Anda di halaman 1dari 3

Jalan Kaki di Trotoar

Bayangkan kita keluar rumah, dengan tujuan ke tempat kerja atau sekolah, atau untuk
mengantar anak maupun berbelanja kebutuhan sehari-hari keluarga. Begitu keluar
rumah kita mendapati trotoar yang indah. Dengan tingginya sekitar 20 sampai 25 cm
di atas permukaan jalan, di mana alas trotoar itu adalah batu-batu yang disusun
sedemikian rupa, sehingga membentuk mozaik yang enak dipandang dan
dinikmati. Tidak lupa di pinggirnya terdapat banyak pot bunga kecil minimalis yang
semakin menghiasi keindahan dari trotoar yang sedang dilalui itu.

Sementara di bawah trotoar itu terdengar air mengalir, melengkapi alunan alam yang
menyanyi karena menikmati suasana yang harmoni. Air yang mengalir syahdu itu
menjadi penanda bahwa gorong-gorong di bawah trotoar itu berfungsi baik, tidak
mampet.

Sesekali dalam perjalanan itu kita bertemu dengan tetangga maupun teman yang
sedang melakukan hal yang sama. Ada yang pergi ke kantor maupun kegiatan lain.
Sambil bertegur sapa dan bercanda-canda, tervisualisasi dalam keadaan riang
gembira, di mana antar mereka saling tertawa karena berbahagia. 

Meskipun agak jauh, namun perjalanan tidak terasa melelahkan. Karena selain
banyak teman, jalanan juga cukup teduh karena dinaungi pohon-pohon yang daunnya
lebar, menghalangi para pejalan kaki agar tidak kena paparan sinar matahari. 

Menikmati keindahan suasana ini tidak hanya selalu pagi, di mana mentari begitu
indah menyinari. Di malam hari, jalan di trotoar ditemani lampu-lampu yang indah
warna-warni. Sehingga menikmati malam hari menjadi kesan tersendiri, sebelum kita
semua akhirnya tergeletak nyaman untuk mengistirahatkan diri. 

Di manakah cerita di atas? Tentu saja inginnya kita tersebut bukan hanya imajinasi
bahkan halusinasi. Tapi dia terjadi memang dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Tetapi apa yang terjadi, sungguh tidak mengenakan hati. Karena para pejalan kaki
bukan prioritas di negeri ini. Lihat saja ruang untuk para pejalan kaki ini, jika dipetakan
masalahnya demikian banyak dan kompleks. Mulai dari lebar yang sangat minim,
sampai banyak  sarana jalan kaki yang akhirnya hilang, entah dijadikan tempat jualan,
atau dijadikan tempat pintu masuk ke sebuah rumah atau tempat usaha, atau
mengalah karena dijadikan jalan itu sendiri terkena pelebaran. 

Hak pejalan kaki di negeri ini sudah banyak dianeksasi untuk kepentingan yang bukan
haknya. Maka wajar jika kemudian publik meresponsnya dengan beragam aksi. Yang
paling menyedihkan dari semua itu adalah ada pemahaman dan pemaknaan terhadap
ruang para pejalan kaki itu di masyarakat pun saat ini melenceng jauh. Di mana
pemaknaan dan pemahaman yang terjadi pada benak publik adalah tidak adanya hak
pejalan kaki di republik ini. 
Ketika ada seseorang atau sekelompok masyarakat yang mencoba melakukan
penegakan hukum atas para pelanggar ruang bagi para pejalan kaki, kebanyakan
tidak bisa bertahan lama. Karena hal ini sifatnya voluntaristik atau sukarela
saja. Penegakkan ruang ini agar sesuai fungsi dan haknya, memang harus dilakukan
oleh negara. Bahwa selama ini negara memang melakukan peningkatan kualitas
trotoar dengan melakukan penataan ulang, membuat penghalang untuk selain pejalan
kaki dan sepeda, namun tampaknya hal ini masih demikian kurang. 

Jika menilik manfaat praktis dari kegiatan jalan kaki ini, sudah banyak disebutkan
dalam berbagai literatur. Dikutip dari situs hallodoc, misalnya, manfaat jalan kaki itu
jelas menyehatkan secara fisik. Bahkan beberapa pakar kesehatan menyarankan
sebaiknya kita agar bisa mendapatkan manfaat optimum dari jalan kaki harus
melakukan gerakan ini sebanyak 10.000  langkah. Dengan jumlah sebanyak itu maka
pelaku jalan kaki akan mendapatkan manfaat kesehatan yang sangat besar lainnya,
seperti: memperkuat fisik tubuh, menghindari penyakit kronis, membantu membakar
kalori, meningkatkan imun tubuh, meningkatkan energi dan meningkatkan suasana
hati. 

Mengembalikan Budaya Jalan Kaki

Meski pun beragam kebaikan jalan kaki itu kebaikannya tidak ada yang membantah,
namun pada praktiknya kegiatan ini jarang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat
kita. Bahkan Pemerintah membuat beberapa kegiatan, seperti acara Car Free Day
yang di dalamnya memberikan ruang seseorang untuk mengekspresikan budaya jalan
kaki. Namun tetap saja kegiatan ini belum kembali menjadi budaya.

Jika ditelisik lebih lanjut, ada sejumlah alasan mengapa masyarakat terutama yang
tinggal di perkotaan saat ini, kurang menyukai budaya jalan kaki dalam kehidupan
sehari-hari. Pertama, seperti sudah disebutkan di atas bahwa tidak seluruh trotoar
yang menjadi hak para pejalan kaki itu eksis di semua ruang jalan. Banyaknya trotoar
yang tidak terurus atau beralih fungsi menjadi kegiatan lain yang bukan untuk jalan
kaki menyebabkan masyarakat semakin malas untuk berjalan kaki. 

Kedua, tersedianya kendaraan, khususnya sepeda motor, menyebabkan orang malas


untuk berjalan kaki. Ada anggapan bahwa menggunakan motor menjadi lebih cepat
mendapatkan atau menemukan tujuan atau barang yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari.  

Ketiga, keamanan. Di Indonesia keamanan buat para pejalan kaki demikian


rapuh. Keamanan yang dimaksud di sini adalah keamanan dari sisi sarana prasarana
yang nyaman diinjak dan dilalui, karena unsur luas dari jalan tersebut memadai untuk
dilalui oleh orang banyak; juga keamanan dari hal-hal yang sifatnya non fisik seperti
dari orang yang berniat tidak baik kepada para pejalan kaki. Sebab pejalan kaki
memang umumnya orang-orang yang dianggap tidak memiliki sarana yang lebih aman
seperti mobil dan motor.
Berangkat dari permasalahan itu maka pilihan terbaik untuk mengembalikan budaya
jalan kaki adalah negara memiliki keberpihakan kepada para pejalan kaki. Misalnya
dengan memberikan berbagai insentif bagi mereka yang melakukan jalan kaki dari
rumah ke tempat kerja maupun ke tempat aktivitas lain. Berbagai insentif itu bisa
berwujud dalam beragam hal seperti insentif pemotongan pajak atau dapat voucher
untuk membeli kopi atau insentif lain yang bisa mengundang orang turun kembali
untuk melakukan jalan kaki.

Selanjutnya adalah memastikan bahwa para pejalan kaki itu selain nyaman juga
aman. Faktor ini tentu sangat fundamental dalam mengembalikan budaya jalan kaki
agar kembali menjadi habit atau kebiasaan pada masyarakat. Mereka yang melakukan
kegiatan jalan kaki merasa aman karena misalnya terdapat banyak CCTV yang
mengawasi aktivitas mereka juga ada apparat polisi trotoar misalnya yang akan juga
memastikan kenyamanan mereka; terakhir adalah memastikan bahwa ruang jalan kaki
pun cukup luas untuk dilalui oleh banyak orang. Sehingga ketika ada sejumlah orang
yang melakukan aktivitas di sana untuk menuju ke sebuah tempat atau ke tujuan
manapun, mereka tidak akan bertabrakan atau bersenggolan di trotoar tersebut. Jika
ini bisa dilakukan maka akan mengundang kembali banyak orang untuk menikmati
lingkungan dengan jalan kaki. [ ]

Anda mungkin juga menyukai