Anda di halaman 1dari 11

Bandung, 25 September 2022

“Yg lain udah pada dimana?” ucap Reyqa diujung telepon. Aku yang baru saja sampai di The M Mall
tidak segera menjawabnya. Kumatikan dulu teleponnya, lalu bergegas ke dalam karena suhu di siang
ini sangat panas, mungkin bisa membuat sebutir telur matang jika kupecahkan ditanah.

Ketika aku masuk ke dalam, mal ini sangat berubah dari yang terakhir kali kukunjungi. Mal ini
menjadi lebih besar dan lebih ramai dari sebelumnya, yang mana dulu mal ini adalah salah satu mal
tersepi di Kota Bandung. Ditambah akses mal ini yang tepat berada di sebelah jalan utama kota,
membuat mal ini semakin dipadati pengunjung.

Namun anehnya, di mal ini ada lima eskalator, yaitu 2 eskalator untuk naik di sebelah kanan, 2
eskalator turun di sebelah kiri, dan 1 eskalator naik yang terletak di bagian yang entah kebetulan
atau tidak berada di area sepi pengunjung. Aku yang telah diberitahu letak tempat yang telah kami
booking langsung bergegas naik menggunakan eskalator ke lantai 3.

Ketika aku sampai disana, aku melihat sudah ada Fadli, Arka, Karim & Izzat. Mereka sudah memesan
makanan selagi menunggu kedatangan teman-teman lainnya yang belum sampai di The M Mall.
Belum sempat memesan makanan, adzan dzuhur berkumandang melalui pengeras suara yang
terletak di beberapa sudut mal.

“Eh, pesennya nanti aja lah habis shalat, sekarang ke mushola aja dulu” ajak Fadli kepada kami. Kami
pun lantas mengikuti Fadli yang tampaknya sudah mengetahui letak tempat di mal ini. Ketika kami
sampai di musholla, ternyata disana sudah ada Reyqa, Almer serta Afkar yang baru saja tiba. “Dari
tadi lu ditungguin kemana aja, kalo lu kesini bilang” kata Arka kepada Reyqa yang sedang melepas
sepatu, bersiap-siap untuk shalat.

“Eh iya, soalnya tadi pas nyampe kesini pas adzan, jadi shalat aja dulu” balas Reyqa kepada Arka,
sambil berpura-pura menggaruk kepala. Lalu kami bergegas shalat sebelum musholla dipenuhi oleh
pengunjung lain. Setelah shalat, kami bergegas untuk pergi ke bioskop yang tiketnya sudah dipesan
oleh Reyqa sebelumnya, yang filmnya akan diputar 15 menit lagi. Tetapi anehnya ketika kami
berputar di sekitar area perbelanjaan, seperti ada yang berubah dari mal ini. Eskalator yang tadinya
berurutan di sisi kiri dengan format naik-naik, menjadi naik-turun, serupa di sisi kanan.

“Perasaan tadi gak gini, tadi yang turun bukannya di sebelah kiri, kok jadi sebelahan” Afkar yang
menyadari keanehan tersebut juga heran, bahkan ia juga menyadari sesuatu: pengunjung menjadi
lebih sepi, tidak seperti di lantai bawah dimana banyak anak kecil yang berlarian. “Gatau, tadi kita
salah liat aja kayanya, kayanya emang sebelahan” kata Almer untuk menenangkan situasi, mungkin.
“Salah liat gimana, jelas-jelas emang gak sebelahn gini, makanya kacamata dipake” gerutu Arka
kepada Almer yang dari tadi berusaha menenangkan situasi.

Karim yang tidak tahan berada disini lebih lama langsung mengajak kami semua untuk mencari jalan
lain, yaitu kearah timur. “Ayo daripada disini, mending muter aja ke belakang, ke yg deket toko-toko
hp itu, sekalian aku mau beli kabel”. Kami pun mengiyakan ajakan Karim karena ada betulnya,
memang dirasa lebih baik daripada hanya diam disini. Namun, ketika kami sampai di area toko hp ,
yang terjadi adalah..... Kosong. Ya, kosong.

Area toko hp benar-benar kosong, bahkan tidak ada satupun toko yang buka disana, namun
perkiraan Karim sepertinya benar, karena ada sebuah eskalator di ujung sana. Kami pun bergegas
kesana dan menaikinya, namun ketika sampai di ujung eskalator.... Gelap. Sangat-sangat gelap. Tidak
segelap gua, namun tempat itu bagaikan sel penjara yang disinari secercah cahaya dari lubang di
dindingnya. Redup. Bermodalkan senter hp, kami pun menyusuri lokasi ini. Ketika sedang berjalan....
Brukkk! Afkar yang sedang berjalan menabrak sesuatu, yang setelah disorotkan senter ternyata
sebuah meja.

Kami pun menyadari bahwa area ini merupakan sebuah food court, entah terbengkalai atau sedang
diperbaiki. Kami langsung bergegas pergi dari area itu, bisa-bisa kami dipergoki oleh pekerja yang
mungkin sedang memperbaiki area itu. Namun, di depan, kami melihat ada lorong yang lebih terang,
kami pun lalu bergegas menuju kesana. Sesampainya disana, ada sebuah spanduk besar terbentang
dengan banyak tulisan. “Sebentar, coba aku baca” seru Izzat. Namun, spanduk yang berjarak 15
meter tersebut tidak bisa dilihat oleh Izzat dengan mata telanjang, maka dia berusaha meraba
kacamatanya di dalam tas.

Namun, apa yang terjadi? Kacamata tersebut tidak berada di tempatnya! Izzat yang panik langsung
meminjam kacamata milik Almer yang juga sedang tidak dia pakai. Namun, kacamata milik Almer
bernasib serupa, yaitu menghilang tanpa jejak juga! Izzat yang tidak kehilangan akal meminjam
ponsel milik Afkar, namun lagi-lagi ponselnya juga tidak ada di tempatnya! Sungguh kejadian yang
sangat aneh. Siang itu, ada 8 orang yang tersesat, 2 kacamata dan 1 ponsel yang hilang di dalam
sebuah mal di tengah kota Bandung.

Saat itu semakin mencekam, karena tidak ada yang bisa membaca spanduk tersebut. Aku yang baru
menyadari situasi tersebut, langsung membaca spanduk sebesar 3x4 meter di ujung sana yang
bertuliskan “lewat pintu kiri, lurus lalu belok ke kanan” Aku yang menyadari di belakang spanduk
tersebut ada sebuah corak logam berwarna hitam, langsung bergegas kesana sembari mengajak
yang lain.

Benar saja, ternyata itu sebuah pintu. Kami langsung bergegas keluar lewat pintu tersebut dan
menuruni tangga yang kupikir adalah tangga darurat, namun anehnya tampak setinggi 6 lantai jika
kuhitung-hitung.

Dan akhirnya, kami berhasil kembali ke tempat awal kami tersesat, dan berhasil menemukan
bioskop yang dari awal adalah tujuan kami. Kami pun bergegas mengadukan masalah ini ke sekuriti
yang ada di sana, namun anehnya setelah dicek kembali tidak ada pintu tempat tadi kami keluar, dan
tidak ada eskalator di area pertokoan hp tadi, bahkan banyak pengunjung disana! Kami pun langsung
bergegas memesan kembali tiket film baru, untuk menonton, tentunya dengan perasaan merinding.

Sesampainya di loket, kami langsung memesan tiket dan memilih tempat duduk. Tentunya agar
pandangan lebih luas, dan tidak dikelilingi oleh penonton lain. Tetapi ketika kami memilih tempat
duduk, tampaknya tidak ada penonton lain selain kami yang telah memesan tiket.

Tapi tidak apa, suasana sepertinya akan lebih nyaman karena tidak ada suara penonton lain yang
biasanya berteriak, atau bereaksi. Tidak lupa membeli makanan, kami langsung masuk ke teater
karena ketika kami memesan tiket, kebetulan pintu teater juga sudah dibuka, dan kami
menyerahkan tiket pada petugas yang berjaga di depan pintu. Lalu kami bergegas duduk di kursi
paling atas, dan benar saja setelah menunggu beberapa lama sampai film dimulai, belum ada
penonton yang masuk lagi.

Sesekali aku dan Karim mengambil popcorn milik Fadli karena baru saja 25 menit berjalan, popcorn
milik kami sudah habis, mungkin karena awal film yang cukup membosankan dan rasa lapar karena
sebelumnya kami belum makan siang.

Selang beberapa lama, kulihat jam tanganku. Waktu menunjukkan 14.15, artinya film tersisa lima
belas menit lagi. Film yang awalnya kami sangka cringe namun tidak disangka, film bergenre drama
ini memiliki ending yang sangat bagus.
Terdengar keriuhan dan suara tepuk tangan sebagian penonton saat film sudah mulai berakhir,
bahkan tampaknya ada yang menangis karena filmnya dirasa sedih bagi sebagian penonton, pikirku.
Walaupun sebenarnya kebisingan seperti itu cukup menggangu, namun sebagian orang mungkin
memiliki perasaan yang berbeda.

Lampu dinyalakan, credit scene ditunjukkan. Dinginnya suhu teater membuatku ingin cepat-cepat
keluar, selagi teman-temanku memotret credit scene untuk di-posting di status medsos, terkecuali
Afkar yang ponselnya belum ditemukan.

Namun ketika aku berdiri, aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Tidak ada suara sedikitpun,
bahkan tampaknya tidak ada orang yang berada ataupun keluar dari teater ini selain kami. Saat itu,
aku langsung merinding seketika, dan langsung memberitahu yang lainnya.

“Bener co, tadi kan banyak suara pas mau selesai filmnya, kok sekarang gaada orang?” timpal Arka
setelah mendengar penjelasanku. Kami yang menyadari keanehan ini langsung keluar dengan
perlahan, menuruni tangga dalam dinginnya suhu teater.

Setelah kami keluar, suasana semakin mencekam. Tidak ada siapapun di bagian depan bioskop,
bahkan penjaga loket entah kemana, padahal belum tiba waktu shalat. Lampu juga tampaknya
berkedip-kedip yang menandakan adanya sesuatu yang tidak beres. Sebenarnya selagi kami di
dalam, kami juga sudah merasakan keanehan, mulai dari film yang lama dimulai hingga tidak adanya
penjual makanan yang berkeliling teater.

Tapi saat itu kami belum menyadarinya, hingga kami keluar, kami sadar bahwa bioskop ini tidak
beres. Bahkan sekuriti yang kami tadi temui sebelum menonton juga tidak ada. Sepi. Benar-benar
sepi. Bagaikan hutan belantara, dengan ditemani cahaya redup dan berkedip dari langit-langit mal,
kami keluar dari bioskop itu.

Bahkan ketika kami ingin turun, eskalator ke lantai dua juga mati, tidak bergerak. Kami
mengurungkan niat untuk turun karena takut keanehan akan berlanjut. Kami pun lanjut berkeliling di
lantai tiga tempat bioskop aneh tadi berada, siapa tahu menemukan orang lain yang masih ada
disini.

“Masih siang sepi amat, apa ada acara dibawah ya?” gumamku dalam hati. Mengingat di mal ini
kadang ada acara pentas, seminar atau fashion show yang dilakukan oleh siswa sekolahan.

“Eh thor, katanya gak bakal kesini, tau gitu ditungguin” ucap Reyqa yang ternyata menyadari
kedatangan Thoriq ke arah kami. “Iya acara keluarga gw ditunda tadi, jadi bisa kesini. Eh pas mau
nelpon HP-nya mati, dah gitu gk ketemu bioskopnya. Akhirnya kesini tadi lewat eskalator yg
dibelakang GFC” balas Thoriq kepada Reyqa.

Kami pun langsung menceritakan film tadi dengan sangat antusias karena film yang diluar ekspektasi
kami, terkecuali Izzat & Almer yang tidak terlalu menikmati film karena kacamata mereka hilang.
Bersama Thoriq, kami pun menyusuri kembali area lantai 3 di dekat pertokoan hp. Tidak seperti
setelah kami turun dari ‘lantai 4’, pertokoan hp menjadi sepi kembali.

Dan ya, bisa ditebak, eskalator tadi muncul kembali. Thoriq yang kami rasa belum mengetahui area
itu langsung kami ajak menyusuri, sembari menyiapkan senter. Tetapi pandanganku teralihkan
kepada sebuah benda berwarna hitam diatas meja dekat eskalator. “Kar, ini hp lu kan? Kok ada
disini?” ucapku setelah mengamati benda itu yang ternyata merupakan ponsel milik Afkar.
“Eh iya kok disini, mengheran, makasih mint” kata Afkar setelah kutunjukkan ponselnya. Afkar
langsung mengecek ponselnya, dan masih sama seperti semula. Afkar langsung menyalakan
senternya dan bergegas naik keatas menyusul yang lain.

Setelah berkeliling di area yang sebelumnya kami duga food court itu, kami mencoba untuk
memotret area itu bermodal senter dari ponsel milik Reyqa dan Almer, serta menggunakan ponsel
Afkar untuk memotret.

Namun tanpa disangka, sesuatu yang aneh terjadi. Afkar yang tidak sengaja melihat galerinya
melihat ada beberapa foto yang sepertinya tidak dia ambil. Di beberapa gambar itu, ada sebuah
ruangan berisi orang, yang sedang menyalakan api, dan menonton televisi yang hanya menampilkan
garis statis. Afkar yang terkejut langsung menghapus gambar itu, namun yang terjadi adalah
galerinya menutup dengan sendirinya, dan ketika mencoba untuk membukanya kembali, hanya
menunjukkan “Galeri tidak menanggapi”.

“Matiin aja dulu hp nya, nanti buka lagi pas dibawah” saranku kepada Afkar agar suasana lebih
kondusif. Teman-teman yang lain, yang juga menyadari yang terjadi juga langsung berlari kearah
pintu dengan ruangan terang yang kami anggap tanda darurat sebelumnya.

Disana, tidak ada yang berubah, namun ada beberapa coretan di dinding yang tidak kami mengerti
artinya. Arka kemudian memotretnya karena kebetulan dia adalah seorang penggemar hal berbau
misteri, walaupun dia juga sebenarnya tidak mau terlibat saat ini.

Kami keluar lewat tangga yang terletak dibelakang spanduk, namun saat kami keluar, tiba tiba lokasi
keluarnya berubah, bukan di dekat bioskop seperti sebelumnya. Berubah. Menjadi sebuah
supermarket. Supermarket besar yang didominasi warna biru.

Disitu kami melihat, ada sebuah televisi tabung yang tergantung di atapnya, menunjukkan beberapa
promo. Aku baru tahu, masih ada supermarket yang menggunakan televisi tabung di tahun 2022 ini,
pikirku.

Ketika kami mulai menyusuri lorong supermarket ini, tampaknya banyak barang yang belum pernah
kami lihat disini. Dengan kemasan yang sangat ketinggalan jaman, mungkin ada event yang berkaitan
dengan sesuatu berbau nostalgia.

Namun ada yang baru kusadari, setiap pegawai memerhatikan kami, atau tepatnya memerhatikan
sesuatu yang dipakai oleh Arka, yaitu sebuah wireless headset. Dan saat aku menyadari... Seragam
yang mereka pakai bukanlah seragam yang biasa kulihat, karena aku juga biasa ke supermarket ini,
namun seragam disini beda. Tiba-tiba seorang pegawai menghampiri Arka, dan berbicara
menggunakan bahasa isyarat.

Ya, aku paham sekarang. Sepertinya mereka mengira TWS yang dipakai Arka merupakan alat bantu
dengar, dan mereka mengira Arka tidak bisa mendengar dengan baik. Arka yang kesal langsung
segera menjauh dari pegawai itu, dan itu membuatku makin penasaran. Walaupun ada event seperti
itu, seharusnya tidak usah berlebihan sampai pura pura tidak tahu teknologi.

Aku yang semakin penasaran menanyakan tanggal berapa ini, langsung bertanya kepada pegawai
tadi. Dan apa yang dia jawab? “hari ini tanggal 20 September 2004” kalimat yang keluar dari
mulutnya. Aku yang merasa ada sesuatu yang tidak beres langsung menyadari. Apakah kami terjebak
di ruang waktu? Atau ruang belakang? Belakangan topik backroom cukup populer di medsos kami.
Bergegas, tanpa pikir panjang, kami langsung berdiskusi.
“Gw pernah denger, kalo kita terjebak di tempat terang, jalan keluarnya itu lewat tempat gelap” kata
Almer kepada kami. “Ok, kalo gitu, berarti kita harus keluar lewat.... Gudang” Karim berpikir sejenak,
dan ya, sepertinya kami juga memiliki pemikiran yang sama. Kami memutuskan mencari pintu masuk
ke gudang penyimpanan barang supermarket itu, dan langsung menyelinap.

Didalam sana, banyak pegawai dengan seragamnya, seragam tahun 2004, yang semakin membuat
kami merinding. Namun anehnya mereka tidak menyadari keberadaan kami, sampai akhirnya....
Brukkk! Sebuah barang jatuh dari atas menimpa salah satu pegawai, namun anehnya ia seolah tidak
apa-apa.

Kami yang sudah ketakutan langsung bergegas keujung gudang, dan benar saja ada pintu disana.
Kami langsung keluar melalui pintu itu dan ternyata benar saran Karim serta Almer. Pintu tersebut
langsung mengarah ke lantai bawah, dimana banyak pengunjung seolah tidak ada apa-apa.

Kami langsung menuju ke tempat sekuriti dan menyampaikan hal hal ini ke sekuriti karena sudah
merasa ini tidak beres. Tetapi apa kata sekuriti: “emang gitu de udah biasa, saya mah udah sering
kaya gitu, apalagi habis kebakaran di lantai 3 sama lantai 4 tahun 2010 , udah gak pernah dibetulin
lagi, pokoknya kalo ada yang gitu biarin aja gaakan ganggu”

Kami yang masih syok pun langsung diberikan air minum oleh sekuriti, dan setelah beristirahat
sejenak, kami pun kembali dan memutuskan tidak akan kembali ke mal ini lagi, atau setidaknya tidak
ke lantai atas mal ini

Aku langsung beranjak pergi ke arah minimarket karena teman-teman yang lain sudah terlebih
dahulu pergi untuk membeli minuman. Namun ketika aku sampai di minimarket, aku tidak dapat
menemukan wajah Thoriq diantara teman-temanku yang lainnya.

“Thoriq duluan katanya, tadi dah ke parkiran soalnya bawa motor sendiri” ucap Karim yang
menebak-nebak pikiranku karena melihat pandanganku yang sedang mencari sesuatu. Karena
kupikir dia belum berangkat, maka aku memutuskan menelponnya terlebih dahulu untuk menitipkan
beberapa pesan. Namun tepat sebelum aku menelepon, ada sebuah telepon masuk. 10 buah angka
tampak berderet dilayarku. Aku yang bimbang memutuskan mengangkatnya. Namun baru saja aku
berucap “halo, ini siapa?”.....

Teleponnya dimatikan. Hanya ada sedikit suara “ummmm” dan teleponnya langsung dimatikan oleh
si penelpon. “Salah sambung kali”, pikirku. Aku pun tidak memikirkan ini repot-repot karena aku juga
merasa penelpon tadi hanya penelpon yang salah sambung. Namun baru saja aku ingin masuk ke
minimarket, Arka tiba-tiba berbicara

“Cokk, tempat minum gw ketinggalan tadi di meja, kalo gak diambil bisa tamat gw” ucap Arka panik.
Kami awalnya mau menyuruh Arka mengambilnya, namun melihat raut mukanya yang ingin
ditemani, maka kami memutuskan untuk kembali kedalam bangunan berisi misteri dan kegelapan
tadi.

Sesampainya disana, kami langsung bergegas menuju tempat yang dimaksud Arka, tidak lain tempat
ia meninggalkan botol minumnya, namun sayang ketika kami menengok kesana, botol minum itu
sudah tidak ada. Kami pun langsung mencari pegawai sekitar yang mungkin menaruh tempat minum
itu.

Namun, tidak ada angin tidak ada hujan, kami tiba-tiba didatangi oleh dua orang mahasiswa yang
mengaku sedang menjadi volunteer untuk sebuah lembaga amal di Bandung. Keduanya menawarkan
sebuah buku voucher seharga dua ratus ribu rupiah yang mereka akui, sebagian dari hasil penjualan
tersebut akan di donasikan kepada lembaga amal yang mereka maksud.

Ketika teman-temanku sedang mengobrol, dan sedikit proses tawar menawar dengan salah satu
mahasiswa tersebut, aku coba bertanya kepada mahasiswa satunya, yang sedang memindahkan
barang di plastiknya kedalam tas. Aku pun bertanya “mas, emang masnya dari kampus mana?” Dia
langsung menjawab “kita dari STKN, Sekolah Tinggi Kebudayaan Nasional”.

Aku yang penasaran langsung membuka browser dan mencari tahu mengenai STKN. Namun yang
muncul malah IKNI, Institut Kebudayaan Negeri Indonesia. Aku langsung bertanya balik kepadanya,
“oh IKNI ya?” Namun responnya ternyata tidak sesuai dengan dugaanku. “Bukan dek, kita dari STKN”
sangkalnya. Tiba-tiba aku terpikir sesuatu.

Aku langsung membuka kembali browser dan menelusuri mengenai STKN atau IKNI ini. Lalu aku
membuka beberapa portal berita online dan membaca setiap informasi disana. Tidak ada yang
menarik, hingga aku membuka situs paling dasar di halaman ini. Disitu tertulis “Sejarah Universitas di
Bandung, Bahkan Ada Yang....” Aku penasaran, lalu membukanya. Aku menggeser topik demi topik,
sampai akhirnya aku menemukan sesuatu yang membuatku merinding.

Disitu tertulis “STKN atau Sekolah Tinggi Kebudayaan Negeri Bandung telah resmi berganti nama
menjadi IKNI atau Institut Kebudayaan Negeri Indonesia, terhitung sejak 10 Oktober 2006. Rektor
STKN.....” Tunggu sebentar, sepertinya aku paham yang terjadi disini. Kusambung kejadian demi
kejadian yang terjadi, yang membuat bulu kudukku semakin berdiri. Tanpa adanya tanda kepanikan,
aku langsung beranjak sedikit menjauh dari situ.

Aku langsung memanggil teman-temanku, sambil berpura pura akan membicarakan soal
pembeliannya. “Woy, sini dulu, liat dulu sini” seruku kepada teman-temanku. Teman-temanku yang
menyadari ada sesuatu langsung menghampiriku, dan tentu saja aku langsung menunjukkan artikel
tersebut. Teman-temanku yang melihat layar ponselku, kata demi kata, langsung menyadarinya.
Mereka juga sebenarnya mendengar sebagian percakapanku dengan mahasiswa tadi, dan mereka
berpikiran sama denganku.

Karena merasa tidak enak, kami pun ingin meminta maaf karena tidak membeli buku yang dijual
‘mahasiswa’ tadi, namun.....

Hilang! Kedua mahasiswa itu hilang! Kami hanya berbicara sebentar, lalu keduanya sudah tiba-tiba
menghilang tanpa jejak. Bayangkan, kami berada di sebuah ruangan luas, lalu ketika melihat ke
belakang, kiri dan kanan orang yang tadi berbicara dengan kami sudah tidak ada di manapun. “Coba
telpon Thoriq, tanyain tadi di basement ada yang aneh gak?” Ujar Karim.

Afkar langsung membuka teleponnya, mencari kontak Thoriq dan menelponnya. Namun layar ponsel
hanya menunjukkan tulisan “tidak terjawab”, padahal saat itu ponsel Afkar tidak mengalami masalah
sinyal apapun, selain ponselnya yang sempat hilang.

“The M Mall, M nya tuh misteri kali ya, aneh banget soalnya” ucap Fadli keheranan. “Emang, dari
awal gw dah ngerasa banyak yang ga beres sama nih tempat” timpal Arka kepada Fadli. Aku yang
sedang mendengarkan mereka berbicara, teralihkan dengan rasa haus.

Aku langsung mencari beberapa kedai yang berbentuk ruko di lorong yang terletak disini, namun
ketika aku sedang berkeliling aku teralihkan dengan sebuah kedai. Kedai tersebut memiliki style yang
cukup jadul, masih menggunakan televisi tabung berwarna abu yang sangat pasaran, dengan
beberapa jaring laba-laba disudutnya dan catnya yang kusam.
Namun pandanganku terpusat pada kalender yang menempel di dinding. Kalendernya merupakan
kalender pada umumnya, namun yang anehnya tahun pada kalender tersebut tampak ditutupi oleh
sebuah lakban. Aku yang penasaran berniat ingin membukanya, namun itu perbuatan yang tidak
etis, pikirku. Sejenak, aku tidak sengaja melihat jam dinding yang ada dibelakangku. Dan jam itu...
Jam yang seharusnya tidak aku lihat.

Jamnya terus berputar. Berputar tanpa arah. Semua jarumnya. Aku yang menyadarinya langsung
kembali ke tempat temanku berada, dan langsung memberitahu hal yang tadi kulihat kepada
mereka. Ya, kembali lagi. Semuanya berpikiran sama denganku.

Bangunan ini merupakan sebuah transisi antara ruang waktu, dan kami.... Terjebak di dalamnya!

Sambil diserang kepanikan, kami langsung berlari ke bagian utama yang terletak di depan. Kami
langsung berdiskusi tanpa memedulikan ‘orang’ yang memerhatikan kami.

“Keknya diantara tahun dulu dimana ruang waktu sekarang terjadi, sama sekarang pernah ada
sesuatu” ucap Izzat tiba-tiba. “Iya, karena kita yang ngalamin jadi harus kita yang betulin ruang
waktu ini” balas Arka kepada Izzat.

“Terus gimana cara betulinnya?” tanyaku penasaran. “Kita harus cari tau sesuatu apa yang pernah
terjadi di antara dulu sampai sekarang disini, itu aja” jawab Almer atas pertanyaanku.

“Ok, kalo gitu kita harus cari tau berdasarkan kejadian yang tadi kita alamin, harus liat bukti sama hal
aneh yang kita dapetin sama harus mulai dari awal” kata Reyqa. “Dari awal dari mana?” timpal Fadli
pada Reyqa. “Dari lantai bawah.” Jawab Reyqa kembali.

Semuanya saling memandang. Akhirnya mau tidak mau, segan tidak segan kami pun pergi kearah
lantai bawah menaiki eskalator turun. Tidak terlalu buruk, bahkan tampaknya tidak seburuk yang
kupikirkan. Disini merupakan salah satu bagian penting di mal ini, karena disini ada supermarket, ya
supermarket yang sama seperti yang kami lihat sebelumnya, ada tempat permainan arkade, penjual
makanan, mainan bahkan optik.

Kami pun memutuskan memulai dari supermarket. Kami langsung berpencar ke arah setiap bagian
perbelanjaan. Aku bersama Fadli memutuskan untuk pergi bersama ke bagian elektronik dekat pintu
gudang.

Seperti dugaan kami, elektronik yang tampak dihadapan kami adalah elektronik model lawas. Sesuai
dengan tahun yang berjalan saat ini, yaitu 2004 menurut dugaanku. Aku langsung menelpon Reyqa
yang berada disisi lain untuk datang kesini, namun aku fokus melihat elektronik disana hingga aku
tidak sadar kalau yang kutelpon bukan nomor Reyqa.

Nomor yang kutelpon mengangkatnya, dan terdengar sebuah suara diujung sana. “Halo, ini siapa?”
Aku yang masih kebingungan hanya menggumam, sampai aku melihat Reyqa sudah mendatangiku
diujung sana. Aku langsung mematikan teleponnya, namun.... Tunggu sebentar. Aku langsung
mengecek riwayat teleponku, perasaan merinding kembali mendatangi. Tidak ada siapapun di
riwayat teleponku, hingga aku teringat.....

Orang yang tadi meneleponku di minimarket.

Ketika aku di minimarket tadi, aku mendapat sebuah telepon misterius, yang kupikir orang salah
sambung. Namun setelah mengingat-ingat lagi.... Sepertinya....

Sesuatu semakin tidak beres disini.


Aku yang memberitahu Reyqa soal kejadian tadi, berharap Reyqa yang mengangkat teleponku tadi
dan ini hanya sebuah kebetulan. Tapi apa kata Reyqa? “Apaan orang gw gaada yg nelpon dari tadi”
Bulu kudukku semakin berdiri, Reyqa yang sadar ada sesuatu mulai dihantui juga oleh rasa panik.
Kami memutuskan untuk tidak memberitahu yang lain, dan lanjut menyusuri tempat ini.

Karena tidak menemukan sesuatu yang memuaskan disini, kami langsung keluar dari supermarket
ini. Kami awalnya ingin menyusuri tempat permainan arkade, hingga kami melihat ada dua orang.
Ya. Manusia pertama yang akhirnya bisa kami lihat disini.

Mereka berada di depan optik dan sepertinya sedang membeli kacamata. Ya, kacamata berjumlah
dua buah. Sebuah kebetulan. Tapi pertemuan itu tidak berlangsung lama, karena mereka langsung
naik kembali melalui eskalator setelah menyerahkan selembar uang seratus ribuan.

Aku dan yang lain ingin menyusul, namun Reyqa yang baru saja datang langsung mencegah kami
ikut. “Jangan naik lewat sini. Naik tangga aja yang disana?” Aku yang keheranan langsung bertanya
“Kenapa emang kalo lewat sini?” Reyqa yang tampaknya menyembunyikan sesuatu langsung
membalas “Udah, pokoknya ikutin gw aja, ayo lewat tangga”

Kami pun akhirnya menaiki tangga yang cukup panjang ke lantai atas dengan penuh keheranan dan
penasaran karena kami yakin Reyqa tampaknya menyembunyikan sesuatu. Kami pun memutuskan
untuk mengikuti terus langkah Reyqa, siapa tau dia ingin menunjukkan sesuatu.

“Jadi gini, kenapa gw tadi minta lewat tangga aja?” ucap Reyqa tiba-tiba. “Kenapa emg?” tanya Arka
makin penasaran. “Jadi ya, kalo kalian sadar, tiap ada yang naik eskalator tuh gak balik lagi, mau
turun atau naik. Dan beberapa kejadian yang tadi nyusahin kita, gara gara lewat eskalator juga.
Harusnya kalian sadar, klo eskalator ini jadi jalan buat ke ruang waktu lain” jawab Reyqa penuh
penjelasan. “Oh iya, satu lagi” kata Reyqa sehabis itu.

“Gw ngerasa kita gak cuma kejebak di ruang waktu aja, kayanya kita juga masuk ke dunia paralel”.
Kami langsung tercengang ketika mendengar apa yang dikatakan Reyqa, sambil mencernanya baik-
baik. Tentu kami mengetahui apa itu dunia paralel karena kami berada dalam lingkungan
pertemanan yang sepergaulan juga.

“Jadi gini, tadi kan gw nelpon orang, Cuma gatau yg gw telpon itu siapa. Pas gw sadar, ternyata
percakapannya sama kaya orang yg tadi nelpon gw di minimarket. Terus dua kacamata yang tadi
dibeli orang dari optik....” Aku yang juga menjelaskan, agar lebih mudah dimengerti.

“Iya, keknya ini mal emang gak beres, kita bener bener harus selesain sekarang juga, tapi gimana
caranya ya” kata Fadli kepadaku. “Keknya kuncinya diatas deh, kan kita mundur nih waktunya,
berarti kita bisa liat yang terjadi di lantai atas sebelum ada kejadian” jawab Almer atas pertanyaan
Fadli.

Kami saling berpandangan, mencerna apa yang dikatakan Almer tadi. Sepertinya benar yang
dikatakan Almer, ada bolehnya kita kembali ke atas untuk melihat peristiwa yang terjadi. “Yaudah
ayo balik lagi keatas, kita coba liat” kata Karim. Tiba-tiba, Reyqa mengatakan sesuatu.

“Coba sebelum kita naik ke atas, di depan eskalator atur dulu jam, tanggal sama tahun di hp kita, yg
bawa jam juga ubah” ucap Reyqa pada kami semua. Kami berpikir sejenak, lalu langsung bergegas ke
eskalator tempat ke lantai atas.

Sesampainya di depan eskalator, kami tidak lupa melakukan apa yang dikatakan Reyqa. Kami
mengubah tanggal, tahun, bulan dan tidak lupa merubah jam. Kami langsung menaiki eskalator tadi,
dan terkejut. Suasana di tahun 2010. Penuh keramaian, walau tidak seramai lantai bawah.
Kami langsung mencari eskalator terakhir yang sebelumnya kami kira merupakan tempat yang
sedang di renovasi, dan alangkah terkejutnya ketika kita menemukan eskalator tersebut, eskalator
tersebut seperti eskalator baru, sangat baru seperti baru dipasang. Kami langsung menaikinya dan....
Masih sama. Gelap. Namun di ujung sana kami melihat....

Sekelompok orang. Ada sekelompok orang yang sedang menyalakan api di lantai, juga dua orang dari
kelompok itu sedang duduk di dekatnya dan salah seorang lain memotretnya. Lalu mereka
menuangkan cairan kearah eskalator tempat kami naik, dan...... Api mulai merambat! Mereka
langsung kabur melalui eskalator yang berlawanan dengan kami.

Tanpa memedulikan kami, mereka langsung berlari keluar dan salah seorang dari mereka menaruh
ponsel yang tadi digunakan untuk memotret di atas meja dekat eskalator. Lalu, tanpa sengaja orang
itu menengok kearah kami. Kami terkejut ketika melihat orang itu! Ya, orang itu adalah satpam lantai
bawah yang kami temui sebelumnya, namun dengan paras masih lebih muda karena kami berada di
12 tahun yang lalu.

Lebih terkejutnya lagi ketika kami menyadari situasi ponsel tadi, sama seperti ponsel Afkar yang
sebelumnya sempat hilang dan ditemukan di.... Ya, diatas meja itu. Kami langsung bergegas
menghindari api dan asap yang mulai mengepul, tidak lupa mengambil ponsel yang tadi ditinggalkan
begitu saja. Kerumunan orang di lantai 3 mulai menyadari adanya kepulan asap dan mereka
langsung bergesa-gesa untuk turun, namun.....

Eskalatornya macet, dan tidak bisa digunakan. Terlalu banyak pengunjung yang menghindari api
yang mulai merambat ke lantai tiga membuat kepanikan yang menimbulkan petaka. Kami yang
menyadari bahwa tidak ada jalan keluar lagi langsung memutar lewat eskalator yang tersisa di
belakang. Satu eskalator. Awalnya kami ingin memberitahu pengunjung lain yang berdesak-desakan,
namun...

Kami menyadari tidak akan bisa. Mereka tidak akan melihatnya, atau sekedar melihat kami. Kami
dan mereka ada di masa yang berbeda. Waktu yang berbeda. Yang kami lihat, beda dengan yang
mereka lihat. Kami langsung bergegas turun melalui eskalator tersebut, hingga tiba tiba ketika kami
sudah berada di lantai dasar.... Bruuuukkk!

Eskalator tadi. Dua eskalator tadi roboh dikarenakan terlalu banyak manusia yang berusaha turun
melewatinya. Ada yang berdesak-desakan, ada yang jatuh, bahkan karena kepanikan mereka sendiri,
tidak ada yang terpikir untuk melewati tangga darurat. Eskalator itu roboh, menyisakan puing-puing
dinding dan lantai yang tertarik kebawah, dan pengunjung yang masih diatas, terjebak dalam
keputus-asaan dibalik kepulan asap dan api yang makin merambat.

Kami langsung keluar dari mal ini, namun tampaknya polisi sudah mulai berdatangan, disusul oleh
petugas medis dan pemadam kebakaran yang langsung menolong pengunjung yang selamat. Hari
itu, 12 tahun yang lalu, puluhan orang kehilangan nyawa, luka-luka akibat kepanikan mereka. Tapi,
tampaknya bukan cuma itu.

Kami melihat ponsel yang tadi kami ambil di atas meja, dan untungnya tidak dikunci. Kami buka
ponsel itu, kami lihat galerinya, sama persis dengan foto yang kami temukan di ponsel Afkar. Kami
terpikir untuk melihat percakapan di bagian pesan, dan ternyata.....

Sebuah percakapan masuk. “Baguss” ucap nomor disitu. Ternyata ada sebuah grup percakapan di
aplikasi perpesanan itu, dan ketika kami melihat lebih jauh.... “gua kesel sama bos sumpah, masa
orang baru dikasih bonus langsung, giliran kita gak cair-cair bonusnya” ucap salah seorang di grup
itu.
“Ayo kita kasih pelajaran aja, biar tau diri tuh si c*na bang**t, dikiranya bisa nyepelein kita kali” ucap
seorang yang lain. “Yaudah kita sikat aja sekalian lantai atas, biar tau klo dia gabisa seenaknya”
timpal salah seorang yang ada di grup itu, yang kami duga-duga adalah para pekerja yang
membangun lantai baru mal. “Gua ada bensin nih banyak, timbunan sodara, mau ga?” tertulis
sebagai akhir dari percakapan di grup itu.

Ya. Kami mengetahuinya. Kami sekarang tahu kenapa kami bisa ada di dalam sini. Mereka ingin kami
tahu. Tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Sesuatu yang kami kira hanya keisengan, ternyata
adalah sebuah bentuk pelampiasan. Pembalasan dendam yang mematikan.

Disini kami sadar, semua orang hanya mementingkan dirinya sendiri. Tanpa tahu apa akibatnya
untuk orang lain, bahkan dirinya sendiri.

Orang-orang hanya ingin melampiaskan isi hatinya, tanpa tahu akibatnya untuk sekitarnya. Orang-
orangnya hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri, tanpa peduli keselamatan sekitarnya. Egoisme
dan nafsu, sudah tidak bisa dibendung lagi oleh akal sehat serta kalbu.

Kami yang sudah pasrah akan apa yang terjadi, akhirnya memutuskan untuk pergi kearah dalam
kembali, dimana banyak kerumunan menyaksikan kejadian tadi. Kami pun memasuki pintu kamar
mandi karena sedari tadi menahan nafsu untuk membuang hajat. Namun tanpa disangka....

“Ada disini!!!!” teriak seseorang di depanku. Ya! Teman-teman kami yang tadi tidak ikut, menyusul
kami kesini, untuk mencari kami dibantu beberapa petugas keamanan dan pegawai yang masih
berjaga di mal ini. Ya, Elmo, Hamzah, Luqman, Alfath dan bahkan beberapa teman perempuan kami
ikut serta. Bahkan ya, ada Thoriq juga!

“Dari siang kalian kemana aja, kok gak ngabarin? Di-wa gak diliat, ditelpon gak diangkat” tanya Elmo
yang penasaran kepada kami. “Eh bang Padli, kok tadi aku telpon gak diangkat?” tanya Alfath juga
keheranan. Kami yang baru diberitahu langsung membuka kembali ponsel, dan ya, banyak sekali
pesan dan panggilan tak terjawab. Kami awalnya ingin menjelaskannya, namun karena terlalu
panjang mungkin akan kami jelaskan dilain waktu.

Lalu aku juga bertanya balik pada Thoriq. “Thor, tadi kan afkar nelpon lu, kok ga diangkat?” tanyaku.
“Gatau, orang gaada telpon masuk kok” jawab Thoriq lagi. Ya, mungkin kejadian tadi mengacaukan
yang terjadi pada hari ini.

Namun, Thoriq memberikan kejutan lagi. “Eh, ini kacamata siapa? Tadi gw nemu di tas pas lagi
beres-beres? Nih, nemu dua” kata Thoriq. “Akhirnya, gw cari-cari ternyata ada di lu, makasih Thor”
balas Izzat kepada Thoriq. “Eh iya, ini kacamata gw, kok bisa ada di lu?” kata Almer kepada Thoriq.

“Makanya gatau, mungkin kebawa, kan gw dah bilang gak bisa kesini soalnya mau beres beres
kamar, eh pas beresin tas sekolah nemu itu” Jawab Thoriq atas keheranan Almer.

“Tadi aja gw baru selesai jam 5an, terus gw jemput Hamzah, Elmo, Luqman, sama Alfath yang masih
disekolah pake taksi online. Eh akhwat juga mau pada ikut, jadi akhirnya Bu Witri ikut juga kesini
pake mobil” kata Thoriq lagi.

“Kalo gitu, Bu Witri mana?” tanya Karim pada Thoriq. “Lagi beli minuman dulu tadi, yg di depan itu
yang baru” jawab Thoriq lagi.

“Yaudah, kalo udah selesai ayo makan dulu di GFC, gw juga capek tadi abis beres-beres kamar,
pulang nanti sama gw aja dipesenin taksi online” kata Thoriq lagi-lagi. Kami pun akhirnya menuruti
Thoriq, tidak lupa shalat Maghrib terlebih dahulu, lalu kami makan di GFC dengan tenang.
Tapi tunggu sebentar, aku teringat sesuatu.

Tadi Thoriq bilang dia tidak bisa kesini

Tadi dia bilang, dia harus membereskan kamar

Tadi dia bilang, dia baru selesai jam 5

Kalau begitu

Yang tadi siang kesini

Yang tadi siang ketemu kita di lantai tiga

Yang tadi siang ngobrol sama kita

Siapa

SIAPA?

TAMAT

Ya, kita memang hidup di dunia penuh misteri

Tetapi kita juga hidup di dunia penuh pelajaran

Maka apapun itu, hargailah

Kita hidup diantara ruang waktu

Kita hidup diantara transisi ruang

Kita hidup diantara perubahan dimensi

Kita hidup diantara orang-orang yang berbeda

Dari rumah ke dunia luar

Dari dunia luar ke rumah

Kita bukan tidak bisa masuk ke ruang waktu

Kita bukan tidak bisa masuk ke transisi antarruang

Kita bukan tidak bisa masuk ke perubahan dimensi

Tapi kita belum mendapatkan kesempatannya

Kita belum menemukan pintunya

Jika ada pintu di ujung ruangan, dibawah lampu yang berkedip ditengah gelapnya malam, maka
bukalah

Sesuatu menunggumu.

Anda mungkin juga menyukai