Anda di halaman 1dari 12

PEDOMAN PROGRAM

PELAYANAN PENYAKIT AKIBAT KERJA

PUSKESMAS MEKAR BARU

KABUPATEN TANGERANG

TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pekerja mempunyai risiko terhadap masalah kesehatan yang


disebabkan oleh proses kerja, lingkungan kerja serta perilaku kesehatan
pekerja. Pekerja tidak hanya berisiko menderita penyakit menular dan
tidak menular tetapi pekerja juga dapat menderita penyakit akibat kerja
dan/atau penyakit terkait kerja. Penyakit akibat kerja adalah penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja termasuk
penyakit akibat hubungan kerja. Berdasarkan data International Labour
Organization (ILO) tahun 2013 diketahui bahwa setiap tahun ditemukan
2,34 juta orang meninggal terkait pekerjaan baik penyakit maupun
kecelakaan dan sekitar 2,02 juta kasus meninggal terkait penyakit
akibat kerja. Di Indonesia, gambaran penyakit akibat kerja saat ini
seperti fenomena “Puncak Gunung Es”, penyakit akibat kerja yang
diketahui dan dilaporkan masih sangat terbatas dan parsial
berdasarkan hasil penelitian sehingga belum menggambarkan besarnya
masalah keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena sumber daya manusia yang mampu melakukan
diagnosis penyakit akibat kerja masih kurang sehingga pelayanan untuk
penyakit akibat kerja belum optimal.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu disusun pedoman sebagai
acuan bagi pelaksana program Hiperkes di fasilitas pelayanan
kesehatan dalam diagnosis dan tata laksana penyakit akibat kerja.

B. TUJUAN
Tersedianya pedoman diagnosis dan tata laksana penyakit akibat
kerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

C. Landasan Hukum

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); -2-
2.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456);

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5256);

7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan


Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan
Kematian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5714);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan


Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur
Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5740);

11. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 29) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 62);

12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang


Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);

13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508);

D. SASARAN
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan baik tingkat pertama
maupun tingkat lanjutan.

E. RUANG LINGKUP

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh


pekerjaan dan atau lingkungan kerja termasuk penyakit terkait kerja.
Penyakit terkait kerja adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen
penyebab dengan faktor pekerjaan dan atau lingkungan kerja memegang
peranan bersama dengan faktor risiko lainnya.

F. BATASAN PEDOMAN

Pengaturan penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja


bertujuan untuk memberikan acuan dalam melakukan diagnosis, tata
laksana, dan pemberian pelayanan penyakit akibat kerja yang bermutu
dan dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan perlindungan dan
kepastian hukum bagi pemberi dan penerima pelayanan penyakit akibat
kerja. Pasal 2 Pelayanan penyakit akibat kerja berlaku untuk semua
pekerja baik sektor formal maupun informal, termasuk aparatur sipil
negara, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pasal 3 Pelayanan penyakit akibat kerja meliputi diagnosis
penyakit akibat kerja dan tata laksana penyakit akibat kerja.
Pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan adalah pemberian
informasi kepada individu, keluarga atau kelompok secara terus
menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan klien serta
proses membantu klien agar klien tersebut berubah dari tidak tahu
menjadi tahu atau sadar (aspek pengetahuan), dari tahu menjadi mau
(aspek sikap), dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek tindakan).
Pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan merupakan suatu
proses aktif, dimana sasaran/klien dan masyarakat yang harus
diberdayakan harus berperan serta aktif dalam kegiatan dan program
yang dilaksanakan.
Proses masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal
yang saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan
dinamis. Salah satu faktor eksternal dalam pemberdayaan masyarakat
adalah pendampingan oleh fasilitator pemberdayaan masyarakat.
BAB II
STANDAR KETENAGAAN DAN FASILITAS

I. STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Semua karyawan puskesmas wajib berpartisipasi dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat mulai dari kepala Puskesmas, Penanggung
jawa program Hiperkes dan seluruh karyawan

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Pengaturan dan penjadwalan program Hiperkes dikoordinir oleh
penanggung jawab Hiperkes sesuai dengan kesepakatan.

C. JADWAL KEGIATAN
Jadwal pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat disepakati dan
disusun bersama dengan sektor terkait.
II. STANDAR FASILITAS

A. FASILITAS HIPERKES DALAM GEDUNG PUSKESMAS


Koordinasi pelaksanaan kegiatan dari program Hiperkes dilakukan oleh
penanggungjawab program Hiperkes.Fasilitas kegiatan Program
Hiperkes yang ada di dalam gedung Puskesmas Mekar Baru berupa
upaya pelayanan pengobatan dan pencegahan Hiperkes.
Pelaksanaan kegiatan tiap hari kerja mulai pukul 08.00-12.00
STANDAR FASILITAS
1. Panduan program Hiperkes : 1 buah
2. Tensimeter : 1 buah
3. Stetoskop : 1 buah
4. Meja periksa : 1 buah
5. Kursi pemeriksaan : 1 buah
6. Poster : 6 buah
7. Flipchart : 1 buah
8. Buku register/laporan : 1 buah
9. Instrumen set : 1 buah
10. Troli : 2 buah

B. FASILITAS Kusta LUAR GEDUNG PUSKESMAS


Pelaksanaan kegiatan program Hiperkes luar gedung, berupa deteksi
dini kusta, Penyuluhan kusta dan kunjungan rumah bagi keluarga yang
memiliki keluarga dengan riwayat penyakit Hiperkes.
STANDAR FASILITAS :
1. Tensimeter digital : 1 buah
2. Timbangan digital : 1 buah
3. Flipchart : 2 buah
4. Brosur Hiperkes
5. Buku Laporan
BAB III

TATALAKSANA PELAYANAN DAN LOGISTIK

A. TATALAKSANA PELAYANAN

Penyelenggaraan Hiperkes didahului dengan identifikasi kelompok potensial


yang ada di masyarakat, sosialisasi dan advokasi, pelatihan petugas pelaksana
program Hiperkes, serta pembiayannya.

Secara substansi kegiatan program Hiperkes mengacu pada kegiatan bukan


terhadap tempat. Kegiatannya berupa deteksi dini, pemantauan faktor resiko
Hiperkes serta tindak lanjut dini faktor resiko Hiperkes. Kegiatan ini dapat
berlangsung secara terintegrasi dengan kegiatan masyarakat lain yang sudah
aktif seperti majelis taklim, kegiatan peskesmas keliling.

Penyelengaraan program Hiperkes meliputi kegiatan wawancara, pengukuran,


pemeriksaan, dan tindak lanjut dini.Wawancara dilakukan untuk menelusuri
faktor resiko perilaku seperti merokok, konsumsi sayur dan buah, aktivitas
fisik, konsumsi alcohol dan stress. Pengukuran berat badan’

Berdasarkan hasil wawancara, pengukuran dan pemeriksaan dilakukan


tindak lanjut dini berupa pembinaan secara terpadu dengan peningkatan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang cara mengendalikan faktor
resiko Hiperkes melalui penyuluhan massal atau dialog interaktif dan atau
konseling faktor resiko secara terintegrasi pada individu dengan faktor resiko,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat termasuk rujukan sistematis dalam
sistem pelayanan kesehatan paripurna.

Rujukan dilakukan dalam kerangka pelayanan kesehatan berkelanjutan dari


masyarakat hingga ke fasilitas kesehatan dasar termasuk rujuk balik ke
masyarakat untuk pemantauannya.

Pencatatan dan pelaporan hasil kegiatan program Hiperkes dilakukan secara


manual, petugas mengambil data hasil pencatatan deteksi dini untuk
dianalisis dan digunakan dalam pembinaan, sekaligus melaporkan ke instansi
terkait secara berjenjang.

Hasil pencatatan dan pelaporan kegiatan merupakan sumber data yang


penting untuk pemantauan dan penilaian perkembangan kegiatan program
Hiperkes. Pemantauan bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan sudah
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, apakah hasil kegiatan sudah sesuai
dengan terget yang diharapkan dan mengidentifikasi masalah dan hambatan
yang dihadapi, serta menentukan alternatif pemecahan masalah.

Penilaian dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek masukan, proses,


keluaran atau output termasuk kontribusinya terhadap tujuan kegiatan.
Tujuan penilaian adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat
perkembangan kegiatan program Hiperkes dalam penyelenggaraannya,
sehingga dapat dilakukan pembinaan.

Pemantauan dilakukan dengan cara :

a. Analisis hasil program Hiperkes


b. Kunjungan lapangan pelaksanaan program Hiperkes
c. Sistem informasi Penyakit Hiperkes

Pemantauan dan penilaian program Hiperkes dilakukan sebagai berikut :

1. Pelaksana pemantauan dan penilaian adalah petugas puskesmas.


2. Sasaran pemantauan dan penilaian adalah para petugas pelaksana
program Hiperkes.
3. Pemantauan kegiatan dilakukan setiap 1 bulan sekali dan penilaian
indikator dilakukan setiap 1 tahun sekali.
4. Hasil pemantauan dan penilaian ini dipergunakan sebagai bahan
penilaian kegiatan yang lalu dan sebagai bahan informasi besaran faktor
resiko Hiperkes di masyarakat serta tingkat perkembangan kinerja
program Hiperkes disamping untuk bahan menyusun perencanaan
pengendalian Kusta pada tahun berikutnya.
5. Hasil pemantauan dan penilaian program Hiperkes disosialisasikan
kepada lintas program, lintas sektor terkait dan masyarakat untuk
mengambil langkah-langkah upaya tindak lanjut.

Pelaksana pemantauan dan penilaian hasil pelaksanaan program Hiperkes


dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Obyektif dan profesional


Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara profesional
berdasarkan analisis data yang lengkap dan akurat agar menghasilkan
penilaian secara obyektif dan masukan yang tepat terhadap pelaksanaan
kebijakan pengendalian Hiperkes.
2. Terbuka dan Transparan
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara terbuka dan
transparan dan dilaporkan secara luas melalui berbagai media yang ada
agar masyarakat dapat mengakses dengan mudah tentang informasi dan
hasil kegiatan dan penilaian program Hiperkes.
3. Partisipatif
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara aktif dan
interaktif para pelaku program Hiperkes.
4. Akuntabel
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian harus dapat
dipertanggungjawabkan secara internal dan eksternal.
5. Tepat waktu
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian harus dilakukan sesuai waktu
yang dijadwalkan.
6. Berkesinambungan
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara
berkesinambungan agar dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi
penyempurnaan kebijakan.
7. Berbasis indikator kerja
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan berdasarkan kriteria
kinerja, baik indikator masukan, proses, luaran, manfaat maupun
dampak.

Pemantauan dan penilaian keberhasilan dari penyelenggaraan program


Hiperkes harus dilakukan dengan membandingkan indikator yang telah
ditetapkan sejak awal dan dibandingkan dengan hasil pencapaiannya.

B. LOGISTIK

Kebutuhan dana dan logistik untuk pelaksanaan kegiatan pemberdayaan


masyarakat direncanakan dalam pertemuan lokakarya mini lintas sektor
sesuai dengan tahapan kegiatan.

No. Logistik Kondisi


1 Tensimeter Baik
3 Timbangan Baik
4 Lembar Pemeriksaan Wawancara Baik
BAB IV

PENGENDALIAN MUTU, KESELAMATAN SASARAN, DAN KESELAMATAN


KERJA

A. PENGENDALIAN MUTU

Pelaksanaan kegiatan dimonitor dan dievaluasi dengan menggunakan


indikator sebagai berikut :

1. Ketepatan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan jadwal


2. Kesesuaian petugas yang melaksanakan kegiatan indikator tersebut
dibahas pada tiap pertemuan lokakarya mini tiap bulan.

B. KESELAMATAN SASARAN

Dalam perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan perlu diperhatikan


keselamatan sasaran dengan melakukan identifikasi resiko terhadap segala
kemungkinan yang dapat terjadi saat pelaksanaan kegiatan. Upaya
pencegahan resiko terhadap sasaran harus dilakukan untuk tiap-tiap kegiatan
yang akan dilaksanakan.

C. KESELAMATAN KERJA

Dalam perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan perlu diperhatikan


keselamatan kerja karyawan puskesmas dan lintas sektor terkait dengan
melakukan identifikasi resiko terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi
saat pelaksanaan kegiatan.
BAB V
PENUTUP
Penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja merupakan suatu
langkah sistematis dalam melakukan pelayanan kesehatan seorang
pekerja yang terkena penyakit akibat kerja. Pelayanan kesehatan ini
sangat penting karena berhubungan dengan aspek klinis dari
penatalaksanaan penyakit selanjutnya dan aspek hukum sebagai dasar
penentuan kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja tersebut.
Pelayanan penyakit akibat kerja dibedakan berdasarkan strata di
fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta sehingga
peran dan posisi masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan menjadi
jelas untuk meningkatkan derajat kesehatan pekerja dan secara tidak
langsung melindungi fasilitas pelayanan kesehatan dari tuntutan
hukum. Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja, diharapkan
pelayanan penyakit akibat kerja dapat dilaksanakan sesuai dengan
standar, baik standar mengenai fasilitas penyelenggara pelayanan
penyakit akibat kerja maupun standar tenaga, dan sarana dan
prasarana.

Anda mungkin juga menyukai