
(homerange based mitigation).
Penjelasan: dalam sebuah lansekap/bentang alam dapat terjadi konflik di
beberapa bagian wilayah. Terjadinya konflik yang terus-menerus di wilayah-
wilayah tersebut merupakan akibat dari adanya kondisi tertentu (yang tidak
ideal) terjadi di lansekap/bentang alam tersebut. Penanganan insiden konflik
wajib dijalankan, namun untuk dapat mencegah berlanjutnya konflik, harus dikaji
secara menyeluruh.
5. Tanggung jawab multi pihak.
Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki
dampak sosial dan ekonomi di daerah. Sehingga penanggulangan konflik antara
manusia dan satwa liar ini harus melibatkan berbagai pihak yang terkait termasuk
dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk berbagi tanggung jawab.
Penjelasan: (a) Perkebunan maupun pemilik lahan-lahan konsesi memahami
proses ekologis terjadinya konflik, sehingga dapat turut berperan dalam
penanggulangan konflik; (b) Dinas peternakan perlu mengembangkan
program-program peningkatan pengelolaan ternak yang selaras dengan
upaya penanggulangan konflik; (c) KPH perlu melakukan penyeimbangan
kegiatan pengelolaan didalam arealnya dengan langkah-langkah untuk
mencegah terjadinya konflik; (d) Aparat desa dan aparat keamanan harus dapat
mengendalikan warga untuk tidak berlaku anarkis pada saat terjadi konflik
manusia dan satwa liar; (e) Masyarakat dan LSM juga perlu memahami dan turut
berpartisipasi aktif dalam proses dan tahap-tahap penanggulangan konflik; (f)
otoritas pengelola konservasi dapat membangun komunikasi dan bekerjasama
dengan parapihak; (g) Pemerintah daerah memandang penanggulangan konflik
sebagai bentuk untuk meningkatkan keamanan, kesejahteraan masyarakat
dan melindungi ekosistem; (h) SATGAS penanggulangan konflik manusia
dan satwa liar yang dibentuk melalui SK Gubernur perlu ditindaklanjuti dan di-
operasionalkan secara efektif.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 37


C. Strategi Pencegahan Konflik
Strategi dalam mencegah terjadinya konflik harus dikembangkan dan didukung oleh
parapihak terkait. Sumatera adalah pulau yang luas dan terdiri dari ratusan desa
yang hidup berdampingan dengan hutan. Meskipun begitu tidak semua desa memiliki
kerawanan KMH yang sama. Untuk mengefektifkan sumber daya maka perlu disusun
sebuah prioritisasi lokasi-lokasi yang menjadi wilayah rawan konflik.

Kegiatan pencegahan di lokasi rawan antara lain:

1. Pemantauan lokasi potensial konflik dengan kamera penjebak untuk


mengetahui individu yang mendiami area tersebut.
2. Sosialisasi mekanisme pelaporan informasi konflik dan penanganannya
3. Jika masyarakat memelihara ternak tanpa dikandangkan, maka diperlukan
perbaikan manajemen tatacara beternak dengan bekerjasama dengan
dinas pertanian/peternakan setempat.
4. Sosialisasi untuk menghentikan perburuan atau melarang penggunaan jerat
berbahan sling baja untuk menjaga kebun dari serangan hama babi.
5. Sosialisasi dan berkoordinasi dengan MUSPIKA setempat terkait tatacara
respon awal terhadap informasi konflik
6. Upaya penyadartahuan tatacara menghindari konflik kepada masyarakat.

1. Pemetaan area potensi dan pemantauan dini insiden KMH


Dengan adanya data dan informasi hasil survei yang dilakukan oleh para peneliti,
maka desa-desa yang memiliki tingkat kerawanan konflik yang tinggi dapat
dipetakan. Pemetaan ini sangat diperlukan guna mengoptimalkan sumber daya yang
dimiliki petugas penanggulangan konflik supaya lebih efektif. Setiap provinsi perlu
bekerjasama dengan para peneliti, otoritas untuk dapat menentukan parameter-
parameter kondisi lingkungan yang memiliki tingkat kerawanan terjadinya konflik.
Tim yang menangani konflik tidak dapat hanya menunggu informasi kejadian konflik,
namun perlu melakukan pengumpulan informasi secara rutin di lokasi-lokasi yang
memiliki kerawanan terjadinya konflik.
BKSDA dan Taman Nasional sebagai unit pelaksana teknis KLHK harus menginsiasi
setiap provinsi untuk memiliki data kerawanan KMH. Data kerawanan ini disusun
dengan mempergunakan data sejarah kejadian konflik, data sebaran populasi
harimau, data pembukaan kawasan hutan, data sebaran ternak masyarakat dan
kondisi-kondisi lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi potensi konflik seperti
jarak desa dengan hutan dan perubahan tutupan hutan. Secara umum lokasi-lokasi
yang rawan adalah sebagai berikut:

a. Desa atau pemukiman enclave yang berada ditengah habitat harimau sumatera.
b. Desa terdalam yang berbatasan langsung dengan hutan habitat harimau.

38 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


c. Desa yang berbatasan langsung dengan habitat harimau yang mana
masyarakatnya memiliki populasi ternak tinggi dan tidak dikandangkan dengan
layak.
d. Lokasi perkebunan/pertambangan yang berbatasan dengan habitat harimau.
Harimau menjelajah hingga wilayah-wilayah perkebunan/pertambangan.
Petugas kebun atau tambang harus mengetahui tatacara penanggulangan
konflik.
e. Kawasan konservasi pada zona/blok pemanfaatan yang dapat diakses
masyarakat secara legal.
f. Desa yang di sekitarnya banyak masyarakat yang melakukan perburuan.

2. Sosialisasi upaya pencegahan KMH


Lokasi-lokasi rawan konflik ini sering luput dari pemantauan. Meskipun tidak terjadi
KMH, lokasi-lokasi rawan konflik harus dimonitor secara rutin dengan beberapa
metode a). melakukan kunjungan rutin atau komunikasi jarak jauh setiap 1-2 bulan;
b). membangun komunikasi dengan tokoh masyarakat untuk melaporkan adanya
indikasi terjadinya konflik secara dini.
Sosialisasi kepada masyarakat mengenai tatacara melaporkan kejadian konflik
secara akurat. Lokasi-lokasi dengan sejarah konflik tinggi dan lokasi yang secara
spasial memiliki potensi konflik tinggi perlu mendapatkan prioritas sosialisasi. Target
sosialisasi alur penanggulangan koflik ini meliputi: kepala desa, kepala dusun, tokoh
masyarakat dan MUSPIKA.

Masyarakat dapat melaporkan konflik melalui aparat desa yang kemudian aparat
desa menindaklanjuti laporan tersebut kepada pihak yang berwenang (BKSDA/
Taman Nasional/KPH) sesuai dengan garis merah. Alternatif apabila tidak memiliki
akses untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang, maka aparat desa dapat
melaporkan melalui Polsek setempat maupun LSM pemerhati lingkungan di sekitar
lokasi yang kemudian menindaklanjuti laporan tersebut kepada BKSDA.
Untuk dapat memberikan laporan yang cukup informatif maka masyarakat, petugas

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 39


polsek dan LSM lingkungan perlu mendapatkan pemahaman dasar mengenai
identifikasi keberadaan harimau yang akurat, tatacara penanggulangan konflik dan
tatacara penyampaian informasi dengan baik. Dalam melaporkan konflik setidaknya
pelapor dapat memberikan informasi sederhana sesuai dengan formulir dibawah ini:

Data Informasi Konflik Harimau dari Masyarakat

Tanggal laporan ini dibuat : ................................

Tanggal diketahui konflik (pertama kali konflik diketahui: ................................

Deskripsi singkat mengenai situasi konflik:

..................................................................................................................................................................

..................................................................................................................................................................

..................................................................................................................................................................

Lokasi Konflik:

Prov. ......................................... Kab. ............................................ Kec. ............................................

Desa ..................................................... Dusun ........................................

Tanda keberadaan harimau yang ditemukan:

1. Ditemukan jejak? ........ (Y/T)


2. Ditemukan ternak korban serangan harimau? .........(Y/T)
3. Ada korban serangan harimau terhadap manusia? ..........(Y/T)
4. Harimau terjerat? ..........(Y/T)

Keterangan lain: .......................................................................................................................................


..................................................................................................................................................................

Jika ada foto temuan, harap disimpan untuk dikonfirmasi oleh petugas yang akan melakukan
penanganan konflik.

Informasi ini dibuat sebenar-benarnya untuk dilakukan upaya penanggulangan konflik oleh petugas
BKSDA dan jajarannya.

Diketahui Dilaporkan oleh:

Kepala Desa/Dusun Pelapor

Nama: Nama:

Tanda tangan Tanda tangan

Nomor Telepon: Nomor Telepon:

Contoh formulir diatas merupakan informasi awal yang perlu disampaikan oleh
masyarakat kepada petugas penanggulangan konflik.

40 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


3. Menjalankan kegiatan pencegahan konflik
Hasil pemetaan lokasi rawan konflik setelah dilakukan analisa prioritisasi akan
memberikan arahan lokasi-lokasi mana saja yang perlu mendapatkan perhatian lebih
untuk penanggulangan konflik. Adapun beberapa metode yang sudah dikembangkan
oleh beberapa LSM dalam pencegahan konflik harimau, antara lain:
a. Mencegah konflik antara harimau dengan ternak
Insiden konflik yang paling sering terjadi adalah adalah serangan terhadap
ternak. Masyarakat memelihara ternak secara tradisional tanpa mengkandangkan
ternaknya, sehingga memberikan peluang bagi harimau untuk dapat memangsa
ternak. Permasalahan ini perlu diantisipasi dengan model pengandangan ternak yang
murah. Program seperti ini sudah banyak dilakukan ujicoba kandang ternak yang
cukup murah namun efektif mencegah serangan harimau, terutama dilaksanakan
oleh WCS yang bekerjasama dengan BKSDA Aceh. Kambing dikandangkan dengan
model kandang panggung dan dinding kandang, alas kandang dan atap kandang
dililit menggunakan kawat duri. Sedangkan sapi atau kerbau dikandangkan dengan
sistem kandang kelompok (dengan luas sekitar 15x15 m2) yang dipagar dengan
menggunakan tiang dari tanaman hidup (pohon randu cukup baik untuk dijadikan
tiang). Jarak tiang sekitar 3 meter. Bilah-bilah bambu dipasang mendatar sekeliling
kandang dengan jarak antar setiap bilah bambu (sekitar 20-30 cm) hingga ketinggian
2 meter. Kawat duri dipasang melingkari kandang pada sela antar bilah bambu.
Pengandangan dilakukan sore hari dan pada pagi hari ternak dapat dilepas untuk
dapat merumput. Keuntungan lain dari pengandangan ini adalah masyarakat dapat
memanfaatkan kotoran ternak untuk kebutuhan pupuk dan biogas.

Gambar 26. Kandang anti serangan harimau untuk ternak kambing (Foto: WCS)

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 41


b. Mencegah serangan harimau terhadap manusia.
Dalam beberapa kasus konflik terjadi serangan terhadap manusia dan dapat
menimbulkan korban jiwa, kejadian serangan ini dapat disebabkan oleh perilaku
harimau yang ganas, ataupun dapat dipacu oleh beberapa situasi. Untuk dapat
mencegah terjadinya kejadian serangan terhadap harimau, beberapa upaya
pencegahan dibawah ini dapat dijalankan.

• Pembersihan ladang dan kebun dari semak belukar. Kebun merupakan lokasi
yang sering menjadi tempat berkeliarannya satwa mangsa seperti babi hutan,
kijang maupun rusa, sehingga sangat memungkinkan keberadaan satwa mangs
tersebut mengundang adanya harimau. Kebun yang banyak terdapat semak
memudahkan harimau bersembunyi dari pandangan manusia. Kebersihan
kebun dapat meminimalisir adanya harimau di sekitar kebun. Masyarakat perlu
saling berotong-royong untuk membersihakan kebun dari semak dan belukar
secara rutin.

• Bekerja di kebun/ladang dengan berkelompok. Dalam bekerja di kebun setidaknya


bekerja secara berkelompok paling tidak 3-4 orang. Dengan berkelompok, dapat
mengurangi potensi serangan terhadap harimau karena harimau cenderung
memilih target yang tidak berkelompok.

• Berjumpa langsung dengan harimau. Harimau kadangkala secara tidak sengaja


bertemu dengan manusia, dan pada saat ini terjadi sangat disarankan tidak
melakukan tindakan yang dapat menimbulkan serangan harimau. Hal-hal yang
dapat menimbulkan serangan harimau adalah:
i. berlari,
ii. bersembunyi didalam semak
iii. melempar harimau dengan benda.

Jika hal (bertemu secara langsung dengan harimau) ini terjadi maka
disarankan untuk berjalan mundur (tidak membelakangi harimau) dan
meninggalkan barang bawaan atau pakaian sebagai alat untuk mengalihkan
perhatian harimau.

• Menggunakan topeng wajah pada bagian belakang kepala. Penggunaan topeng


ini untuk mencegah terkaman harimau. Perilaku harimau dalam menerkam
adalah dari sisi belakang korban. Dengan adanya topeng ini maka harimau
akan menganggap manusia sedang melihat ke arah harimau tersebut. Metode
ini banyak dipergunakan di India, dan belum banyak diaplikasikan di Sumatera.

c. Mencegah harimau terjerat oleh jerat pengaman kebun


Kebun atau sawah sering dipasang pagar dan jerat untuk mencegah masuknya
babi hutan. Babi hutan sebagai hama yang menurunkan produktivitas kebun/sawah.
Selain jerat, beberapa tempat di Sumatera ada yang menggunakan arus listrik untuk
memagari kebun. Metode pengamanan ladang dan sawah ini sering mengenai

42 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


harimau, oleh karena itu metode pengamanan kebun sebaiknya menggunakan
jerat dari bahan yang tidak membahayakan keselamatan harimau atau yang dapat
mengakibatkan cacat.

Gambar 27. Jerat-jerat yang ditemukan di pinggir dan dialam kawasan sebagai hasil patroli (Foto: WCS)

d. Menghentikan perburuan terhadap harimau dan satwa mangsanya


Pengiriman babi hutan dari Sumatera ke Jawa dan juga untuk konsumsi terjadi cukup
intensif. Asal babi hutan adalah dari berbagai provinsi di Pulau Sumatera. Perburuan
babi hutan terus menerus berarti terjadi penurunan kepadatan dan jumlah mangsa
harimau. Diperlukan kontrol atau pembatasan terhadap perburuan babi untuk
berbagai wilayah, terutama pada wilayah rawan terjadi KMH.
Jerat yang sering dipergunakan untuk memburu satwa mangsa juga dapat mengenai
harimau. Kejadian ini cukup sering terjadi dan mengakibatkan harimau menjadi cacat
seumur hidup. Harimau yang cacat akan cenderung memangsa target yang mudah
dimangsa (termasuk ternak).
Menghentikan perburuan terhadap mangsa harimau akan meningkatkan jumlah
satwa mangsa dan dalam jangka panjang akan mengurangi potensi terjadinya konflik
antara harimau dengan ternak. Pendampingan masyarakat untuk menangani konflik
secara benar.

Hentikan penggunaan jerat sling baja, karena dapat menyebabkan harimau


menjadi cacat seumur hidup yang menurunkan kemampuan berburunya secara
alami. Berakibat meningkatkan potensi terjadinya KMH.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 43


Gambar 28. Harimau yang terkena jerat sling baja (Foto: WCS dan SRI)

e. Pendampingan masyarakat untuk menangani konflik secara benar


Masyarakat memerlukan pendampingan dari petugas penanggulangan konflik untuk
dapat memahami dan mensikapi sebab dan akibat dari terjadinya konflik harimau.
Pada dasarnya penanganan konflik tidak dapat berjalan secara efektif dan berjangka
panjang apabila tidak diikuti dengan pemahaman masyarakat.
Proses ini tidak dapat terjadi secara instan, namun memerlukan proses yang panjang.
Kegiatan pencegahan dan penanggulangan konflik harus dilaksanakan bersama-
sama masyarakat sehingga dapat secara sedikit demi sedikit menumbuhkan
kepercayaan diri masyarakat.

i. Patroli pengecekan konflik bersama masyarakat

ii. Penghalauan harimau konflik bersama masyarakat

iii. Pemasangan kamera penjebak dan bersama-sama melakukan identifikasi


identifikasi harimau

iv. Menyiapkan dan memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat melalui


training dan kegiatan pencegahan konflik secara bersama.
Kegiatan pendampingan ini juga harus dilaksanakan dengan kehati-hatian karena
bukan tidak mungkin terdapat masyarakat yang memanfaatkan pengetahuan
mengenai lokasi-lokasi keberadaan harimau untuk melakukan perburuan.
Pemantauan dan memahami karakter masyarakat sangat penting untuk memastikan
pendampingan ini dapat bermanfaat bagi keharmonisan hidup manusia dan harimau.

44 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Bab III

PENANGANAN KONFLIK ANTARA


MANUSIA DENGAN HARIMAU
SUMATERA
Pada bab II telah disusun alur penyampaian informasi konflik dari masyarakat kepada
petugas. Informasi yang masuk dapat melalui formulir tertulis atau melalui komunikasi
telepon merupakan informasi yang perlu ditindaklanjuti. Informasi ini merupakan
dasar tim penanggulangan konflik untuk bergerak ke lapangan dan melaksanakan
tugasnya. Tim harus memiliki kejelian dalam menanggapi dan mengumpulkan
informasi lapangan untuk dapat melakukan penanganan dengan tepat.

A. Alur Informasi dan Penanganan Konflik

1. Alur penanganan konflik


Informasi awal terjadinya konflik biasanya sangat beragam dan kadang tidak cukup
jelas. Informasi bisa berupa cerita seseorang melihat harimau di pinggir kampung,
mendengar suara auman harimau, harimau masuk ke ladang, hewan ternak
dilaporkan hilang, hewan ternak diterkam dan lain-lainnya. Informasi ini tentunya
perlu diverifikasi kebenarannya untuk mengetahui apakah benar dan apakah
kasusnya sesuai dengan berita yang diterima. Jika ada laporan jejak harimau, perlu
dipastikan apakah benar jejak harimau atau satwa lain (kucing mas, beruang, macan
dahan atau anjing).
Diperlukan anggota tim SATGAS terdekat untuk memeriksa dan memastikan
kebenaran informasi. Anggota tim tersebut harus memiliki kemampuan bersosialisasi
dengan masyarakat dan bertugas untuk meredam keresahan masyarakat, sekaligus
melakukan pendataan (koordinat lokasi, mengidentifikasi jejak/bekas, mengambil
sampel serta foto dokumentasi secara akurat). Hasil pemantauan dikomunikasikan
dilaporkan kepada SATGAS Penanggulangan Konflik, untuk selanjutnya diambil
langkah penanggulangan sesuai bentuk dan skenario konflik yang terjadi.
Supaya lebih mudah dipahami, proses diatas dirangkum didalam bagan dibawah ini:

Gambar 29. Bagan proses penanggulangan KMH

46 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


2. Penjelasan alur penanganan konflik

a. Informasi konflik
Informasi Konflik yang dimaksud adalah informasi dari masyarakat yang disampaikan
melalui berbagai media informasi seperti telepon, email, sms dan/atau aplikasi-
aplikasi pengiriman pesan dan gambar lainnya.
Di masa teknologi dan internet yang sudah menjangkau hampir seluruh wilayah
Sumatera, informasi konflik sangat mudah disampaikan kepada para pihak yang
berwenang. Masyarakat umum tidak selalu memahami bagan ini, sehingga diperlukan
sosialisasi alur proses dan tahapan penanggulangan konflik.
Beberapa hal yang biasa terjadi di lapangan adalah:

• Masyarakat melaporkan adanya konflik kepada kepala desa, kepala dusun atau
polsek setempat. Ini adalah hal positif dan perlu diantisipasi oleh tim SATGAS.
Tim SATGAS perlu menyebarkan informasi kepada perangkat desa, camat,
polsek maupun koramil untuk dapat menyampaikan informasi kejadian konflik
kepada SATGAS dengan cara “menitipkan” nomor telepon SATGAS kepada
para pihak diatas. Media sosialisasi juga dapat dipertegas dengan pembuatan
poster SATGAS yang dibagikan kepada para pihak terkait.

• Dengan adanya nomor telepon “hotline” (24 jam sehari, 7 hari seminggu) yang
dipergunakan sebagai sarana masuknya informasi maka tim SATGAS perlu
memiliki satu sistem untuk memantau dan pendataan informasi yang masuk.

• Forum HarimauKita (FHK) dalam hal ini sebagai forum yang yang membantu
mengkomunikasikan berbagai inisiatif konservasi harimau turut membantu
mengelola informasi konflik. Informasi ini disusun menjadi database konflik
secara nasional yang dipergunakan untuk dikomunikasikan dengan berbagai
pihak untuk penanganan lebih lanjut.

• Data dan informasi yang telah masuk kemudian ditindaklanjuti oleh tim SATGAS
untuk melakukan verifikasi informasi.

b. Verifikasi dan pemantauan


Dalam melakukan verifikasi dan pemantauan dapat dilakukan beberapa hal oleh tim
SATGAS sebagai berikut:

• Verifikasi dapat dimulai dengan melakukan komunikasi dengan pihak aparat


desa, Polsek atau mitra yang memiliki lokasi kerja di sekitar tempat kejadian
KMH. Komunikasi dapat menlalui telepon dan jika memungkinkan foto-foto
bukti kejadian dapat diminta untuk dikirimkan kepada SATGAS.

• Apabila tidak terdapat bukti foto, maka tidak disarankan untuk masyarakat yang
belum terlatih untuk melakukan pengecekan konflik sendiri. Tim SATGAS atau
anggota tim SATGAS terdekat yang telah terlatih dan memiliki perlengkapan
minimal dapat melakukan pengecekan dengan dibantu masyarakat.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 47


• Tim yang melakukan verifikasi wajib menyampaikan informasi hasil verifikasi
kepada SATGAS dan kepada aparat desa/aparat keamanan.

• Adakalanya informasi yang disampaikan sudah tidak baru atau tidak tepat. Jika
informasi yang diperoleh tidak tepat/negatif , maka tidak perlu ada penanganan
tambahan. Di lokasi tersebut yang diperlukan adalah sosialisasi dan
pendampingan kepada masyarakat supaya mampu menyampaikan informasi
lebih akurat (terutama untuk wilayah rawan konflik).

• Hasil verifikasi juga perlu disampaikan kepada instansi otoritas konservasi


sumber daya alam di tingkat pusat. Dalam hal ini Direktorat Konservasi
Keanekaragaman Hayati (Dit. KKH) dibawah Direktorat Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE).

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat verifikasi lapangan terhadap informasi


konflik:
i. Verifikasi lapangan harus dilakukan oleh tim yang memiliki kemampuan
mengidentifikasi konflik, mengidentifikasi tanda harimau secara akurat dan
dilakukan secepatnya setelah informasi diperoleh.

ii. Tim SATGAS membawa perlengkapan minimal penanganan konflik dan


pada saat ke lokasi minimal berjumlah 3 orang.

iii. Tim SATGAS membawa selebaran dan poster bahan sosialisasi dan
memasang poster pada kantor-kantor desa dan polsek (bila belum
terpasang).

iv. Tanda keberadaan harimau dapat mudah hilang disebabkan oleh aktifitas
manusia maupun akibat cuaca (hujan).
Proses verifikasi lapangan:
i. Berdiskusi dengan masyarakat dan aparat desa mengenai tahapan yang
akan dilakukan.

ii. Memeriksa korban secara langsung (ternak, manusia atau harimau).

iii. Memeriksa lokasi-lokasi jejak keberadaan harimau.

iv. Melakukan survei singkat pada jalur-jalur potensial yang dilalui harimau
(meskipun tidak jalur ini tidak dilaporkan oleh masyarakat)

v. Memasang kamera penjebak untuk melakukan pendataan individu


harimau konlik. Kamera penjebak dapat dipasang beberapa unit untuk
lebih memiliki peluang mendapatkan foto secara cepat.

vi. Jika terdapat bangkai satwa mangsa atau ternak, lokasi ini harus dipasang
kamera penjebak karena potensi untuk mendapatkan foto harimau akan
lebih tinggi.

vii. Jika terdapat korban manusia maka penanganan korban harus segera
dikoordinasikan dengan pihak terkait. (Dinas Kesehatan)

48 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


• Forum HarimauKita dapat membantu mengelola informasi untuk disampaikan
kepada Dit. KKH dengan cara melaporkan insiden konflik yang telah melalui
verifikasi.
• Proses verifikasi lapangan ini perlu segera dilakukan sebelum tanda dan bukti
kejadian konflik hilang disebabkan oleh faktor manusia maupun alami.

c. Penanganan awal
Informasi konflik yang valid dilanjutkan dengan tindakan penanganan awal (akan
dijelaskan di dalam poin C pada bab III). Pada intinya penanganan awal ini adalah
termasuk

a) Proses pengkondisian pada masyarakat serta mengamankan lokasi kejadian.


b) Mengambil sampel yang dapat dikoleksi, memantau data kamera penjebak.
c) Memastikan korban mendapat penanganan tepat. Manusia mendapat
penanganan dari rumah sakit atau PUSKESMAS, sedangkan ternak mendapat
penanganan dari PUSKESWAN.
d) Memastikan tidak ada pihak tertentu yang memasang racun pada hewan
mangsa.
e) Melakukan patroli di area konflik.

Penanganan awal dan penanganan lanjut dipisahkan supaya tidak terjadi saling
menunggu untuk melakukan respon. Penanganan awal tidak mewajibkan keberadaan
dokter hewan dalam tim termasuk perlengkapan-perlengkapan yang lebih lengkap.

d. Penanganan lanjut
Penangangan lanjut adalah penanganan yang dilakukan tim untuk menanggulangi
masalah yang terjadi. Penanganan lanjut sudah dapat berupa penghalauan maupun
penangkapan apabila diperlukan. Apabila konflik masuk dalam kategori tingkat resiko
sedang, maka penanganan lebih dititik-beratkan kepada penghalauan. Sedangkan
apabila konflik masuk dalam kategori tingkat resiko tinggi maka penanganan
lanjut perlu mempersiapkan diri untuk melakukan penangkapan. Informasi level
penanganan ini diperoleh oleh SATGAS sebagai hasil dari proses verifikasi informasi
dan data-data kejadian konflik sebelumnya di lokasi tersebut.
Proses penghalauan maupun penangkapan diputuskan dan oleh koordinator
SATGAS Penanggulangan Konflik. Lebih detail mengenai proses penanganan lanjut
ini dijelaskan pada bab III segmen D.

e. Penanganan paska konflik


Konflik dapat berakibat kepada penangkapan harimau. Kondisi harimau dapat
beraneka ragam mulai dari sehat, sakit, cacat, kritis maupun mati. Pada dokumen bab
IV, menyampaikan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penanganan
harimau paska konflik seperti translokasi, pelepasliaran dan euthanasia.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 49


B. Perlengkapan Tim Satuan Tugas Penanggulangan
KMH
Selain aspek sumber daya manusia, dalam pelaksanaan penanganan konflik manusia
dan satwa liar sangat diperlukan adanya perlengkapan untuk mendukung berbagai
kegiatan–kegiatan tersebut. Alat pendukung dan perlengkapan juga menyesuaikan
dengan tingkat konflik yang terjadi maupun lokasinya.
Dalam setiap tindakan penanganan KMH, perlengkapan menjadi salah satu kunci
pendukung keberhasilan kegiatan mitigasi konflik yang dilakukan. Perlengkapan
untuk melakukan penanganan awal tidak harus selengkap untuk penanganan
lanjutan, begitu juga dengan kelengkapan tim. Tim yang bertugas untuk melakukan
penanganan awal tidak harus selengkap tim yang bertujuan untuk melakukan
penanganan lanjutan. Sebagai contoh, tim penanganan awal tidak perlu membawa
perlengkapan bius, dan tidak harus disertai dokter hewan.
Perlengkapan anggota SATGAS Penanggulangan Konflik merupakan perlengkapan
yang lazim untuk digunakan dan memenuhi standar keamanan dan keselamatan di
lapangan.

1. Perlengkapan minimal penanggulangan konflik


Peralatan minimal digunakan untuk pertahanan diri dan membantu kinerja dalam
upaya mitigasi KMH. Perlengkapan ini sudah mencukupi untuk tujuan verifikasi
konflik. Adapun alat pertahanan diri dapat berupa peralatan pertahanan diri dari
harimau, meriam pengusir harimau, dsb.

a. Perlengkapan perlindungan diri


Kegiatan mitigasi konflik memiliki resiko yang tinggi, oleh karena itu,
perlengkapan perlindungan diri sangat diperlukan. Setiap personil tim yang
terlibat wajib menggunakan perlengkapan perlindungan diri minimal. Adapun
alat perlindungan minimal tersebut adalah:
• Senjata pelindung seperti parang/golok.
• Hand flare/suar, merupakan alat yang dapat mengeluarkan api. Dipergunakan
untuk melindungi diri pada saat berada di lapangan yang berpotensi bertemu
secara lengsung dengan harimau. Hand flare/suar ini harus selalu dibawa
oleh masing-masing anggota tim dan selalu dalam kondisi siap dipergunakan.
Alat ini memiliki masa kadaluarsa, sehingga harus selalu memeriksa tempo
kadaluarsa sebelum dibawa ke lapangan. Penggunaan alat ini adalah pada
saat berjumpa langsung dengan harimau terutama pada saat tergigit oleh
harimau. Petunjuk penggunaan hand flare/suar ditunjukkan dengan gambar.
• Pakaian yang dapat melindungi tubuh. Wajib menggunakan celana panjang
dan disarankan menggunakan baju lengan panjang.
• Alat penerangan (belor).
• P3K.
Tim penangguangan konflik perlu melibatkan Polisi Hutan (Polhut) yang memiliki
senjata api. Setidaknya dalam sebuah tim ada 1 orang yang membawa senjata
api.

50 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Petunjuk Penggunaan Handflare
Untuk Keperluan Pengaman Diri dari Serangan Harimau

Gambar 1 Buka plastik kemasan, dan plastik didalamnya


(dua lapis plastik)
Buka plastik kemasan, dan plastik didalamnya
(dua lapis plastik)
Untuk selanjutnya, perhatikan bagian dalam lingkaran hitam

Kondisi awal indikator pelatuk


Gambar 2
1. Simpan handflare dalam keadaan seperti ini apabila sedang
tidak digunakan.
2. Apabila kondisi relatif aman, selama merespon konflik
handflare disiapkan ditempat yang mudah dijangkau tangan
kita dalam posisi seperti ini.
3. Pada kondisi rawan, handflare lebih baik di genggam 1 tangan
dalam posisi pelatuk seperti ini dengan tangan yang lain
siap menyalakan handflare

Ingat: menyimpan handflare di dalam tas/ransel pada


kondisi rawan sangat tidak direkomendasikan.

Gambar 3
Menyalakan Handflare
B
1. Pegang lingkaran merah dan tarik keluar untuk membebaskan
indikator pelatuk (gerakan seperti membuka tutup spidol)
Gambar 3 A
2. Putar lingkaran merah (Gambar 3 B)
A hingga posisi indikator pelatuk seperti pada gambar 4.

Ingat: Apabila kondisi kembali relatif aman, posisi indikator pelatuk


Gambar 4 dikembalikan seperti pada gambar 2

3. Sebelum menyalakan, pastikan bahwa handflare di genggam


dengan cara yang benar (gambar 5).
4. Pukul bagian bawah handflare dengan kuat (menghentak) untuk
menyalakannya.
5. Apabila anda sedang dalam keadaan diserang (digigit) harimau,
arahkan api handflare ke harimau.
6. Apabila harimau terlihat, nyalakan dan pegang handflare
hingga nyala api padam (durasi 1 menit)
Gambar 5
Penggunaan Handflare
1. Handflare merupakan peralatan keamanan, setiap tim harus mempunyai
minimal handflare. Lebih baik setiap anggota tim WRU mempunyai
1 unit.
2. Setiap personil harus bisa menggunakan handflare dengan benar
3. Handflare bukan alat untuk mengusir harimau agar kembali ke hutan

Penyimpanan Handflare (saat tidak dipergunakan)


1. Simpan di tempat yang tidak terkena pasan matahari langsung
2. Jauhkan dari api
3. Jauhkan dari anak-anak dan orang tidak bertanggungjawab
4. Simpan kembali dalam keadaan indikator pelatuk seperti gambar 2
5. Tempat penyimpanan tidak lembab dan basah

Handflare diproduksi dengan berbagai tipe, setiap tipe


mungkin memiliki perbedaan cara penggunan.
Perhatikan masa kadaluarsa pada setiap unitnya
Tipe Handflare: RED MK 7 HANDFLARE
Produksi: Pains Wassex Ltd.,
High Post, Salisbury SP4 6AS
England

Wildlife Response Unit


WCS Indonesia Program 2011
by: Munawar Kholis

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 51


b. Perlengkapan pencatatan data:
• GPS dan baterai sesuai kebutuhan
• Pita ukur (meteran)
• Kamera digital dan baterai sesuai kebutuhan
• Kamera penjebak dengan jumlah paling tidak 10 unit beserta kartu memory
dan perlengkapannya.
• Peta lapangan yang mencantumkkan topografi, tutupan hutan dan fungsi
hutan untuk membaca situasi lapangan, memetakan temuan-temuan serta
memprediksi lokasi-lokasi yang menjadi jalur potensial harimau.
• Perlengkapan pengambilan sampel: pinset, sarung tangan, amplop sampel
rambut, tabung feces, kontainer ektoparasit, alkohol, metil alkohol, kertas
label, silica gel, pensil dan spidol permanen, object glass, dan kapas.

c. Sarana transportasi
Pada kegiatan penanganan konflik, transportasi sangat penting dalam
pergerakan seluruh pihak yang terlibat maupun yang terdampak KMH. Alat
transportasi juga disesuaikan dengan kondisi medan seperti transportasi darat
dengan kendaraan berpenggerak empat roda (4WD) untuk media jalan buruk,
mendaki dan sulit, untuk rawa dan sungai menggunakan perahu dan sebagainya.
Kebutuhan transportasi juga disesuaikan mengikuti strategi yang digunakan
dalam penanganan konflik. Biasanya konflik terjadi di lokasi yang sulit ditempuh
oleh kendaraan roda empat, sehingga akan lebih baik tim penanggulangan
konflik juga mempersiapkan sepeda motor trail untuk memudahkan mobilisasi.

d. Perlengkapan komunikasi dan bahan sosialisasi


Perlengkapan dan bahan sosialisasi meliputi leaflet, poster, police line,
alat komunikasi (telepon seluler) dan perlengkapan-perlengkapan untuk
menyampaikan pemahaman mengenai KMH, pencegahan dan alur
penanganannya.

2. Perlengkapan medis standar untuk penanganan awal dan lanjut


Perlengkapan medis dibutuhkan dalam setiap upaya penghalauan baik untuk
harimau maupun manusia.

• Perlengkapan ini selalu disiagakan untuk keperluan pertolongan pertama pada


keadaan (P3K) baik terhadap harimau maupun manusia.
• Perlengkapan pengobatan luka ringan hingga luka berat.
• Alat bedah minor beserta benang jahit.

3. Perlengkapan medis evakuasi untuk penanganan lanjut


Dalam melakukan upaya mitigasi konflik di lapangan, resiko terluka ringan maupun
parah dan dapat menimbulkan kematian sewaktu–waktu dapat terjadi sehingga

52 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


perlengkapan medis wajib selalu disertakan dalam setiap kegiatan mitigasi KMH.
Namun untuk lebih lanjut, penanganan medis merupakan kewenanganan dan dokter
hewan dan tim medis satwaliar lainnya atau yang berikan mandat oleh dokter hewan.
Beberapa set peralatan medis untuk penanganan harimau, termasuk senjata/alat
bius sesuai kebutuhan:

a. Ketentuan pembiusan

(1) Tindakan pembiusan dilakukan apabila satwa dalam keadaan yang agresif,
tidak dapat ditangani secara fisik dan membahayakan petugas.

(2) Tindakan pembiusan dilakukan pada saat evakuasi, pengambilan sampel,


terapi dan tindakan pembedahan.

(3) Pembiusan dilakukan apabila kondisi kesehatan harimau memungkinkan


untuk dilakukan pembiusan.

(4) Pembiusan dilakukan oleh dokter hewan atau atas supervisi dokter hewan
yang bertanggung jawab.

(5) Setiap prosedur pembiusan dicatat dalam lembar tindakan anaesthesia.

b. Peralatan pembiusan:
(1) Alat anaesthesia (pembiusan) yang berisi alar bius jarak jauh, seperangkat
alat suntik dan obat-obatan.
(2) Alat lain seperti stetoskop, termometer, endotracheal tube dan corong untuk
pemberian enema dan air dingin jika terjadi hypertermia.
(3) Peralatan tambahan seperti syringe dan kapas.
(4) Obat-obatan lain seperti multivitamin, antibiotik long-acting, analgesik,
antipyretic, obat tetes mata, obat cacing suntik, dexamethasone, antiseptik.
(5) Persiapan kondisi emergency dengan set infus dan cairan infus LR maupun
glukosa.

c. Hal-hal yang harus dilakukan selama pembiusan yaitu


• Memasangkan penutup mata harimau yang terbuat dari kain halus.
• Sesekali dilakukan pemberian obat tetes mata untuk menjaga kornea mata
harimau tidak kering.
• Secara terus menerus memonitor rate dan kedalaman sistem pernafasan.
• Tentukan cukup tidaknya kedalaman tingkat pembiusan. Kepala dirangsang
dengan menggunakan gagang kayu atau alat lain. Untuk melihat reaksi atas
rangsangan yang diberikan pada tubuh, kaki, kornea dan lidah digunakan
tangan.
• Harus ada petugas yang berpengalaman untuk mengontrol kepala harimau
atau karnivora besar yang lain.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 53


• Menghitung detak jantung dan ritme jantung dengan auskultasi.
• Pemeriksaan rongga mulut dengan melihat CRT-nya, warna membran,
kondisi gusi dan gigi.
• Pemeriksaan suhu badan.
• Pengambilan sampel darah.
• Pemeriksaan mata dan telinga.
• Pada masa depan apabila teknologi inseminasi buatan pada harimau sudah
berkembang, dapat dimungkinkan untuk melakukan pengambilan sperma
dan membangun bank sperma harimau sumatera liar untuk mensupply
kebutuhan ex-situ.

d. Obat bius yang digunakan


Obat bius yang digunakan dalam pelatihan ini adalah jenis yang sering digunakan
di lembaga konservasi dan praktek veteriner yang mudah didapat di indonesia,
antara lain:
• Ketamin HCL
Obat biasa digunakan untuk membius unggas, reptilia, herbivora, primata
dan manusia. Biasanya kombinasi ketamin dan xylazin amat baik untuk
membius jenis felidae dan karnivora seperti harimau, macan, beruang dll.
Dosis ketamin yang digunakan bervariasi dari 5-10 mg/kg. Nama dagang
ketamin yaitu Vetalar, Ketalar, Ketaset, Anesject dll
• Xylazine HCL
Jika obat ini dipakai sendiri tanpa atau dengan kombinasi bisa digunakan
untuk membius ruminansia, karnivora, equine (kuda) dan mamalia lainnya.
Dosis xylazine yang digunakan untuk jenis herbivora yaitu bervariasi antara
0,5-2 mg/kg. Nama dagang xylazine yaitu Rompun, Xylazil, Seractal
• Zolazepam dan Tiletamine
Zolazepam dan Tiletamine sangat umum digunakan pada karnivora, primata
dan mamalia, serta digunakan pada ruminansia, burung dan reptilia. Dosis
yang digunakan berkisar antara 3-5 mg/kg. Nama dagang yang tersedia
Zoletil dan Telazol .
• Detomidine
Detomidine lebih poten dari pada xylazine (10-100 kali) dengan durasi
pengaruh terhadap satwa 2 kali lebih lama. Detomidine jika digunakan sendiri
tanpa kombinasi efeknya bagus jika dipakai untuk pembiusan pada kuda,
apabila dikombinasikan dengan ketamin bisa digunakan untuk pembiusan
pada herbivora liar. Dosis yang direkomendasikan rata-rata 0,02 mg/kg.
• Medetomidine
Medetomidine duapuluh kali lebih paten dibandingkan xylazine. Sering
digunakan pada anjing dan jenis felidae. Dosis yang digunakan berkisar

54 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


0,03 – 0,06 mg/kg. Penggunaannya dikombinasi dengan ketamin. Ketamin
yang diperlukan untuk kombinasi ini sangat rendah yaitu 1,5-2 mg/kg. Nama
dagang Medetomidine yaitu Domitor.
• Diazepam
Diazepam digunakan sebagai sedasi dan sebagai musculo-relaxan serta
anti-konvulsi karena pembiusan. Nama dagang yang tersedia yaitu Valium
(Roche), Pax (Labhetica), Scriptopan (Propan generics) dll. Dosis yang
digunakan berkisar 0,5-10 mg/kg.
• Doxapram (Dopram)
Antagonis sedative dan tranquilizer, digunakan untuk anti depresi pernafasan
karena efek cyclohexamine dan efek sedasi xylazine. Dosis yang digunakan
0,5-2 mg/kg secara intravena. Dosis bisa diulang setelah 15 sampai 20 menit.
• Yohimbine
Yohimbine digunakan sebagai antagonis penggunaan xylazine dan juga
sebagai antagonis dari efek depresi sistem syaraf pusat karena penggunaan
barbiturate, ketamine dan benzodazepine. Dosis yang direkomendasikan
0,125-0,25 mg/kg secara intravena yang harus diberikan secara perlahan-
lahan.
• Atipamizole (antisedan)
Digunakan sebagai antagonis dari pengaruh efek medetomidine, detomidine
dan xylazine. Antisedan disuntikkan secara intra-muscular atau bisa
diberikan setengah dosis intra-muscular dan setengah dosis intra-vena.
Dosis yang digunakan 1 mg/ 8-10 mg dari xylazine, 4-6 mg/mg detomidine
atau medetomidine.
• Atropine Sulfate
Atropine Sulfate digunakan sebagai pre-anestesi karena dapat mencegah dan
mengurangi sekresi dari saluran pernafasan. Dosis yang direkomendasikan
0,045 mg/kg.
• Midazolam HCL
Midazolam digunakan sebagai terapi jika ada kejang-kejang pada waktu
pembiusan. Dosis yang digunakan 0,03 mg/kg. Nama dagang midazolam
yaitu Versed (Roche).
Dosis ditentukan dengan cara estimasi berat badan dan kondisi satwa waktu
dibius.

4. Perlengkapan tambahan
Dalam penghalauan terdapat beberapa peralatan tambahan guna mendukung
perlengkapan utama. Adapun perlengkapan tambahan tersebut menyesuaikan
kondisi saat penghalauan seperti apabila malam membutuhkan senter penerangan
dsb. Perlengkapan ini tidak harus selalu dibawa pada saat penanganan konflik
namun hanya disediakan apabila diperlukan.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 55


Perlengkapan kandang tangkap dan kandang transport
Kandang perangkap dari besi harus tersedia pada masing-masing UPT Direktorat
Jenderal KSDAE, baik Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam
maupun Balai Besar/Balai Taman Nasional. Sedangkan perangkap dari kayu
dibuat saat dibutuhkan di lapangan. Penangkapan harimau adalah wewenang
dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Unit Pelaksana Teknis
(UPT) terkait dibawahnya. Rancangan kandang jebakan seperti pada berikut:

Gambar 30. Desain kandang perangkap harimau sederhana beserta dengan prinsip kerjanya.

56 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Kandang transport dibutuhkan saat memindahkan harimau dari satu lokasi ke
lokasi lainnya, dengan memindahkan terlebih dahulu harimau dari perangkap ke
kandang transport. Hal ini untuk memudahkan pengangkutan dan mengurangi
resiko harimau terluka. Alat transportasi juga menyesuaikan medan, namun perlu
mempertimbangkan aspek keselamatan baik untuk tim yang terlibat maupun untuk
harimau yang diangkut.

Kandang transport perlu dilengkapi dengan kain lebar (yang dapat mengelilingi
kandang) yang dipergunakan untuk menutup kandang setelah harimau berada
didalamnya. Tujuan dari penutupan kandang dengan menggunakan kain ini
untuk mengurangi stress harimau akibat kerumunan massa.

C. Penanganan Awal
Tim penanganan awal yang terdiri dari tim yang lebih memiliki kemampuan untuk
melakukan survei cepat dan juga memilki pemahaman biologi dan ekologi harimau
segera ditutunkan. Sebelum tim tersebut sampai, kegiatan koordinasi dengan
perangkat desa dan juga dengan MUSPIKA dapat dilakukan oleh tim verifikasi.
Dalam melakukan penanganan awal ini, beberapa hal dapat dilakukan antara lain:

1. Penanganan terhadap masyarakat


Sebagaimana dijelaskan dalam prinsip penanggulangan konflik bahwa
manusia dan harimau adalah sama penting, maka penanganan tidak dapat
menitikberatkan kepada salah satu kepentingan.
• Pendataan kerugian
Kerugian akibat serangan harimau terhadap ternak perlu didokumentasi dan
diverifikasi. Verifikasi terhadap ternak-ternak korban konflik harus dilakukan
sebagai langkah antisipasi adanya unsur ketidakakuratan informasi dalam
melaporkan kejadian kematian ternak yang sebenarnya bukan akibat serangan
harimau.
• Mekanisme kompensasi telah disebutkan didalam dokumen Permenhut
Nomor P.48/2008 sebagai berikut:
a. Kompensasi diatur sesuai dengan pasal-pasal yang terdapat dalam
pedoman penanggulangan konflik manusia-satwa liar.
b. Pemberian kompensasi diberikan setelah dilakukan verifikasi oleh tim
penanggulangan konflik untuk membuktikan keabsahan kejadian tersebut
merupakan akibat dari konflik dengan harimau sumatera dan disetujui oleh
Ketua SATGAS penanggulangan konflik.
c. Kejadian-kejadian yang mendapatkan kompensasi adalah:
c.1. Korban luka/meninggal akibat serangan harimau sumatera di dalam
kawasan konservasi/kawasan hutan lainnya dengan aktivitas yang
legal diberikan santunan pengobatan/pemakaman.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 57


c.2. Korban luka/meninggal akibat serangan harimau di perkebunan,
perladangan, pemukiman mendapatkan santunan biaya pengobatan/
pemakaman.
• Sosialisasi:
Jika setelah informasi diterima serta setelah dilakukan pemantauan,
menunjukkan bahwa lokasi terjadinya konflik berada jauh di bagian dalam
hutan, maka bentuk solusi yang ditawarkan dapat berupa ajakan kepada
masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas yang terlalu jauh ke dalam
hutan. Jika memang harus melakukan kegiatan jauh ke dalam hutan, maka
sebaiknya:
a. Melengkapi diri dengan kemampuan mengetahui tanda-tanda kehadiran
harimau.
b. Menghindari waktu dan daerah aktivitas harimau, tidak beraktivitas di dalam
dan pinggir hutan setelah lewat senja.
c. Melengkapi diri dengan alat pengusir harimau
d. Berjalan dan bekerja secara berombongan.
• Kegiatan berkebun di sekitar lokasi konflik diusahakan dilakukan secara
berkelompok. Dalam situasi berkelompok maka akan mengurangi resiko
terjadi serangan terhadap manusia.

2. Melakukan pemantauan dan pengambilan sampel


a. Kamera penjebak. Pemasangan kamera penjebak untuk melakukan identifikasi
individu harimau konflik, hal ini harus dilakukan untuk mengetahui apabila terjadi
pengulangan konflik di masa mendatang atau apakah harimau ini sebelumnya
pernah terlibat dalam konflik yang sama. Kamera penjebak dapat memberikan
berbagai informasi yang dibutuhkan untuk penanggulangan konflik, seperti
pengenalan individu harimau yang terlibat apakah satu individu atau lebih, jenis
kelamin, perkiraan umur, apakah kondisi harimau terluka, cedera, sakit, mal-
nutrisi atau kurus. Foto yang dihasilkan juga dapat dijadikan pembanding apabila
dilakukan penangkapan, sehingga tidak menangkap harimau lain yang tidak
terlibat konflik. Penempatan kamera penjebak harus diupayakan semaksimal
mungkin untuk bisa memotret satwa yang menyebabkan konflik. Penentuan
lokasi pemasangan kamera penjebak dilakukan oleh anggota tim yang mampu
memprediksi lokasi yang didatangi harimau dan juga hasil informasi wawancara
dari masyarakat. Data kamera penjebak perlu diambil setiap hari atau 2 hari
sekali untuk mengetahui keberadaan harimau konflik dan kondisi harimau
tersebut (apakah sakit, sehat, beranak atau hal-hal lain yang dapat terekam di
dalam kamera penjebak)

b. Pengambilan sampel genetik. Di lokasi konflik sangat memungkinkan


menemukan sampel kotoran harimau, sampel rambut harimau atau sampel-
sampel lain. Tim awal perlu mengambil dan menyimpan sampel secara benar.

c. Pendataan jumlah korban ternak ataupun jenis-jenis korban lainnya, diperlukan


pengecekan jumlah korban untuk memastikan kebenaran informasi awal. Tim

58 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


juga melakukan pencatatatan kronologis kejadian berdasar dari beberapa orang
yang mengalami atau menyaksikan kejadian konflik tersebut.

3. Pengamanan lokasi kejadian konflik dari gangguan akibat aktivitas


masyarakat
Saat terjadi konflik, keselamatan manusia dan harimau adalah yang utama sehingga
untuk meminimalkan terjadinya korban di kedua belah pihak. Adapun beberapa
pengamanan yang dilakukan antara lain:

Pengamanan untuk manusia:


• Memberikan pendampingan dan pengawasan terhadap masyarakat di dalam
maupun sekitar radius konflik
• Berkoordinasi dengan berbagai pihak yang dapat berkontribusi seperti tokoh
masyarakat, perangkat desa dan aparat keamanan.
• Mengamankan harta (ternak atau peliharaan) dari kemungkinan diserang oleh
harimau.
• Mengamankan kawasan pemukiman dan aktivitas manusia lainnya dari
kemungkinan serangan harimau.
• Mensiagakan sarana dan prasarana penanganan konflik
• Memberikan sosialisasi dan himbauan yang kuat selain lisan juga berupa
pemasangan peralatan sosialisasi seperti papan informasi, poster dan
sebagainya.
• Membatasi pergerakan manusia terutama di dalam radius kawasan konflik

Untuk harimau:
• Melakukan pengawasan dan pendeteksian pergerakan harimau secara rutin.
• Menyusun strategi yang tepat: pemantauan, penghalauan dan penangkapan.

4. Pengamanan dan penanganan masyarakat korban akibat konflik


Apabila konflik menimbulkan korban jiwa maupun luka, perlu strategi penanganan
agar masyarakat dan para pihak lain tidak mengambil keputusan tergesa-gesa
seperti menembak mati harimau. Pengamanan dan penanganan masyarakat korban
akibat konflik memerlukan peran dari banyak pihak. Adapun beberapa tindakan yang
perlu dilakukan dalam hal tersebut antara lain:

• Pengamanan dan penanganan korban baik meninggal maupun luka, juga


merupakan bagian dari skema kompensasi.
• Penenangan keluarga korban
• Pengamanan dan penanganan massa
• Tetap melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap masyarakat di
dalam maupun sekitar radius konflik selama konflik masih dan berpotensi terjadi.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 59


5. Pengamanan barang dan alat bukti, (jejak, kotoran rambut, jerat, foto,
korban, dan lain-lain)
Penanganan Satwa Mati
Bangkai harimau dan bagian-bagian tubuhnya paska tindakan mematikan (eutanasia)
ataupun harimau mati akibat konflik, apabila masih memungkinkan untuk sementara
diamankan dengan tindakan pengawetan di Balai Besar/Balai Konservasi Sumber
Daya Alam atau Balai Besar/Balai Taman Nasional sambil menunggu pengaturan
lebih lanjut dari Direktorat Jenderal KSDAE.
Apabila terjadi pelanggaran hukum dalam respon terhadap harimau bermasalah,
harus ditindaklanjuti dengan proses hukum sesuai dengan peraturan dan ketentuan
hukum yang berlaku.
Selanjutnya dibuat Berita Acara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

D. Penanganan Lanjut
Penanganan lanjut merupakan hasil rekomendasi dan pertimbangan dari
perkembangan situasi konflik. Untuk mendapatkan informasi situasi konflik, maka
diperlukan adanya tim yang berda di lokasi dan aktif melakukan pemantauan
pergerakan terbaru harimau konflik. Penanganan lanjut didasarkan pada analisis
tingkat resiko konflik sebagaimana kriteria-kriterianya telah dijelaskan pada bab II.

Tindakan terhadap
Keterangan
Harimau Manusia
• Tidak ada tindakan Edukasi
Konflik resiko rendah
• Pemantauan/patroli

• Pemantauan/patroli • Edukasi
• Penghalauan • Pengamanan manusia
Konflik resiko menengah dan ternak
• Rescue
• Translokasi

• Rescue • Edukasi
• Translokasi • Pengamanan manusia
Konflik resiko tinggi dan ternak
• Eutanasia
• Kompensasi

1. Pemantauan dan Penghalauan harimau


Sebelum melakukan penghalauan sesuai keputusan tim pemantau, maka perlu
disiapkan sarana, prasarana dan logistik serta melibatkan tim ahli. Jika ada, perlu
juga melibatkan pengetahuan tradisional atau tokoh masyarakat seperti pawang

60 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


yang telah diakui masyarakat setempat. Tim harus mempunyai keahlian terkait tata
cara penghalauan, mengajak dan mengerahkan peran serta masyarakat, serta
mampu memahami apabila harimau yang terlibat konflik menunjukkan perubahan
perilaku. Target utama dalam penanganan konflik adalah penghindaran interaksi
negatif antara manusia itu sendiri maupun hewan peliharaan dengan harimau.
Pada beberapa kasus, harimau terkadang memasuki kawasan aktivitas manusia.
Keberadaan harimau ini meskipun tidak menumbulkan kerugian secara nyata,
sudah meresahkan masyarakat. Namun tidak semua masyarakat resah dengan
keberadaan harimau, beberapa kelompok mayarakat yang dalam kesehariannya
telah memahami “co-existence” atau hidup berdampingan antara manusia dan
harimau tidak menganggap keberadaan harimau akan menimbulkan ancaman bagi
mereka.

Kegiatan penghalauan dilakukan sekaligus dengan observasi terhadap harimau,


untuk mengetahui apakah penghalauan sudah cukup atau perlu dilakukan upaya
lanjutan. Keputusan apakah tindakan penghalauan yang dilakukan sudah cukup
atau belum, semuanya ditentukan oleh kondisi di lapangan dan hasil observasi.

Dalam penghalauan harimau, tim tidak akan dapat mengetahui keberadaan


harimau secara pasti, penghalauan ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai metode
komunikasi kepada harimau wilayah-wilayah yang dihuni dan ditempati manusia.

Beberapa peralatan yang dibutuhkan terkait hal ini antara lain adalah:

• Meriam suara, mercon,


• Teropong/binokular infra-merah,
• Peta topografi kawasan hutan,
• Alat navigasi kompas, serta GPS.
• Hand flare
• Handy talkie

Persiapan melakukan penghalauan terhadap harimau.

1. Pastikan bahwa terdapat koridor/jalur satwa yang dapat digunakan harimau untuk
melintas. Koridor atau jalur satwa merupakan penghubung atau jalur lintasan
yang paling diperlukan selama penghalauan. Pemilihan jalur juga harus didasari
oleh arah koridor/jalur satwa tersebut yang menuju ke kantong habitat/hutan/
kawasan yang memang dihuni harimau yang minim aktifitas manusia. Selain itu
sepanjang koridor/jalur satwa yang digunakan untuk penghalauan diupayakan
minim dari kehadiran manusia sehingga diupayakan untuk mengosongkan
jalur tersebut agar tidak terjadi serangan maupun harimau yang takut/enggan
melintas jalur tersebut. Pada kawasan yang rawan dan memiliki potensi konflik
yang tinggi, penilaian terhadap koridor jalur satwa mutlak perlu dilakukan untuk
langkah antisipasi.

2. Memastikan bahwa lintasan yang digunakan untuk penghalauan telah aman


dari aktifitas manusia. Keberadaan manusia akan menimbulkan kerawanan atau
korban dikeduabelah pihak. Oleh karena itu, lintasan penghalauan diupayakan

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 61


harus aman dari aktivitas manusia guna menghindari jatuhnya korban dan
meyakinkan harimau untuk melintas tanpa gangguan.

3. Pastikan terdapat kantong habitat harimau yang minim aktifitas manusia.


Harimau merupakan satwa teritorial yang memiliki daya jelajah luas. Kawasan
hutan atau habitat lainnya yang tidak terdapat atau minim aktifitas manusia dinilai
cocok untuk kantong habitat satwa ini. Selain itu daya dukung yaitu ketersediaan
pakan, air, dan tempat berlindung merupakan komponen utama yang perlu ada.
Kemudian, daya tampung yaitu keberadaan kompetitor seperti harimau lain
maupun karnivora besar lainnya juga menjadi perhatian dimana kemungkinan
harimau pendatang akan diusir didalam kantong habitat tersebut oleh harimau
atau karnivora besar lain penghuni asli kantong habitat tersebut atau sebaliknya
sehingga memungkinkan konflik lanjutan.

4. Menghubungi pihak berwenang dengan memberikan informasi terkait harimau


dan jalur lintasan satwa mupun kantong habitat satwa tersebut. Harimau dapat
menyebabkan ancaman keselamatan manusia maupun ternak selain itu satwa
ini dilindungi undang–undang. Oleh karena itu, pelibatan pihak yang berwenang
mutlak diperlukan. Selain itu, dalam upaya penghalauan diperlukan dukungan
dari berbagai pihak baik keamanan maupun medis.

5. Membentuk dengan cepat tim penghalauan yang terdiri dari berbagai pihak.
Penghalauan harimau merupakan tindakan yang rawan dan memerlukan
pengetahuan dan pengalaman individual yang baik. Keterlibatan orang yang
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik mengenai upaya penghalauan
harimau menjadi urgen dalam sebuah tim penghalauan. Selain itu, beberapa
orang yang memiliki kemampuan pendukung seperti medis dan penggunaan
peralatan maupun komunikasi yang baik dapat menunjang kesuksesan upaya
penghalauan.

6. Mensiagakan peralatan perlindungan diri. Harimau merupakan satwa yang


dibekali kemampuan membunuh satwa lain di alam. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran apabila dia bertemu manusia yang secara alami manusia
cenderung kalah kemampuan. Oleh karena itu, persiapan diri saat melakukan
penghalauan sangatlah diperlukan. Alat yang dipergunakan untuk perlindungan
diri adalah hand flare (suar). Suar ini adalah semacam kembang api yang dapat
memancarkan panas, cahaya dan asap. Setiap personel yang melakukan
pengecekan konflik, penghalauan maupun penangkapan wajib membawa
hanflare/suar ini. Pada prinsipnya suar dipergunakan apabila kita bertemu atau
diserang harimau. Suar dinyalakan dengan cara menarik tuas atau memukulkan
bagian dasar tuas dengan tangan. Api, panas dan asap yang muncul akan
membuat harimau pergi. Suar ini terbukti dapat menyelamatkan seseorang
dari harimau meskipun sudah dalam kondisi diserang. Supaya dapat cepat
menyalakan suar, maka suar harus ditempatkan di saku pakaian (jangan
disimpan di dalam tas). Tatacara penggunaan suar sudah dijelaskan pada bab
III poin B.2.

Lakukan pemberitahuan kepada semua orang disepanjang jalur penghalauan


agar waspada dan segera menjauh dari jalur tersebut. Sebelum melakukan
penghalauan diharapkan melakukan pemberitahuan kepada semua orang

62 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


disepanjang jalur penghalauan sehingga dapat meminimalkan dampak negatif
penghalauan.

7. Penghalauan dilakukan secara termonitor.

8. Pemantauan terhadap aktifitas penghalauan menjadi penting dilakukan untuk


memantau pergerakan harimau maupun perkembangan dari keberhasilan
aktifitas penghalauan. Upaya penghalauan perlu memperhatikan dari
keselamatan kedua belah pihak baik harimau maupun manusia. Oleh karena
itu tindakan ini memerlukan beberapa rangkaian prosedur yang intinya adalah
guna penghindaran jatuhnya korban dikedua belah pihak sehingga memerlukan
persiapan yang matang.
Contoh skenario penghalauan harimau

a) Pastikan perkiraan lokasi terakhir keberadaan harimau pada peta dengan


mempertimbangkan arah penghalauan dan desa-desa di sekitar lokasi. Untuk
dapat mengetahui lokasi perkiraan keberadaan harimau adalah dengan
melakukan survei cepat pada pinggiran hutan dan desa untuk menemukan
tanda-tanda keberadaan harimau.

b) Untuk memonitor apakah harimau ini merespon suara meriam, lokasi-lokasi


yang menjadi jalur utama harimau sebaiknya dipasang kamera penjebak terlebih
dahulu.

c) Jika lokasi telah ditentukan, dilakukan penyusunan rencana penempatan meriam


suara (warna merah) pada beberapa titik.

d) Waktu aktif harimau adalah pada sore hari, sehingga kegiatan penghalauan
akan efektif dilakukan pada sore hari hingga malam hari.

e) Meriam suara dibunyikan secara berurutan dari gambar bagian atas ke bawah
setiap 1 jam. Bunyi meriam pertama disusul dengan meriam kedua diusahakan
tidak bersamaan dan tidak terlalu lama. Estimasi waktu membunyikan antara
meriam pertama dan kedua kurang lebih 5-10 menit.

f) Dengan pemahaman perilaku harimau bahwa individu harimau akan berada di


wilayah pemukiman secara temporer dan akan terus bergerak dalam mencari
wilayah teritori atau mencari mangsa. Maka penghalauan ini akan efektif
dilakukan selama kurang lebih 10 hari. Waktu 10 hari dimaksudkan untuk

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 63


memberikan kesempatan kepada harimau yang masih akan kembali mendatangi
mangsa untuk menghabiskannya.

g) Pada setiap siang hari, tim melakukan survei kecil untuk melihat apakah
menemukan adanya tanda-tanda keberadaan harimau yang masih baru. Jika
masih ada, maka kegiatan penghalauan ini dapat diperpanjang.

2. Penangkapan untuk translokasi


Uraian berikut merupakan serangkaian daftar yang dapat digunakan untuk
melakukan pendekatan dalam menilai apakah seekor harimau yang berkonflik perlu
ditangkap atau tidak, serta apa yang harus dilakukan jika harimau tersebut telah
ditangkap.

1. Tipe konflik
a. Harimau telah menyerang manusia. Lakukan analisis lebih lanjut tentang
penyebab harimau menyerang manusia lihat nomor 3
[Khusus untuk serangan yang telah lebih dari 1 kali oleh individu yang sama,
atau harimau menyerang manusia diikuti dengan pemangsaan, maka harimau
sebaiknya ditangkap]
b. Harimau memangsa hewan ternak. Seringkali hewan ternak yang diterkam
adalah yang digembalakan di pinggir hutan, karenanya perlu pencegahan
agar tidak berulang kejadian yang sama di masa datang lihat nomor 2

2. Frekuensi Konflik
a. Harimau yang sama telah menyerang atau membunuh lebih dari satu orang
pada kejadian yang berbeda. Harimau ini sebaiknya segera ditangkap untuk
menghindari terjadinya serangan terhadap orang lain di masa datang
lihat nomor 2b
b. Harimau telah menyerang satu atau lebih manusia dalam satu kejadian tunggal.
Sebelum menentukan tindakan apa yang akan dilakukan, lakukan analisis
lebih lanjut mengapa harimau menyerang manusia lihat nomor 3
c. Harimau membunuh hewan peliharaan dalam satu kejadian. Kecuali ada bukti
nyata bahwa harimau tersebut cedera atau sakit, pada kondisi ini tindakan yang
diperlukan adalah pemantauan (observasi). Penangkapan hanya diperlukan
jika kondisi bertambah parah. Jika diperlukan, bisa dilakukan penghalauan
saja.
d. Harimau berulang kali membunuh hewan peliharaan selama periode waktu
yang lama lihat nomor 4

3. Penyebab terjadinya serangan terhadap manusia dan ternak


a. Jika seseorang diserang oleh harimau, cobalah untuk membedakan apakah
itu merupakan tindakan harimau yang mempertahankan diri (misalnya
induk melindungi anak), atau memang harimau bertujuan untuk memangsa
manusia. Pemangsaan biasanya dilakukan harimau dengan serangan secara
sembunyi dari arah belakang dan biasanya korban akan dimakan. Jika
kejadiannya seperti diatas, dapat menjadi pertimbangan untuk menangkap

64 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


harimau tersebut untuk menghindari serangan terhadap manusia lainnya di
masa datang, dengan catatan berbagai upaya pencegahan terlah dilakukan.
Harimau yang mempertahankan diri atau melindungi anak, harimau biasanya
memberitahukan keberadaannya dengan mengaum sebelum menyerang.
Serangan bisa dilakukan dari segala arah dan harimau menujukkan tanda-tanda
akan menyerang. Pada kasus seperti ini biasanya harimau tidak memakan
korbannya. Jika yang terjadi adalah serangan untuk mempertahankan diri,
maka perlu dikaji dan dianalisis lebih lanjut apa yang dipertahankannya dan
mengapa serangan tersebut terjadi. Perlu dipertimbangkan untuk membiarkan
(tidak menangkap) harimau tersebut.
4. Terhadap harimau yang memangsa hewan peliharaan, perlu dipertimbangkan
hal-hal pada bagian berikut, sebelum menentukan apakah harimau tersebut
akan dihalau atau perlu ditangkap.
a. Lokasi terjadinya konflik
i. Memasuki perkampungan merupakan tindakan yang tidak biasa bagi
harimau, dan hal ini bisa saja dipicu oleh kelaparan atau mungkin karena
harimau cedera, sakit, sehingga harimau tersebut cenderung terkesan tidak
menghindari manusia. Jika harimau yang sehat berulang kali memasuki
kampung dan memangsa hewan ternak, maka setelah dilakukan berbagai
upaya pencegahan agar tidak terjadi pemangsaan kembali, dapat juga
dipertimbangkan untuk menangkap harimau tersebut. Jika yang menyerang
adalah harimau yang cedera atau sakit, mungkin saja dapat dilakukan
penangkapan dan rehabilitasi, kemudian dilepaskan kembali ke alam.
ii. Jika konflik terjadi di bagian tengah hutan atau kawasan hutan (selain zona
tradisional dan zona pemanfaatan), maka harimau harus dibiarkan tetap
di alam dan tindakan yang perlu dilakukan adalah mengajak masyarakat
untuk tidak beraktifitas atau menggembalakan ternaknya di dalam hutan.

b. Praktek beternak hewan


Tidak perlu melakukan tindakan tertentu terhadap harimau yang menyerang
ternak, kecuali praktik pengelolaan hewan ternak masyarakat telah dilakukan
secara benar namun serangan harimau masih berlanjut.
c. Membuktikan harimau yang ditangkap adalah penyebab konflik
Metoda untuk mengidentifikasi harimau yang tertangkap dapat dengan
membandingkan foto-foto yang didapat dari kamera penjebak yang dipasang
di sekitar lokasi konflik, sampel DNA, serta kotoran harimau yang mengandung
sisa hewan ternak atau sisa tubuh manusia yang dimangsanya. Sebagai
tambahan, dapat juga diukur tapaknya, diambil sampel sisa-sisa yang ada pada
cakar/kuku, namun hal ini membutuhkan bantuan laboratorium forensik untuk
analisisnya. Terakhir, lokasi tempat penangkapan mungkin bisa menyediakan
informasi yang cukup untuk menyimpulkan apakah harimau yang tertangkap
adalah individu yang berkonflik, misalnya lokasi penangkapan sangat dekat
dengan lokasi penggembalaan atau di tengah perkampungan.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 65


d. Jenis kelamin harimau
Mengingat individu betina lebih penting untuk menjaga viabilitas populasi
dibandingkan jantan, maka lebih banyak upaya harus dilakukan untuk menjaga
betina agar tetap bisa dibiarkan di alam.
e. Umur harimau
i. Anak (umur kurang dari satu tahun). Dampak perburuan harimau sering
menyisakan individu anak tanpa induk. Hal ini berpotensi terjadinya
benturan dengan manusia. Pada harimau Siberia di Rusia, anak harimau
tanpa induk yang berumur lebih dari tujuh bulan terbukti bisa tetap bertahan
hidup di alam apabila tersedia cukup hewan mangsa, dan oleh sebab itu
anak harimau seperti itu sebaiknya dibiarkan tetap di alam.
ii. Harimau muda (umur 1 – 3 tahun). Pada usia ini, harimau memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam beradaptasi dan ditranslokasikan karena harimau
muda cenderung untuk memencar atau keluar dari daerah jelajah induknya,
karenanya mereka merupakan kandidat yang baik untuk ditranslokasikan.
Harimau-harimau muda sepertinya bukan anggota populasi untuk berbiak,
sehingga jika dipindahkan ke tempat lain dampaknya akan kecil terhadap
viabilitas populasi asalnya.
iii. Umur sedang (3-11 tahun). Harimau pada umur ini cenderung untuk
menetap, dan merupakan individu dewasa yang berbiak. Translokasi tidak
direkomendasikan karena mereka cenderung akan kembali ke tempat
asalnya, dan mungkin akan menyebabkan gangguan yang besar pada
proses reproduksi di areal pelepasliaran. Selain itu, pemindahan (translokasi/
relokasi) pada individu dewasa yang berbiak dapat memberikan pengaruh
negatif pada populasi sumber tempat dimana harimau tersebut ditangkap.
Terlebih lagi, harimau yang baru sepertinya akan mengisi lokasi yang sudah
dihuni, dan dapat menyebabkan masalah yang sama. Karenanya, kecuali
harimau tersebut cedera parah atau sakit, atau satwa tersebut memang
harus dilepaskan dilokasi tersebut, sehingga upaya yang perlu dilakukan
adalah mencegah agar pemangsaan tidak terjadi di masa datang.
iv. Harimau yang sangat tua (lebih dari 12 tahun). Pada usia ini harimau telah
mendekati masa akhir dari usia reproduktif dan mempunyai nilai yang relatif
rendah dalam viabilitas populasi. Masalah kesehatan yang terkait dengan
usia mungkin merupakan penyebab terjadinya konflik. Harimau-harimau
pada usia ini tidak direkomendasikan untuk dilepaskan kembali ke alam.

f. Kesehatan
i. Harimau cedera/cacat yang tidak bisa disembuhkan tanpa meninggalkan
kerusakan permanen akan kehilangan kemampuannya untuk menangkap
mangsa, maka dapat dipertimbangkan untuk dipindahkan atau ditangkap.
ii. Jika harimau yang cedera bisa diobati dan disembuhkan, atau jika harimau
tersebut terlalu kurus, sangat mungkin untuk merehabilitasi mereka dahulu
dan kemudian memindahkan atau melepaskannya kembali sedapat
mungkin di sekitar lokasi penangkapan.

66 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


iii. Harimau yang terdiagnosa mempunyai penyakit yang serius seperti
distemper anjing (canine distemper) sebaiknya ditangani dengan lebih
berhati-hati.

g. Apakah harimau tersebut mempunyai anak?


Pada kasus khusus jika seseorang diserang harimau, maka satu hal yang perlu
ditentukan adalah apakah harimau tersebut mempunyai anak atau tidak. Induk
harimau yang sedang mempunyai anak cenderung agresif dan melindungi
anaknya, serta kadang-kadang dapat membunuh orang yang berada terlalu
dekat. Jika induk tersebut dipindahkan, maka anaknya bisa saja mati atau
bisa menyebabkan konflik pada saat mereka mulai mengalami kelaparan.
Pemberian makanan tambahan berupa mangsa alami mungkin perlu dilakukan.
Jika harimau yang ditangkap tidak layak untuk dilepas-liarkan kembali, maka
upaya lain yang dapat dipertimbangkan adalah menangkap anaknya. Anak
yang berumur 6-7 bulan jika mulai kelaparan telah bisa menimbulkan konflik.
h. Sejarah penggunaan lahan
Wilayah dengan aktivitas pembukaan lahan dan perluasan lahan pertanian ke
dalam hutan cenderung memicu konflik. Jika memungkinkan, situasi seperti
ini perlu dihindari, namun jika terjadi pembukaan lahan secara tidak sah maka
harus ditertibkan.
i. Ketersedian mangsa
Jika kepadatan hewan mangsa menurun drastis dalam waktu yang singkat (1-2
tahun), harimau diprediksikan akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan
hewan mangsa didalam area jelajahnya. Hal ini dapat mendorong harimau
untuk memperluas wilayah jelajah dan jika mendapati pemukiman maka
dapat berpotensi memangsa hewan peliharaan yang tidak terkandangkan
atau bahkan menyerang manusia. Jika harimau yang ditangkap dalam kondisi
sehat, maka pertimbangkan untuk melakukan translokasi sebagai solusi jangka
pendek, dan melakukan upaya untuk meningkatkan kepadatan hewan mangsa
untuk menghindari masalah yang sama di masa mendatang. Meskipun data
lengkap tentang potensi keberadaan hewan mangsa yang rinci sangat jarang
tersedia, namun seorang ahli biologi lapangan mungkin dapat membantu
memberikan gambaran kasar tentang ukuran populasi relatif hewan mangsa
(tinggi, rendah, atau sangat rendah) dalam waktu yang singkat.
j. Ketersedian fasilitas penanganan (holding facilities) untuk rehabilitasi
Harimau cedera atau sakit yang tertangkap perlu diupayakan untuk
direhabilitasi dan dilepaskan kembali. Untuk itu perlu adanya satu fasilitas
untuk upaya rehabilitasi tersebut. Fasilitas tersebut tentunya harus dilengkapi
dengan sarana dan prasarana yang memadai, serta dokter hewan yang
mampu melakukan perawatan dan pemulihan kondisi harimau sehingga dapat
dilepasliarkan kembali.

k. Harimau akan dikemanakan setelah ditangkap


Pengambilan keputusan untuk menentukan apakah harimau yang tertangkap
akan dilepasliarkan kembali, ditranslokasikan, ataupun di-eutanasia, harus

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 67


melibatkan orang-orang yang berkompeten, seperti dokter hewan, ahli biologi,
serta ahli ekologi dan perilaku harimau. Pada bab IV akan dijelaskan model
dalam menentukan kemana harimau harus ditampung setelah ditangkap.
l. Teknik penangkapan
Teknik penangkapan harimau konfliktelah diatur dalam Permenhut nomor P.48/
Menhut-II/2008. Kandang penangkapan sebaiknya berbentuk perangkap box-
trap, dan dianjurkan pintu masuk berada di samping perangkap. Selain itu,
pada bagian pintu sebaiknya masih menyisakan ruang yang terbuka, sehingga
pada saat pintu menutup tidak menyebabkan terjepit/terputusnya bagian ekor.
Penggunaan perangkap boks dapat mengurangi stress pada harimau, dan
juga menghindari adanya gangguan dari masyarakat yang biasa berkerumun
di sekitar perangkap.

3. Pemantauan paska penanganan


Dengan dilakukannya penghalauan maupun penangkapan untuk upaya
penyelamatan, pemantauan tetap harus dilakukan dengan tetap menempatkan
kamera penjebak di beberapa titik dan juga dilakukan pengecekan lokasi-lokasi jalur
harimau. Tujuan dari pemantauan ini adalah untuk mengetahui hasil dari kegiatan
penanganan. Pemantauan bisa dilakukan oleh SATGAS penanggulangan konflik
maupun bersama masyarakat di lokasi konflik dan areal sekitarnya.
Durasi pemantauan ini paling tidak dilakukan selama 2 minggu setelah kegiatan
penanganan berakhir. Pemantauan diulang kembali secara berkala sebagaimana
lokasi rawan konflik wajib dipantau melalui komunikasi dengan warga masyarakat
dan parat desa.

E. Kelembagaan Penanggulangan Konflik


Pada masa saat ini, upaya penanggulangan konflik banyak terfokus kepada
upaya penanganan jika telah terjadi konflik, menjadikan isu pencegahan kurang
diimplementasikan. Untuk dapat menanggulangi secara tepat, maka isu pencegahan
harus dikembangkan sejalan dengan penanganan terhadap kejadian-kejadian yang
ada.

1. Kelembagaan penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar


Memahami bahwa konflik terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor alami (perilaku
harimau) maupun faktor non-alami (fragmentasi dan desakan terhadap habitat
oleh manusia) maka diperlukan sebuah kelembagaan penanggulangan konflik
multipihak. Sebagaimana disusun di dalam Permenhut No. P.48/2008, kelembagaan
penanganan konflik manusia dengan satwa liar terdiri dari dua struktur yang
berhubungan secara hirarki, antara lain:

1. Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar dengan tugas
pokok adalah membantu Kepala Daerah dalam mengurangi konflik manusia dan
satwa liar di kabupaten, lintas kabupaten dan provinsi. Fungsi tim koordinasi ini
antara lain:

68 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


• Mengkoordinasikan dan memfasilitasi penanganan konflik manusia-harimau
lintas propinsi dan lintas kabupaten.
• Mengkoordinasikan perencanaan kegiatan penanganan konflik manusia–
harimau termasuk penganggaran sesuai dengan kewenangan propinsi.
• Menyelaraskan/memaduserasikan kegiatan-kegiatan pembangunan daerah
dengan habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) sehingga dapat
menekan tingkat konflik.

2. Satuan tugas penanggulangan konflik manusia dan satwa liar mempunyai


tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan langkah-langkah
kegiatan operasional penanggulangan konflik satwa liar–manusia. Satuan tugas
penanggulangan konflik antara manusia dan harimau mempunyai tugas pokok
sebagai berikut:
• Menerima laporan/informasi konflik antara manusia dan satwa liar.
• Melakukan pemeriksaan ke tempat kejadian perkara (lokasi) terjadinya konflik
antara manusia dan harimau.
• Mengumpulkan informasi serta menganalisa untuk menentukan dan
melaksanakan langkah-langkah penanganan konflik antara manusia dengan
harimau baik penanganan pada tingkat masyarakat maupun penanganan
untuk harimau.
• Melakukan verifikasi dalam rangka pemberian kompensasi kepada korban
konflik sesuai peraturan perundang-undangan. Melaporkan kegiatan
penanggulangan konflik antara manusia dengan harimau yang telah
dilaksanakan.
• Melakukan monitoring paska konflik.

a. Struktur tim koordinasi penanggulangan konfik antara manusia dan satwa liar
Gubernur menetapkan Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik antara manusia
dan satwa liar dengan struktur sebagai berikut:
Ketua : Gubernur/Wakil Gubernur/Sekretaris Daerah
Wakil Ketua : Kepala Dinas Propinsi yang membidangi kehutanan
Sekretaris : Kepala Balai Besar/Kepala Balai KSDA
Anggota : Terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1. Bappeda Propinsi
2. DPRD Propinsi
3. Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam
4. Balai Besar/Balai Taman Nasional
5. Dinas Propinsi yang membidangi Kehutanan
6. Dinas Propinsi yang membidangi Perkebunan
7. Dinas Propinsi yang membidangi Pertanian
8. Dinas Propinsi yang membidangi Peternakan
9. Dinas Propinsi yang membidangi Kesehatan

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 69


10. Dinas Propinsi yang membidangi PU
11. Dinas Propinsi yang membidangi Nakertrans
12. Sektor Swasta/Dunia Usaha
13. Lembaga Swadaya Masyarakat
14. KPHP dan KPHL
Di dalam Permenhut No. P.48/2008, belum terdapat KPHP maupun KPHL di
dalam tim koordinasi penangguangan konflik. Situasi saat ini kedua institusi
tersebut memiliki peran yang vital dapat dilibatkan didalam tim koordinasi karena
kejadian konflik banyak terjadi di wilayah kelolanya.

b. Struktur Satuan Tugas (SATGAS) penanggulangan konflik antara manusia dan


satwa liar
Disamping itu Gubernur menetapkan Satuan Tugas (SATGAS) penanggulangan
konflik antara manusia dengan satwa liar, dengan struktur sebagai berikut:
Ketua : Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Wakil Ketua : Sub Dinas yang membidangi Kehutanan
Sekretaris : Kepala Bidang Teknis/Kepala Tata Usaha Balai Besar/Balai KSDA
Unit Penanganan Satwa, yang terdiri dari unsur-unsur:
a. Balai Besar/Balai KSDA
b. Balai Besar/Balai Taman Nasional
c. Dinas yang membidangi Kehutanan
d. Lembaga Swadaya Masyarakat
e. Tenaga Profesional Medis & Kesejahteraan Satwa
f. Tenaga Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Polhut
Unit Penanganan Masyarakat, yang terdiri dari unsur-unsur:
a. Dinas yang membidangi Kesehatan
b. Dinas yang membidangi Peternakan
c. Dinas yang membidangi Perkebunan
d. Dinas yang membidangi Pertanian
e. Kepolisian
Pada tahun 2017 ini, enam (6) dari delapan (8) provinsi di Pulau Sumatera telah
menerbitkan Surat Keputusan Tim Koordinasi maupun SATGAS. Keberadaan
kedua tim ini masih menemui hambatan dalam membangun koordinasi dan
kerjasama dalam penanggulangan konflik. Untuk mengoperasionalkan kedua
tim ini, diperlukan sebuah media komunikasi yang dapat mewadahi tim untuk
berdiskusi dan membangun strategi penanggulangan, terutama strategi terkait
pencegahan konflik. Direkomendasikan setidaknya dilakukan pertemuan
koordinasi 2 kali dalam 1 tahun.

70 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


2. Sumber daya manusia dan sarana pendukung penanggulangan
konflik
Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi perhatian mendasar dalam upaya mitigasi
konflik antara manusia dan harimau dimana manusia sebagai pelaku dan penggerak
utama di dalamnya. Selain itu hal ini juga berguna dalam pemantauan terhadap KMH
yang memiliki urgensi yaitu penghindaran atau meminimalkan serta penanganan
terjadinya korban diantara keduanya. Upaya ini sebagai bagian dari mitigasi konflik
manusia–harimau pada daerah rawan dan/atau terdampak konflik tersebut.
Faktor manusia menjadi utama dalam upaya mitigasi KMH. Keterlibatan berbagai
pihak diperlukan guna menjawab tantangan ini sehingga beberapa hal yang perlu
ditingkatkan dalam upaya mitigasi konflik yang berkaitan dengan aspek SDM perlu
dilakukan. Pada dasarnya, upaya mitigasi konflik yang dilakukan harus memiliki
kesama-pahaman terhadap meminimalkan korban baik manusia maupun harimau
terlebih terhadap satwa terancam punah dan dilindungi undang–undang tersebut.
Selain itu peningkatan kapasitas dan pembentukan unit khusus penanganan konflik
pada berbagai level juga menjadi isu penting dalam upaya mitigasi KMH.

a. Kompetensi tim satuan tugas penanggulangan konflik manusia dan satwa liar
Tim Satuan Tugas harus memiliki kompetensi dasar sebagai standar minimal dalam
kegiatan mitigasi KMH. Adapun kompetensi dasar tersebut antara lain:

1. Sehat jasmani dan rohani. Sebagai anggota tim mitigasi konflik utamanya harus
dalam kondisi sehat jasmani dan rohani. Hal ini dikarenakan tingkat resiko dan
potensi berbahaya lainnya selalu mengiringi dalam proses penanganan KMH.

2. Kemampuan komunikasi bahasa lokal dan nasional. Kemampuan berkomunikasi


menggunakan bahasa lokal dan nasional juga perlu dipunyai oleh anggota tim
mitigasi konflik dalam melakukan tindakan mitigasi KMH.

3. Kemampuan navigasi dasar dan penggunaan peralatan komunikasi. Di dalam


mitigasi konflik, penggunaan peralatan komunikasi untuk bertukar informasi dan
melakukan koordinasi menjadi kemampuan yang harus dimiliki oleh anggota tim
mitigasi konflik. Selain itu manajemen penggunaan dan komunikasi juga perlu.

4. Sehat fisik dan kuat mental. Sebagai anggota tim mitigasi konflik harus kuat
secara psikis dan mental dalam menghadapi tantangan sebagai bagian dari
upaya mitigasi konflik yang dilakukan. Biasanya tantangan tersebut berupa
tekanan psikis dan mental dari masyarakat, pihak lain, harimau, maupun kondisi
tempatan pada umumnya.

5. Mempunyai kemauan yang besar dalam kegiatan mitigasi konflik manusia–


harimau. Memiliki kemauan besar menjadi salah satu modal utama dalam
keterlibatan upaya mitigasi KMH. Harapannya setiap anggota tim yang terlibat
mempunyai kemauan yang besar dalam kegiatan mitigasi konflik yang dilakukan.

6. Memiliki pemahaman dasar mengenai bio-ekologi harimau sumatera. Konsep


dasar survei cepat identifikasi keberadaan harimau. Setidaknya tim bisa secara
akurat dalam melakukan identifikasi tanda-tanda keberadaan konflik. Dalam
melakukan penanggulangan konflik, diperlukan tim yang memiliki kemampuan di

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 71


lapangan dan juga mampu menjelaskan kepada masyarakat mengenai perilaku
harimau dan skenario-skenario yang terjadi pada lokasi kejadian. Tim juga perlu
mengetahui bagaimana melakukan pemasangan dan pengelolaan data kamera
penjebak untuk tujuan identifikasi individu harimau konflik.

7. Memiliki kemampuan komunikasi dan skill interpersonal. Dalam tim yang


melakukan penanganan konflik diperlukan paling tidak salah satu anggota tim
yang memiliki pemahaman dalam komunikasi dan pengendalian massa.

Guna membangun kompetensi tim yang telah dibentuk melalui Surat Keputusan
Gubernur, maka diperlukan kegiatan pelatihan dan upaya-upaya membangun
sinergi program kerja antar berbagai instansi.
Sebagai contoh, pembangunan dan pencapaian target swa sembada daging yang
diusung oleh Dinas Pertanian dan Peternakan bertujuan merangsang minat warga
untuk meningkatkan kuantitas hewan ternak, dengan tatacara beternak tradisional
(tanpa pengandangan) maka potensi konflik antara harimau dengan ternak akan
semakin meningkat. Situasi-situasi seperti ini perlu dikomunikasikan untuk dapat
saling mendukung program satu instansi dengan instansi lain.
Sumber daya dokter hewan yang tersedia untuk melakukan penanggulangan konflik
terutama untuk melakukan rescue masih terbatas jumlahnya. Jarak dan jangkauan
yang sangat jauh menyebabkan respon/rescue tidak dapat dilakukan secara
cepat. Dokter hewan di Dinas Peternakan/Pertanian setiap kabupaten merupakan
sumber daya yang dapat dikembangkan kapasitas dan keahliannya untuk memiliki
kemampuan dalam melakukan rescue terhadap satwa liar. Diperlukan kerjasama
berbagai instansi terutama Dinas Pertanian/Peternakan dengan UPT KSDA maupun
Taman Nasional untuk dapat merealisasikan skema respon konflik yang cepat.

3. Peran parapihak dalam penanggulangan KMH


Guna melakukan upaya mitigasi/pencegahan konflik, diperlukan dukungan baik
secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Keberhasilan upaya
mitigasi KMH yang dilakukan tergantung seberapa besar peranan dari berbagai
pihak tersebut. Mekanisme kolaborasi menjadi diperlukan guna menyatukan
berbagai pihak tersebut. Adapun beberapa pihak yang dapat berperan antara lain:

a. Pemerintah pusat
Yang dimaksud dengan pemerintah disini adalah pemerinth pusat. Pemerintah
merupakan pemegang kebijakan penting dalam upaya mitigasi KMH. Seluruh
pengawasan kebijakan dan peraturan dibawah otoritas pemerintah dengan
diturunkan pada masing–masing Unit Pelaksana Teknis (UPT) seperti BKSDA
dan Balai Taman Nasional. Pada dasarnya segala keputusan terhadap upaya
mitigasi konflik manusia–harimau berada dibawah kewenangan pemerintah.

b. Pemerintah daerah
Pemerintah daerah yang dimaksud adalah struktur pemerintah provinsi,
kabupaten dan SKPD memiliki keterkaitan dengan penanggulangan konflik.
SKPD yang terkait diantaranya; Dinas Pertanian dan Perkebunan dan Dinas

72 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Kesehatan. Salah satu tipe KMH yang sering terjadi adalah pemangsaan ternak
oleh harimau. Hal ini dipicu salah satunya dikarenakan sistem peternakan
masyarakat yang tidak mempergunakan kandang yang layak. Tatacara/praktek
beternak di masyarakat yang masih banyak tanpa dengan mengkandangkan
ternaknya, ternak juga dibiarkan untuk mencari hijauan pakan ternak tanpa
diawasi. tatacara beternak ini merupakan hal yang sangat umum terjadi di
masyarakat, selain karena praktis tanpa harus mencari rumput, daging yang
dihasilkan akan memiliki kandungan lemak yang rendah. Dinas Peternakan
dan Perkebunan dapat mengembangkan metode beternak secara lebih intensif
melalui sosialisasi dan program-program lainnya yang terkait. Pada tahun 2015-
2019 ini, Dinas Peternakan dan Perkebunan mentargetkan peningkatan jumlah
ternak masyarakat dengan salah satu programnya menggalakkan peternakan
tumpangsari dengan perkebunan sawit. Strategi ini perlu diperkuat dengan
langkah-langkah pencegahan konflik pada wilayah-wilayah rawan.
Khusus terkait dengan kebutuhan tenaga medis dokter hewan dalam penanganan
satwa liar, personel dokter hewan yang dapat melakukan penaganan medis
terhadap satwa liar adalah personil yang telah memiliki kemampuan yang
terakreditasi oleh PDHI dan mendapatkan persetujuan dari UPT terkait.

c. Masyarakat/Individu khusus
Komponen masyarakat merupakan bagian penting dari upaya mitigasi konflik
manusia–harimau mengingat mereka berpotensi terdampak langsung terhadap
konflik yang terjadi terutama pada kawasan potensial konflik. Masyarakat
menjadi garda terdepan dalam upaya mitigasi konflik yang dilakukan sehingga
memerlukan dukungan penuh dari pihak–pihak lainnya. Dukungan masyarakat
menjadi kunci dalam upaya konservasi harimau. Masyarakat yang dimaksudkan
adalah masyarakat luas maupun masyarakat yang bersinggungan langsung
dengan harimau sumatera. Tanpa dukungan mereka, bukan tidak mungkin
upaya konservasi harimau dapat berjalan dengan mudah. Masyarakat dapat
berperan baik secara aktif maupun pasif dalam konservasi harimau. Salah
satu wujud nyata peran masyarakat dalam upaya konservasi harimau adalah
tidak melakukan tekanan terhadap keberlangsungan hidup harimau seperti
melakukan dan terlibat dalam perburuan dan perdagangan harimau, menunjang
penyusutan habitat harimau dan lain sebagainya.
Dalam hal penangulangan konflik, masyarakat yang berada di wilayah potensi
konflik perlu mendapatkan pelatihan mengenai identifikasi tanda-tande
keberadaan harimau serta pemahaman mengenai penyebab terjadinya konflik.
Masyarakat yang mengetahui jenis-jenis tanda keberadaan harimau akan
memberikan informasi yang lebih akurat akan terjadinya konflik secara lebih dini,
sehingga upaya penanggulangan konflik dapat dilakukan dengan lebih cepat
dan tepat.

d. Sektor BUMN, BUMD dan BUMS

Tidak dapat dipungkiri keberadaan sektor privat perlu mendapatkan perhatian


khusus karena banyak kawasan habitat harimau dibawah hak pengelolaan
mereka. Sebagai pihak yang menggunakan harimau dalam kegiatannya, sektor

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 73


privat diwajibkan memiliki peranan yang kuat dalam upaya mitigasi konflik
manusia–harimau dengan dukungan sumberdaya yang mereka miliki.

e. Lembaga swadaya masyarakat


Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau juga dikenal sebagai Non-
Government Organization (NGO) merupakan bagian integral dalam upaya
mitigasi konflik manusia–harimau. Beberapa dari mereka memfokuskan diri
dalam upaya penyelamatan satwa terancam punah dengan berbagai macam
dukungan teknis seperti tenaga ahli dan pendanaan yang memadai.

f. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)


Pekembangan institusi pengelola kawasan saat ini mengenal adanya KPHL
maupun KPHP yang diberikan mandat untuk mengelola kawasan hutan lindung
maupun hutan produksi. Dengan berkembangnya struktur ini maka masing-
masing unit memiliki peran yang perlu saling dikoordinasikan melalui Tim
Koordinasi Penanggulangan Konflik yang terdapat di setiap provinsi. Konflik
hampir selalu terjadi di pinggiran hutan terutama daerah pinggiran habitat
harimau yang banyak terdapat aktifitas manusia. Kondisi hutan lindung dan
hutan produksi sudah cukup lama tidak terkelola secara intensif, sehingga konflik
di wilayah ini tidak terlaporkan dengan baik dan ditangani dengan tidak optimal.
Peran KPH tidak hanya pada mengoptimalkan sisi ekonomi dari kawasan,
namun juga perlu memperhatikan keanekaragaman hayati didalamnya dan
permasalahan konflik satwa yang terjadi.

4. Mekanisme koordinasi SATGAS penanggulangan konflik


SATGAS penanggulangan konflik telah dibentuk hampir diseluruh provinsi di
Sumatera dan tidak terbatas hanya menangani KMH saja, melainkan konflik manusia
dengan satwa liar lainnya seperti gajah sumatera dan orangutan. SATGAS yang
terdiri dari berbagai unsur ini perlu melakukan koordinasi paling tidak 2 kali dalam
setahun untuk membahas beberapa hal diantaranya namun tidak terbatas pada:

1) Update situasi konflik manusia dan satwa liar


2) Membangun strategi pencegahan dengan melakukan koordinasi dengan para
pihak lain untuk sinergisitas program dan melakukan evaluasi terhadap program-
program yang rentAn menimbulkan konflik.
3) Penganggaran penanggulangan konflik. Bahwa konflik tidak semata disebabkan
oleh satwa liar, konflik juga disebabkan oleh interaksi dan perilaku masyarakat di
sekitar kawasan, maka diperlukan strategi pencegahan dan penanganan konflik
yang dijalankan oleh SATGAS dengan sumber dana dari berbagai institusi.
4) Berkoordinasi dan meningkatkan kapasitas SATGAS yang terdiri dari berbagai
institusi untuk dapan berperan secara optimal dalam menangani situasi konflik.
5) Mengembangkan gagasan-gagasan inovatif dalam melakukan penanggiulangan
konflik berjangka panjang dan dapat diterjemahkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) maupun dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

74 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


BAB IV

PENANGANAN PASCA KONFLIK


Pada mata diklat ini diasumsikan bahwa setiap peserta pelatihan telah mengetahui
metode estimasi umur serta data harimau telah diperoleh (tipe konflik, kondisi
kesehatan, jenis kelamin). Setelah dilakukan penangkapan untuk kepentingan
rescue, masih sering terjadi kebingungan mengenai kemana harimau ini seharusnya
ditempatkan.
Apakah harimau akan langsung dilepasliarkan, masuk ke dalam proses rehabilitasi,
atau dimasukkan ke dalam sanctuary. Penanganan untuk proses pelepasliaran
langsung, rehabilitasi, dan untuk sanctuary akan sangat berbeda.
Hal-hal yang mengatur penentuan nasib harimau paska evakuasi memang belum
diatur secara tegas sehingga berpeluang menjadi sumber perdebatan. Sehingga
diperlukan sebuah mekanisme penilaian yang obyektif dalam menentukan
dikemanakan harimau-harimau tersebut.
Harimau sumatera yang dievakuasi/rescue berada dalam keadaan stress serta
kondisi kesehatan yang beragam, ada yang sehat, luka ringan hingga luka berat dan
bahkan kondisi yang kritis.
KMH dan perburuan liar masih marak terjadi di berbagai wilayah Sumatera, sejak
2007–2016 terjadi lebih dari 1000 kasus konflik. Pemerintah dalam hal ini UPT Balai
Konservasi Sumber Daya Alam maupun Taman Nasional bekerjasama dengan
berbagai NGO untuk melakukan pengamanan habitat, penanggulangan konflik,
restorasi, monitoring populasi, pengelolaan hutan penyangga, penanggulangan
perdagangan dan perburuan liar di berbagai wilayah kerjanya. Program-program
tersebut dilaksanakan dalam skala lansekap dan diarahkan untuk menurunkan
ancaman terhadap populasi dan daya dukungnya.
Sebagian harimau terjerat oleh jerat satwa lain meskipun tidak diniatkan untuk
memburu harimau seperti menjaga sawah dan kebun dari hama babi hutan. Jerat-
jerat yang dipasang masyarakat untuk berburu rusa juga sering mengenai harimau.
Jenis jerat sling mengakibatkan luka yang serius bagi harimau dan kadangkala
memerlukan tindakan medis berupa amputasi (memotong sebagian anggota tubuh)
untuk menyelamatkan hidupnya. Harimau yang cacat yang telah diselamatkan ini
tidak banyak mendapatkan kesempatan untuk kembali ke alam liar, hal ini disebabkan
kurangnya studi mengenai daya survival harimau cacat.

A. Penilaian Kelayakan Translokasi Harimau Sumatera


Mekanisme penilaian ini belum dikembangkan secara formal namun pedoman
didalam buku ini dapat digunakan sebagai awal dan diperbaiki dikemudian hari.
Penilaian ini seyogyanya diterapkan pada awal terjadinya penangkapan supaya
tidak terjadi kebingungan kemana akan menempatkan individu korban konflik ini.
Penilaian dan pengambilan keputusan yang tegas harus dilakukan di awal akan
penting untuk menghindarkan kesalahan pengelolaan, seperti harimau yang layak
dilepaskan secara langsung malah ditempatkan pada pusat rehabilitasi atau ke
kandang yang tidak memadahi. Model/desain kandang pemeliharaan dan intensitas
campur tangan manusia terhadap harimau yang akan dilepasliarkan langsung,
proses rehabilitasi, dan untuk sanctuary akan sangat berbeda.

76 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Bagan 1. Tahapan proses pengelolaan harimau konflik

Penilaian yang akan didasarkan pada parameter-parameter yakni: kondisi kesehatan,


riwayat konflik, umur dan jenis kelamin.
Parameter untuk menentukan kelayakan pelepasliaran:

1. Kondisi kesehatan. Pemeriksaan kesehatan yang dimaksud adalah untuk


tujuan memastikan harimau yang ditranslokasi ini tidak sedang dalam keadaan
mengalami penyakit yang menurunkan kondisi fisik secara umum. Pemeriksaan
kesehatan ini juga diperlukan untuk memastikan harimau yang akan ditranslokasi
ini tidak berpotensi menyebarkan penyakit-penyakit berbahaya yang dapat
mengancam kesehatan populasi alami.
2. Tipe Konflik. Harimau yang memiliki sejarah konflik menyerang manusia atau
memangsa manusia akan mendapatkan predikat sebagai “man-eater”. Dengan
predikat ini maka harimau ini dikhawatirkan dapat mengulangi kembali konflik
dengan tipe sama di lokasi lain. Oleh karena predikat ini sangat mempengaruhi
nasib harimau maka sebenarnya diperlukan informasi yang cukup untuk
dapat memberikan predikat seekor harimau sebagai man-eater. Pada saat ini
pemberian predikat man-eater masih dilakukan tanpa verifikasi ilmiah.
3. Umur harimau. seekor harimau dengan umur sekitar 2-3 tahun tidak lagi
tergantung kepada induknya. umur ini merupakan umur yang tepat untuk
translokasi karena secara alami memang sedang dalam tahap pembentukan
teritori (Goodrich et al.)
4. Jenis kelamin. Yang dimaksud infanticide adalah pejantan memangsa anak
harimau lain. Infanticide biasa dilakukan oleh harimau jantan dewasa yang
tidak dominan (non-dominan). Penjelasan kenapa terjadi infanticide ini dapat
dipahami sebagai upaya pejantan lain untuk dapat menguasai teritori dan betina
yang berada dialam wilayah teritorinya untuk tujuan keberlanjutan keturunannya.
Salah satu teori mendiskripsikan bahwa harimau betina yang dalam status
mengasuh anak, tidak akan mengalami birahi hingga masa penyapihan harimau
jantan harus menuggu hingga induk menyapih atau kehilangan anak agar dapat
mengembalikan siklus kawinnya. Dengan infanticide maka induk akan kehilangan
anak dan siklus hormonal sehingga pada tubuh induk akan berkembang menjadi
status birahi.
5. Kasus pemangsaan ternak berulang. Jika harimau terbukti dan tercatat
menimbulkan konflik secara berulang dan mengakibatkan kerugian terhadap
ternak peliharaan masyarakat. hal ini menjadi salah satu pertimbangan dan
perlu diperhatikan oleh tim translokasi terkait antisipasi pengulangan serupa di
lokasi translokasi.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 77


6. Kelengkapan alat gerak. Kelengkapan alat gerak merupakan salah satu faktor
yang perlu dipertimbangkan, harimau cacat yang kehilangan 1 kaki masih memiliki
kemampuan untuk tetap bertahan hidup, beranak dan menambah bervariasinya
genetik pada suatu populasi. Hingga saat ini berbagai lembaga konservasi di
Indonesia belum melakukan pelepasliaran harimau cacat, sehingga informasi
mengenai kemampuan bertahan hidup dan keberhasilan perkembangbiakan
harimau cacat ini tidak terdokumentasi.

B. Indikator Keberhasilan dalam Translokasi Harimau


Konflik

Harimau yang dilepasliarkan akan melewati beberapa tahap proses dan interaksi
dengan individu-individu lain di dalam populasi alami. Tahap-tahap ini diterjemahkan
menjadi indikator-indikator keberhasilan pelepasliaran.
Dalam hal translokasi indikator paling utama adalah kemampuan hidup (survival)
dan menemukan teritori. Kemampuan berkembang-biak akan dilakukan pemantauan
lanjutan yang dipisahkan dari indikator keberhasilan pelepasliaran. Selain indikator
ekologi salah satu indikator lain yang dijadikan sebagai indikator keberhasilan
pelepasliaran adalah berkurangnya konflik dengan masyarakat setelah konflik
(Goodrich & Miquelle, 2005)

1. Mampu hidup (survive)


Harimau yang di translokasi dan/atau dilepasliarkan harus dapat dipastikan dapat
hidup tanpa membutuhkan bantuan manusia selama 10-13 minggu untuk harimau
tidak cacat, tergantung relative abundance index (RAI) hewan mangsa di lokasi
pelepasan. Adapun kriteria keberhasilan kemampuan hidup harimau translokasi
berdasarkan studi dari (Priatna et al., 2012) adalah sebagai berikut:

a) Daerah yang memiliki hewan mangsa yang rendah (RAI<0.3/km2) maka harimau
akan dianggap sukses jika mampu bertahan selama sekurang-kurangnya 13
minggu

b) Daerah yang memiliki hewan mangsa sedang (0.3<RAI< 0.8/km2) maka harimau
akan dianggap sukses jika mampu bertahan selama sekurang-kurangnya 11
minggu

c) Darah yang memiliki hewan mangsa yang tinggi (RAI> 0.8/km2) maka harimau
akan dianggap sukses jika mampu bertahan selama sekurang-kurangnya 10
minggu.

78 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


Untuk harimau yang cacat maka indicator keberhasilan dikalikan 2 dengan asumsi
harimau yang cacat memiliki keterbatasan gerak dan lebih terbatas dalam memperoleh
hewan mangsa serta membangun daerah teritori. Untuk harimau yang cacat maka
translokasi dilakukan pada daerah dengan kriteria b dan c saja. Pemantauan GPS
collar akan dapat memberikan informasi untuk dilakukan ground-check terkait
kemampuan bertahan hidup harimau, terutama harimau yang mengalami kehilangan
anggota gerak. Pada periode 4 minggu paska translokasi harimau cacat diperlukan
ground-check untuk memastikan indikator survival ini.

2. Pengulangan konflik di lokasi baru


Harimau yang dapat hidup pada wilayah baru akan berinteraksi dengan populasi
alami dan berbagi ruang teritori di dalam habitatnya. Harimau yang tidak mampu
mendapatkan teritori akan terpinggirkan dan berpotensi berkonflik dengan manusia
maupun ternak. Konflik-konflik yang dilakukan oleh harimau ini penting untuk dicatat
dan ditangani sebagai feedback dalam pengelolaan harimau konflik.

3. Berkembang biak
Harimau hasil pelepasliaran akan menemukan pasangannya dan berkembang biak.
Pemantauan proses perkembangbiakan dilakukan untuk individu harimau betina
(dewasa) dengan cara secara rutin melakukan kamera penjebak di wilayah jelajah
hasil pantauan GPS collar. Memonitor perkembangbiakan ini tidak wajib karena
bisa diasumsikan harimau yang bertahan hidup dan menemukan teritorinya masih
memiliki perilaku alami dan akan berinteraksi dengan individu lain. Namun begitu,
akan sangat baik jika harimau hasil pelepasliaran dapat terpantau hingga berhasil
berkembang biak.

C. Tahapan Pengelolaan Harimau Konflik


Sebagaimana sudah dijelaskan diatas bahwa harimau konflik memerlukan tahapan-
tahapan dalam translokasi dan/atau pelepasliarannya, berikut ini dijelaskan setiap
tahapan yang perlu dijalankan.

1. Tahap verifikasi tipe konflik


Translokasi dan/atau pelepasliaran tidak diperuntukkan bagi setiap individu harimau
yang tertangkap. Sebagian individu mungkin tidak tepat untuk dilepaskan kembali.
Tipe konflik merupakan tahap pertama penyaringan, dengan memahami informasi
tipe konflik untuk menghindari terjadinya pelepasliaran yang kontraproduktif dan
malah memberikan dampak negatif terhadap populasi alami

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 79


Tabel 3. Verifikasi tipe konflik
Tipe konflik Keterangan Rekomendasi
1. Harimau tejerat oleh Harimau sering terjerat oleh jerat-jerat babi yang Dilanjutkan
perburuan dipasang untuk mencegah hama babi, atau pemburu proses penilaian
yang memasang jerat untuk rusa/kijang atau terjebak
di lokasi perburuan hewan lainnya.

2. Harimau memangsa Harimau sering terjerat oleh jerat-jerat babi yang Dilanjutkan
ternak secara dipasang untuk mencegah hama babi, atau pemburu proses penilaian
berulang yang memasang jerat untuk rusa/kijang atau terjebak
di lokasi perburuan hewan lainnya.

3. Harimau yang Harimau yang hanya melintas di sekitar pemukiman Dilanjutkan


melintas di dan dilakukan penangkapan terhadap harimau tersebut proses penilaian
perkampungan

4. Harimau menyerang Harimau dapat menyerang manusia untuk pertahanan Dilanjutkan


manusia (defensif) diri, harimau yang terjerat dapat menyerang karena proses penilaian
kesalahan penanganan atau serangan harimau yang
diakibatkan provokasi manusia

5. Harimau menyerang Harimau yang menyerang manusia dan memangsa Diarahkan untuk
manusia (ofensif) korban. Verifikasi dan visum korban diperlukan untuk ditempatkan
dan memangsa mendukung penilaian ini. pada lembaga
manusia. ex-situ

Tahap 2. Skoring kelayakan pelepasliaran


Harimau yang memiliki sejarah tipe konflik 1, 2, 3 dan 4 pada tabel 1 kemudian
dilanjutkan untuk dinilai melalui kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Penilaian umur
Umur individu erat kaitannya dengan potensi individu tersebut dalam berinteraksi
serta potensi berkembangbiak di dalam habitat barunya. Kategori umur individu
harimau didasarkan pada studi (Sunquist et al., 1999)

1. Anakan (<22 bulan)


Harimau yang terjerat pada usia yang terlalu muda (masih memiliki ketergantungan
terhadap induk) dapat berada pada dua skenario, yaitu induknya telah mati atau
induknya masih hidup, dalam hal induknya telah mati maka tidak dapat secara
langsung dilepasliarkan sehingga membutuhkan proses rehabilitasi. Sebelum
menentukan ini, diperlukan survei cepat untuk memastikan keberadaan induk.
Meskipun tidak dapat langsung ditranslokasi dan/atau dilepasliarkan, harimau
ini memiliki potensi menyebarkan genetik dalam jangka waktu yang panjang,

2. Harimau remaja (22–27.5 bulan)


Harimau remaja pada umur ini sudah tidak memiliki ketergantungan sehingga
sangat mudah untuk dapat langsung dilepasliarkan untuk dapat menemukan
wilayah teritori dan berkembang biak dalam durasi yang panjang.

80 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


3. Harimau dewasa (27.5–180 bulan)
Harimau pada umur ini berada pada puncak produktivitas dan memiliki kesiapan
untuk mudah beradaptasi dengan kondisi alam.

4. Harimau dewasa lanjut (8-10 tahun)


Durasi dalam perkembangbiakan harimau pada usia ini sudah menurun, namun
masih memiliki potensi dalam menyebarkan genetik.

5. Harimau tua (>180 bulan)


Umur tertua harimau di alam yang tercatat dalam sebuah penelitian adalah
mencapai 14 tahun, pada umur ini, harimau diprediksi hanya mampu melakukan
satu kali perkembangbiakan di alam, namun apabila dipelihara secara ex-situ
maka kemampuan hidupnya dapat diperpanjang, sehingga dapat memberikan
nilai konservasi lebih tinggi apabila ditangkarkan di sanctuary untuk kebutuhan
menghasilkan anakan dengan campur tangan manusia dengan tujuan
suplementasi individu baru dengan variasi genetik di lokasi baru.

b. Penilaian anggota gerak


Setiap kondisi harimau yang diselamatkan dari situasi konflik memiliki indikator
keberhasilan yang berbeda.

1. Harimau sehat
Adalah harimau yang secara fisik utuh, selain harimau yang memiliki kondisi
tubuh utuh atau hanya terdapat luka yang tidak serius misalkan luka di ekor atau
bagian lain yang tidak mempengaruhi kemampuan gerak harimau. Beberapa
harimau konflik mengalami kerusakan satu taring atau kehilangan satu jari
juga termasuk dalam kondisi sehat. Harimau yang sehat diharapkan dapat
ditranslokasi segera sehingga dapat berkembangbiak secara alami.

2. Amputasi kaki depan


Adalah harimau yang harus dilakukan amputasi terhadap salah satu bagian
kaki (jari atau seluruh kaki) setelah dilakukan penyelamatan. Harimau
amputasi dilepasliarkan lebih dipergunakan untuk studi, sehingga untuk dapat
mengetahui proses dan tingkat bertahan hidup serta mengetahui keberhasilan
perkembangbiakan harimau amputasi secara alami.

3. Amputasi kaki belakang


Amputasi pada salah satu kaki belakang memberikan dampak kemampuan
harimau dalam melompat. Meskipun hal ini belum diperkuat melalui sebuah
penelitian namun kondisi kehilangan kaki belakang diasumsikan signifikan
menurunkan kemampuan daya hidupnya di alam dibanding dengan kehilangan
kaki depan.

c. Penilaian jenis kelamin (sex)


Perbandingan jenis kelamin (sex-ratio) dalam home range harimau antara jantan
dan betina adalah 1:3, ratio ini dipergunakan untuk memberikan pembobotan nilai
penting pelepasliaran harimau jantan dan betina.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 81


d. Tabel tujuan translokasi

Tahap 3. Recovery, rehabilitasi persiapan lokasi

a. Persiapan translokasi dan/atau pelepasliaran


Translokasi dan/atau pelepasliaran harimau membutuhkan persiapan berbagai
aspek yang berimplikasi pada kebutuhan pembiayaan yang tinggi. Nilai konservasi
yang diharapkan dihasilkan dari pelepasliaran ini menjadi penting dalam memberikan
justifikasi urgensi pelepasliaran. Kebutuhan-kebutuhan dalam proses pelepasliaran
antara lain:

1. Pemeriksaan medis, obat dan perlengkapan medis


2. GPS collar, rangkaian pengelolaan data serta perlengkapannya.
3. Staffing (tim pengelola data, dokterhewan, tim survei dan tim mitigasi konflik)
4. Survei awal lokasi release dan pembersihan jerat
5. Fasilitas rehabilitasi dan pemeliharaan
6. Logistik dan perlengkapan mitigasi konflik
7. Logistik dan perlengkapan survei 4 minggu paska translokasi setiap tim
beranggotakan minimal 4 orang (2 tim x 30 hari).
8. Sosilasiasi dan edukasi. Desain material dan strategi komunikasi ke masyarakat
dan ke media.
9. Kandang angkut dan proses pengangkutan
10. Sarana Transportasi
11. Kamera penjebak dan logistik survei
12. Peningkatan kapasitas tim
13. Dokumentasi proses

82 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


b. Recovery (pemulihan)
Recovery adalah proses pengembalian kesehatan dengan melakukan tindakan-
tindakan medis yang diperlukan. Proses ini dipimpin oleh dokter hewan yang ditunjuk
oleh UPT terkait untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan-tindakan medis.

1. Pemeriksaan kesehatan
Untuk saat ini diperlukan screening CDV (Canine Distemper virus) dan penyakit
yanga da pada harimau lainnya juga dianggap perlu namun di Indonesia belum
dapat melakukan pemeriksaan Canine Distemper. Pemeriksaan hematologi
diperlukan untuk membangun informasi mengenai nilai standar kesehatan
harimau sumatera.

2. Tindakan penanganan medis


Dalam pemeriksaan dan tindakan medis, akan diberikan informasi mengenai
kesehatan dan prognosa kesembuhan seekor harimau serta estimasi durasi
proses penyembuhannya.

3. Pemeriksaan fisik dan penyimpanan sampel


Pengambilan sampel DNA, contoh darah dan rambut serta foto harimau bagian
kiri dan bagian kanan serta pengukuran bagian–bagian tubuh harimau.
Perlakuan penyimpaan sampel DNA dan sampel hematologi dan dilaksakan
sesuai dengan prosedur medis.
Pemeriksaan Medis Deskripsi Keterangan
Kondisi umum dan fisik Perkembangan Kondisi umum dipantau dengan
kesembuhan luka pengamatan postur, nafsu makan dan
aktivitas.

Pemeriksaan serologis Pemeriksaan Canine Pemeriksaan penyakit ini perlu


Distemper Virus (CDV), melibatkan laboratorium yang memiliki
pengambilan stok sampel kemampuan yang mencukupi. Harimau
serum. yang positif terdapat antigen CDV dalam
serumnya tidak akan dilepasliarkan
hingga dapat dikonfirmasi lebih lanjut
tingkat resikonya.

Pemeriksaan parasit Sampling dan Identifikasi Sampling dan identifikasi kutu, cacing
jenis endo dan ektoparasit. maupun telur cacing. Sampel yang
diperlukan antara lain feces, dan sampel
kutu yang ditemukan secara langsung.

Pemeriksaan Sampel darah, untuk Saampel darah untuk hematologi yang


hematologi pemeriksaan hematologi disimpan dengan anti-koagulan serta
lengkap. sampel serum yang mencukupi.

Pemeriksaan terhadap Kondisi luka amputasi Harimau yang di amputasi harus


penanganan khusus dipastikan agar kondisi luka telah
sembuh. Teknik operasi dilakukan
untuk mengantisipasi tekanan berlebih
dari tulang yang mengakibatkan luka
kembali terbuka.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 83


Hasil pemeriksaan yang menunjukkan abnormalitas akan ditindaklanjuti dengan
penanganan yang dilakukan oleh dokter hewan. Untuk mencegah terjadinya
penyebaran penyakit dari individu yang sudah terpapar berbagai jenis penyakit
hewan domestik ke populasi alam harus diantisipasi. Hingga saat ini Canine
Distemper merupakan penyakit yang perlu diwaspadai menjangkiti harimau. CDV
dapat menginfeksi beberapa jenis karnivora. Jenis-jenis penyakit yang ditemukan
pada populasi alami harimau dan nilai ambang normal hematologi diperlukan untuk
diketahui sebagai baseline yang bermanfaat untuk memantau perkembangan jenis-
jenis patogen tertentu. Beberapa penyakit lain yang ditemukan dalam pemeriksaan
darah maupun pemeriksaan lainnya dianalisa oleh dokter hewan dan dengan
bantuan laboratorium.

c. Rehabilitasi
Rehabilitasi diperlukan untuk memastikan bahwa harimau memangsa secara
mandiri dengan kandang rehabilitasi yang cukup luas (>1000 m2) yang dikelilingi
dengan pagar pengaman serta kandang pemisah untuk memudahkan penanganan
dalam masa rehabilitasi. Jika rehabilitasi dilakukan di kebun binatang, maka areal
rehabilitasi tersebut harus tertutup dari kunjungan masyarakat. Pemberian makanan
selama rehabilitasi harus disesuaikan dengan pakan alaminya dan sejauh mungkin
menghindari daging berasal dari hewan domestik seperti sapi, kambing dan ayam
(dengan asumsi adalah ketika harimau terbiasa memakan daging yang berasal dari
hewan ternak memiliki potensi yang lebih besar untuk berkonflik dengan ternak).
Selama poses rehabilitasi harus mempertimbangkan metode pemberian pakan yang
dapat berpotensi merubah perilaku harimau menjadi ketergantungan sumber pakan
dari manusia.
Untuk memberikan rekomendasi mengenai kesiapan individu harimau untuk dapat
dilepasliarakan, masa rehabilitasi ini juga dipandu dengan indikator-indikator sebagai
berikut:

a. Proporsi penggunaan waktu dapat dimonitor. Dengan melakukan monitoring


yang rutin, akan dapat diperoleh standar atau rasio penggunaan waktu oleh
harimau.
b. Kemampuan mencari dan mengejar memangsa mangsa alami yang diberikan
dalam kondisi hidup yang dilepaskan ke dalam kandang tanpa sepengetahuan
harimau.
c. Untuk harimau yang mengalami amputasi dipandang perlu dilakukan uji coba
kemampuan pemangsaan dengan tingkat kerapatan mangsa yang berbeda.
Dokumentasi video dan uji kemampuan berburu ini
d. Tidak mengalami gangguan perilaku dan kesehatan yang disebabkan oleh GPS
Collar. Pemasangan GPS collar dapat mengakibatkan beberapa individu tidak
nyaman dan dapat membahayakan keselamatan individu tersebut, sehingga
pada masa rehabilitasi sudah dilakukan pemasangan sabuk lingkar GPS collar
untuk dapat beradaptasi dan dapat terpantau.

84 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


d. Penentuan Lokasi Pelepasliaran
Lokasi pelepasliaran yang dipilih pada umumnya adalah kawasan hutan konservasi
yang memiliki kerapatan mangsa yang tinggi dan memiliki kerapatan populasi
harimau yang rendah.
Khusus utuk harimau konflik yang diputuskan dilepasliarkan di secara langsung di
lokasi penangkapan awal (tanpa proses rehabilitasi), dapat langsung dilepasliarkan
dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan berbagai pihak.
Proses penentuan lokasi release memerlukan kajian dan pengambilan data di
lapangan sebagai berikut:
a. Analisa data sebaran harimau dan kerapatan populasi serta jenis kelamin harimau
residen untuk mengetahui lokasi-lokasi potensial target untuk translokasi dan/
atau pelepasliaran.
Data-data yang diperlukan untuk melakukan analisa ini antara lain:
i. Data kepadatan populasi setiap site
ii. Data okupansi terdahulu
iii. Encounter rate satwa mangsa
iv. Data konflik yang terkini
v. Data ancaman (data patroli)
vi. Data sekunder berupa tutupan lahan, jalan akses

b. Melakukan survei lokasi potensial pelepasliaran untuk verifikasi jarak ke


pemukiman penduduk, tingkat ancaman, indikator populasi mangsa dan
pembersihan jerat serta memeriksa jalan akses menuju titik pelepasliaran.
Penentuan lokasi pelepasliaran harus sesuai dengan jenis dan kondisi individu
yang akan dilepasliarkan. Dibawah ini beberapa skenario pelepasliaran yang dapat
menjadi contoh rujukan dalam menentukan lokasi pelepasliaran:

i. Skenario 1: Jantan dan sehat


1. Terdeteksi adanya satwa mangsa
2. Tingkat perburuan satwa mangsa dan harimau rendah. Sebelum dan paska
dilakukan translokasi akan dilakukan patroli pembersihan jerat.
3. Lokasi lebih diutamakan hutan konservasi atau hutan lindung atau hutan
reklamasi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan tingkat aktifitas
illegal logging rendah.
4. Lokasi release untuk harimau yang tertangkap bukan karena konflik (tidak
tersengaja) dilakukan pada lokasi tersebut jika di daerah tersebut.
5. Untuk harimau yang terlibat konflik secara berulang terhadap ternak, lokasi
lain yang tidak banyak terdapat ternak atau praktek pengandangan ternak
sudah baik.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 85


ii. Skenario 2: Betina dan Sehat
1. Terdeteksi adanya satwa mangsa
2. Tingkat perburuan satwa mangsa dan harimau rendah. Sebelum dan paska
dilakukan translokasi akan dilakukan patroli pembersihan jerat.
3. Lokasi lebih diutamakan hutan konservasi atau hutan lindung atau hutan
reklamasi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan tingkat aktifitas
illegal logging rendah.
4. Lokasi release untuk harimau yang tertangkap bukan karena konflik (tidak
tersengaja) dilakukan pada lokasi tersebut jika di daerah tersebut tidak ada
harimau jantan lainnya.

iii. Skenario 3: Jantan dan betina dan cacat


1. Diutamakan lokasi yang memiliki kepadatan satwa mangsa tinggi (RAI satwa
mangsa >0.8).
2. Tingkat perburuan satwa mangsa dan harimau rendah. Sebelum dan paska
dilakukan translokasi akan dilakukan patroli pembersihan jerat.
3. Lokasi lebih diutamakan hutan konservasi atau hutan lindung atau hutan
hasil rehabilitasi yang memiliki tutupan hutan yang baik dan tingkat aktifitas
perburuan, pembalakan dan perambahan yang rendah.

D. Monitoring Pasca Pelepasliaran


Pemantauan terhadap indivisu harimau yang dilepaskan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam proses pelepasliaran. Monitoring pelepasliaran ini
dipusatkan pada data GPS yang diperoleh setiap 2 jam. Proses pemantauan intensif
perlu dilakukan selama 1 bulan pertama

1. Melakukan pemantauan terhadap titik-titik koordinat GPS collar dan jika perlu
dapat melakukan ground-check untuk memastikan bahwa harimau telah
melakukan pemangsaan alami paska pelepasliaran. Pada keadaan normal,
harimau melakukan pemangsaan rata-rata setiap 5-7 hari, dengan asumsi
ini maka lokasi-lokasi yang secara berulang didatangi harimau (berdasarkan
data GPS-collar) dapat dilakukan ground-check untuk memastikan terjadinya
pemangsaan alami.
2. Harimau betina dewasa diharapkan dapat berkembang-biak dalam 1-2 tahun
paska pelepasliaran, sehingga diperlukan pemasangan kamera penjebak secara
rutin (6 bulan sekali). Monitoring perkembang-biakan ini terutama diperlukan
untuk individu dewasa betina yang berumur 3 tahun keatas. Target kamera
penjebak adalah untuk mendapatkan foto individu yang mengasuh anak.
3. Memetakan koordinat GPS collar setiap hari untuk mengetahui keberadaan
harimau. Jika harimau diketahui mendekati kampung maka tim mitigasi konflik
harus segera berkoordinasi dengan kampung yang dituju individu tersebut dan
melakukan upaya-upaya pencegahan KMH.

86 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


4. Dalam kondisi harimau berkeliaran di wilayah pemukiman, tim mitigasi konflik
harus segera melakukan sosialiasi dan penghalauan. Apabila harimau
memiliki ketergantungan terhadap pemangsaan ternak, maka perlu dilakukan
penangkapan ulang terhadap harimau tersebut dan dilakukan evaluasi
pelepasliaran ini.
5. Proses sosialisasi perlu diberikan kepada masyarakat secara kontinyu mengenai
keberadaan harimau konflik yang dilepasliarkan dan hal-hal yang menyebabkan
konflik dengan harimau.

E. Pelepasliaran Langsung
Pelepasliaran langsung dilakukan jika mendapati kondisi harimau yang sehat,
tidak memiliki catatan sejarah konflik yang membahayakan manusia ataupun
ternak. Harimau yang tertangkap mungkin akan mengalami luka, jika luka ini cukup
ringan dan diprediksi dapat sembuh secara alami oleh dokter hewan, maka proses
pelepasliaran secara langsung dapat dilakukan. Proses pelepasan secara langsung
dilakukan dengan membawa harimau tersebut cukup jauh dari pemukiman namun
masih tetap berada di blok hutan tersebut.

1. Koordinasi dengan perangkat desa dan MUSPIKA. Hal ini harus dilakukan untuk
mendapatkan solusi terbaik dan saing mendukung atar beberapa pihak terkait.
2. Lokasi pelepasan jika memungkinkan dilakukan di blok hutan yang sama namun
di tempat yang jauh dari aktifitas manusia
3. Pemasangan GPS collar sangat diperlukan untuk memantau pergerakan harimau
ini
4. Perlengkapan yang diperlukan adalah kandang angkut yang dibuat dengan
desain yang ringan untuk dapat diangkat dan dibawa ke dalam hutan.
Jika harimau memerlukan perawatan sementara, pusat rehabilitasi dapat menjadi
tempat perawatan tersebut. Namun jika tidak ada pusat rehabilitasi maka diperlukan
desain kandang yang cukup besar dan portable untuk dapat dipasang di tempat yang
jauh dari pemukiman dan tim dapat memantau perkembangan kesehatannya serta
dapat melakukan treatment untuk membantu kesembuhan harimau.

F. Pusat Rehabilitasi
Harimau yang memiliki peluang pelepasliaran dan membutuhkan perawatan cukup
intensif, perlu dikirimkan ke pusat rehabilitasi harimau.
Pusat rehabilitasi dipilih karena pengelolaan harimau di pusat rehabilitasi memang
didesain untuk meminimalisir adanya interaksi manusia dengan harimau yang dapat
mempengaruhi perilaku alaminya.
Pusat rehabilitasi akan menjadi kurang berfungsi apabila menampung harimau-
harimau yang sudah terlalu jinak atau harimau yang memang tidak dapat untuk
dilepasliarkan.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 87


G. Sanctuary
Harimau yang tidak memiliki peluang untuk dilepasliarkan maka akan ditempatkan di
sanctuary. Fungsi sanctuary adalah untuk merawat harimau dengan kondisi ini untuk
tujuan konservasi, kesejahteraan satwa dan pendidikan.
Dalam kegiatan penanganan teknis, sanctuary yang memiliki tenaga dokter hewan
perlu tetap membantu proses-proses evakuasi dan rescue apabila terjadi konflik.

H. Eutanasia
Jika harimau dalam keadaan yang sangat kritis dan tidak mungkin diselamatkan,
maka opsi eutanasia dapat diambil dengan berkoordinasi dengan instansi terkait.
Rekomendasi eutanasia diberikan oleh dokter hewan untuk dipertimbangkan oleh
Kepala BKSDA dan Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik. Eutanasia tidak dapat
dilakukan secara sembarangan dan harus dikaji dengan berbagai aspek. Kajian
medis untuk mencegah terjadinya penularan penyakit yang dapat membahayakan
populasi juga dapat mengarah kepada rekomendasi eutanasia.
Berbekal rekomendasi tersebut, keputusan eutanasia dapat diambil oleh otoritas
yang berwenang (BKSDA atau instansi di tingkat pusat).

Referensi

GOODRICH, J.M. & MIQUELLE, D.G. (2005) Translocation of problem Amur tigers
Panthera tigris altaica to alleviate tiger-human conflicts. Oryx, 39, 454–457.
PRIATNA, D., YANTO SANTOSA, LILIK B. PRASETYO & AGUS P. KARTONO
(2012) Home range and movements of male translocated problem tigers in Sumatra.
Asian Journal of Conservation Biology, 1, 20–30.
SUNQUIST, M.E., K. ULLAS KARANTH & FIONA SUNQUIST (1999) Ecology,
behaviour and resilience of the tiger and its conservation needs. In Riding the tiger:
tiger conservation in human-dominated landscapes pp. 5–18. Cambridge University
Press.

88 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau


PENUTUP

Pedoman penanggulangan konflik ini merupakan dokumen hidup ditujukan untuk


memberikan penjelasan tambahan dari pedoman-pedoman sebelumnya. Bersumber
dari Permenhut Nomor P.48/menhut-II/2008 tentang pedoman penanggulangan
konflik manusia dan satwa liar, dan berdasar pada pengalaman kegiatan-kegiatan
penanggulangan konflik serta kondisi lapangan bahwa permenhut tersebut masih
perlu dimaksimalkan implementasinya serta diperbaiki apabila terdapat hal-hal yang
belum tepat.
Buku pedoman ini diharapkan dapat memberikan panduan dalam melakukan
respon konflik secara lebih ringkas karena selain menyampaikan mekanisme formal
penanggulangan konflik juga mencantumkan contoh-contoh penanganan konflik
yang sudah dilaksanakan di lapangan.
Kebutuhan akan pedoman ini cukup mendesak dikarenakan tim yang melakukan
respon konflik dapat terdiri dari berbagai unsur dan memiliki pemahaman yang
belum tentu sama dalam hal pengambilan keputusan maupun alur koordinasi dalam
penanggulangan konflik.
Dalam membangun kapasitas petugas dan personel-personel tim yang melakukan
kegiatan penanggulangan konflik, buku ini juga akan menjadi acuan dalam menyusun
bahan-bahan ajar untuk melakukan peningkatan kapasitas petugas dalam hal
penanggulangan konflik.

Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau 89

Anda mungkin juga menyukai