Anda di halaman 1dari 3

Cerpen ini sudah pernah dimuat di epaper Waspada

Miss Hania
Fenni Heppy Royani Munthe

Kata dan tindak adalah rahimnya seorang guru. Jika ia mapu mempersembahkan kata
terbaiknya maka anak –anak akan lahir membara semangatnya dalam hidup. Jika tindaknya elok
maka sepanjang masa ia akan bak pahlawan yang melahirkan anak –anak yang baik budinya,
luhur pekertinya.

Hari baru saja terang, Hania sudah seleseai berbenah. Matahari mulai meninggi, Hania
melangkahkan kaki dengan cepat meninggalkan kos. Ia memilih berjalan kaki dari pada
mengenderai motor. Ia berusaha ikut serta menjaga kesetabilan udara bersih yang semakin hari
semakin tercemar akibat banyaknya polusi udara, asap kenderaan.

Hania berjalan melewati gang kecil menuju jalan besar. Jarak antara kosan dengan
sekolah satu kilometer. Berjalan sambil menikmati lalu lalang kenderaan dari trotoar. Orang –
orang menatapnya iba, seolah paling nestapa hanya karena berjalan kaki. Seolah orang yang
paling miskin di dunia. Masih ada seratus meter jarak yang harus ditempuh. Hania terus
berjalan, tak lama kemudian belok kanan memasuki gang sekolah.

“Miss Hania, kok berjalan” tanya seorang ibu yang membonceng anak sembari
mendekatinya. Hania ingin menjawab dengan guyonan, ya jalanlah enggak mungkin juga
terbang, kan enggak punya sayap. Namun tercekat ditenggorokan sadar akan posisinya, guru.
Sosok teladan yang setiap kata –katanya jadi acuan.

“Sengaja bu, saya tinggal tidak jauh dari sini,” jawab Hania. Ibu tersebut memintanya
untuk naik ke sepeda motor tersebut. Hania menggeleng, “ sebentar lagi sampai bu, ibu duluan
saja,” orang tua tersebut meninggalkannya.

Senandung tasbih komat –kamit terluncur dari mulutnya. Sembari menikmati perjalanan,
ia berjalan dengan cepat meneladani cara berjalan Rasulullah, bumi bagai dilipat baginya.

Baru saja sampai di gerbang sekolah, Umar berlari terengah –engah menghampirinya,“
Miss,ada masalah, Miss harus ikut saya,” Umar menarik baju, ujung pergelangan tangan Hania.

“Sama yang lain saja, ya. Miss baru saja sampai, mau istrahat sebentar, temui guru piket,”
Hania menolak karena memang ia sengaja datang lebih awal agar ia sedikit tenang ketika
memasuki kelas setengah jam lagi.

“ Miss, ini aib kelas kita. Kata Miss, menutupi aib itu wajib, ini hanya sebatas untuk kelas
kita, Miss yang wali kelas kami,” Umar berjinjit untuk berbisik di telinga Hania.

Hania akhirnya mengikuti Umar. Ketika sampai diteras kelas. Umar berjalan berjinjit
agar suara kaki tak terdengar. Ia meletak jari di mulutnya dan menoleh kearah Hania, isyarat
kalau Hania tidak boleh bersuara. Hania mengerutkan kening.
“ Kenapa?” Hania bertanya tanpa suara. Hania mengikuti gerak langkah Umar. Akhirnya
mereka mengintip dari jendela kelas.

Hania mengangkat kepala melihat apa yang akan ditunjukkan Umar. Hanya hal biasa.
Aqilah lagi sarapan.

“Aqilah lagi sarapan?” tanya Hania sambil menepuk jidad lalu menggeleng kepala.

“Ia, Miss,” jawab Umar singkat, lalu kembali fokus melihat Aqilah makan lahap sekali.
Sambil tersenyum.

Hania pun meninggalkan Umar. Ia dongkol melihat tingkah siswa yang humoris itu. Ia
kira sedang gawat darurat. Hanya melihat Aqilah sedang sarapan. Hania mengusap dada sambil
menghembuskan napas kasar.

Umar baru sadar Kalau dia sudah ditinggal, ia berbalik badan menyusul Hania. Ia tetap
mengendap –endap agar langkah kakinya tidak terdengar. Setelah agak jauh ia pun berlari
mengejar Hania.

“Miss,” katanya lagi.

Hania hanya melirik sinis. Ia memang dekat dengan siswa tapi tidak suka kalau mereka
menganggap layaknya teman.

“Masih SMA, Belum layak untuk menikah, jaga pandangan, atau enggak, puasa,”
jawabnya, tak mau mendengar celoteh Umar lagi.

“ Miss bukan itu poinnya,” Umar ingin memberi tahu Hania.

“Apa poinnya? Urusan anak muda?” Hania menekan suaranya, pertanda ia sudah tidak
mau di ganggu.

Umar paham karakter gurunya. Ia undur diri, pamit, “maaf Miss,” umar meninggalkan
Hania, “ Assalamualaykum, Miss” katanya lagi setelah beberapa langkah melangkah.

Ia mengambil tasnya yang sengaja ia tinggal di pos satpam, lalu berjalan menuju kelas,“
Assalamualaykum,” Umar lansung menuju kursinya,

Aqilah sudah tidak melakukan aktifitas apa pun, duduk. Entah apa yang ada dibenaknya.
Terlihat sedang memikul beban berat sekali. Umar mendekat, dan bertanya,“Kamu berangkat
jam berapa dari rumah?,”

Aqila diam tak merespon, ia mengambil puplpen dan bukunya, ia pura –pura tidak
mendengar dan menyibukkan diri dengan menulis.

Umar semakin penasaran. Ia duduk di kursi yang berada di depan Aqilah tetapi tubuhnya
menghadap Aqilah, “dengar enggak sih, atau mau aku belikan korek kuping ?” mode ketusnya
Umar tak tertahan.

“Apa sih? Penting bangat?” jawab Aqilah tak kalah ketus.


“ Penting dong. Kalau tak penting , aku tak mungkin tanya” berusaha mengurangi
kecanggungan Aqilah.

“Itu privasi, tidak penting diketahui orag lain, kamu orang lain, kan?” jawab Aqilah tidak
mau memberi tahu.

“Yah, kata miss Hania, kita satu kelas saudara, tidak ada orang lain, ingat?” Umar sangat
detail mengingat berbagai nasehat yang disampaikan oleh wali kelasnya itu. Ia harus berusaha
membantu orang lain. lagi – lagi dalam ingatannya melekat nasehat Hania, bermanfaat bagi
yang lain.

“Kita satu kelas baru tiga bulan, waktu yang singkat, bukan?” tetap kekeh tidak mau
memberi tahu.

“Singkat katamu? Tapi aku merasa kita telah dilahirkan dari rahim yang sama. Katakan
saja rahim itu, nasehat miss Hania. Inginku tetap menjadi pribadi yang lebih baik, bermanfaat
bagi yang lain” Umar tetiba menjadi bijak berbicara bahkan jauh dari usianya.

“ Macam bicara sama orang dewasa pula aku rasa,” Aqilah mengalihkan topik.

“Tinggal jawab aja sih, muter –muter,” jawab Umar. Sisi anak laki –lakinya kelihatan.
Sebagai anak lelaki, pasti maunya to the point.

“Apa peduli mu?” jawab Aqila lagi tak kalah sengit.

“ Aku sedang ingin melakukan ilmu yang aku baru dapat, bermanfaat. Pertama, Aku
melihatmu berjalan kaki jauh sekali, kebetulan rumah kita searah. Bukan hal yang wajar dilalui
untuk jalan kaki, kalau kamu tidak diantar, setidaknya naik angkot. Kedua, beberapa hari
terakhir, katakan dua atau tiga hari teakhir, aku melihatmu mengambil sisa makan teman –teman,
dan yang ketiga sejak tadi aku melihatmu melemaun,” Umar berkata banyak, setidaknya setelah
ia menyelidiki sendiri. Ia akan bisa meringankan beban temannya atau paling tidak keceriaan
orang sekitarnya tetap terpancar.

“ Kamu terlalu singkat menyimpulkan apa yang kamu lihat. Untuk yang pertama, Saya
rasa itu bukan hal yang salah, lima kilo meter itu jarak yang dekat. Dekat jauh itu relatif, kalau
bagi saya yang sudah terbiasa empat puluh menit, sampai. Tidak mengganggu kegiatan
pembelajaran. Itu bukan aneh, tolonglah jangan ikut memperkeruh hari –hari saya. Untuk yang
kedua, saya tidak mencuri, makanannya pun masih layak untuk dimakan, lagian mereka saja
yang berlebihan membuang makanan. Yang ketiga, kamu ahli ilmu psikologi, hah? Baru juga
kelas satu SMA,” Aqilah berbicara berapi –api jauh dari peribadi yang selama ini terlihat lembut.

Umar menyungging senyum, rasanya percuma bicara sama anak introvert. Tertutupnya
ketulungan. Kemudian ia berdiri meninggalkan Aqilah, “keras kepala” tutupnya beranjak pergi.

Anda mungkin juga menyukai