Patient Centered Care (PCC) atau Patient Centered-ness pertama kali dicetuskan pada
sebuah seminar di kota Salzburg pada tahun 1998. Kedua istilah diatas mengandung
pengertian yang sama, nagara-negara di eropa menyebutnya Patient Centered-Ness,
sementara di Amerika menyebut Patient Centered Care. Di Indonesia kita mengikuti isitilah
PCC, pertama kali dicetuskan pada tahun 2012, dan semakin berkembang hingga sekarang.
Pengertian PCC atau pelayanan berfokus pasien adalah sebagai asuhan yang menghormati
dan responsif terhadap pilihan kebutuhan dan nilai pribadi pasien serta memastikan bahwa
nilai-nilai pasien menjadi panduan bagi semua keputusan klinis (Institute of Medicine).
Berkembang dari pengalaman seseorang Bernama Harvey Picker, saat istrinya dirawat di ICU
sebuah rumah sakit di Amerika. Dikatakan bahwa sistem kesehatan di Amerika sudah
berdasarkan teknologi tinggi dan berbasis ilmu pengetahuan tetapi secara keseluruhan belum
atau tidak sensitif terhadap pasien dan tidak memperhatikan kenyamanan pasien. Kemudian
pada Tahun 1986 Harvey Picker mendirikan Picker Institut yang didedikasikan untuk
pengembangan pendekatan berfokus kepada pasien dalam pelayanan kesehatan, gagasan
ini kemudian dikembangkan dan diadopsi oleh ISQua sebuah lembaga yang melakukan
standarisasi kepada lembaga yang melakukan akreditasi rumah sakit, oleh ISQua gagasan
ini dikembangkan menjadi sebuah Standard Quality & Safety Of Patient Care yang
selanjutnya menjadi bagian dari standar akreditasi rumah sakit yaitu pelayanan berfokus
kepada pasien.
1. Hormati nilai-nilai pilihan dan kebutuhan dan yang diutarakan oleh pasien
2. Koordinasi dan integrasi asuhan
3. Informasi komunikasi dan edukasi
4. Kenyamanan fisik
5. Dukungan emosional dan penurunan rasa takut dan kecemasan
6. Keterlibatan keluarga dan teman-teman
7. Asuhan yang berkelanjutan dan transisi yang lancar
8. Akses terhadap pelayanan
Salah satu masalah yang dihadapi rumah sakit saat ini dalam hal menjalankan PCC dengan
tujuan mutu dan keselamatan pasien dapat lebih ditingkatkan mengalam benturan dengan
kebijakan di era BPJS. Dimana pasien BPJS yang sudah memiliki tarif sendiri untuk setiap
diagnose, terkadang menjadi hambatan bagi tenaga klinis dan rumah sakit. Salah satu unsur
penting adalah keterlibatan Case Manajer, yang memiliki fungsi sebagai tenaga fungsional,
dan juga bisa berperan di sisi pelayanan. Komunikasi case manajer dengan tenaga medis
khususnya DPJP harus berjalan harmonis sehingga kesembuhan dan kepuasan pasien tetap
dapat diutamakan.