: 91 - 100
ISSN 1978-1873
ABSTRAK
Gajah sumatera (E. maximus sumatranus) merupakan satwa yang dilindungi dan memiliki peran penting
dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Namun, perubahan fungsi lahan pada hutan mengakibatkan
fragmentasi habitat yang akhirnya menimbulkan konflik manusia dan gajah. Tim Patroli Gajah adalah tim yang
dioperasikan untuk menangani konflik manusia dan gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
khususnya di wilayah Pemerihan. Observasi mengenai teknik ini dilakukan pada tanggal 05 Juli hingga 08
Agustus 2012, untuk mengetahui teknik mitigasi yang dilakukan oleh Tim Patroli Gajah menggunakan gajah
patroli. Metode yang digunakan adalah observasi dan wawancara untuk mengetahui daerah-daerah konflik,
faktor penyebab terjadinya konflik dan teknik pemanfaatan gajah patroli untuk penangan konflik. Data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan hasil ditemukan dua puluh titik yang digunakan sebagai akses
keluar gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) di perbatasan wilayah pemeriham. Lokasi yang paling
sering terjadi konflik adalah Desa Rejing Bawah yaitu sebanyak empat kali (50%). Selanjutnya, Desa
Pemerihan Bawah dan Way Heni masing-masing sebanyak dua kali (25%). Konflik gajah Sumatera (E.
maximus sumatranus) sering terjadi karena secara alami gajah akan keluar hutan pada periode tertentu
mengikuti wilayah home rangenya, selain itu tanaman pertanian juga menarik gajah untuk keluar mencari
sumber pakan di luar habitat alaminya. Pemanfaatan gajah patroli dalam mengatasi konflik manusia dan
gajah merupakan tindakan yang efektif baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial.
Kata kunci: gajah sumatera, tim patroli gajah, mitigasi konflik, Pemerihan
ABSTRACT
Sumatran elephants (Elephas maximus sumatranus) is a protected species and it has an important role
for maintaining the balance of the forest ecosystem. However, forest land use change causes the
fragmentation of habitat eventually inflict the conflict between human and elephant. Elephant Patrol team is
operated to handling human and elephant conflict in the TNBBS, particularly in the area of Pemerihan.
Observations about this technique had been done on July 5 to August 8, 2012, to determine the mitigation
techniques using Elephants Patrol Team. The research used observation and interviewing methods to
determine the conflict area, the conflict factor and techniques to handling the conflict. The data were analyzed
descriptively and the results founded twenty points are used as an exit access for Sumatran elephant (E.
maximus sumatranus) on the boundary Pemerihan. The most common conflict location is Rejing Bawah
village as many as four times (50%). Furthermore, Pemerihan bawah and Way Heni village each twice (25
%). Sumatran elephant (E. maximus sumatranus) conflict often occurs naturally when the elephants will go
out at a certain period following their home range territory, furthermore, the agricultural crop will also attract
the elephants as the food sources. Elephant patrol in resolving the human and elephant conflict is an
effective action both ecologically, economically and socially.
1. PENDAHULUAN
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan habitat dari mamalia yang paling terancam
di dunia yaitu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinos sumatrae) dan
gajah Sumatera (E. maximus sumatranus). Kawasan TNBBS dan satwa liarnya sangat terancam akibat
perburuan, pembalakan liar dan konversi secara ilegal hutan TNBBS menjadi areal pertanian dan
pemukiman. Perambahan telah menjadi ancaman yang sangat nyata penyebab hilangnya hutan di TNBBS.
Implikasi biologi dari kegiatan perambahan adalah satwa liar akan kehilangan habitat yang berfungsi sebagai
cover (tempat berlindung dan bersarang), penyedia pakan, serta berkembang biak. Selain itu, tanaman
pertanian yang ada disekitar daerah teritorial bagi satwa liar menyebabkan satwa liar tersebut keluar untuk
mencari sumber pakan di luar habitat alaminya. Kondisi ini seringkali menimbulkan konflik antara satwa liar
dengan manusia, terutama gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) yang memiliki wilayah jelajah yang
luas1).
Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) merupakan sub-spesies gajah Asia yang endemik Sumatera.
Spesies ini terdaftar dalam buku merah (red data book) Lembaga Internasional Pelestarian Alam International
Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status terancam punah (endangered species)2). Sementara
itu, Perjanjian Internasional Tentang Perdagangan Spesies Flora dan Fauna Terancam Punah (CITES)
mengkategorikan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) ke dalam kelompok spesies yang sangat
dilarang untuk diperdagangkan sejak tahun 19903). Satwa liar ini juga, telah dilindungi berdasarkann PP No.
7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa4). Gajah Sumatera (E. maximus
sumatranus) merupakan bagian dari suatu jaring-jaring makanan dan aliran energi dan menduduki posisi
sebagai konsumen tingkat satu (herbivora), sehingga apabila populasi gajah Sumatera (E. maximus
sumatranus) di alam berkurang maka dikhawatirkan akan terjadi gangguan jaring-jaring makanan dan aliran
energi sehingga keseimbangan ekosistempun terganggu5).
Konflik manusia dan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) sering terjadi di sekitar kawasan TNBBS
seperti salah satunya di daerah Pemerihan. Konflik ini sering terjadi diperbatasan kawasan TNBBS, karena
secara alami gajah akan keluar hutan pada periode tertentu mengikuti wilayah homerangenya. Apabila gajah
Sumatera (E. maximus sumatranus) keluar dari kawasan TNBBS dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi
tentu menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNBBS. Sehingga, diperlukan
tindakan untuk menggiring kembali gajah tersebut ke kawasan TNBBS dengan cara-cara yang tidak
mencelakai gajah Sumatera (E. maximus sumatranus). Monitoring pergerakan dan pencatatan periode atau
musim keluarnya gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) dari hutan juga perlu dilakukan, sehingga rute
pergerakan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) dan berapa lama berada pada suatu tempat dapat
diprediksikan.
Upaya penanganan konflik yang dilakukan di TNBBS adalah dengan mengoperasikan satu unit tim
patroli yang disebut Tim Patroli Gajah (Elephant Patrol Team). Tim ini menggunakan gajah binaan yang
ditugaskan untuk mitigasi konflik dan pengamanan kawasan. Elephant Patrol Team merupakan program
yang diinisiasi Balai Besar TNBBS bersama Yayasan WWF-Indonesia, didukung oleh Balai Taman Nasional
Way Kambas dan Dinas Kehutanan dan SDA Kabupaten Lampung Barat, serta Forum Komunikasi Mahout
Sumatera (Fokmas) yang membantu operasi tim ini secara teknis6). Mitigasi konflik menggunakan gajah
patroli merupakan salah satu teknik dalam mengatasi konflik manusia dan gajah sumantera (E. maximus
sumatranus). Oleh karena itu, observasi mengenai upaya mitigasi konflik manusia dan gajah Sumatera (E.
maximus sumatranus) ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan gajah patroli dalam mengatasi
konflik manusia dan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus).
2. METODE PENELITIAN
2.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Elephant Patrol Camp yang terletak di Resort Pemerian SPTN II Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) propinsi Lampung. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal
05 Juli hingga 08 Agustus 2012.
Data primer merupakan data yang diperoleh melalui observasi/penelitian lapang dengan mengikuti kegiatan
yang dilakukan oleh Elephant Patrol Team. Data primer yang diambil diantaranya yaitu data kegiatan
penanganan konflik, lokasi-lokasi terjadinya konflik dan upaya mitigasi konflik manusia dan gajah sumatera
(E. maximus sumatranus)
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui wawancara kepada mahout (pemelihara dan perawat gajah), warga Desa
Pemerian, dan studi literatur mengenai gajah sumatera (E. maximus sumatranus) dan kondisi umum
lapangan. Metode wawancara yang digunakan yaitu wawancara terstruktur untuk mahout, dan wawancara
tidak terstruktur untuk warga Desa Pemerihan guna mengetahui tingkat pengetahuan mereka mengenai gajah
Sumatera dan kegiatan Elephant Patrol Team di desa mereka. Kegiatan studi literatur yang dilakukan adalah
segala bentuk tulisan baik melalui buku maupun internet.
Tabel 1. Akses Keluar Gajah (E. maximus sumatranus) di Perbatasan Kawasan Wilayah Pemerihan
Koordinat
No Way Point Lokasi
Y X
1 Akses Keluar 1 9379383.225 433622.9118 Pemerihan-Pemerihan Bawah
2 Akses Keluar 2 9379552.518 433402.6661 Pemerihan-Pemerihan Bawah
3 Akses Keluar 3 9379406.444 433368.9695 Pemerihan-Pemerihan Bawah
4 Akses Keluar 4 9379356.061 433238.7252 Pemerihan-Pemerihan Bawah
5 Akses Keluar 5 9379213.176 433019.0689 Pemerihan-Pemerihan Bawah
6 Akses Keluar 6 9378925.937 432818.1205 Pemerihan bawah-Sukoharjo
7 Akses Keluar 7 9378751.008 432838.1582 Pemerihan bawah-Sukoharjo
8 Akses Keluar 8 9378617.51 432780.2405 Pemerihan bawah-Sukoharjo
9 Akses Keluar 9 9378528.703 432698.337 Pemerihan bawah-Sukoharjo
10 Akses Keluar 10 9378432.732 432633.2796 Pemerihan bawah-Sukoharjo
Gambar 1. Peta Identifikasi dan Inventarisasi Akses Keluar Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus)
di Perbatasan Kawasan Wilayah Pemerihan12)
Gambar 2. Jumlah dan Lokasi Akses Keluar Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) di Perbatasan
Kawasan Wilayah Pemerihan
Gambar 2 menunjukkan daerah perbatasan Pemerihan Bawah dan Sukoharjo dengan kawasan
merupakan daerah yang paling banyak terdapat akses keluar gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) yaitu
sebanyak tujuh akses. Lima titik akses terdapat di perbatasan Pemerihan dan Pemerihan Bawah dengan
kawasan. Selanjutnya, empat titik akses terdapat di perbatasan Sukoharjo dan Rejing Bawah dengan
kawasan. Sedangkan jumlah akses paling sedikit terdapat di perbatasan Rejing Bawah, Way Heni, Way
canguk dan Sumberejo dengan kawasan.
Bentang alam yang relatif datar dan tidak adanya penghalang pada batas kawasan menjadi tempat yang
strategis sebagai akses keluar bagi gajah Sumatera (E. maximus sumatranus). Selain itu, terdapat tanaman
pertanian di sekitar lokasi keluar gajah yang menarik satwa ini keluar dari habitat alaminya. Gajah Sumatera
merupakan satwa liar yang suka mengembara, jarang sekali menetap di suatu tempat yang terbatas,
hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain menelusuri home range-nya untuk
mendapatkan makanan10). Ketersediaan habitat dan sumber daya yang dipengaruhi oleh musim, aksesbilitas
dan gangguan sangat menentukan bagaimana gajah menggunakan habitat dan sumber dayanya9).
Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) membutuhkan jumlah konsumsi makanan yang banyak
untuk mencukupi kebutuhan energi sesuai dengan ukuran tubuhnya yang besar11). Ketika kebutuhan
makanan yang tinggi tidak lagi terpenuhi oleh habitat, sementara potensi pakan yang tinggi tersedia di sekitar
habitat, mendorong gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) keluar dari habitatnya untuk memanfaatkan
sumber daya makanan yang tersedia di lahan pertanian untuk memenuhi kekurangan makanan. Populasi,
produktivitas, dan penyebaran satwa liar sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas habitatnya12). Jika
habitat tidak lagi sesuai dengan kebutuhan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus), maka satwa ini akan
keluar dari habitat menuju kawasan di sekitarnya misalnya perkebunan, perladangan atau pemukiman
penduduk sehingga menimbulkan konflik dengan manusia13).
Berdasarkan observasi langsung di lapangan terdapat delapan konflik yang terjadi pada tanggal 15
Juli hingga 05 Agustus di beberapa lokasi di sekitar perbatasan kawasaan daerah Pemerihan (Tabel 2).
Lokasi yang paling sering terjadi konflik antara manusia dan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus)
adalah Desa Rejing Bawah yaitu sebanyak empat kali. Selanjutnya, Desa Pemerihan Bawah dan Way Heni
masing-masing sebanyak dua kali (Tabel 2).
Tabel 2. Waktu dan Lokasi Konflik Manusia dan Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) 15 Juli - 05
Agustus 2012 di Wilayah Pemerihan
Koordinat Waktu
No. Nama Way Point Lokasi
Y X
1 Konflik Gajah dan Manusia 1 9377381.699 431567.5528 15 Juli 2012 23:40:26 WIB Way Heni
2 Konflik Gajah dan Manusia 2 9378130.407 431576.9252 16 Juli 2012 1:04:30 WIB Rejing Bawah
3 Konflik Gajah dan Manusia 3 9377933.117 431646.7648 16 Juli 2012 1:31:39 WIB Pemerihan Bawah
4 Konflik Gajah dan Manusia 4 9379389.997 433225.2296 17 Juli 2012 20:07:01 WIB Pemerihan Bawah
5 Konflik Gajah dan Manusia 5 9379577.631 433232.5099 18 Juli 2012 1:51:47 WIB Rejing Bawah
6 Konflik Gajah dan Manusia 6 9378012.603 431448.0273 22 Juli 2012 10:34:58 WIB Rejing Bawah
7 Konflik Gajah dan Manusia 7 9378127.42 431433.4341 29 Juli 2012 11:10:50 WIB Rejing Bawah
8 Konflik Gajah dan Manusia 8 9377625.037 431258.1593 05 Agustus 2012 10:53:26 WIB Way Heni
Gambar 3. Persentase Jumlah Konflik Manusia dan Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) di Wilayah
Pemerihan TNBBS 15 Juli-05 Agustus 2012
Gambar 4. Peta Lokasi Konflik dan Pergerakan Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) 15 Juli-05
Agustus 2012 di Wilayah Pemerihan14)
Tabel 3. Jenis Tanaman di Lokasi Konflik Manusia dan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
di Wilayah Pemerihan
Waktu yang digunakan gajah untuk keluar mencari sumber pakan menuju lahan pertanian adalah saat
malam hari, pada interval waktu pukul 20.00-02.00 WIB. Gajah merupakan mamalia terestrial yang aktif baik
di siang maupun malam hari. Namun, sebagian besar dari mereka aktif dari 2 jam sebelum petang sampai 2
jam setelah fajar untuk mencari makan dan gajah sering mencari makan sambil berjalan di malam hari
selama 16-18 jam setiap hari15). Berdasarkan Gambar 4, lokasi terjadinya konflik mulai dari Desa Way Heni
menuju Desa Rejing Bawah dan Pemerihan Bawah, selanjutnya kembali ke Desa Rejing Bawah dan Way
Heni. Menurut informasi elephant patrol team, pergerakan ini terjadi secara alami mengikuti jalur gajah di
sekitar perbatasan Way Pemerihan. Gajah memiliki pergerakan yang tetap, sehingga wilayah yang menjadi
rute tetap pergerakan gajah di sebut sebagai wilayah jelajah atau home range tidak pernah berubah
meskipun kondisinya telah berubah16). Secara alami gajah melakukan penjelajahan dengan berkelompok
mengikuti jalur tertentu yang tetap dalam satu tahun penjelajahan. Jarak jelajah gajah bisa mencapai 7 km
dalam satu malam, bahkan pada musim kering atau musim buah-buahan di hutan mampu mencapai 15 km
per hari17). Pergerakan gajah pada wilayah jelajahnya akan terus berlangsung secara periodik (terulang
setiap periode tertentu), meskipun sudah terpotong oleh pemukiman, lokasi transmigrasi maupun areal
pertanian dan perkebunan.
Beberapa jenis tanaman yang ditemui pada lokasi konflik antara lain pisang, kakau, jagung,
singkong, padi, kelapa, lada, kacang tanah, cabe dan kopi (Tabel 3). Berdasarkan hasil identifikasi di
lapangan beberapa dari jenis tanaman tersebut merupakan pakan yang disukai gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) seperti pisang, jagung, padi dan kacang tanah. Hal ini dilihat dari rusaknya tanaman
dan bagian tanaman yang dimakan oleh gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Sedangkan,
kakau, kelapa, lada, cabe dan kopi hanya dirusak tetapi tidak dimakan.
3.3. Pemanfaatan Gajah patroli (Elephant Patrol Team) dalam Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah (E.
maximus sumatranus)
Tim Patroli Gajah (Elephant Patrol Team) memiliki tiga gajah patroli jantan (Yongki, Renggo dan
Karnangin) serta satu gajah patroli betina (Arni) yang berasal dari Pusat Pelatihan Gajah Way Kambas.
Selain empat gajah patroli tersebut terdapat pula satu gajah jantan kecil (Tomi) yang merupakan gajah dari
TNBBS. Gajah-gajah patroli tersebut didampingi oleh empat orang mahout (Reflianto, Heru Santoso, Alfian
Effendi dan Masrukhin) serta dua orang pembantu mahout (Sumarni dan Miskun Gendon) yang bertugas
melatih dan merawat gajah Tim Elephant Patrol.
Kegiatan pemanfaatan gajah patroli oleh Elephant Patrol Team dalam upaya mitigasi konflik manusia
dan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) terdiri dari:
1. Monitoring Keberadaan dan Pergerakan Kelompok Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus)
Monitoring dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik manusia dan gajah Sumatera (E.
maximus sumatranus) salah satunya dengan memasang GPS satellite colar pada kelompok gajah Sumatera
(E. maximus sumatranus) yang sering berkonflik dengan masyarakat19). Selain menggunakan GPS Satellite
colar monitoring juga dilakukan secara langsung melalui patroli gajah dengan memperhatikan tanda-tanda
keberadaan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus), meliputi arah jejak kaki, feses, renggutan, patahan
atau tumbangan pohon yang dilalui oleh gajah Sumatera (E. maximus sumatranus). Apabila arah pergerakan
gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) menuju perkampungan atau perkebunan penduduk, maka jejak
tersebut terus ditelusuri sampai ditemukan gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) baik itu tunggal maupun
kelompok yang selanjutnya akan dilakukan pengusiran, namun apabila setelah penelusuran tidak ditemukan
maka keesokan harinya akan dilakukan patroli dengan menggunakan kendaraan. Informasi yang diperoleh
dari patroli dengan gajah dan kendaraan yang di dukung dengan informasi dari masyarakat akan menjadi
dasar dalam penentuan strategi pengusiran gajah Sumatera (E. maximus sumatranus).
3.4. Keunggulan dan Kelemahan Penggunaan Gajah Patroli dalam Mengatasi Konflik Manusia dan
Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus)
Pemanfaatkan gajah patroli dalam mengatasi konflik manusia dan gajah Sumatera (E. maximus
sumatranus) merupakan tindakan yang efektif baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Jika dilihat dari
aspek ekologi, teknik ini dapat meminimalisasi perubahan perilaku gajah Sumatera (E. maximus sumatranus),
tidak mengubah bentang alam (seperti teknik pembuatan parit), dan mengurangi resiko kematian gajah
Sumatera (E. maximus sumatranus) sehingga populasi satwa langka tetap terjaga. Secara ekonomi, teknik
ini dapat meminimalisasi resiko kerusakan yang terjadi. Baik kerusakan lahan pemukiman maupun
perkebunan warga. Dari aspek sosial, masyarakat merasa lebih aman dalam bercocok tanam. Selain itu,
konflik lebih cepat tertangani dibandingkan dengan penggunaan teknik lainnya. Namun, kekurangan dari
teknik ini, yaitu efeknya yang bersifat sementara. Gajah Sumatera (E. maximus sumatranus) yang telah
berhasil digiring kembali ke hutan, sewaktu-waktu dapat datang ke perkebunan maupun pemukiman warga.
Penggiringan tidak bisa dilakukan pada malam hari, sehingga apabila gajah Sumatera (E. maximus
sumatranus) keluar pada malam hari hanya dilakukan penghalauan oleh mahout dan masyarakat
menggunakan petasan dan penggiringan dilakukan saat pagi hari. Oleh karena itu, kegiatan elephant patrol
harus tetap berjalan dan dilakukan pemantauan secara rutin. Elephant patrol sebaiknya bukan merupakan
program jangka pendek, tapi merupakan program yang berkelanjutan.
adanya penghalang pada batas kawasan menjadi tempat yang strategis sebagai akses keluar bagi gajah
Sumatera (E. maximus sumatranus). Selain itu, tanaman pertanian di sekitar lokasi keluar gajah Sumatera
(E. maximus sumatranus) yang menarik satwa ini keluar dari habitat alaminya. Terdapat delapan konflik yang
terjadi pada tanggal 15 Juli hingga 05 Agustus 2012 di beberapa lokasi di sekitar perbatasan kawasaan
daerah Pemerihan. Lokasi yang paling sering terjadi konflik antara manusia dan gajah Sumatera (E.
maximus sumatranus) adalah Desa Rejing Bawah yaitu sebanyak empat kali. Selanjutnya, Desa Pemerihan
Bawah dan Way Heni masing-masing sebanyak dua kali. Konflik gajah Sumatera (E. maximus sumatranus)
sering terjadi di perbatasan kawasan TNBBS, karena secara alami gajah akan keluar hutan pada periode
tertentu mengikuti wilayah homerange-nya. Pemanfaatan gajah patroli dalam mengatasi konflik manusia dan
gajah merupakan tindakan yang efektif baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Upaya mitigasi konflik
gajah dan manusia menggunakan gajah patroli terdiri dari monitoring, penghalauan dan penggiringan gajah
Sumatera (E. maximus sumatranus).
4.2. Saran
Wilayah Pemerihan memiliki dua puluh titik akses keluar gajah sumatera (Elephas maximus
sumatranus) dari kawasan. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi terjadinya konflik perlu diadakannya pos-
pos penjagaan di daerah titik akses keluar gajah (Gambar 7).
DAFTAR PUSTAKA
1. Mukhtar, A.S. dan Sumama, Y. 1994. Feeding and Movement Pattern of Sumatran Elephants in
Kawasan Pelestarian Alam Way Kambas, Propinsi Lampung. Buletin Penelitian Kehutanan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan.
2. IUCN. 2012. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. diakses pada tanggal 07
Oktober 2012.
3. CITES. 2012. Listed Special Data Base. http://www.cites.org/eng/resources /species.html. diakses pada
tanggal 07 Oktober 2012.
4. Peraturan Pemerintah. 1999. PP No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
http://www.psda.jabarprov.go.id/data/arsip /pp_ no.38 2011.pdf. Diakses Pada 07 Oktober 2012.
5. Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatra dan Gajah
Kalimantan 2007-2017. Direktrot Jendral Perlin-dungan Hutan dan Konservasi Alam- Departemen
Kehutanan.
6. Tim Patroli Gajah. 2010. Laporan Evaluasi Kegiatan Elephant Patrol Team di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan. Kota gung. BBTNBBS-TNWK-Dinas Kehutanan dan SDA Lampung Barat-Fokmas-
Yayasan WWF Indonesia.
7. Haryanto dan Santoso, N. 1988. Konflik Antara Gajah-Manusia, Studi Kasus di Lampung dan Bengkulu.
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
8. Sustrapradha. 1992. Khazanah Flora dan Fauna Nusantara. Yayasan obor Indonesia. Jakarta.
9. Nyhus, P. dan Tilson, R. 2004. Agroforestry, Elephant and Tiger: Balancing Conservation Theory and
Practice in Human Dominated Landscape of Southeast Asia. Agr. Ecosys. Environ., 104: 87-97.
10. Yogasara, F A., Zulkarnaini., Saam, Z. 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas konflik
antara gajah dengan manusia di Kecamatan Mandau dan Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis.
(Jurnal). Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau.
11. Seidensticker, J, 1984. Managing elephant depredation in agricultural and forestry projects. World Bank
Technical Paper. ISSN 0153-7494. Washington, D.C., The World Bank.
12. Alikodra, H.S. 2002. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman
Hayati Indonesia. IPB Press. Bogor.
13. Zulkarnain. 1993. Kajian Tentang Aktivitas Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck)
dalam Pengembaraannya di Kabupaten Aceh Utara. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Teungku Chik Pante
Kulu. Banda Aceh.
14. Peta Digital Zonasi TNBBS Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus Propinsi Lampung Kabupaten
Kaur Propinsi Bengkulu. 2011. BBTNBBS. Tidak dipublikasikan. Lampung.
15. Hedges, S. 2005. Distribution, status, and conservation needs of Asian elephants (Elephas maximus) in
Lampung Province,Sumatra, Indonesia. 2005. J. Biol. Conserv., 124 : 3548
16. Yusnaningsih. 2004. Intensitas Konflik Gajah (Elephas maximus sumatranus) dengan Manusia di Sekitar
Pos Penelitian Sikundur (Aras Napal) Ekosistem Leuser. (Skripsi). Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
17. WWF, Balai KSDA Provinsi Riau. 2006. Protokol Pengurangan Konflik GajahSumatera di Riau. Riau
18. Arasyi, A. L. 2010. Elephant Patrol Team TNBBS dinilai efektif reduksi praktik non-lestari.
http://www.wwf.or.id/?10981/Uji-coba-patroli-gajah-pertama-di-Taman-Nasional-Bukit-Barisan-Selatan.
diakses pada tanggal 29 Juli 2012.
19. Arasyi, A. L. 2010. Optimalkan mitigasi konflik gajah-manusia, TNBBS gunakan GPS Satellite Collar.
http://www.wwf.or.id/?17120/Pemasangan-GPS-Satellite-Collar-Pada-Gajah-Liar-Di-Taman-Nasional-
Bukit-Barisan-Selatan-Oleh-Tim-Patroli-Gajah. Diakses Pada Tanggal 29 Juli 2012.