Anda di halaman 1dari 6

KRITIK SENI: SEBUAH PENDEKATAN HOLISTIK

Oleh Ipit Saefidier Dimyati

Pengantar

Peradaban dunia tidak akan maju jika tanpa kritik, begitu kira-kira dikatakan oleh R.C. Kwant.
Meskipun ungkapan itu bisa diperdebatan secara panjang lebar, karena makna kemajuan bisa jadi
arti yang sebaliknya, namun ia memiliki makna bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di
dunia manusia senantiasa diawali dengan koreksi terhadap hal-hal yang sudah ada. Dengan
melakukan koreksi berarti manusia melakukan kritik. Begitu pun dengan seni, tampaknya seni
tidak akan berkembang seperti sekarang ini jika di dalamnya minus kritik.

Pada masa kini sering terjadi keluhan bahwa perkembangan seni yang demikian pesat tidak
sebanding dengan kritiknya. Bahkan beberapa pengamat mengatakan, nyaris di masa sekarang
tidak ada kritikus seni yang mumpuni. Bila pun muncul tulisan-tulisan kritik seni di media-media
massa, itu hanya terjadi secara sporadis saja, dan dilakukan oleh orang-orang yang kurang paham
mengenai seni, sehingga kritiknya bukan menghasilkan kemajuan, malah mengacaukan dunia
seni.

Sebetulnya keluhan itu tidak sama sekali benar, tapi juga tidak sama sekali salah. Betul, bahwa di
masa kini jarang orang yang berprofesi sebagai kritikus, namun hal seperti itu bukan hanya
sekarang saja. Dari sejak dulu jumlah kritikus selalu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah seniman-senimannya. Yang nyaris tidak ada di masa kini itu adalah kritikus yang secara
tekun mengamati perkembangan seni secara seksama. Ada banyak faktor mengapa hal tersebut
terjadi, dan salah satunya yang paling masuk akal adalah karena faktor ekonomi.

Meskipun tulisan tentang seni media-media massa itu hanya sekadar reportase atau resensi yang
sederhana tidaklah berarti bahwa tulisan itu tidak ada manfaatnya. Sesederhana apa pun suatu
tulisan, ia memiliki manfaat sebagai perekam jejak tentang peristiwa di masa lalu. Tulisan-
tulisan yang membahas tentang seni, walau bukan tulisan kritik yang ideal, bermanfaat sebagai
arsip yang bisa dibuka kembali oleh generasi penerus, apalagi jika tulisan itu tentang seni
pertunjukan, ia sangat berguna sebagai catatan mengenai seni yang telah tiada saat karya itu
selesai dipertunjukan.

Tulisan tentang kritik seni yang akan diungkapkan di bawah ini hanyalah sebuah pengantar yang
jauh dari sempurna. Ia hanya menawarkan sebuah pendekatan dari banyak pendekatan yang ada.
Sasarannya adalah untuk masyarakat awam yang mencoba untuk memahami dunia kritik. Hal
pertama yang diungkapkan adalah mengenai susunan seni. Pemahaman tentang susunan seni
merupakan sejenis modal awal bagi seseorang yang ingin menjadi kritikus. Selanjutnya akan
tentang pendekatan terhadap seni, sesuai dengan fokus pengkajiannya, dan yang terakhir yang
merupakan inti dari tulisan ini adalah tentang langkah-langkah dalam melakukan kerja kritik
yang mencoba memadukan pendekatan yang sudah ada.

Pembahasan

Apa itu kritik seni? Secara sederhana bisa dikatakan, kritik seni adalah pertimbangan indah atau
kurang indah, menarik atau tidak menarik, dari seorang kritikus terhadap karya seni. Karya seni
merupakan artefak yang dibuat dan dihadirkan oleh seseorang (seniman) kepada orang lain
(apresiator). Ketika seseorang ingin melakukan kritik terhadap suatu karya seni, tentu saja
terlebih dulu semestinya paham dengan objek yang akan menjadi sasaran kritiknya.

Hal pertama yang semestinya dipahami oleh kritikus adalah bahwa karya seni merupakan
kosmos (cosmos) yang tersusun dari berbagai hal. Kosmos yang dimaksudkan di sini adalah
bahwa karya seni merupakan keteraturan yang disusun dari realitas yang tampak tidak teratur
alias kaos (chaos). Bunyi yang ada di sekitar kita, misalnya, merupakan perpaduan dari berbagai
bunyi yang terdengar tidak keruan. Dari ketidakteraturan suara atau bunyi seorang musikus
“memungut”-nya dan menyusunnya secara harmonis sehingga menjadi melodi yang bisa
terdengar indah di telinga. Begitu pula dengan sastrawan, contoh yang lain, dia sebetulnya tidak
menciptakan kata-kata yang baru, tetapi memungut kata-kata yang bersliweran di sekitarnya, lalu
menyusunnya, sehingga jadilah karya puisi atau novel yang indah. Contoh yang lain bisa
ditambahkan.

Kemudian, seni itu tersusun dari komponen-komponen apa saja? Agar bisa menjawab pertanyaan
ini, maka kita terlebih dulu harus menjawab tiga persoalan yang bisa mengarahkan ke jawaban
tentang susunan seni tersebut, yaitu: Karya seni itu mengenai Apa? Karya seni itu terbuat dari
apa? Karya seni itu bagaimana menyusunnya?

Untuk pertanyaan yang pertama, “Karya seni itu mengenai apa?”, berbicara tentang susunan
pertama karya seni, yakni mengenai subjek matter, atau pokok soal. Setiap karya seni memiliki
pokok soal atau sesuatu yang ingin disampaikan oleh seniman. Pokok soal bisa juga disebut
tema dan premis, meskipun banyak yang mengatakan bahwa tidak setiap karya seni memiliki
pesan atau tema. Pesan atau tema biasanya relatif mudah digali dalam karya-karya seni yang
menggunakan media kata-kata.

Pertanyaan yang kedua, “Karya seni itu terbuat dari apa?”, mengungkapkan susunan seni yang
kedua, yaitu medium. Untuk menyampaikan subjek matter seniman mesti menggunakan
medium. Medium biasanya sesuatu yang konkrit, dan bersifat mutlak. Medium menentukan
jenis atau kategori seni tertentu. Jika seorang seniman memilih medium kata, maka seni yang
dihasilkannya adalah seni sastra. Jika yang dipilihnya medium manusia yang bergerak, maka seni
yang dihasilkannya adalah tari. Jika seniman itu memilih medium aktor, maka yang
dihasilkannya karya teater. Dan sebagainya.
Pertanyaan ketiga, “Karya seni itu bagaimana menyusunnya?”, berbicara tentang style atau gaya.
Karya seni merupakan pengorganisasian dari medium yang menyebabkan lahirnya suatu
‘bentuk’ (form). Setiap karya seni menjadi karya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya
karena bentuk. Bentuk itu biasanya bersifat tetap dari seorang atau segolongan seniman. Suatu
karya seni disebut sebagai karya original atau tidak umumnya dilihat dari bentuk yang disajikan
oleh seniman kepada para apresiatornya. Oleh karena itulah bentuk dipandang sebagai style atau
gaya, karena merupakan ungkapan yang khas yang dimiliki oleh seseorang. Secara singkat dapat
disebutkan, gaya adalah cara yang khas dalam menyusun medium untuk mengungkapkan pokok
soal yang dilakukan oleh seorang seniman.

Dari tiga susunan karya seni itu, lahirlah dua pendekatan dalam melakukan kajian terhadap karya
seni, yaitu tekstual dan kontekstual. Tekstual berarti karya seni dikaji hanya sebagai bentuk yang
khas yang diciptakan oleh seniman dengan tanpa menghubung-hubungkannya dengan persoalan-
persoalan di luar seni, seperti sejarah, latar belakang seniman, kehidupan sosial, politik, atau
agama. Pendekatan ini disebut sebagai formalisme.

Pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang mengkaji karya seni sebagai entitas yang
digunakan seniman untuk mengungkapkan pokok soal tertentu. Dalam pendekatan ini seni
dianggap bukan hanya sebagai bentuk yang khas, tapi merupakan ungkapan yang memiliki
relevansi dengan persoalan-persoalan kehidupan, seperti politik, psikologi, sosial, atau agama.
Jika pendekatannya hanya sejarah dan latar belakang seniman yang menciptakannya, maka
disebut sebagai ekspresivisme, dan jika pendekatannya mengaitkan dengan persoalan-persoalan
sosial dan budaya yang lebih luas,maka disebut sebagai instrumentalisme.

Kritik seni sebagai kegiatan yang melakukan penilaian terhadap karya seni tentu saja titik tolak
utamanya adalah bentuk atau gaya yang diciptakan oleh seniman. Akan tetapi, untuk sampai
pada kesimpulan bahwa bentuk yang disajikan seniman itu indah atau tidak indah, menarik atau
tidak menarik, serta memiliki makna atau tidak, maka kritikus terlebih dulu harus bisa
mengungkapkan pokok soal, tema, atau pesan yang ingin disampaikan oleh seniman melalui
karya seni yang diciptakannya. Pertanyaan pertama yang semestinya muncul dalam benak
kritikus adalah “Apa yang ingin disampaikan seniman melalui karya seni yang diciptakannya
itu?”. Setelah itu, “Apakah medium yang disusunnya menjadi bentuk itu memadai atau berhasil
mengungkapkan pokok soal yang ingin disampaikannya?” Jika jawabannya positif, maka
pertanyaan yang muncul selanjutnya, “Mengapa bentuk itu memadai atau bisa berhasil
mengungkapkan pokok soal yang ingin disampaikan seniman?” Jika sebaliknya, “Mengapa
bentuk itu tidak memadai dan tidak berhasil mengungkapkan pokok soalnya?” Pertanyaan
selanjutnya, “Apakah bentuk yang disajikannya itu sebagai sesuatu yang original atau hanya
mengikuti satu konvensi tertentu?”

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, setiap kritikus memiliki langkah-langkah yang


berbeda. Akan tetapi secara umum langkah-langkah itu bisa dirumuskan seperti berikut di
bawah ini.
Hal pertama yang harus diperhatikan kritikus adalah bahwa menikmati karya seni semestinya
disikapi sebagai sebuah “pertemuan”. Artinya, dalam mengapresiasi karya seni sebaiknya
kritikus tidak terlebih dulu mempersiapkan diri sebagai orang yang menilai dengan segudang
rumus yang telah ada di benaknya, tetapi masuk ke dalam karya seni itu dengan tanpa
membentengi diri dengan asumsi-asumsi. Jika menggunakan metafor, karya seni itu seperti arus
yang membawa hanyut para penikmatnya ke suatu arah. Agar para penikmatnya bisa sampai ke
arah tersebut, maka mereka semestinya tidak melawan arus, tetapi mengikutinya ke mana pun
dibawa pergi. Penikmatan serupa itu bisa disebut sebagai apresiasi empatik, yakni apresiasi yang
mencoba menghilangkan dikotomi antara diri sebagai subjek dan karya seni sebagai objek.

Setelah melakukan “pertemuan”, langkah selanjutnya adalah melakukan distansi, atau


penjarakan dengan karya seni. Melalui distansi inilah penilaian terhadapkarya seni bisa
dilakukan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pertimbangan tentang baik dan buruk atau indah
dan tidak indah, kritikus terlebih dulu mesti melakukan beberapa tahap kerja analisis. Paling
tidak ada empat tahap kerja yang harus dilaluinya,yaitu: deskripsi, interpretasi, analisis formal,
dan evaluasi.

Dalam tahap deskripsi, kritikus mendeskripsikan hasil pertemuannya dengan karya seni yang
menjadi sasaran kritiknya. Belum ada penilaian di tahap ini. Kritikus hanya menggambarkan
kembali karya seni yang dilihatnya dan menyampaikan sensasi-sensasi perasaan yang muncul.
Jika sasaran kritiknya adalah pertunjukan teater, misalnya, maka dalam tahap deskripsi kritikus
bersangkutan menggambarkan kembali secara ringkas seluruh pertunjukan yang disaksikannya.
Setelah itu, ungkapkan pula sensasi-sensasi perasaan yang muncul selama menonton
pertunjukan.

Memasuki tahap interpretasi, berarti kritikus harus memberikan tafsirannya tentang pokok soal
yang ingin disampaikan oleh seniman. Melalui karya seni yang sudah dideskripsikan itu, pokok
soal apa sebetulnya yang ingin disampaikan oleh seniman? Pokok soal dalam seni, seperti sudah
dikatakan,bisa bisa berupa tema dan premis. Kehadiran bisa sangat eksplisit terlihat,tapi bisa
juga secara implisit. Tema dan premis relatif lebih mudah ditemukan di dalam karya sastra atau
pertunjukan teater konvensional yang dominan oleh kata-kata. Tema itu inti sari yang ingin
disampaikan, bisa hanya terdiri dari beberapa kata atau frase atau juga mungkin satu kalimat.
Sedangkan premis merupakan pendapat seniman terhadap kehidupan yang di hadapi dan
disaksikannya. Premis umumnya terdiri dari satu kalimat. Misalnya jika seseorang ingin
menunjukkan tema dalam drama Oedipus Sang raja, karya Sophocles, maka setelah
membacanya dengan seksama, mungkin dia tiba pada kesimpulan bahwa tema drama itu adalah
“perjuangan manusia melawan takdir”, sedangkan premisnya adalah “Setiap manusia yang
melawan alam akan dihajar oleh alam”. Premis dalam karya-karya klasik umumnya selalu
tertera secara eksplisit di akhir karya.

Tahap selanjutnya, analisis formal, yakni menganalisis medium yang digunakan oleh seniman
dalam mengungkapkan pokok soal yang ingin disampaikannya. Di awal sudah disebutkan
bahwa karya seni merupakan suatu kosmos, suatu keteraturan yang disusun dari
ketidakteraturan-ketidakteraturan yang dijumpai oleh seniman saat bersentuhan dengan
kehidupan. Untuk menyusun ketidakteraturan sehingga menjadi keteraturan, seniman
melakukannya dengan menggunakan kriteria tertentu yang bersifatnya umum, namun di samping
itu, dia pun sebetulnya sedangkan menghadirkan keunikan karyanya yang berbeda dengan karya-
karya orang lain. Seni dikatakan sebagai hasil kreativitas, karena karya itu diciptakan hanya satu
jenis saja, dan jika ditiru, maka tiruannya tersebut dianggap lebih rendah dari karya yang aslinya.

Di dalam melakukan analisis terhadap bentuk, kritikus sebetulnya melakukan pula kerja di tahap
evaluasi, karena dalam tahap ini kritikus menentukan pula kriteria umum (norma) keindahan
yang digunakannya untuk menentukan ‘kadar artistik’ dari bentuk karya seni yang menjadi
sasaran kritiknya. Pertanyaan yang harus dijawab oleh kritikus dalam tahap ini adalah: “Apakah
karya seni itu sudah memenuhi azas-azas keindahan?”

Berbicara tentang azas-azas keindahan akan jadi perdebatan panjang yang mungkin tidak akan
tuntas, sebab menentukan sesuatu itu indah atau sebaliknya, tidak bisa ditentukan secara pasti,
seperti didalam menentukan kriteria “air yang mendidih atau air yang membeku”. Seni bukan
persoalan eksak yang sudah jelas ukurannya. Persoalan indah dan tidak indah kerap ditentukan
oleh selera pribadi yang sangat berhubungan erat dengan riwayat pribadi dan ruang sosial orang
yang menilainya. Akan tetapi meskipun begitu, bukan berarti tidak ada azas-azas umum yang
bisa menentukan bahwa suatu bentuk itu indah atau sebaliknya.

Ada banyak pendapat tentang azas-azas umum tersebut, tetapi untuk kepentingan tulisan ini,
maka di sini akan dikutip azas-azas umum mengenai kriteria keindahan dari seorang pakar
estetika, DeWitt H. Parker, yaitu:

• Azas kesatuan utuh: setiap unsur dalam suatu karya seni perlu bagi nilai karya seni, dan
karya seni tidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu, tetapi mengandung unsur-unsur
yang diperlukan

• Azas tema: karya seni memiliki satu (atau beberapa) ide induk atau peranan yang paling
dominan berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna)

• Azas varia menurut tema: tema karya seni disempurnakan dengan terus menerus
mengumandangkannya

• Azas kesatuan utuh: setiap unsur dalam suatu karya seni perlu bagi nilai karya seni, dan
karya seni tidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu, tetapi mengandung unsur-unsur
yang diperlukan

• Azas tema: karya seni memiliki satu (atau beberapa) ide induk atau peranan yang paling
dominan berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna)
• Azas varia menurut tema: tema karya seni disempurnakan dengan terus menerus
mengumandangkannya

Di dalam tahap evaluasi yang juga perlu diperhatikan oleh kritikus adalah menetapkan ranking
dengan cara menghubungkan karya itu dengan karya-karya lain yang sejenis, baik karya-karya
lain dari seniman yang sama maupun karya-karya lain dari seniman yang berbeda. Artinya,
dalam tahap ini kritikus berusaha untuk mengomparasikan karya yang jadi sasaran kritiknya,
sehingga karya itu bisa ditentukan keunggulan atau kelemahannya, serta kebaruan dan
keterulangannya. Di dalam tahap ini pula kritikus , jika dia memiliki modal simbolik dan modal
ekonomi yang cukup, bisa menggugurkan kesenimanan seseorang, atau juga sebaliknya, dia bisa
mengukuhkan seseorang sebagai seniman.

Penutup

Ada banyak metode kritik seni yang bisa ditawarkan, dan bisa saja antara satu metode dengan
metode lainnya saling bersebrangan. Hal tersebut bisa terjadi karena kritik hanyalah upaya
penafsiran terhadap karya seni yang sulit untuk tidak melibatkan unsur subjektivitas di dalam
penelaahannya. Beberapa metode mungkin hanya terfokus pada persoalan tekstual belaka, dan
metode yang lainnya mungkin hanya menkaji unsur konteksnya saja dari karya seni. Namun ada
pula metode yang mencoba menggabungkan keduanya. Metode kritik seni seperti yang
diungkapkan di atas pun adalah upaya menggabungkan kedua hal tersebut, dengan anggapan,
bahwa meskipun seni itu persoalan bentuk atau gaya, namun karya seni bukanlah artefak yang
lepas dari pengaruh hal-hal di luar seni. Metode ini disebut sebagai ‘holistik’, karena berupaya
untuk membahas karya seni sebagai sebuah kesatuan secara menyeluruh.***

Daftar Rujukan

Gie, The Liang. 1979. Garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Graham Gordon. 1997. Philosophy of Art An Introduction to Aesthetics. London dan Newyork:
Routledge.

Kwant, R.C. 1986. Manusia dan kritik. Drs. A. Soedarminto. Penerjemah Yogyakarta: Kanisius.

Parker, DeWitt H. Tanpa Tahun. “Prinsip-prinsip Estetika”. Penerjemah Humardani. Solo:


ASKI Solo.

Suryajaya, Martin. 2016. Sejarah Estetika. Jakarta: Gang Kabel dan indie Book Corner.

Anda mungkin juga menyukai