Anda di halaman 1dari 12

Nama : Haura Annisa Zahra

Kelas : XI IPS 4
No. Absen : 17
Judul : Ayana
Teman : Horor, Romance
Kala itu, Aku dan teman-temanku Caca, Naya, Yuda, Dzaky, Adul, Ella, dan Revan saat aku
berlibur ke sebuah desa. Pada saat perjalanan, kami mengalami keanehan. Keanehan pertama
pada saat kami melewati pohon-pohon rindang. Di mana salah satu dari kami nyeletuk, “loh,
bukannya kita udah lewatin pohon yang ini ya?” tanya Ella saat melihat pohon yang
bersimbol X.
“Loh, iya ya?” sahut Dzaky. “Kita udah lewat sini dua kali ... kok ngelewatin lagi si?”
“Shhh ... daripada ribut, mending kita berdoa aja.” Ujar Caca.
Setelah itu, kami pun berdoa bersama. Setelah berdoa, entah mengapa kami sudah tidak
melewati pohon itu lagi.
“Alhamdulillah,” celetuk kami semua.
“Yud, coba liat google maps, kita sekarang udah sampai mana ... kok belum sampai juga,
udah hampir menjelang maghrib ini ....” ucap Caca ke Yuda.
“Loh, gak ada sinyal? Ini gmaps-nya gak jalan ... liat!”
Kami pun melihat, dan benar, di ponsel kami semua pun tidak ada jaringan di sini!
“Aduh, gimana dong? Harusnya gak selama ini loh!” omel Naya.
“Iya ya, harusnya sebelum Ashar kita udah sampai ....” ujar ku.
“Ara, kamu bawa Al-Qur’an gak?” tanya Caca.
Aku mengangguk, “bawa, ada di tas, kenapa?”
“Coba kamu bacain surat-surat pendek.”
Aku pun mulai mengambil Al-Qur’an di dalam tas, lalu mulai membacanya.
Saat adzan maghrib berkumandang, kami pun mulai mencari musholla terdekat. Tak lama,
kami pun menemukan musholla terdekat. Namun, musholla ini tampak gelap, lembab, seperti
tidak pernah ada orang yang menumpang beribadah di sini.
“Ini musholla beneran kan?” tanya Ella.
“Kan udah jelas tulisannya musholla, kok nanya lagi si?” sahut Naya dengan nada yang
cukup tinggi.
Caca yang mendengar keributan pun mulai mencoba menenangkan. Setelah keributan
berakhir, kami pun sholat berjamaah.
Selesai sholat, Yuda mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan, namun Caca
melarangnya. “Kalau kata aku mah mending kita berhenti dulu, istirahat dulu.”
“Tapi kalau misalnya kita berhenti dulu, kita gak akan sampai.” ujar Revan.
“Iya, betul! Mending dilanjut aja.” Sahut Adul.
“Ya udah deh, mending gini. Kalau misalnya ada pemukiman warga, kita istirahat di situ aja.
Kasian Yuda juga pasti capek nyetir.” Ujar Ella.
“Oke. Ide bagus,” sahut Caca.
Akhirnya, kami pun melanjutkan perjalanan. Saat kami akan melanjutkan perjalanan, tiba-
tiba ada kakek tua yang mendatangi kami. Kakek tua itu berkata, “hati-hati di jalan.” Lalu
dilanjut, “kalian harus cepat-cepat pergi dari sini!” Lalu kami pun bergegas pergi dari
musholla itu.
Di mobil, kami pun membicarakan kejadian itu. “Maksud dari si Kakek apa si?” tanya Adul.
“Entah, mungkin si Kakek gak suka kita ada di musholla itu.” Sahut Dzaky.
“Udah, gak usah dipikirin. Sekarang kalian liat jalanan aja, siapa tau kita nemu pemukiman
warga di sini.” Ujarku.
Kami pun melihat-lihat jalan. Lalu, tak lama kemudian, kami mengalami keanehan lagi.
Kami mulai menemukan kendaraan selain mobil yang kami tumpangi, dan kami pun
bersyukur. Kami pikir, wah, sebentar lagi akan sampai. Namun, harapan kami pupus ketika
Caca dan aku melihat sesuatu.
Mobil itu ... tidak ada pengendara ataupun penumpangnya!
“Guys, baca-baca doa ya,” ujar Caca.
“Iya, Ca, dari tadi kita berdoa terus kok!”
Ella yang mengetahui aku dan Caca melihat ‘sesuatu’ pun mulai menenangkan kami berdua.
Setelah perjalan yang kami rasa cukup jauh, kami mulai menemukan pemukiman warga.
Namun, pemukiman itu sangat gelap, layaknya pemukiman yang sudah ditinggalkan
bertahun-tahun.
Kami pun mulai turun dari mobil, dan langsung mengetuk-ngetuk pintu rumah salah satu
warga yang kami lihat cukup besar.
Tok
Tok
Tok
Tak lama, si empunya rumah pun ke luar. “Iya, ada apa?” tanyanya.
“Permisi Bu, maaf. Apakah ibu tau salah satu penginapan di sini?” tanyaku dengan berhati-
hati.
“Penginapan? Di sini tidak ada penginapan. Jika kalian mau, kalian boleh tinggal di rumah
saya yang ini. Ada 4 kamar, tapi ada satu kamar yang letaknya paling ujung.” Ujar ibu
pemilik rumah.
Kami pun berunding, daripada tidak menemukan pemukiman lagi, mending di sini aja dulu,
pikir kami semua. Kami pun setuju, dan mulai membagi kamarnya.
“Aku sama Naya di kamar yang depan, Ella sama Ara di sebelah kamar kita. Sementara Yuda
sama Dzaky di kamar ke tiga, Adul, sama Revan kamar sisanya. Setuju?” tanya Caca dan
kami pun mulai menyetujuinya.
Kami pun mulai masuk ke dalam rumah, dan mulai membereskan barang kami.
“Nah, silahkan kalian bersih-bersih dan rapihkan barang kalian.” Ujar si ibu yang punya
rumah.
“Bu, rumahnya ibu kan kami pakai untuk menginap, ibu tidur di mana dong?” celetuk Adul.
“Saya mempunyai satu rumah lagi, tepat berada di belakang rumah ini. Saya tinggal dulu ya,
mau lanjut tidur.
Kami pun meng-iyakan dan berterima kasih saat ibu itu berpamitan untuk pulang.
“Adah, akhirnya ketemu juga rumah warga.” Ujar Yuda yang dari tadi menyetir dan
tangannya pun sudah pegal-pegal.
“Yang cowok, coba liat dulu itu kamar yang paling pojok tuh sebelah mana,” ujar Naya.
“Nanti ajalah anjir, kita baru banget nyampe,” ujar Dzaky.
“Tau tuh, istirahat dulu kali. Masalah kamar mah, mau pojoknya mepet kuburan juga kita
mah gak peduli!” ujar Adul.
“Adul, omongan di jaga. Ini bukan lingkungan kita!” omel Naya.
“Nyenyenye, gue gak peduli si!” lalu Adul pun meninggalkan kami, ia mulai memasuki salah
satu kamar.
Kami pun menggeleng-gelengkan kepala, pusing melihat kelakuan Adul yang sembrono.
Kami memasuki kamar masing-masing yang sudah dibagi Caca tadi.
“Hufft, capek juga ya, La.” Keluhku.
Ella pun mengiyakan, “iya, kok lama banget ya. Gak nyampe-nyampe kita.”
“Iya ya, harusnya sebelum Ashar udah nyampe. Maksimal Maghrib harusnya udah sampai!”
Setelah itu topik pun selesai, Ella pun tertidur. Sementara aku, aku masih terjaga dan
menonton film.
Tok
Tok
Tok
Aku pun mematikan televisi, lalu menuju ke pintu kamar, dan membukanya.
“Loh, Ca? Kok belum tidur?” tanyaku terkejut. Tapi, Caca hanya diam saja, bahkan tidak
menjawab pertanyaanku. “Kalau kamu ke sini, Naya sendiri dong?”
Lagi dan lagi, Caca tidak menjawab pertanyaanku. Caca masuk, dan terduduk di kasur.
Aku merasa ada yang tidak beres dengan Caca, tumben sekali dia tidak memberikan ucapan
salam. Biasanya Caca aku mengucapkan salam sebelum masuk ke kamarku.
“Ca, aku mau beres-beres kamar ini dulu ya,” ujarku. Namun saat aku membalikkan badanku,
Caca sudah menghilang!
“Loh? Ca? Caca?!” Aku keluar dari kamarku, lalu berjalan menuju kamar Caca dan Naya.
Aku mengetuk pintu kamar Caca dan Naya, “Ca?? Caca??”
Pintu kamar pun terbuka, dan yang membukanya itu Caca yang terlihat baru saja terbangun
dari mimpinya.
“Apa, Ara?”
“Kamu ini, aku Cuma tinggal balik badan sebentar, kok udah menghilang aja!”
Caca menaikkan alisnya, “aku dari tadi tidur, Ara ... aku gak ada ke kamar siapapun.”
Aku dan Caca terdiam. Hawa dingin mulai menusuk kulit. “Ara, lebih baik kamu cepet-cepet
tidur,” ujar Caca. Aku pun menurutinya dan segera balik ke kamarku.
Aku menutup pintu kamarku, saat aku memejamkan mataku, aku mendengar suara Adul yang
tengah berbicara. Aku takut, tapi rasa penasaranku lebih kuat.
“Kamu cantik juga ya, namanya juga cantik. Ayana.”
Saat aku keluar dari kamarku, aku melihat Adul tengah berbicara dengan satu sosok,
rambutnya panjang terurai. Sosok itu mungkin sadar ada yang melihat dirinya, sosok itu
membalikkan badan, dan dia sedang menatapku.
“AAAAAAA!!” Aku berteriak lalu berlari, namun sayang aku tersandung entah apa itu, dan
aku pun tidak bisa melihat apa-apa lagi.
<><><>
“Ra? Ara?!”
Aku membuka mataku, aku melihat teman-temanku berkumpul. Aduh, aku pusing sekali.
“Alhamdulillah, sadar juga!”
“Ara kok bisa pingsan, Ra?!” tanya Caca, aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Aku kemarin liat Adul lagi ngobrol sama sosok cewek, rambutnya panjang, mukanya
hancur.” Celetukku tiba-tiba.
Adul kebingungan, “apa si, Ra? Cantik begitu kok dibilang mukanya hancur?!!”
“Iya, Dul. Cewek yang lu ajak ngobrol, mukanya hancur!”
Ella dan Caca memelukku. “Udah, mungkin kamu salah liat. Lagian kejadiannya malem juga,
mungkin kamu kecapekan dan ngantuk juga.” Ujar Ella.
“Iya, Ra, mungkin kamunya udah ngantuk jadinya salah liat deh.” Sahut Caca.
Dzaky membawakan segelas air, lalu mengelus rambutku. “Ini diminum dulu. Gak usah
dipikirin, sekarang istighfar yuk. Astaghfirullahaladzim ....”
Aku pun mengikutinya, “Astaghfirullahaladzim ... Astaghfirullahaladzim ...
Astaghfirullahaladzim ....” Setelah mulai merasa tenang, aku pun berjalan ke arah luar rumah.
“Ra!”
“Ara!”
Aku menoleh, ah ternyata Revan. “Apa?”
“Yang tadi malem ... Lo gak salah liat, kok. Gue juga liat cewek itu, tapi gue liatnya pas dia
keluar dari kamar Lo sama Ella.” Aku terdiam. Seingatku, memang ada ‘Caca’ yang
memasuki kamarku. “Terus Lo keluar juga kan? Terus Lo nyamperin kamar Caca?”
Aku menganggukkan kepalaku.
“Nah, pas Lo udah balik, gue juga kebetulan udah balik dari dapur dan masuk ke kamar.
Cuma Adul pamit ke gue, mau di luar dulu sambil ngopi. Gue juga denger kok Adul
ngomong sama tu makhluk.”
Aku terdiam, benar-benar terdiam. Aku tidak bisa berkata apapun, aku rasa, kita semua harus
segera keluar dari rumah ini.
“Rev ... Gue rasa, kita harus cepet-cepet pergi dari rumah ini gak si?”
Revan pun menganggukkan kepalanya, “iya, gue setuju.”
Di sisi lain, Dzaky dan Ella keluar rumah mencari warung untuk menambah persediaan
makanan. Saat sedang bertemu seorang Bapak, Bapak itu seperti terkejut saat melihat Dzaky
dan Ella keluar dari rumah itu.
“Loh? Sejak kapan rumah ini ada orangnya?”
“Maksudnya, Pak?” tanya Dzaky bingung.
“Iya, rumah ini udah gak berpenghuni selama kurang lebih 20 tahun.”
Ella dan Dzaky terkejut, kemarin mereka baru aja ketemu sama si pemilik rumah kok!
“Ah Bapak, bercandanya bisa aja.”
Bapak itu menatap mata Ella dan Dzaky, “Saya serius. Pemilik rumah itu sudah meninggal,
kuburannya ada di belakang rumah itu. Pemilik rumah itu meninggal bersama anaknya
karena ditembak oleh asisten rumah tangganya.”
Ella dan Dzaky saling bertatapan, dan memberi kode. ‘Kita harus cepet-cepet kasih tau
mereka untuk pergi dari sini.’
“Ah gitu, Pak ... terima kasih ya.”
“Iya, Nak. Hati-hati, ya!”
Dzaky dan Ella tidak jadi pergi ke warung, mereka segera ke dalam rumah dan berkata.
“Guys! Kita harus cepet-cepet pergi dari sini! Beresin barang kalian!!” ujar Ella dengan nada
panik sambil menuju ke kamarnya.
“Kenapa si?!”
“Udah, cepet beresin barang kalian!” titah Dzaky.
Sementara itu, di belakang ada Revan yang mengamati dua benda yang menarik
perhatiannya. Ia berjalan perlahan-lahan, lalu mengamati tulisan di batu nisan itu.
“Sulistiya ... Ayana ....”
‘Kenapa? Kamu penasaran dengan kami ya?’
Revan menolehkan wajahnya, ia melihat sosok wanita itu lagi, lalu ia pun tak sadarkan diri.
“Kalian udah siap semua?” tanya Yuda.
“Tunggu sebentar, kayak ada yang kurang!” ujarku. “Revan! Revan gak ada! Barangnya dia
juga belom ada di bagasi kan?!” lanjutku.
Aku berlari menuju ke dalam rumah itu, dan mencari keberadaan Revan. Dan aku pun
menemukannya dengan keadaan Revan pingsan.
Aduh, aku gak bisa gotongnya! Revan kan berat!
“Ara?! Revan?!”
Alhamdulillah, ternyata ada suara teman-temanku.
“Ara?! Revan?! Kalian di mana?!”
“Di belakang dapur!” teriakku.
Mereka menemukan kami!
“Astaghfirullah, Revan?! Revan kenapa, Ra?!” tanya Caca panik, aku menggelengkan
kepalaku.
“Ayok, bantu gotong Revan ke mobil! Aku mau beresin barang-barang Revan, Dzaky
temenin aku ya!” ujarku sambil menarik lengan Dzaky.
Aku dan Dzaky pun mulai memasukkan baju-baju dan barang-barang Revan yang
berceceran. Lalu saat sudah rapih, kami pun bergegas menuju mobil.
Ah iya, aku akan menginfokan kalau posisi duduk ini
Di depan Yuda dan Caca.
Di tengah Ella, aku dan Dzaky.
Di belakang Adul, Revan, dan Naya.
Aku melihat ke arah belakang, baru kali ini aku melihat Revan pingsan. Aku yakin, pasti tadi
ada sesuatu yang membuat Revan jadi gini.
Aku bersandar ke bahu Dzaky, “kenapa ya kita dikasih cobaannya gini amat ya.”
Dzaky mengelus rambutku, “mungkin sikap kita kurang sopan di tempat orang juga, kata-
kata kita tidak terkontrol, jadi makhluknya pada keganggu.”
Revan pun terbangun, “Kita udah keluar dari rumah itu kan?” ujarnya sedikit tidak jelas
karena baru saja siuman.
“Revan? Ya Allah, Lo kenapa Revan?” tanyaku dengan khawatir.
Revan menggelengkan kepalanya. “Syukur kita udah keluar dari rumah itu ....”
“Kita harus  cepet-cepet menemukan jalan dan pemukiman yang meyakinkan untuk kita
tinggali!” ujar Naya.
“Lo mau minyak kayu putih gak?” tanya Ella ke Revan, dia menggelengkan kepalanya.
“Ara, baca surat-surat pendek lagi ya, Ra. Semuanya berdoa, semoga gangguan ini sudah
berakhir, semoga di tempat yang akan kami tinggali pun tidak ada gangguan lagi.” Ujar Caca.
Aku sudah tidak sanggup, karena aku sudah menangis sesegukan sedari tadi. Jadi aku
meminta Caca untuk menyetel murojaah di radio mobil.
Dzaky masih menenangkan dan mengelus-elus suraiku dengan lembut. “Tidur ya, pasti capek
banget ya?” Aku menganggukkan kepalaku.
<><><>
“Ra ... Ara ... bangun yuk, kita udah sampai!” ujar Caca dengan lembut. Aku pun mulai
membuka mataku, dan mengusapnya.
“Sampai di mana?” tanyaku bingung.
“Kita sampai di hotel, untuk sementara waktu, kita tinggal di sini dulu ya.”
Aku pun menganggukkan kepalaku, lalu aku turun dan membawa barang-barangku. Aku
melihat hotel ini sangat sejuk, asri, dan indah.
“Semoga tempat ini tidak ada gangguan apapun,” doaku.
Kami pun memasuki hotel tersebut, lalu kami pun ke bagian resepsionis dan meminta kunci
kamar tersebut.
Aku melihat-lihat sekeliling, aku rasa aman. Villa ini terlihat baru, indah juga karena ada
banyak bunga-bunga di villa tersebut, ah lagipula banyak sekali pengunjung yang sepertinya
tamu penting.
“Ara! Ayok beres-beres dulu!” ujar Ella.
Aku pun segera menyusul teman-temanku yang sudah menaiki lantai atas. Saat sudah sampai,
kami pun membuka pintu kamar kami. Ah, akhirnya .... Kami semua pun memutuskan untuk
tidur, karena kami berencana esok akan berangkat lagi.
<><><>
Aku terbangun dari mimpi indahku. Aku kebelet buang air kecil, namun aku mendengar
suara keran dan suara siraman dari toilet.
Aku pun heran. Yang ku tau, tadi Ella sudah mengunci pintu kamar. Siapa yang masuk?

CARNAEDY
Woi|
Kalian yang cewek, ada yang ke kamar aku ma Ella gak?|
Yuda
|Si Caca ma si Naya mah udah tidur, ga ada yang keluar-keluar.
Ya ampun, terus itu siapa dong yang di kamar mandi?
Aku pun berjalan menuju pintu, lalu keluar dari kamar. Aku melihat Revan dan Dzaky
sedang duduk di balkon.
“Kalian tumben belum tidur?” tanyaku basa-basi.
“Aku gak bisa tidur, Ra.” ujar Dzaky.
“Iya, gue juga gak bisa tidur.” Sahut Revan. “Lo sendiri, kenapa belum tidur?” tanyanya.
“Gue udah tidur, cuman kebangun gara-gara gue kebelet pengen buang air kecil.” ujarku,
sementara mereka cuma ber-oh saja.
Angin berhembus pelan, hening. Hanya ada suara kendaraan yang melaju.
“Bulannya cantik ya?” ujarku memecah keheningan.
“Bintangnya juga ya? Walaupun kecil, tapi tetap terlihat cantik.” ujar Dzaky, aku pun
menganggukkan kepalanya.
“Langit malamnya juga indah karena ada bintang dan bulan, ditambah dengan udara yang
sejuk.” sahut Revan.
Aku pun memejamkan mataku, tak lama kemudian aku merasakan badanku jatuh ke bahu
salah satu temanku. Entahlah, aku sudah mengantuk.
Tapi ntah mengapa, mimpi buruk itu datang lagi. Aku tak lama terbangun, lalu melihat Adul
sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Seperti de ja vu.
“Jangan ganggu temanku!” teriakku.
Adul pun memalingkan wajahnya. “kenapa si, Ra?”
“Dul, kamu tuh diikutin sama itu makhluk halus!”
Adul pun mengernyitkan dahinya. “gak jelas banget! Udah terang di sebelahku ini cewek
cantik!”
“Terserah lah, Dul!”
Aku pun berjalan ke arah kamarku, meninggalkan ketiga temanku. Namun, saat aku sudah
memasuki kamarku, tiba-tiba saja terdengar bunyi barang jatuh dari kamar Caca.
Aku pun bergegas ke kamar Caca, lalu melihat sekeliling. Astaga, Naya hilang!

CARNAEDY
You
Woi!|
Si Naya hilang!|
Revan
|Gue tadi liat si Naya ke arah loteng.
|Tapi dia jalan sambil merem.
You
Van, ayok bantu cari Naya!|
Dzaky
|Ikut!

You
Iya, cepetan!!|

Aku pun bergegas menuju arah loteng, dan disusul oleh kedua temanku. Saat sudah
mendekati loteng, aku mendengar suara tangisan.
“Naya?” tanyaku dengan nada yang sedikit ragu.
“Hiks ... huhuuhu ... bantu a...ku ....”
Meski takut, aku tetap harus membantu temanku. Aku pun mulai berjalan mendekatinya. Saat
sudah tepat berada di belakangnya, aku pun memegang bahu Naya.
“Naya?”
“Huhuhu ... Papa ... jangan bawa dia lagi ... dia ... dia yang mencelakai aku dan Mamah ....”
Aku, Dzaky dan Revan pun yakin bahwa Naya ini sedang kesurupan.
“Hei, kamu siapa?” tanyaku dengan nada yang halus.
“A...yana. Ayana ....”
“Ayana kenapa ganggu kami?” tanya Dzaky.
“Ayana enggak ganggu ... Ayana Cuma mau minta tolong ... huhuhu ....”
“Ayana mau minta tolong apa sama kami?” tanya Revan.
“Ayana mau minta tolong ... boleh gak Ayana minta tolong Kakak-kakak buat ketemu sama
Papah Ayana dan memberi tau kalau Ayana dan Mamah sudah tiada?”
“Gimana cara kami bertemu dengan Papah kamu?”
“Ayana ... Ayana tau rumah baru Papah dan Istri barunya. Istri barunya itu yang
mencelakai kami dan dia melarang Papah untuk bertemu dengan kami.”
“Ayana ... boleh kami tau rumah baru Papah kamu? Dan apa yang harus disampaikan kepada
Papah kamu?” tanyaku dengan pelan.
“Papah ... Ayana dan Mamah sudah tiada Pah. Papah, Ayana mohon sekali untuk berhati-
hati dengan wanita itu. Ia hanya ingin harta Papah dan ingin memiliki rumah yang
ditinggali Ayana dan Mamah. Papah ... Ayana kangen ....”
Ya ampun, aku menahan tangisanku. “Ayana, kalau boleh tau, kenapa kamu dan Mamahmu
mengganggu kami saat berada di rumah itu dengan wujud yang menyeramkan?”
“Ayana minta maaf, Kakak ... Ayana kira Kakak-kakak semua orang jahat. Ayana minta
maaf. Tapi Kakak-Kakak, Ayana mohon sekali untuk berhati-hati menjaga ucapan dan
perilaku Kakak-kakak semua ... Mamah Ayana enggak suka, katanya ribut dan tidak punya
sopan santun.”
“Okay Ayana, aku dan teman-temanku akan bersiap-siap untuk menemui alamat Papahmu.
Ngomong-ngomong di mana ya?”
“Jalan maya rawa, perum mutiara blok F3 nomor 15. Nama Papah Ayana, Rein.”
Saat aku meminta tolong untuk melihat google maps, ternyata tak jauh dari sini.
“Tapi Ayana janji ya habis ini Ayana gak akan ganggu kami lagi dengan wujud yang
menyeramkan?” tanyaku, lalu Naya pun menganggukkan kepalanya.
“Okay, sekarang Ayana keluar ya dari badan Kakak Naya? Kasian dia ....”
Lalu tak lama, Naya pun terkulai lemas. Aku meminta tolong Dzaky dan Revan untuk
menggotong Naya ke kamarnya. Setelah itu, kami pun bergegas menuju parkiran dan mencari
alamat itu. Ternyata, alamat itu benar-benar ada!
Aku pun mengetuk pintunya. “Permisi ....”
Tak lama kemudian, seorang wanita muda yang membukakan pintu rumahnya. “Ada apa
ya?”
“Apa benar ini dengan rumah bapak Rein?”
Wanita itu menganggukkan kepalanya. “benar, ada apa ya?”
“Apa kami boleh bertemu dengannya?”
“Ah, Anda klien-nya Pak Rein ya? Sebentar ya, duduk dulu saja.”
Saat wanita itu sedang memanggil suaminya, tiba-tiba saja badan Ara lemas sekali ....
Saat seorang pria muncul, ia langsung memeluknya.
“Papah ... huhuhu ... Papah ... i-ini Ayana ....”
“Ayana? Mana?”
“Pak, mohon maaf ... tetapi, Ayana dan istri lama Bapak telah meninggal dunia.” ujar Revan.
Pria itu menggelengkan kepalanya. “Enggak, enggak mungkin!”
“Kakak itu benar. Ayana dan Mamah sudah tiada ... Wanita itu lah penyebabnya! Wanita itu
yang mendorong Mamah ke sungai dan wanita itu juga yang melindas Ayana dengan
sengaja! Wanita tidak punya akal! Wanita tidak punya hati! Hihihi ... wanita ini yang
harusnya dihabisi! Dasar beban dunia akhirat!”
Tangan Ara berancang-ancang untuk mencekik saat melihat wanita itu keluar.
“Kamu bisa aja lari dari penjara dunia, tapi akhirat menunggumu! Tidak ada yang mau
menerima kamu! Bumi tidak mau menerima orang sejahat kamu! Kamu orang jahat tidak
punya otak dan hati!”
Wanita itu hampir kehabis nafas, lalu tangan Ara pun mulai melepasnya.
“Ini belum seberapa sama yang kamu lakukan terhadap kami!”
Rein menampar wajah wanita tersebut. “Jadi ini alasanmu melarangku untuk menemui anak
dan istriku? Ternyata bukan karena mereka pindah rumah, tetapi pindah alam. Dasar wanita
tidak punya hati!”
Setelah itu badan Ara terkulai lemas.
“Terima kasih ya kalian, berkat kalian saya jadi tau kabar anak saya dan jadi tau sifat
manusia jelmaan iblis ini!” ujar Rein.
“Kalau gitu, kami pamit dulu ya, Pak. Permisi ....”
Saat perjalanan, kami pun membahas tentang Ayana.
“Ternyata gitu ya ceritanya, kasian ya Ayana ....”
“Iya, seharusnya dia seumuran sama kita ... eh malah dia stuck di 13 tahun ....”
Saat di hotel, kami pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan dan Alhamdulillah sudah
tidak ada gangguan. Kami pun sampai di desa yang kami tuju. Dan kami pun berlibur dengan
aman, dan damai.
Entah mengapa, kepalaku ini ingin melihat ke arah belakang terus. Tak sengaja mataku
melihat dua sosok wanita cantik melambaikan tangannya.
“Terima kasih, Kakak! Kami akan pergi dengan tenang, dan tidak akan mengganggu lagi!
Selamat tinggal!”
Aku pun melambaikan tanganku, dan kedua wanita itu hilang bagai disapu angin. Ah, senang
bisa membantu makhluk lain.
Tamat!

Amanat dari cerita ini yaitu kita harus menjaga sikap saat berpergian kemana pun agar tidak
mengganggu penghuni dunia lain. Kita hidup berdampingan, jadi tolong untuk menjaga lisan dan
perbuatan, serta membantu apabila bisa membantu.

Sekian, terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai