Anda di halaman 1dari 9

Utilitarianisme : Mencari Pembelaan dan Dangkalnya Gagasan, Relevansi

Masa Kini
Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Genap Mata Kuliah Etika Fakultas Filsafat Program Studi Ilmu
Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Disusun Oleh

Bagus Mahendra

22/498643/FI/05133

Ilmu Filsafat

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2023
I. PENDAHULUAN

A. Revolusi dan Sejarah Utilitarianisme


Para ahli bahkan filsuf selalu mempunyai keinginan melalui gagasannya untuk mengubah
masyarakat, setidaknya menjadi lebih baik dengan basis keadilan atau komunal, supaya jalan dan
tujuan untuk bertahan hidup selalu ada. Para Filsuf menulis buku , mungkin bagi beberapa orang
sepemikiran, ada juga yang tidak terpengaruh. Salah satunya Utilitarianisme, sebuah teori yang
dikemukakan oleh David Hume dan dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Munculnya negara bangsa (nation-state), gejolak Revolusi Perancis dan hancurnya
Kekaisaran Napoleon. Revolusi-revolusi pada abad-17 memperlihatkan gagasan dengan corak
kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan. Amerika lahir menjadi sebuah negara baru hingga
mencapai titik akhir perbudakan dalam peradaban Barat. Revolusi Industri membawa restrukturasi
total dari masyarakat. Tidak heran di tengah perubahan ini, orang juga berubah pola pikirnya
berkenaan dengan etika. Nilai lama dengan cara pikir yang lama mendapatkan sebuah gejolak
antitesa. Diawali argumentasi Berhak yang membela konsep moralitas baru membawa sebuah
pengaruh besar. Moralitas bukan lagi soal menyenangkan hati Tuhan ataupun soal kesetiaan kepada
aturan-aturan yang abstrak. Moralitas tidak lain dan tidak bukan adalah suatu upaya untuk sedapat
mungkin memperoleh kebahagiaan di dunia ini.
Bentham berpendapat bahwa ada satu prinsip moral yang utama, yakni “Prinsip Utilitas”.
Prinsip ini menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan antara sebuah tindakan atau kebijakan
sosial, kita ambil hal paling baik bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Bentham merupakan
pemimpin dari kelompok radikal yang bertujuan untuk memperbaharui hukum dan lembaga Inggris
dengan garis Utilitarian. Salah satu pengikutnya adalah John Stuart Mill. Bentham beruntung,
Mengapa?
Pembelaan John Stuart Mill lebih menunjukan kesan persuasif. Dalam bukunya
Utilitarianism (1861), Mill memperlihatkan gagasan utama dari teori tersebut. Yang pertama yang
harus diperhatikan adalah , kita harus ada dalam situasi membayangkan suatu keadaan yang ingin
kita wujudkan- keadaan di mana seseorang merasakan kebahagiaan yang paling mungkin.
Aturannya jelas, sederhana, bahwa kita hanya bertindak sedemikian rupa hingga menghasilkan
keadaan seperti itu, sejauh hal itu dimungkinkan.
Karena pada dasarnya ada sebuah relativitas moral dalam sebuah komunitas, pandangan
Utilitarian ini sendirinya menjadi standar moralitas juga, yang bisa dirumuskan, sebagai aturan atau
kaidah untuk perilaku yang manusiawi. Sepintas gagasan ini tidak Radikal, hal ini seperti kelugasan
sederhana. Moralitas bukan dipahami sebagai sebuah kepercayaan yang diberikan pada ilahi, goals
nya adalah ketika kita mampu menggunakan sebuah itungan kebahagiaan untuk makhluk-makhluk
di dunia ini dan tidak lebih dari itu. Kita diperbolehkan bahkan dituntut untuk melakukan apa yang
untuk memperoleh sebuah kebahagiaan. Ini merupakan gagasan revolusioner di zaman itu. Mereka,
para penganut Utilitarianisme berkeinginan tidak hanya berkenaan dengan ajaran tetapi juga dalam
praktek.
Lantas, apakah paham ini masih relevan di masa kini? Sejauh mana paham ini bisa disetujui oleh
manusia di masa sekarang dengan memberikan gambaran berkenaan dengan pembelaan? Apa yang
kurang dari paham ini?
II. PEMBAHASAN

A. Penyangkalan Utilitarianisme : Ada yang Salah, Apa Akibatnya?

Utilitarian percaya bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan hal
yang baik. Tetapi apa yang baik itu menurut mereka? Yaitu kebahagiaan. Sebagaimana yang
dikatakan Mill, “Ajaran Utilitarianis adalah bahwa kebahagiaan itu diinginkan, dan satu-satunya
hal yang bisa diinginkan, sebagai tujuan; semua yang lain bisa diinginkan sebagai sarana menuju
tujuan ini”. Gagasan seperti ini, bisa dikenal dengan Hedonisme.

Teori ini senantiasa menarik karena sederhana, cukup masuk akal karena baik buruknya
sesuatu semata-mata diukur dari sejauh mana hal itu membuat kita merasakannya. Namun, ada
beberapa kecacatan dalam teori ini, hal ini bisa kita lihat ketika kita memberikan sebuah contoh
cerita. Seorang pegulat handal mempunyai masa depan cerah, tetapi karena kecelakaan, kakinya
patah. Ia akhirnya tidak bisa mengikuti beberapa olimpiade. Kenapa kejadian ini dianggap buruk
baginya? Hedonisme mengatakan bahwa hal itu buruk karena menimbulkan ketidakbahagiaan.
Ketika Ia percaya akan gagasan ini, ia akan merasa frustasi dan bingung jika memikirkan tragedi
ini. Sebab seolah-olah rasa tidak bahagia membuat situasi netral (biasa) menjadi buruk. Padahal
semestinya ketidakbahagiaan merupakan jawaban masuk akal terhadap situasi yang adalah
kemalangan itu sendiri. Kita hanya dapat menghilangkan ketidakbahagiaan nya dengan
menghilangkan tragedinya.

Contoh kedua adalah ketika kita dihadapkan pada sebuah pertemanan. Anda mempunyai
sahabat, dan sahabat anda menggunakan tubuh anda sebagai objek seksualnya tanpa disadari anda.
Dalam situasi itu, tidak ada seorangpun yang memberi tahu, maka dari itu anda tidak tahu. Apakah
contoh kejadian ini adalah sebuah kemalangan? Hedonisme mengatakan tidak, karena anda tidak
mendapatkan akibat ketidakbahagiaan dari kasus ini. Namun, dari contoh kasus di atas kita dapat
merasakan beberapa getaran yang buruk berkenaan dengan paham Hedonisme dan Utilitarianisme.
Anda bisa dikatakan “dikelabuhi”, meskipun anda tidak sadar, karenanya anda tidak merasakan
ketidakbahagiaan.

Kedua contoh ini, menunjukan sebuah pokok dasar yang sama. Kita menilai semua hal
termasuk kreativitas artistik dan persahabatan demi hal itu sendiri. Memang kita akan bahagia
dengan memperoleh hal itu, namun jika itu kita sudah memperkirakan bahwa hal itu akan baik.
Dapat didapatkan sebuah pandangan ketika itu tidak baik, maka kita tidak berhak bahagia. Dengan
cara ini hedonisme salah memahami hakekat kebahagiaan. Kebahagiaan bukan sesuatu yang baik
dan dicari demi dirinya, sementara yang lain dianggap sebagai sarana. Sesungguhnya kebahagiaan
merupakan respons yang kita punyai terhadap hal-hal yang kita kenal sebagai hal yang baik. Kita
menganggap mempunyai sahabat itu baik, dan untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan kita
mencari sahabat. Hal ini sangat berbeda untuk mencari kebahagiaan dulu sebagai langkah awal,
lalu memutuskan bahwa mempunyai sahabat membuat kita bahagia, kemudiaan mencari sahabat
sebagai sarana untuk tujuan itu.

Maka dari itu, banyak filsuf menaruh sebuah simpati pada Utilitarianisme untuk
mengusahakan cara untuk merumuskan pandangan mereka tanpa mengandaikan pertimbangan
hedonik mengenai yang baik dan yang jahat. Beberapa orang seperti G.E. Moore mencoba
menyusun sebuah daftar pendek dari hal-hal yang dianggap baik pada dirinya. Moore mengusulkan
bahwa ada tiga kebaikan intrinsik yang nyata – kenikmatan, persahabatan, dan kesukaan estetis-
dan tindakan yang benar ialah yang menciptakan hal seperti itu di dunia. Pengikut utilitarian
mencoba melewati sebuah pertanyaan mengenai berapa banyak hal yang baik pada dirinya, dengan
membiarkan sebagai pertanyaan terbuka dan mengatakan bahwa tindakan yang baik hanyalah yang
mempunyai efek-efek baik, entah bagaimana kebaikannya diukur. Ada lain lagi yang mencoba
melewati pertanyaan dengan cara lain, dengan mengajarkan bahwa kita harus bertindak untuk
memaksimalkan kepuasaan atas preferensi orang-orang. Para utilitarianisme mendesak agar
hedonisme jangan pernah dijadikan sebagai bagian penting dan tempat pertama dari teori itu.

B. Implikasi Tindakan Dijadikan Sebagai Sebuah Ukuran.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa paham Utilitarianisme memandang


hanya akibat yang menjadi sebuah ukuran. Gagasan ini yang mendasari teori ini bahwa untuk
menentukan segala sesuatu itu benar, kita perlu melihat apa yang akan terjadi atau akibat apa yang
akan ditimbulkan sebagai implikasi dari tindakan itu. Sejumlah argumentasi anti Utilitarianisme
berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan lain yang beragam, disamping utilitas, juga
penting dalam menetapkan apakah tindakan itu benar. Kita akan melihatnya pada beberapa
argumen semacam ini

1. Keadilan
Mengutip melalui Detik News berkenaan dengan kasus-kasus Intoleransi
di Indonesia yang dimana motif dalam kejadian ini adalah pelarangan Ibadah.
Andaikata seseorang pengikut utilitarian mengunjungi sebuah wilayah di mana ada
satu pertentangan seperti ini, seperti yang terjadi dalam kasus Patung Bunda Maria.
Dalam kasus tersebut sekelompok orang yang berafiliasi dengan partai politik
Islam meminta pengelola rumah doa Sasana Adhi Rasa ST. Yakobus menutup
serta membongkar patung Bunda Maria dengan alasan menggangu umat muslim
saat beribadah. Buntut dari permasalahan ini adalah Patung Bunda Maria tersebut
diterpal atau ditutupi. Dari hal ini, melalui kerjasama dominan , kelompok
dominan mulai menggunakan dalih-dalih dan kuasa dominannya dan jikalau kita
mengandaikan seseorang utilitarian masuk dalam variabel orang-orang dominan
dan kesaksiannya akan menghasilkan keyakinan kuat untuk setiap minoritas secara
partikular. Namun, jikalau seorang utilitarian tersebut tahu bahwa bahwa ada
provokator dalam komunitas dominan dan menutupi supaya kelompoknya aman,
ia wajib memberikan kesaksian palsu sehingga mungkin ada seseorang yang tidak
bersalah pantas dihukum.

Memang disini kita diberi sebuah cerita semi fiktif. Sederhananya, ketika
seseorang utilitarianisme ada dalam posisi tersebut, maka menurut pemikirannya
ia harus memberikan sebuah kesaksian palsu . hal ini akan berimplikasi buruk
seperti orang dihukum walaupun tidak bersalah, tetapi akan mendapatkan akibat
yang cukup baik, misal, wilayahnya tidak digaduhi oleh warga minoritas lagi dan
satu persatu keluar dari wilayah itu. Menurut Utilitarianisme, berbohong
merupakan hal yang bisa dikatakan sah dilakukan karena mereka memikirkan
sebuah ukuran kebahagiaan dominan tanpa melihat pihak lawan. Tetapi jika ini
ditarik dalam kacamata hukum, kelirulah seseorang melaksanakan hukuman tanpa
melakukan sebuah kesalahan. Oleh karena itu, utilitarianisme mengajarkan bahwa
hal tersebut baik, tidak bisa benar.

Menurut beberapa kritikus Utilitarianisme, kekurangan dari teori inilah yang


cukup serius, yakni ketidakcocokannya dengan sebuah cita-cita keadilan. Keadilan
menuntut kita untuk memperlakukan orang lain dengan seimbang, contoh diatas
memperlihatkan bagaimana tuntutan keadilan dan tuntutan kemanfaatan saling
bertabrakan satu sama lain.

2. Hak- hak
Contoh ini benar-benar terjadi, diambil dari salah satu pelanggaran HAM
di Indonesia, Marsinah. Di tahun 1993 dipicu oleh pelanggaran sejumlah hak
normatif buruh oleh pihak manajemen perusahaan. Pada hari pertama pemohokan,
belum ada tuntutan yang diajukan oleh buruh. Dikutip dari buku “Kekerasan
Penyidikan Dalam Kasus Marsinah” (1995) oleh Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), pada hari kedua pemogokan, petugas Koramil,
Kodim, dan Polsek berusaha menghentikan pemogokan, tapi tidak berhasil.

Kemudian, perundingan antara perwakilan buruh dan petugas Denpaker


akhirnya dilakukan. Dalam perundingan itu ada 12 tuntutan perbaikan kondisi
kerja yang diajukan oleh para buruh, salah satunya adalah penyesuaian upah sesuai
dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja No.50 TAHUN 1992 dari Rp 1.700
menjadi Rp 2.250 sehari. Serta perhitungan upah lembur dan pembayaran cuti
hamil. Semua tuntutan buruh dikabulkan, kecuali tuntutan pembubaran SPSI,
penolakan intimidasi dan PHK yang dijanjikan perusahaan akan dirundingkan di
kemudian hari.
Para buruh pun bekerja kembali seperti semula. Namun, usai perundingan,
13 orang buruh dipanggil oleh Kodim 0816 Sidoarjo. Pada 5 Mei 1993, ke-13
buruh tersebut dipaksa mengundurkan diri dengan alasan sudah tidak dibutuhkan
lagi oleh perusahaan. Mereka mendapatkan intimidasi dan dipaksa
menandatangani surat pengunduran diri bersegel yang telah disiapkan oleh petugas
Kodim.
Pada saat kasus pembunuhan Marsinah terjadi, Presiden Soeharto
memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan antara
buruh dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Sehingga,
para pekerja yang kritis harus menghadapi intimidasi dan penangkapan. Hal itu
ternyata mengusik rasa solidaritas Marsinah.
Marsinah kemudian menyampaikan surat protes ke pabrik dan berjanji
akan mengadukan tindakan Kodium ke pengadilan. Tiga hari kemudian, 8 Mei
1993, mayat Marsinah ditemukan segerombolan anak-anak telah membeku di
sebuah gubuk di pinggiran hutan jati Wilangan, desa, Jegong, Wilangan, Nganjuk.
Lokasi penemuan mayat Marsinah tersebut sekitar 200 km dari PT CPS.
Dalam kasus ini hak-hak hidup dan legal Marsinah dilanggar. Tetapi
bagaimana moralitas perilaku para petugas itu? Menurut Utilitarianisme tindakan
mereka itu dapat dibela, asalkan hasilnya memang memberikan pemerataan
kebahagiaan di atas ketidak-bahagiaan khususnya bagi pemerintah dan para
pembesar perusahaan yang mempunyai kuasa yang besar. Ini berarti kita perlu
mempertimbangkan jumlah ketidaksenanagan yang dialami oleh Marsinah dan
membandingkan dengan jumlah kesenangan aparat di zaman itu. Dalam hal ini,
kesimpulan utilitarianis jelas akan menyatakan bahwa tindakan mereka secara
moral benar. Padahal, mereka tidak mempunyai hak untuk memperlakukan
Marsinah secara demikian.
Moral yang dapat ditarik dari kasus ini adalah bahwa Utilitarianisme
bersebrangan dengan gagasan bahwa orang-orang itu mempunyai hak yang tidak
bisa dilanggar sekedar untuk memberkan akibat yang menguntungkan bagi
seseorang. Pengartian hak pribadi bukanlah pengertian kaum Utilitarian.
Sebaliknya, pengartian itu justru menempatkan batas-batas, di mana setiap
individu harus diperlakukan, tanpa memandang tujuan yang baik yang perlu bisa
dicapai.

C. Haruskah Kita Peduli Secara Merata?


Unsur terakhir dalam moralitas adalah bahwa kita harus mengupayakan kesejahteraan setiap orang
secara sama. Implikasi yang bisa dihasilkan dari unsur penting ini adalah kepedulian yang sama
menuntut terlalu banyak kepada kita, sehingga tuntutan ini menganggu relasi kita yang bersifat
pribadi.
1. Beban yang Terlalu Berat Dipikul oleh Penganut Utilitarianisme
Mengapa demikian? Ketika kita memberikan sebuah gambaran di sebuah tempat
kita melihat sosok pengemis yang kelaparan dan meminta makan. Kita hanya memiliki
uang untuk memberikan bantuan itu kepada pengemis supaya dia bisa makan. Setelah
uang anda beri, anda tidak bisa pulang karena hanya uang itu satu-satunya ongkos untuk
kembali ke rumah. Kenyataannya, para penganut utilitarianis akan menuntut anda untuk
merendahkan standar hidup supaya sama dengan yang anda tolong. Mungkin kita akan
kagum dengan orang yang melakukan hal seperti ini, tetapi kita tidak bisa mengatakan
bahwa mereka melakukan seperti itu atas dasar sebuah kewajiban. Kita membedakan
tindakan yang dituntut oleh moral, tindakan yang patut dipuji, dan tindakan yang
dituntut dengan keras. Tetapi persoalnya Utilitarian tidak hanya menuntut kita untuk
memberikan sebagian besar sumber kita. Ruwetnya adalah menjalankan tuntutan
Utilitarianisme akan menganggu jalannya kehidupan individu kita.
2. Relasi-Relasi Pribadi
Maksudnya adalah , tak seorangpun dari kita ingin memperlakukan orang secara
sama, karena hal itu akan berdampak pada hubungan kita melepaskan hubungan kita
dengan keluarga dan teman. Kenyataan bahwa Utilitarianisme kurang menghargai
hubungan-hubungan pribadi kita tampaknya bagi banyak kritikus merupakan kesalahan
besar. Gagasan ini absurd, ketika kita kehilangan sentuhan realitas. Bagaimana jika kita
lebih peduli terhadap komunitas kita daripada dengan Ibu kita atau bahkan teman kita?
John Cottingham berkata “Orang tua yang membiarkan anaknya terbakar,- katena
alasan bahwa dalam bangunan itu ada orang lain yang sumbangannya di masa depan
untuk kesejahteraan umum lebih menjanjikan, bukanlah seorang pahlawan; dia
hanyalah objek dari kesombongan moral, seorang penderita kusta moral”.

D. Terakhir, Pembelaan Utilitarianisme


Walaupun di masa kini, Utilitarianisme dianggap sebagai hal yang naif dan kurang
bisa dijadikan sebagai pedoman hidup dengan beberapa kedangkalan dan kecacatan.
Ditambah argumen-argumen tersebut mampu menjadi sebuah dakwaan yang luar biasa
terhadap utilitarianisme. Teori yang awalnya cukup revolusioner dan progresif sekarang
tampak tidak bisa membela diri. Dari bertentangan dengan pengartian moral seperti
keadilan dan hak-hak individu. Namun , untuk menjawab argumen diatas beberapa
pembelaan bisa dijadikan sebuah pegangan untuk sedikit memberikan keleluasaan
Utilitaruabusne untuk berkembang, yaitu
1. Prinsip Utilitas Merupakan Tuntutan untuk Aturan Pemilihan, Bukan Tindakan
yang Individual.
Versi klasik Utilitarianisme tidak konsisten dengan moral akal sehat dan berusaha
menyelamatkan teori itu dengan formulasi baru. Versi baru dari teori ini adalah
memodifikasi, tindakan individu tidak lagi diadili dengan “Prinsip Utilitas”.
Utilitarianisme-Peraturan menjadi budaya banding untuk melawan teori sebelumnya,
Richard Brandt adalah salah satu pembela dari teori tersebut, ia mengatakan “salah secara
moral” berarti bahwa suatu tindakan dilarang oleh aturan moral manapun, dengan
didukung oleh orang rasional. Utilitarianisme-peraturan tidak mempunyai kesulitan untuk
menjawab para anti Utilitarian. Kuncinya adalah ketika para pegiat ini sudah mengeluarkan
statement “Aturan-aturan umum mengenai tindakan mana yang akan menghasilkan
kebahagiaan tertinggi?”
2. Akal Sehat Dapat Dipercaya
Sebuah kelompok kecil Utilitarian memberikan jawabanain untuk menghadapi argumen-
argumen Anti Utilitarian. Argumen ini memperlihatkan bahwa teori klasik berlawanan
dengan pemahaman-pemahaman biasa tentang keadilan dan hak-hak individu. Oleh itu,
jawaban mereka sangat singkat "Lantas mau apa?"
Tahun 1961 filsuf Australia J. J. C. Smart menerbitkan sebuah monograf berjudul An
Outline of a System Of Utilitatian Ethics. Pada intinya dia berargumen bahwa memang
Utilitarian mempunyai akibat dengan kesadaran moral pada umumnya, namun hal itu
merupakan kekurangan dari kesadaran moral umum. Artinya, dia cenderung menolak
metodologi umum untuk menguji prinsip-prinsip etis umum dengan melihat bagaimana
prinsip-prinsip itu cocok dengan perasaan kita dalam saat-saat tertentu.
Alih-alih dia menggunakan paham Utilitarianisme sebagai bahan pereduksian dan
pengambilan keputusan berdasarkan realitas-realitas yang terjadi karena dirasa prinsip etis
umum tidak menemukan metodologi dan menyerahkan itu semua ke realitas dunia.
Moral akal sehat kita belum tentu bisa diandalkan dan mengapa kita menolak teori rasional
ini? Karena ini bertabrakan dengan perasaan? Barangkali perasaan itu yang harus dibuang
bukan teori etikanya.
III. KESIMPULAN
Utilitarianisme adalah etika yang erat kaitannya dengan sebuah ukuran dan lebih
cenderung untuk menjadikan kebahagiaan sebagai ukuran dalam menjalankan teori ini.
Beberapa argumen seperti sanggahan dan pengiyakan sudah menjadi hal yang wajar kita
temui sebagai upaya untuk memperbaiki dari dalam dan luar berkenaan dengan teori ini.
Apakah kita harus menjadikan ukuran sebagai patokan? Apakah akal sehat kita dapat
dipercaya?

DAFTAR PUSTAKA

Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta : PT Kanisius Yogyakarta


Mill, John Stuart. 2020. Utilitarnisme. Yogyakarta : Basabasi (Terjemahan Utilitarianism
terbitan Longsman)
Harumma,Issha .2022. Kasus-Kasus Ketidakadilan di Indonesia. Diakses pada 15 Juni
2023 , dari https://nasional.kompas.com/read/2022/03/24/01300001/kasus-kasus-
ketidakadilan-di-indonesia
Alfons, Matius. 2019. Imparsial : Ada 31 Kasus Intoleransi di Indonesia , Mayoritas
Pelarangan Ibadah. Diakses pada 15 Juni 2023, dari
https://news.detik.com/berita/d-4787954/imparsial-ada-31-kasus-intoleransi-di-
indonesia-mayoritas-pelarangan-ibadah
Ratriani, Virdita. 2023. Kasus Marsinah : Kejinya Pembunuhan Aktivis Buruh Pada Masa
Orde Baru. Diakses pada 14 Juni 2023 dari
https://regional.kontan.co.id/news/kasus-marsinah-kejinya-pembunuhan-aktivis-
buruh-pada-masa-orde-baru
Byskov, Morten Fibeger. 2018. Utilitarianism and Risk. Journal of Risk Research,23(2),
259-270.
Pratiwi, Endang, Theo Negoro, dan Hassanain Haykal. 2022. Jeremy Bentham's
Utilitarianism Theory : Legal Purpose or Methods of Legal Product
ExaminationExamination?. Jurnal Konstitusi, 19(2), 270-290.

Anda mungkin juga menyukai