Anda di halaman 1dari 39

ISLAM KOMPREHENSIF DALAM

PERSPEKTIF KRISIS SPIRITUAL

Disusun Oleh :
Chafidhotun Nafisah : 1317.31.1.22

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kajian Islam Komprehensif
Yang Diampu Oleh DR. Zainal.Sukawi MA
Pada Program Studi Magister Pendidikan Islam

PASCASARJANA UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)


JAWA TENGAH DI WONOSOBO
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan diberkahi oleh


akal dan jiwa. Manusia juga disebut oleh ahli mantiq sebagai “al-
insan hayawan natiq” atau artinya manusia adalah hewan yang
berpikir. Mengapa manusia disebut demikian?. Karena di dalam
tubuh manusia ada unsur hewani dan unsur ruhaninya.
Oleh sebab itu manusia memiliki potensi untuk menjadi
hewan dan bisa juga untuk terlepas dari unsur hewani. Akan tetapi
Murtadha Muthahhari menanggapi hal tersebut, apakah memang
kita harus mengorbankan salah satunya? Atau bisakah kita hidup
menjadi manusia seutuhnya dengan tidak menafikan salah satu di
antaranya.
Menurut Murtadha Muthahhari, manusia adalah makhluk
yang terdiri dari unsur material dan spiritual. Terdapat tiga
perbedaan yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya
yaitu: pertama, wilayah penemuan atau pengenalan diri dari dunia;
kedua, wilayah kecenderungan yang mempengaruhi pikiran
manusia; ketiga, wilayah bagaimana manusia dipengaruhi oleh
kecenderungan alaminya dan cara dia menyeleksi
kecenderungannya itu.
Karena manusia merupakan makhluk material dan spiritual,
maka selain manusia memenuhi kebutuhan materialnya, manusia
juga perlu untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya. Murtadha
Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Falsafah Akhlak
mengemukakan pendapat bahwasannya krisis spiritual merupakan
krisis yang terbesar pada dunia modern.
Spiritual dalam bahasa Inggris berasal dari kata Spirit. Kata
spirit dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, memiliki
cakupan makna yaitu: jiwa, arwah/roh, Soul, semangat, hantu,
moral, tujuan atau makna yang hakiki. Adapun dalam bahasa Arab,
kata spiritual terkait dengan hal Ruhani dan Ma’nawi dari segala
sesuatu.
Kata spirit dan turunannya seperti spiritual dan spiritualitas
atau Spirituality bermuara kepada ke-hakiki-an, keabadian dan Ruh.
Bukan yang bersifat sementara atau tiruan. Di dalam Islam dimensi
spiritualitas senantiasa berkaitan dengan realitas Ilahi. Spiritualitas
bukanlah sesuatu yang asing bagi manusia, karena merupakan inti
dari manusia itu sendiri.
Manusia terdiri dari unsur spiritual dan material. Perilaku
manusia merupakan produk tarik menarik antara energi spiritual dan
material, dorongan spiritual senantiasa membuat dimensi material
terbawa atau tertarik kepada dimensi spiritual. Cara untuk
membawa dimensi material ke dalam dimensi spiritual adalah
dengan memahami dan meng-optimalisasi sifat-sifat-Nya,
menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya dan meneladani
Rasul-Nya. Tujuannya adalah mendapatkan rida Allah SWT. Inilah
manusia yang suci, yang keberadaannya membawa kegembiraan
bagi manusia lainnya.
Tanda adanya krisis spiritual adalah terjadinya krisis moral.
Saya beranggapan seperti itu karena jika mereka memiliki moral
yang bagus maka nilai spiritual yang ada dalam diri mereka pun
tidak mengalami krisis. Salah satu penyebab mengapa seseorang
mengalami krisis moral adalah mereka yang jarang untuk mengisi
spiritual dalam diri mereka. Contoh kasus per-zina-an. Bagi mereka
yang melakukan zina dengan dasar suka sama suka dan tidak ada
rasa menyesal dikemudian hari adalah mereka yang mengalami
krisis moral dalam dirinya. Orang yang tidak menyesal setelah
melakukan dosa di antaranya adalah orang yang tidak percaya
dengan hari akhir atau hari pembalasan. Berimbas dari tidak
percayanya kepada hari akhir maka sangat besar kemungkinan
bahwa orang tersebut tidak takut pada hari pembalasan, dan jika
tidak takut dengan hari pembalasan, maka sangat besar
kemungkinan dia tidak takut dengan Tuhan. Jika ada orang yang
mengaku dia takut kepada Tuhan akan tetapi masih melakukan dosa
maka pengakuannya pantas untuk diragukan.
Menurut Ali Maksum, sisi lain dari modernisasi membawa
dampak terjadinya kerancuan dan penyimpangan nilai-nilai
kemanusiaan atau dehumanisasi. Manusia modern semakin
dihinggapi oleh rasa cemas dan kehilangan visi keilahian serta
kehilangan dimensi transendental, maka dari itu menjadi mudah
dihinggapi kegersangan hidup dan krisis spiritual. Pada selanjutnya,
manusia semakin sering mengalami stres, depresi dan alienasi
(menjadi asing dengan dirinya sendiri). Mereka teralienasi dari
dirinya sendiri, dari lingkungan sosialnya dan yang terpenting dari
Tuhannya.
Maka dari itu Murtadha Muthahhari beranggapan bahwa
krisis yang paling besar adalah krisis spiritual. Krisis ini
menghantui masyarakat modern dan industri. Menurut Murtadha
Muthahhari krisis spiritual dianggap sebagai krisis yang paling
besar karena sampai sekarang solusi untuk mengatasinya belum
dapat ditemukan. Murtadha Muthahhari juga menyebutkan
beberapa pertanda bahwa adanya fenomena krisis spiritual seperti:
Membengkaknya kasus bunuh diri, banyaknya waktu kosong,
membengkaknya jumlah penyakit jiwa dan gangguan mental dan
banyak lainnya.
Latar belakang inilah yang mendorong peneliti mengkaji lebih
dalam lagi Krisis Spiritual dalam Perspektif Murtadha Muthahhari.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
a. Apa pengertian krisis spiritual?
b. Bagaimana peran pendidikan spiriualitas dalam
mengatasi krisis spiritual?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui pengertian krisis spiritual.
b. Mengetahui peran pendidikan spiritualitas dalam
mengatasi krisis spiritual.
BAB II
PENGERTIAN KRISIS SPIRITUALITAS

A. Definisi

Tujuan dari dibuatnya definisi ini untuk memberi Batasan atau


makna pada suatu istilah sehingga tidak menjadi multi tafsir dalam
pemaknaanya. Berikut beberapa definisi yang akan digunakan dalam
makalah ini:
1. Krisis
Dalam bahasa Yunani, krisis berarti keputusan. Atau bisa
juga diartikan setiap peristiwa yang sedang terjadi atau yang
diperkirakan akan terjadi dan mengarah kepada situasi tidak
stabil dan berbahaya yang dapat memengaruhi individu,
kelompok, komunitas, atau seluruh masyarakat.
Krisis dianggap membawa perubahan negatif dalam
urusan keamanan, ekonomi, politik, sosial, atau lingkungan,
terutama ketika krisis terjadi tiba-tiba, dengan sedikit atau tanpa
peringatan. Lebih jauh, krisis adalah istilah yang berarti "waktu
pengujian" atau "peristiwa darurat".
“Krisis” sering dikaitkan dengan konsep tekanan
psikologis. Dalam budaya barat, istilah ini sering digunakan
untuk memberikan pengalaman yang menakutkan atau penuh
ketidakpastian. Sementara di budaya oriental seperti Cina, krisis
dapat berarti bahaya dan peluang (karakter Cina yang digunakan
adalah Wei dan Chi). Secara umum, krisis adalah situasi sistem
yang kompleks (baik sistem keluarga, ekonomi, masyarakat)
yang mana ketika berfungsi dengan buruk, keputusan segera
diambil, namun penyebab hal tersebut tidak segera diidentifikasi.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
online Krisis ialah 1. keadaan yang berbahaya (dalam menderita
sakit); parah sekali; 2. Keadaan yang genting; kemelut; 3.
Keadaan suram (tentang ekonomi, moral, dan sebagainya).
Adapun krisis moral adalah kemerosotan dalam bidang moral.
Dengan penjelasan definisi krisis di atas maka dapat
disimpulkan krisis ialah peristiwa yang sedang terjadi atauyang
akan terjadi yang cenderung membawa perubahan negatif dan
sering dikaitkan dengan tekanan psikologis serta dapat
memengaruhi baik itu individu, kelompok, komunitas atau
seluruh masyarakat.
2. Spiritual
Spiritual dalam bahasa Inggris berasal dari kata Spirit,
di dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, kata spirit
memiliki cakupan makna jiwa, arwah/roh, soul, semangat, hantu,
moral, tujuan atau makna yang hakiki. Adapun istilah spiritual
pada bahasa Arab terkait dengan hal yang Ruhani dan Ma’nawi
dari segala sesuatu.
Dasar dari spiritualisme adalah pandangan bahwa spirit
itu kekal dan tidak hancur karena kematian atau jasad. Di dalam
kamus psikologi mengatakan spiritual adalah asumsi mengenai
nilai-nilai Tracendental. Kata spirit dan turunannya seperti
spiritual dan spiritualitas atau Spirituality bermuara kepada ke-
hakiki-an, keabadian dan ruh, bukan yang bersifat sementara atau
tiruan. Di dalam Islam sendiri dimensi spiritualitas senantiasa
berkaitan dengan realitas Ilahi. Spiritualitas bukanlah sesuatu
yang asing bagi manusia, karena merupakan inti dari manusia itu
sendiri.
Menurut buku karya Sulaiman al-Kumayi spiritualitas
merupakan pemahaman dan penghayatan ajaran Islam yang
bersifat pribadi dan subyektif. Namun sebagai wujud tanggung
jawabnya sebagai hamba Allah SWT, maka pemahaman dan
penghayatan tersebut ia manifestasikan dalam kehidupan sosial.
Menurut buku Spiritual Enlightment karya Ikhwan
Marzuqi definisi dari spiritual itu sangatlah banyak. Di antaranya
ada yang mengatakan sebuah pencerahan untuk memahami
makna kehidupan seperti pertanyaan “siapa saya?”. Ada juga
yang memberikan definisi spiritual adalah menjalankan
kehidupan penuh ikhlas tanpa kita mengharapkan sebuah makna
apa pun, alias murni karena-Nya.
Spiritual dalam buku Spiritual Enlightment memiliki
makna untuk memahami sebuah keikhlasan hati yang senantiasa
mengabdi kepada Tuhan (bagi yang menganut agama) atau
kepada semesta (bagi yang tidak menganut agama), yang
nantinya akan memberikan sebuah perasaan tersendiri untuk
menyelami hakikat kehidupan serta mengerti peran- peran kita
sebagai manusia atau khalifah-Nya di muka bumi ini.
3. Krisis Spiritual
Krisis Spiritual adalah situasi keadaan hati atau rohani
yang sedang terjadi atau diperkirakan terjadi dan relatif berujung
pada sesuatu yang bersifat negatif.
Tentang krisis spiritual Seyyed Hossein Nasr berpendapat
“krisis yang menimpa manusia modern ini diakibatkan oleh sains
modern, ditambah lagi tidak banyak orang yang
mengkhawatirkan ini”. Nasr juga mengatakan dalam bukunya
yang berjudul Islam and the Plight of Modern Man, krisis
spiritual ialah “Modern man has simply forgotten who he is”.
(manusia modern lupa akan kemanusiaannya). Dan selanjutnya
dalam Islam dan Nestapa Manusia modern yang mana buku
tersebut adalah buku terjemahan dari Islam and the Plight of
Modern Man. Manusia dikatakan manusia adalah dengan
kemanusiaannya, jika tidak maka ia bukan manusia. Krisis
spiritual merupakan dampak dari modernitas, krisis spiritual juga
bermakna pengalaman yang mengganggu dan dapat menciptakan
kebangkitan spiritual pada diri manusia.
Tanda dari krisis spiritual manusia di antaranya adalah
kecemasan, kegelisahan dan kehampaan eksistensial. Dari
beberapa tanda tersebut, akan mengakibatkan tingginya stres,
frustrasi, hingga penurunan martabat manusia yang akan
mengancam eksistensi pada diri setiap manusia.

B. Spiritualitas Islam dan Barat


1. Spiritualitas Islam
Spiritualitas Islam muncul sejak pada abad ke-7 M.
Diawali dari pencerahan Nabi Muhammad SAW kepada
pengikutnya, beliau memberikan pencerahan perihal spiritual dan
moral yang berasal dari Allah SWT kepada pengikutnya yang
awal. Apa yang dibawa Nabi SAW dijadikan sebagai pilar
dalam agama Islam guna mencapai kedekatan diri kepada Allah
SWT. Lima pilar itu sering kita kenal dengan “Rukun Islam” dan
kelima itu akan tetap menjadi berguna dan bermanfaat selama
seseorang ingat bahwa dasar-dasar tersebut merupakan bagian
kepercayaan dan bukan hanya suatu ibadah singkat yang
diangkat.
Dari lima pilar itulah yang akan membawa manusia
kepada tingkatan yang paling tinggi dalam agama Islam ketika
manusia mau melaksanakannya. Karena dalam Islam tingkatan
tertinggi terletak pada kesalehan manusia. Kunci utama
kesalehan ini adalah “takut kepada Tuhan” atau tanggung jawab
kepada cita moral, atau yang biasa disebut dengan “Takwa.
Implikasi takwa adalah bahwa kita dilarang memulia-
muliakan manusia, karena boleh jadi manusia yang dimuliakan
itu adalah “Orang-orang yang nyata- nyata telah mengkhianati
Allah. Seharusnya kita sadar tiada kemuliaan di sisi manusia
kecuali siapa yang telah dimuliakan-Nya”. Semakin kita
memuliakan manusia, semakin kita menghargainya , dan kalau
ternyata yang kita muliakan itu adalah orang yang mendustakan
Allah, maka akibatnya lenyap kemuliaan kita. Bertitik tolak dari
takwa ini, maka manusia haruslah dilihat sebagai manusia
biasa. Mereka hanyalah makhluk ciptaan Allah yang penuh
kekurangan..
Spiritualitas Islam senantiasa identik dengan upaya
menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali
Yang Satu, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam Al-Qur’an
dengan nama Allah.
Secara khusus spiritualitas Islam adalah pengalaman dan
pengetahuan akan keesaan ini dan realisasinya dalam pemikiran,
perkataan, sikap, dan perbuatan, serta berangkat dari kemauan,
jiwa, dan kecerdasan.
Puncak spiritualitas Islam adalah menjalani hidup dan
melakukan perbuatan yang selalu sejalan dengan kehendak Ilahi,
mencintai-Nya dengan segenap wujud, dan akhirnya mengenal-
Nya melalui pengetahuan integratif dan iluminatif, yang
realisasinya tidak akan pernah dapat terpisahkan dari cinta, dan
tidak akan mungkin tanpa kehadiran perbuatan yang benar.
Spiritualitas Islam yang dalam Islam sendiri disebut
dengan Ruhaniyyah, dapat didefinisikan sebagai aspek Islam
yang mengantarkan manusia kepada transendensi maupun
imanensi realitas Ilahiyah
2. Spiritualitas dalam Tradisi Barat
Spiritualitas dalam tradisi Barat tidak selalu berkaitan
dengan penghayatan terhadap agama bahkan Tuhan. Spiritualitas
yang ada dalam tradisi Barat lebih mengarah pada bentuk
pengalaman psikis yang akhirnya memberi makna yang
mendalam pada individu tersebut.
Dalam psikologi Barat, dikatakan puncak kesadaran
manusia seutuhnya ada pada tingkat rasionalitasnya, sedangkan
dalam ranah kesufian orang Timur tidaklah begitu, kesadaran
hanya diukur dari aspek rasionalitas seperti halnya “tidur dalam
sadar”, dikarenakan sisi spiritualitas dalam pendekatan diri
terhadap Tuhan tidak pernah bisa terukur dengan hanya
menggunakan ukuran rasionalitas.
Proses penciptaan manusia dalam tradisi keilmuan Barat
modern pada dasarnya berangkat dari keyakinan bahwa segala
sesuatu yang ada di alam semesta bahkan alam semesta itu
sendiri berasal dari evolusi. Evolusi berawal dari satu dentuman
besar atau yang biasa disebut dengan “Big Bang” yang
merupakan awal dari terciptanya jagat raya. Sejak saat itu
dimulailah ekspansi yang berlangsung ribuan tahun juta tahun
dan akan terus berlangsung. Namun suatu saat akan berhenti dan
berakhir.
Bagi manusia dasarnya terdiri dari dua dimensi, yaitu
dimensi material yang berupa fisik (Femion) dan dimensi non-
material yang berupa ruh (Boson). Dalam filsafat Yunani kuno,
dua dimensi penciptaan manusia membentuk tiga entitas yaitu
Corpus (jisim, tubuh), Animus (nafs, jiwa), dan Spiritus (Ruh).
Corpus adalah dimensi material yang terdiri dari Mater (materi
mati) serta memiliki dimensi fisik (Physical). Ia merupakan
badan dari tubuh manusia.
Animus berasal dari bahasa Yunani yaitu Anemos yang
berarti sesuatu yang meniup atau yang bernafas, menurut Plato
Animus adalah penjelmaan wujud spiritual yang bisa mengada
secara independent dari materi, ia adalah inti dari kesadaran
manusia. Kemudian Animus ini menurut Plato terbagi menjadi
tiga fakultas, yaitu hawa nafsu (Nafsaniyah), Ruhaniyah, dan
Rasional. Sedangkan Spiritus, menunjuk pada sesuatu yang
merupakan nafas kehidupan, kausa hidup yang dipahami sebagai
uap halus atau udara yang menghidupkan organisme. Dalam diri
manusia spiritus adalah entitas yang ada dalam jisim dan jiwa.
Socrates berpendapat bahwa Spiritus hidup lebih awal
daripada manusia, kemudian Spiritus hidup kekal sesudah
manusia mati. Spiritus merupakan suatu substansi yang dapat
membawa manusia mencapai kebajikan tertinggi, karenanya
Spiritus selalu merujuk kepada nilai-nilai pikiran dan nilai-nilai
manusiawi yang non-material seperti kebaikan, cinta, kesucian
dan terbimbing oleh Daimon dalam pencarian untuk menemukan
diri sejati dan Arete-nya. Diri sejati manusia merupakan
Archetypes, atau model manusia ideal dari semua manusia yang
ada di alam Idea sebagaimana filsafat Plato, yang darinya
manusia lain dibentuk serta disalin. Dengan demikian, sampai
sejauh ini jejak spiritualitas manusia masih dapat ditemukan
dalam tradisi keilmuan barat, namun jejak spiritualitas dalam
tradisi barat perlahan akan pudar walaupun tidak akan pernah
menghilang sama sekali. Bahkan spiritualitas dalam tradisi
barat tersebut suatu saat akan bangkit kembali meskipun dalam
volume yang kecil. Sebab yang melatarbelakangi mengapa
terpisahnya tradisi barat dan spiritualitas dapat dilihat dalam
sejarah kegagalan pemikir Kristen yang mengadopsi metodologi
ilmuwan Muslim yang berhasil merekonstruksi pemikiran
Filsafat Yunani dan merekonsiliasinya dengan al-Qur’an
sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam.
Karya tersebut seperti menguji kebenaran al-Qur’an akan tetapi
berdampak sebaliknya yaitu memperkuat kebenaran Wahyu dan
Risalah Nabi SAW sebagai Rasul Allah SWT.
C. Krisis Spiritual Modern
Istilah kata Modern berasal dari bahasa latin yaitu
Moderna, yang artinya “sekarang”, “baru”, atau “saat ini”. Jika
kita merujuk kepada makna asli modern maka sebenarnya
manusia selalu hidup di masa modern. Akan tetapi yang
dimaksud oleh para ilmuan tentang modern adalah sebuah
kesadaran kritis terhadap persoalan kekinian. Oleh karena itu,
istilah perubahan, kemajuan, dan revolusi adalah istilah-istilah
kunci kesadaran modern.
Van Der Weij mengatakan bahwa zaman modern ini selain
ditandai oleh pesatnya kemajuan IPTEK, ia juga ditandai dengan
kekerasan, keterasingan, kejenuhan tanpa arti, kebencian dan
dehumanisasi. Lebih tepatnya Van Der Weij mengatakan
bahwa, zaman modern ini yang lebih meresahkan dan
menggelisahkan bukanlah kekerasan fisik akan tetapi
pembusukan kepribadian dan hati nurani manusia.
Bersamaan dengan kemajuan IPTEK dengan segala
macamnya, seharusnya bisa membawa manusia menuju
kebahagiaan yang lebih banyak dalam hidupnya. Akan tetapi,
kenyataannya adalah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin
jauh, hidup semakin susah dan kesusahan material berganti
dengan kesusahan mental. Beban jiwa semakin berat,
kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih terasa
dan lebih menekan, sehingga mengurangi kebahagiaan dan
muncullah krisis spiritual modern dengan segala misterinya46.
Kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat, pertama-tama berlangsung pada setiap
individu yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons,
termasuk juga konflik status dan peran. Kedua, berkenaan
dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah
yang seharusnya menjadi patokan hidup berperilaku. Ketiga,
pada level kebudayaan yang berkaitan dengan bergesernya nilai
dan pengetahuan masyarakat pada hal yang bersifat material,
sehingga hal yang bersifat spiritual dilampaui atau diacuhkan.
Akibatnya masyarakat kehilangan keseimbangan antara
aspek material dan spiritual, karena meletakkan materi sebagai
satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan spiritual atau
akal budi. Berbagai ironi dalam kehidupan sehari hari terjadi
pada masyarakat. Kekerasan dan kebrutalan muncul di
lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat. Kriminalitas
yang tumbuh subur di kota-kota hingga pedesaan. Perkosaan
yang cenderung merebak dan menodai harkat dan martabat
wanita. Perkelahian pelajar dan kaum remaja menjadi hal yang
lumrah. Kasus-kasus narkoba dengan banyak macamnya dengan
mudah berkembang. Kerusakan moral, pelacuran, dan juga kasus
korupsi sulit untuk diatasi dan juga orang-orang yang dilanda
kebosanan dan kepenatan hidup sehingga putus asa dan memilih
untuk bunuh diri.
BAB III

PENDIDIKAN SPRIRITUAL SEBAGAI SOLUSI KRISIS


SPRIRITUALITAS

I. Makna Krisis Spiritual

Untuk mengetahui Krisis Spiritual dari sudut pandang Murtadha


Muthahhari saya menggunakan bentuk-bentuk dari krisis spiritual
yang ditulis oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang
berjudul Falsafah Akhlak.
Di antara bentuk terjadinya krisis spiritual yang ditulis oleh
Murtadha Muthahhari ada kasus bunuh diri, terdapat banyak waktu
luang, membengkaknya penyakit jiwa, kenakalan remaja merebak
dan sudah dianggap lumrah, kasih sayang sudah jarang ditemui,
kelaparan merajalela. Dari macam-macam krisis spiritual dari yang
disebutkan di atas saya memaknai krisis spiritual sebagai berikut:
A. Kehilangan Makna Hidup
Ketika kita kehilangan makna hidup lebih mudah untuk
manusia mengakhiri hidupnya atau bunuh diri. Menurut
Murtadha Muthahhari bunuh diri merupakan masalah yang
paling rumit kala ini yang dihadapi manusia. Murtadha
Muthahhari dalam buku falsafah akhlaknya meragukan apakah
fenomena bunuh diri ini berasal dari kemiskinan? Dan jika benar
begitu maka masalahnya lain lagi. Ataukah, kasus bunuh diri
muncul dalam lingkungan yang kaya materi akan tetapi miskin
spiritual? Artinya perasaan absurd dalam hidup1.
Sebab utama orang yang bunuh diri menurut Murtadha
Muthahhari adalah:
“Berkembangnya perasaan absurd di dalam kehidupan
dan ketika kemampuan menemukan rahasia hidup seperti
mempertanyakan untuk apa hidup ini? Itulah kekosongan yang
mengepung jiwa orang ini. Itulah kecemasan dan
ketidakmampuan memikul kesulitan hidup dan tantangan zaman
menjadi faktor pembangkit dan menghindari tanggung jawab”.
Akan tetapi ketika kemampuan menemukan rahasia hidup
seperti pertanyaan untuk apa hidup ini? Mengapa Tuhan
menciptakan kita? dan pertanyaan sejenisnya memang itulah
kekosongan yang mengepung dan mengosongkan jiwa ini, akan
tetapi tergantung kepada kita apakah kita akan membiarkan
kekosongan ini dan membuat kita menyerah dengan kemampuan
tersebut, ataukah kita tetap berjuang untuk memenuhi
kekosongan jiwa kita.
Kita mempunyai pilihan tentunya dalam hal tersebut
yaitu membiarkannya kosong dan berakhir di situ ataukah
mencoba untuk mengisinya. Jika kita membiarkan jiwa ini
kosong maka akan berujung kepada putus asa dan kerap kali
berakhir dengan bunuh diri. Pilihan satunya ialah mencoba
mengisi kekosongan jiwa ini yang mana pada suatu saat
kebutuhan jiwa ini akan terisi oleh spiritual kita. Setelah terisi
jiwa ini maka kita akan menjadi seseorang yang lebih “kuat
dalam berpijak” karena kita telah mengisi kekosongan pada jiwa
ini, yang sebelumnya mungkin kosong akan tetapi kita tidak
sadar dengan kekosongan itu hingga kita mendapatkan
kemampuan menemukan rahasia hidup.
Data kasus bunuh diri global menurut WHO Global
Health Estimates, estimasi jumlah kematian akibat bunuh diri di
seluruh dunia adalah sejumlah 793.000 kematian pada tahun
2016 atau 10,6 kematian per 100.000 penduduk atau satu
kematian tiap empat pulih detik. Bunuh diri merupakan
penyebab dari 1,4 persen kematian di seluruh dunia. Dan
merupakan rangking ke-18 penyebab kematian terbanyak.
Kematian akibat bunuh diri di Indonesia dari hasil
Sample Registration System tahun 2016 menunjukkan hasil
estimasi kelengkapan pencatatan kematian dalam SRS 2016
sebesar 54,8% dari estimasi jumlah kematian yang dihitung dari
angka kematian kasar dikalikan jumlah penduduk. Angka
kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebesar 0,71/100.000
penduduk merupakan angka tanpa pembobotan. Dengan angka
kematian 0,71/100.000 penduduk dan jumlah penduduk di
Indonesia tahun 2018 sejumlah 265 juta, maka perkiraan jumlah
kematian akibat bunuh diri di Indonesia sekitar 1.800 kasus
setiap tahun.
Sebab utama orang bunuh diri yang disebut oleh
Murtadha Muthahhari adalah perasaan absurd yang mengisi
jiwanya. Memang manusia adalah makhluk spiritual yang mana
keadaan spiritual (jiwa) dengan material harus seimbang
B. Kehilangan Nilai Waktu
Banyaknya waktu yang kosong dan tidak dimanfaatkan
dengan baik sama dengan kita menyia- nyiakan waktu, ketika
kita menyia-nyiakan waktu sama saja dengan menganggap waktu
itu tidak berharga, sehingga sering kali terjadi banyaknya waktu
luang dalam kehidupan kita.
Dalam bahasa Inggris Waktu luang atau kosong diartikan
sebagai Leisure, yaitu aktivitas waktu luang di luar pekerjaan
pokok sehari-hari, yang dapat digunakan untuk ‘menghibur’ diri
selepas bekerja, misalnya beristirahat, rekreasi ataupun
melakukan aktivitas lainnya sesuai hobi atau keinginan.
Menjalankan aktivitas waktu luang tidak serta merta tujuan
utamanya untuk menghibur diri, namun bisa juga seseorang
melakukan aktivitas waktu luang yang dapat bernilai positif
seperti menambah pengetahuan dengan belajar atau
meningkatkan keterampilan diri, misalnya mengikuti seminar,
kursus dan lain-lain.
Dalam buku Quantum Akhlak karya Murtadha
Muthahhari menjelaskan
“Sesungguhnya kegamangan hidup, kemewahan,
kekosongan spiritual, leburnya pandangan sosial keagamaan dan
ditambah dengan sedikitnya jam kerja dan tingginya upah kerja
di negara-negara industri semua itu menyebabkan waktu luang.
Ada pepatah lama yang berbunyi, “Bila kerja membuat orang
bersemangat, waktu kosong akan menjadi perusak”..
Masalah kita adalah bagaimana mengisi waktu kosong?
Dengan sarana apakah sebaiknya kita mengisi waktu kosong ini,
kekosongan ini menyebabkan banyak perbuatan negatif, namun
bagaimana memanfaatkan waktu luang? Apa yang mereka
sediakan untuk mengisi kekosongan diri? Yaitu seperti bioskop
panggung teater dan sebagainya, justru dengan melampiaskan
waktu luang kepada hiburan tersebut akan menambah
kerunyaman lagi yang membuat mereka lupa akan diri sejatinya
dan semakin menumbuhkan diri akan fatamorgana yang menipu
sehingga ketika manusia kembali kepada dirinya yang sejati,
maka akan dihinggapi perasaan hampa yang baru lagi karena
masalah utama dari banyaknya waktu kosong adalah krisis
spiritual.
Murtadha Muthahhari beranggapan waktu kosong terjadi
ketika seseorang telah mendapatkan pekerjaan dan pekerjaannya
itu telah digantikan dengan mesin akan tetapi pekerja tersebut
mendapatkan gaji yang tinggi, dan itu akan membuat seorang
pekerja menjadi malas kemudian berakhir pada banyaknya
waktu kosong. Kemudian Murtadha Muthahhari beranggapan
bahwa waktu kosong seorang pekerja tersebut teralihkan dengan
kegiatan hiburan yang membuat lupa jati diri.
Perumpamaan tersebut sepertinya perlu ditambahkan
dalam konteks di Indonesia. Karena di Indonesia selain seorang
pekerja yang mendapatkan waktu kosong ditambah dengan
banyaknya pengangguran yang belum bekerja. Data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran terbuka
sebanyak 6,88 juta per Februari 2020. Angka tersebut naik 0,06
persen dari Februari 2019. Pada tahun ini pengangguran yang
tercatat pada Badan Pusat Statistik 60 ribu orang.
Tahun ini terjadi penambahan jumlah pengangguran yang
tahun lalu bertambah 50 ribu pada tahun ini bertambah 60 ribu.
Dengan begitu maka makin banyak orang yang mempunyai
waktu kosong. Ini membuat PR bagi kita yang merasa peduli
terhadap sesama. PR kita adalah bagaimana caranya supaya diri
kita dan orang yang kita pedulikan tidak menjadikan waktu
kosong mereka digunakan yang menjerumuskan ke dalam hal
negatif seperti apa yang disampaikan oleh Murtadha Muthahhari.
Tapi apakah mengisi waktu luang selalu berujung
negatif? Bagaimana jika kita mengisi waktu luang dengan
menambah pengetahuan, keterampilan, kegiatan amal atau yang
lainnya. Misalnya seorang pemuda yang senang untuk
mengadakan kegiatan kemasyarakatan bisa bergabung dengan
salah satu atau dua ormas yang ada di Indonesia sesuai dengan
apa yang diminati, ormas yang terdaftar di Kementerian Dalam
Negeri pada tanggal 31 Juli 2019 berjumlah 420.381. Sedangkan
kepada pemuda yang senang mengajar dan melakukan kegiatan
amal bisa bergabung di Yayasan, terdapat 230.084 Yayasan yang
tercatat di Kementerian Dalam Negeri.
Dengan begitu waktu kosong kita akan menjadi manfaat
dan terhindar dari kegiatan yang menjerumuskan kita ke dalam
hal negatif yang berujung pada lupanya jati diri kita.
Murtadha Muthahhari beranggapan banyaknya waktu
kosong yang tersedia bagi zaman modern dan industri ini adalah
diakibatkan oleh seseorang mendapat pekerjaan dan kemudian
pekerjaannya tersebut digantikan oleh mesin, akan tetapi setelah
digantikan oleh mesin pekerja ini tetap dibayar dengan harga
tinggi dan ini akan menimbulkan rasa malas bagi pekerja
tersebut, yang kemudian karena tidak adanya tuntutan pekerjaan
seorang pekerja ini menghabiskan waktunya dengan hiburan
yang membuatnya lupa diri.
Namun selanjutnya, muncul pertanyaan penulis terhadap
pendapat Murtadha Muthahhari ini, “Apakah waktu luang itu
selalu berujung negatif?”. Dalam bukunya yang berjudul
Quantum Akhlak Murtadha Muthahhari memberi stigma bahwa
waktu kosong adalah tidak baik dan berujung kepada hal yang
negatif. Akan tetapi menurut penulis waktu kosong tidak selalu
berujung negatif tergantung siapa subjeknya. Karena banyak
sekali yang memanfaatkan waktu kosong untuk menambah
pengetahuan, keterampilan, kegiatan amal dan lain-lain.
Maka dari itu menurut penulis bentuk krisis spiritual
banyaknya waktu kosong yang disampaikan Murtadha
Muthahhari tidak cocok dikategorikan salah satu bentuk spiritual.
C. Lemahnya Jiwa
Semakin hari, jumlah orang yang ditimpa penyakit jiwa
dan gangguan mental atau yang dinamakan “penyakit peradaban”
seperti yang tertulis dalam buku falsafah akhlak karya Murtadha
Muthahhari semakin membengkak. “Penyakit peradaban” adalah
penyakit dan gangguan yang diakibatkan oleh peradaban
modern.
Dalam undang-undang nomor 18 Tahun 2014 tentang
kesehatan jiwa adalah kondisi di mana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Menurut perhitungan beban penyakit pada tahun 2017,
beberapa jenis gangguan jiwa yang diprediksi dialami oleh
penduduk Indonesia di antaranya adalah gangguan depresi,
cemas, skizofenia, bipolar, gangguan prilaku, autis, gangguan
perilaku makan, cacat intelektual. Dalam masa tiga dekade yakni
dari tahun 1990 hingga 2017 terjadi perubahan penyakit mental,
di mana yang mengalami peningkatan DALYs di antaranya
skizofrenia, bipolar, autis, dan gangguan perilaku makan.
Sedangkan depresi tetap menduduki peringkat pertama dalam
tiga dekade.
Gangguan depresi dapat dialami oleh semua kelompok
usia. Hasil Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas tahun 2018
menunjukkan gangguan depresi sudah dimulai sejak usia remaja
yaitu usia 15 hingga 24 tahun, dengan prevalensi 6,2%. Pola
prevalensi depresi semakin meningkat seiring dengan
peningkatan usia, tertinggi pada usia 75 tahun ke atas sebesar
8,9%, 65-74 tahun sebesar 8,0% dan 55-64 tahun sebesar 6,5%.
Kasus gangguan jiwa di Indonesia meningkat
berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018. Ada peningkatan
jumlah menjadi 7 permil rumah tangga, artinya setiap 1000
rumah tangga terdapat 7 rumah tangga dengan ODGJ, sehingga
jumlahnya diperkirakan sekitar 450 ribu Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) berat.
Setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu
terpaksa mengadakan penyesuaian diri atau adaptasi untuk
menanggulangi tekanan mental yang timbul disebutnya Stressor
Psikososial. Namun, tidak semua orang mampu untuk melakukan
adaptasi dan mengatasinya sehingga menimbulkan gangguan
jiwa.
Jenis Stressor Psikososial dikutip dari Pusdatin
Kemenkes yaitu: Perkawinan, masalah orang tua, hubungan
pribadi, lingkungan hidup, pekerjaan, keuangan, hukum,
perkembangan kedewasaan, penyakit fisik atau cedera, dan lain-
lain Sedangkan gejala gangguan jiwa skizofrenia yaitu delusi
atau waham, halusinasi, kekacauan alam pikir, gaduh atau
gelisah, merasa dirinya “orang besar”, penuh kecurigaan,
menyimpan dendam, mengasingkan diri, pendiam, pasif-apatis,
pola pikir stereotip.
Penyakit jiwa termasuk ke dalam kategori krisis spiritual
jika penyakit jiwa tersebut disebabkan oleh manusia itu sendiri.
Maksud dari yang disebabkan manusia itu sendiri adalah depresi.
Depresi yang diakibatkan oleh banyaknya tekanan jiwa dan
lemahnya spiritual orang tersebut dalam menghadapi tekanan
jiwa mengakibatkan terjadinya penyakit jiwa.
Penyakit jiwa ini mungkin bisa diantisipasi jika seseorang
yang mengalami tekanan jiwa yang berat dan didukung oleh
kekuatan spiritualitas dia maka ia akan terhindar dari penyakit
jiwa tersebut
D. Kehilangan Panutan pada Remaja
Remaja adalah manusia berumur belasan tahun. Pada
masa remaja manusia tidak dapat disebut dewasa tetapi tidak bisa
disebut anak-anak. Santrock (2003), mengatakan bahwa remaja
(Adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi dari
masa anak kepada masa dewasa yang mencakup perubahan
biologis, kognitif, dan sosial-emosional.
Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan
identitas sangat menonjol seperti pemikiran semakin logis,
abstrak, dan idealis serta sering menghabiskan waktu di luar
keluarga25. Menurut Gayo (1990) ciri-ciri remaja usianya berkisar
12-20 tahun yang dibagi dalam tiga fase yaitu; Adolensi dini,
adolensi menengah, dan adolensi akhir.
Adolensi dini adalah fase yang mulai renggang dengan
orang tuanya dan membentuk kawan, tingkah laku kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Kemudian fase adolensi menengah
adalah fase yang memulai hubungan dengan lawan jenis, fantasi
dan fanatisme terhadap berbagai aliran misalnya mistik, musik
dan lain-lain. Adolensi akhir adalah fase remaja mulai dapat
“menerima” dan “mengerti” terhadap sikap orang yang berbeda
pandangan dengannya Ciri perkembangan psikologis remaja
adalah adanya emosi yang meledak-ledak, sulit dikendalikan,
cepat depresi dan kemudian mudah melawan dan memberontak.
Keadaan emosi pada remaja masih labil karena erat dengan
keadaan hormon.
Kenakalan remaja atau Junivenile Delinquency adalah
kenakalan atau kejahatan yang dilakukan oleh anak- anak muda
(remaja) yang merupakan gejala sakit secara sosial yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga
mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Juvenile berasal dari bahasa latin “Juvenilis” artinya anak-anak,
anak muda. Sedangkan Delinquent juga berasal dari bahasa latin
yaitu “delinquere” yang berarti terabaikan Kepala Badan
Narkotika Nasional atau BNN Komisaris Jendral Polisi Heru
Winarko menyebutkan penyalahgunaan narkotika di kalangan
remaja meningkat. Di mana ada sekitar 24 hingga 28 persen
remaja yang menggunakan narkotika. Sedangkan angka
penyalahgunaan Narkoba di kalangan pelajar tahun 2018 dari 13
ibukota provinsi di Indonesia mencapai angka 2,29 juta jiwa.
Mereka yang menggunakan narkotika tidak
menyelesaikan masalah himpitan tekanan batinnya. Dan akhirnya
mereka berkeyakinan bahwa peradaban barat adalah peradaban
yang sia-sia dan tanpa makna. Yang mereka sendiri mungkin
tidak dapat mendiagnosis penyebabnya. Kemudian untuk
mengatasi tekanan batin yang mengimpitnya atau kita sebut
dengan krisis spiritual atau kekosongan spiritual mereka mulai
beralih ke dunia timur dengan harapan dapat mengisi kekosongan
spiritualnya.
Kenakalan remaja berasal dari krisis spiritual yang
disebabkan remaja mengikuti gaya dan pola hidup peradaban
barat yang pada akhirnya mereka sadar bahwa peradaban barat
adalah sia-sia dan tanpa makna, maka dari itu mereka tidak
punya tujuan hidup yang jelas dan mengalami krisis spiritual.
E. Krisis Kasih Sayang
Masalah lainnya adalah krisis ‘Athifah (kasih sayang)
yang diakibatkan fatamorgana kehidupan dan jauh dari ajaran
Allah yang menyebabkan kebekuan rasa cinta dan kasih sayang
antar sesama. Saat ini manusia tidak beda dengan mesin.
Keadaan ini sungguh mimpi buruk bagi umat manusia. Para Ibu
tidak lagi menaruh kasih sayang pada anak-anaknya,
sebagaimana seorang ibu yang menyayangi anaknya. Begitu
pula anak-anak tidak lagi memiliki kasih sayang dan hormat
kepada orang tuanya. Antara saudara sekandung tidak lagi saling
mengasihi. Sikap seperti itu memberi dampak negatif terhadap
kehidupan keluarga yang merupakan inti masyarakat sehingga
merebaklah kasus perceraian
Di Indonesia sendiri berdasarkan data Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung angka perceraian mengalami
peningkatan setiap tahunnya sejak tahun 2015 angka perceraian
sebanyak 394.246 kasus, di 2016 menjadi 401.717 kasus, 2017
naik jadi 415.510 kasus, dan 2018 sebanyak 444.358 kasus dan di
tahun 2019 mencapai 480.618 kasus. Sedangkan tahun 2020
sendiri hingga bulan Agustus angka perceraian mencapai 306.688
kasus.
Menurut Murtadha Muthahhari terjadinya perceraian
disebabkan dari krisis kasih sayang antara seorang ibu kepada
anaknya, begitu pula anak-anak tidak sayang dan menaruh
hormat kepada orang tuanya. Anak yang mengalami krisis kasih
sayang ini dapat menimbulkan masalah-masalah dalam hidupnya
berupa masalah hubungan sosialnya, keras kepala, suka
berkelahi, dan kepada dirinya sendiri.
Hubungan anak atau keluarga dan masyarakat tidak baik.
Keras kepala dan tidak mau mendengarkan nasihat dan teguran
orang tua, ini disebabkan karena orang tua kurang memberikan
kasih sayang atau waktu khusus untuk anaknya sehingga anak
tidak mempunyai seseorang untuk menceritakan dan
membimbingnya. Anak-anak yang memiliki krisis kasih sayang
juga suka berkelahi mereka berkelahi sebenarnya bukan
keinginan mereka sendiri tetapi karena ingin mendapatkan
perhatian dari sekitarnya, karena di rumahnya jarang
mendapatkan perhatian dan kasih sayang oleh orang tua.
Sedangkan di dalam dirinya sendiri anak-anak yang mengalami
krisis kasih sayang dari orang tua akan mengalami ketakutan,
kecemasan dan stres,
Anak-anak yang mengalami krisis kasih sayang ini
disebabkan oleh krisis moral dan krisis moral adalah akibat dari
krisis spiritual. Krisis kasih sayang ini mengakibatkan perubahan
pada sifat dan tingkah laku anak yaitu anak tidak hormat lagi
kepada orang tua ditandai dengan membangkang dan tidak
mendengarkan nasihatnya, suka berkelahi (krisis moral), krisis
moral ini adalah akibat dari krisis spiritual, dibuktikan jika anak-
anak ini mudah terpancing emosi dan tidak mau mendengarkan
orang tua, jika ia memiliki spiritual yang kuat ia tidak mudah
terpancing dengan mudah untuk berkelahi, dan ia akan patuh
kepada orang tua ketika orang tua memberikan nasihat. Maka
dari itu krisis kasih sayang adalah salah satu akibat daripada
krisis spiritual.
Murtadha Muthahhari beranggapan bahwa krisis kasih
sayang ini disebabkan karena fatamorgana kehidupan yang jauh
dari ajaran Allah. Karena jauhnya dari ajaran Allah maka
menyebabkan kebekuan rasa cinta, yang mana cinta itu adalah
anugerah yang diberikan Allah kepada makhluknya terkhusus
manusia.
Semakin jauh dari Allah maka semakin jauh juga dari rasa
cinta. Cinta ini yang membuat seseorang menjadi kasih dan
sayang. Seperti seorang Ibu kepada Anaknya.
Tidak adanya kasih sayang disebabkan orang tersebut
jauh dari Allah, semakin ia jauh dari Allah maka semakin krisis
juga spiritualitasnya. Maka krisis kasih sayang disebabkan oleh
jauhnya seseorang dari Allah, karena jauh dari Allah orang
tersebut akan mengalami krisis spiritual.
F. Individualitas
Akibat dari terjadinya individualitas maka dalam sekala
besar akan terjadinya ketidakpedulian antar sesama manusia yang
berujung salah satunya adalah kepada krisis kelaparan.
Krisis ini pada awalnya bukanlah krisis spiritual. Akan
tetapi memiliki akar spiritual. Krisis ini disebabkan oleh
hilangnya tanggung jawab kemanusiaan dan buruknya
pemerataan sosial serta penghamburan harta kepada hal-hal yang
tidak bermanfaat.
Dikutip dari globalhungerindex.org Indonesia tahun 2020
ini menempati urutan ke 70 dari 107 negara. Indonesia memiliki
skor angka kelaparan 19.1. masalah kelaparan ini sebenarnya tidak
akan terjadi jika setiap orang memiliki spiritual yang kuat
khususnya sebagai muslim. Jika setiap Muslim memiliki spiritual
yang kuat maka jika ia melihat atau mengetahui ada orang yang
kelaparan maka ia akan menolongnya, memberinya makan.
Masalah kelaparan ini terjadi karena umat Islam mengalami Krisis
Spiritual. Maka orang yang memiliki spiritualitas yang tinggi tidak
akan mengabaikan hadis tersebut. Tidak diabaikan hadis tersebut
maka tidak ada lagi masalah kelaparan.
G. Keserakahan dan Ketamakan
Keserakahan dan ketamakan adalah salah satu jenis dari
krisis spiritual, dengan keserakahannya manusia mereka membuat
banyak sekali pabrik untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi
mereka bukan hanya memenuhi kebutuhannya bahkan melebihi
kebutuhannya, yang berakibat pada pencemaran lingkungan.
Masalah pencemaran lingkungan adalah salah satu di
antara krisis dunia modern. Udara merupakan sumber terbesar
bagi kehidupan manusia, semakin lama semakin tercemar.
Sebagian orang menganggap bahwa penyebab udara tercemar
adalah banyaknya mesin-mesin industri. Tapi, menurut Murtadha
Muthahhari pencemaran lingkungan khususnya udara disebabkan
oleh industri yang tidak seimbang.
Hasil produksi tidak seimbang atau berlebih dengan
kebutuhan manusia. Tindakan ini menyebabkan mesin- mesin
harus tetap beroperasi maka dari itu limbah pun akan semakin
banyak dan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Semua itu disebabkan oleh sifat rakus dan tamak manusia, meski
harus mengorbankan kehidupan di bumi. Menurut Murtadha
Muthahhari sebab utama pencemaran lingkungan bukanlah
mesin akan tetapi keserakahan manusia terhadap materi.
Keserakahan manusia itu adalah salah satu tanda terjadinya krisis
spiritual.
Keserakahan manusia sebagai penyebab terjadinya
pencemaran lingkungan ada dua hal. Pertama manusia lebih
menitikberatkan fungsinya sebagai Khalifah. Kedua manusia
kehilangan kesadaran bahwa setiap perbuatannya akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sikap itu yang
menyebabkan terjadinya kerusakan alam dan juga pencemaran
lingkungan.
Memang manusia selain menjadi hamba Allah SWT,
manusia juga menjadi Khalifah di bumi dan ketika manusia
menitikberatkan posisinya sebagai Khalifah, maka manusia akan
merasa paling berhak untuk menguasai dan mengeksploitasi alam
dalam rangka memenuhi kebutuhannya bahkan melebihi
kebutuhannya seperti kata Murtadha Muthahhari. Keadaan itu
menyebabkan rusaknya ekologi dan pencemaran lingkungan.
Sebagai hamba Allah, manusia mempunyai tugas untuk
melaksanakan pengabdian secara luas. Sebagai hamba Allah
manusia melaksanakan segala sesuatu menurut perintah Allah
SWT dan menjauhi larangannya.
II. Pendidikan Spriritual sebagai Solusi Krisis Spriritualitas
Pendidikan adalah aktifitas yang dilakukan untuk
mengembangkan potensi seseorang secara penuh dan utuh, sehingga
ia dapat tumbuh sebagai makhluk yang berkembang fisik, nalar dan
spiritualnya dalam rangka menghasilkan kesejahteraan dalam
lingkungan keluarga, masyarakat dan umat manusia
seluruhnya.Untuk menghidupkan dimensi spiritualitas dan keilahian
memerlukan pendidikan dalam rangka meningkatkan kemampuan
pandangan seseorang terhadap segala sesuatu melalui esensinya.
Konsep demikian turut menyertakan pemenuhan kebutuhan nilai
transenden yang dianggap belum cukup diperhatikan oleh banyak
orang, karena tanpa nilai-nilai itu seseorang tidak akan mampu
melaksanakan tugasnya memenuhi segala kebutuhannya. Ketika
persepsi dan apresiasi tentang Tuhan tidak lagi mendapat tempat
dalam kehidupannya, perilaku dan sikapnya terpinggirkan dari
pusatnya yang menyebabkan keterikatan dan ketertarikan terhadap
yang Maha Mutlak secara pelan-pelan tetapi pasti akan menghilang.
Bila hal demikian dibiarkan terus menerus, maka krisis manusia dan
kemanusiaan akan terjadi, dan sebagai akibatnya adalah tergesernya
apresiasi terhadap Tuhannya
Ada kewajiban moral bagi setiap orang untuk mendidik
diri sendiri dan pihak lain dengan penuh keterbukaan terhadap
semua pengetahuan dan pengalaman, demi tumbuhnya sikap,
pemahaman dan perilakunya dalam menentukan semua kondisi
yang berhubungan dengan manusia, kemanusiaan,
kemasyarakatan, dan semua aspek kehidupannya. Di samping itu,
harus disadari oleh semua orang bahwa kehidupan manusia dan
peradabannya sebagian besar merupakan dunia penuh misteri
bagi penglihatan fisik dan nalar, tetapi suatu realistik bagi visi
spiritual bahkan penuh makna dalam hubungannya dengan
moralitas, pengetahuan dan pengalaman hidup yang esensial,
setiap orang perlu mendalami pengalaman hidup yang esensial
serta saling berbagi dan menyampaikannya kepada pihak lain
sesuatu yang didapat dari luar jangkauan kemampuan fisik dan
psikisnya ketika seseorang tidak berdaya menghadapi misteri
lingkungannya, tentunya mengandung dorongan untuk mencari
sesuatu yang lain yang tidak terdapat dalam lingkungan
materialnya.

Struktur kepribadian memiliki aspek jasmani dan rohani


yang bisa dikembangkan untuk menyerap pengetahuan dan
pengalaman dari alam sekitarnya dan dari alam supranatural.
Seharusnya pendidikan dapat mengakses semua pandangan yang
material dan spiritual sesuai dengan kapasitasnyadengan
berorientasi untuk mengoptimalkan semua potensi yang
terkandung dalam dirinya, sudah seharusnya seseorang dilihat
dari keterbukaannya terhadap alam infrahuman dan alam
suprahuman, karena ia adalah ukuran segala-galanya
(mikrokosmos) dan sebagai titik pangkal, pusat pemikiran dan
pewahyuan. Ia harus diberikan akses dan tempat menuju
Tuhannya, supaya dapat menunjukkan citra dirinya sebagai
manusia. Menjadi citra manusia yang sejati memerlukan
pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh K. Ahsib,
pendidikan harus dapat menyelamatkan seseorang dari berbagai
kekuatan yang menimbulkan dehumanisasi dengan menuntunnya
ke arah pertumbuhan dan perkembangan kepribadian yang
terpadu dan seimbang, harus memberikan kebebasan dan
kemerdekaan bagi setiap individu serta harus diimplementasikan
sebagai kemampuan untuk memahami dirinya sendiri, lingkungan
dan Tuhannya dalam rangka melindungi dan memelihara
perkembangan aspek jasmani dan rohaninya.

Pada dekade belakangan dalam lapangan ilmu psikologi


khususnya pada aliran psikologi humanistik berkembang konsep
mengenai kecerdasan spiritual sebagai antitesa dari konsep
kecerdasan intelektual. Kecerdasan spiritual dipandang sebagai
salah satu kecerdasan yang paling tinggi dibandingkan
kecerdasan-kecerdasan yang lain. Menurut Khalil Khavari,
kecerdasan spiritual adalah kecakapan dalam dimensi non-
material dan jiwa kemanusiaan seseorang. Roberts P. Emmons
menegaskan dalam bukunya The psychology of ultimate
concerns, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa yang dapat
membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. Pada
dasarnya seorang anak terlahir sebagai makhluk spiritual, setiap
bayi yang lahir memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Namun
apabila tidak dibina dan dikembangkan dengan baik melalui
pendidikan dari orang tuanya dan lingkungannya, maka lambat
laun kecerdasan ini bisa memudar. Seorang anak yang merasakan
kehadiran Tuhan melampaui hal- hal yang bersifat fisik dan
material, akan mampu menggabungkan kesadaran dalam
lingkungannya dengan alam semesta yang lebih luas. Apa yang
dilihat oleh seorang anak tidak terbatas dengan apa yang ia
saksikan melalui alat inderawinya semata. Dengan memiliki
kecerdasan spiritual yang mumpuni, seorang anak akan memiliki
karakteristik; pertama, kemampuan untuk mentransendensikan
yang fisik dan material, kedua, kemampuan untuk mengalami
tingkat kesadaran yang memuncak, ketiga, kemampuan untuk
mensakralkan pengalaman sehari- hari, keempat, kemampuan
untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk
menyelesaikan masalah, kelima, kemampuan berbuat baik.
Selain itu, dalam penelitian Marsha Sinetar, menemukan
potensi-potensi pembawaan spiritual (spiritual traits) pada anak-
anak, seperti sifat keberanian, optimisme, keimanan, perilaku
konstruktif, empati, sikap memaafkan, dan bahkan ketangkasan
dalam menghadapi amarah dan bahaya.
Dari paradigma Spiritual Quotient (SQ)kemudian
berkembang konsep spiritual parenting (SP) yang digagas oleh
banyak pakar psikologi anak, menyikapi kondisi masyarakat yang
hampa moral dan nilai-nilai luhur ditambah akses negatif dari
media televisi, internet, lingkungan, serta sistem pendidikan
modern yang lebih menekankan pada materi dan tercapainya
prestasinya sehingga mengubur jiwa suci dan nilai-nilai keilahian
anak didik.
Menurut Inayat Khan, pendidikan agama yang ada selama
ini tidak cukup membangun spiritualitas anak, karena pendidikan
agama biasanya telah diformat dan kebanyakan lebih
menekankan pada ritus-ritus dan tradisi yang lebih menekankan
pada ibadah sosial dan kurang menekankan pada Inner self atau
dunia dalam anak. Pendidikan spiritual melalui proses
pengasuhan anak dalam spiritual parenting berwawasan lebih
luas dan mendalam, karena membantu menyadarkan anak sedini
mungkin bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan dan bagian dari
keseluruhan alam semesta. Menurut Mimi Doe dan Marsha
Walch, mengasuh anak dengan perspektif Spiritual Parenting
merupakan cara yang mudah dan alami untuk berinteraksi dengan
anak-anak.Spiritualitas yang hadir secara rutin dalam kehidupan
sehari-hari sebuah keluarga dapat membuat peristiwa sehari-hari
sebagai keajaiban. Percakapan makan malam, melakukan tugas
sehari-hari mendongeng sebelum tidur, berpotensi menjadi
momen-momen suci. Spiritual parenting merupakan metode baru
yang merangsang anak untuk berpikir tentang Tuhan. Teologinya
memberikan pencitraan Tuhan yang maha menyayangi.
Berkaitan dengan pendidikan spiritual melalui spiritual
parenting ini, Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa prinsip
spiritual parenting bisa diterapkan misalnya dengan mengajak
anak untuk mengapresiasikan Tuhan melalui ciptaannya, bisa
keindahan alam, sinar matahari, ataupun warna-warni bunga.
Spiritual parenting sangat bermanfaat untuk mengasah kepekaan
dan hubungan manusia dengan Tuhan dalam pengertian
universal. Selain itu spiritual parenting juga bermanfaat untuk
mendidik trasendensi, nilai-nilai moral dan akhlak mulia.
Karakter yang diajarkan pada anak meliputi tolerasi, keterbukaan,
kejujuran, rasa terima kasih, kemampuan memaafkan dan
mencintai.
Menularkan nilai spiritual, seperti dikatakan psikolog
Fauzil Adhim, sama halnya dengan menanamkan aspek dasar
pendidikan moral. Untuk mempelajarinya, anak terlebih dahulu
akan mengidentifikasikan dirinya dengan significant person,
dalam hal ini figur terdekat dan berpengaruh yaitu orangtuanya.
Peranan orangtua sebagai teladan moral, juga ditegaskan oleh
Michele Borba, dimana orangtua adalah guru moral pertama dan
paling berpengaruh bagi anak. Orangtua yang sangat kuat
mengarahkan anaknya secara moral, pasti berhasil karena mereka
mengambil tanggung jawab sendiri atas usaha itu.

Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch, mengasuh anak


dengan spiritualitas bukan pekerjaan yang kaku, rumit dan
memerlukan pengetahuan yang khusus. Pekerjaan ini sifatnya
alamiah dan dapat diterapkan dalam keluarga sehat- manapun
dengan tampilan dan dalam situasi apapun. Orang tua yang penuh
pengertian dan kasih sayang adalah orang tua spiritual. Merawat
visi, pengalaman, sensasi dan impian alami sang anak berarti selalu
membuka pintu untuk kegembiraan tak terbatas dan kehidupan
spiritual bagi keluarga. Fungsi orangtua spiritual buat anak-
anaknya adalah agar hidup sehari-hari dalam kerangka kerja yang
berpusat pada Tuhan, sehingga dapat mengurangi tekanan masalah
dan memberi arti dan tujuan hidup. Penghakiman digambarkan
dengan penerimaan, anak menjadi apa adanya dan menjadi
apa yang dibentuk ruhnya, serta mengizinkan anak-anaknya
berbahagia dalam keunikannya.
Hubungan spiritual terhadap anak tidak perlu berupa
fenomena ghaib. Dalam momen-momen sederhana dari
kehidupan anak sehari-hari, Tuhan menunjukkan wajah-Nya bagi
hati anak-anak. Dengan berbagai momen-momen inilah, anak-
anak menawarkan kepada orangtuanya, pemahaman lebih
mendalam akan kehidupan batin anak. Seorang anak balita (di
bawah 3 tahun) yang mengamati selembar daun, menunjukkan
kekagumannya terhadap alam dan dengan gembira menunjukkan
penemuannya pada orang tuanya adalah momen spiritual.
Spiritualitas naluriah anak perlu dirawat, dijaga, agar tetap
hidup, bukan disingkirkan dari kenyataan praktis. Daripada selalu
mengatur dan mengamati kehidupan anak dari luar, lebih baik
orangtua atau pengasuh menciptakan hubungan berdasarkan
kebijaksanaan intuitif anak itu sendiri. Pada usia tertentu, anak-
anak mungkin akan mempertanyakan atau menolak penjelasan
tentang spiritualitas, sebagaimana yang orangtua atau pengasuh
berikan dan memulai perjalanan mereka sendiri untuk mencari
tahu tentang Tuhan. Dalam hal ini, orang tua atau pengasuh harus
berbagi pengalaman spiritual, karena menceritakan proyeksi
kemanusiaan dan spiritualitas kepada anak akan memberikan
peluang untuk bersifat manusiawi dan spiritual pula.

Pada tataran teori dan konsep, spiritual parenting seperti


yang dijelaskan di atas terdapat kesinambungan dan merupakan
bagian daripada pendidikan spiritual. Spiritualitas sesungguhnya
adalah motivator yang cukup kuat untuk belajar. Dalam konteks
pendidikan di sekolah, motivasi mengacu pada peristiwa batiniah
atau kejiwaan dimana rasa keingintahuan itu dimunculkan di
segenap perhatian difokuskan. Neil Postman mengungkapkan
bahwa sekolah itu bisa mencapai kemanfaatan, apabila pada
orang tua, murid dan para guru di sekolah memiliki satu Tuhan
untuk disembah atau bahkan akan lebih baik apabila memiliki
beberapa Tuhan. Apabila mereka tidak punya satu Tuhanpun,
maka sekolah itu menjadi tidak berarti. Kita tidak dapat
melakukan apa-apa tanpa Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa
spiritualitas bukan hanya perlu dimiliki oleh mereka yang terlibat
dalam proses belajar baik - langsung maupun tidak- tetapi
merupakan sebuah keniscayaan dimana eksistensinya sangat
menentukan keberhasilan seseorang dalam kehidupannya.
Mimi Doe dan Marsha Walch, menegaskan bahwa
spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai
moral dan rasa memiliki dan memberi arah dan arti bagi
kehidupan. Selain itu spiritualitas juga dimaknai sebagai
kepercayaan akan adanya kekuatan non fisik yang lebih besar
daripada kekuatan diri kita, suatu kesadaran yang
menghubungkan seseorang dengan Tuhan atau apapun yang
disebut-sebut sebagai sumber keberadaan dan hakikat
kehidupan. Baginya spiritualitas juga mengandung kesadaran
akan adanya hubungan suci dengan seluruh ciptaan dan pilihan
untuk merengkuh hubungan itu dengan cinta.Dalam kaitannya
dengan kehidupan anak, hakikat spiritual anak tercermin dalam
kreatifitas tak terbatas, imajinasi luas dan pendekatan terhadap
kehidupan yang terbuka dan menyenangkan. Spiritualitas
bukanlah dogma agama terorganisasi, meskipun agama
terorganisasi merupakan sarana yang baik untuk membina jiwa
anak, karena spiritualitas itu sudah ada (inheren) di dalam
dirinya.
Pendidikan spiritual merujuk pada pengenalan terhadap
Tuhan, supaya dia melimpahkan karuniaNya, sehingga tindakan
dan perbuatan seseorang bermanfaat pada kehidupan material
maupun spiritual, baik untuk kepentingan saat ini maupun nanti,
sebagaimana diketahui bahwa kebutuhan material hanya dapat
dipenuhi oleh aspek jasmaniah, sedangkan kebutuhan spiritual
dapat dipenuhi oleh aspek spiritualnya, maka mengaktualkan
fungsi-fungsi jasmani maupun rohani menjadi keharusan bagi
seseorang yang menginginkan pengembangan pribadi yang
optimal dan maksimal dalam keseimbangan dan kesempurnaan.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
spiritualitas adalah merupakan kebutuhan dasar manusia dan
pendidikan spiritual dapat menjadi media untuk memenuhi
kebutuhan dasar tersebut. Pendidikan spiritual akan
mengantarkan manusia menjadi pribadi yang berkarakter yang
mampu melakukan perubahan-perubahan yang baik bagi dirinya
dan orang lain.
BAB IV

PENUTUP
Era globalisasi identik dengan era sains dan teknologi,
yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset
yang mendalam. Di satu sisi dengan semangat yang tak pernah
padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar
kepada kesejahteraan umat manusia. Namun di sisi lain, dengan
perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan spiritual
keagamaan, menjadikan manusia kehilangan pegangan hidup dan
karakternya. Di antara akibat negatif dari era global ini, ialah
kurangnya penerapan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-
hari. Sehingga hampir secara keseluruhan manusia saat ini
mengalami kehampaan spiritual. Nilai-nilai spiritualitas agama
bukan saja tidak diamalkan, tetapi menjadi momok dalam
kehidupan. Nilai-nilai agama terpisah dari kehidupan. Agama
hanya untuk akhirat, dan sebagian masyarakat menjauh dari
agama. Dengan kemajuan IPTEK, menjadikan sebagian
masyarakat menjauh dari agama. Bahkan telah membebaskan
manusia dari serba Tuhan.
Manusia pada hakikatnya makhluk spiritual. Spiritualitas
merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus di penuhi.
Namun terkadang dimensi spiritual manusia itu
terabaikan.Dengan terabainya dimensi spiritualitas ini
menyebabkan manusia kurang bermakna (meaning)hidupnya dan
kurang bisa mengontrol seluruh tindakannya. Spiritualitas
manusia harus tetap terjaga dan berkembang. Untuk bisa
mewujudkan hal ini, maka dibutuhkan pendidikan spiritual bagi
manusia agar jiwanya tetap hidup dan tidak gersang.Salah satu
peran pendidikan spiritual ini antara lain adalah membentuk
manusia berkarakter. Menjadi manusia “berkarakter” tidak cukup
hanya memiliki sifat-sifat baik semata, tetapi sekaligus mampu
menggunakan hal-hal baik itu untuk meraih tujuan mulia melalui
semangat juang yang kuat. Pengertian “berkarakter” disini adalah
karakter yang baik dan kuat, sedangkan “tidak berkarakter”
adalah pribadi berkarakter lemah dan buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Gymnastiar. Nasihat Untuk Bangsa (Khutbah Arafah).


Bandung: PT Mutiara Qolbin Salim, 2002.

Alex Sobur. Kamus Besar Filsafat: Refleksi, Tokoh,Dan


Pemikiran. Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

Amin Syukur. Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2004.

Anwar, Rosihin. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Asror, Ahmad Khadziq. “KRISIS SPIRITUAL MASYARAKAT


MODERN DALAM PRESPEKTIF ALQURAN ( Studi
Tematik Ayat-Ayat Putus Asa Dan Kontekstualisasinya ).”
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles.


Yogyakarta: Kanisius, 1999.

BPS DKI JAKARTA. Berita Resmi Statistik. Jakarta, 2020.

Bundy, Jonathan, Michael D. Pfarrer, Cole E. Short, and W.


Timothy Coombs. Crises and Crisis Management:
Integration, Interpretation, and Research Development.
Journal of Management. Vol. 43, 2017.

Anda mungkin juga menyukai