Anda di halaman 1dari 6

BAB 43

TUBERKOLOSIS PARU

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Kuman batang aerobik dan tahan asam in dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada
beberapa mikobakteri patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap
manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0.32 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah.

PATOGENESIS

Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan (GI), dan luka
terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara yaitu melalui inhalasi droplet vang
mengandung kuman kuman hasil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan
merupakan tempat masuk utama bagi Jenis bovin, yang penyebarannya melalui susu yang
terkontaminasi. Akan tetapi, di Amerika Serikat, dengan luasnya pasteurisasi susu dan deteksi penyakit
pada sapi perah, TB bovin ini jarang terjadi.

TB adalah penyakit yang dikendalikan ole respons imunitas diperantara sel. Sel efektor adalah makrofag
dan limfosit (Biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal,
melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat inieksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut
sebagai reaksi hipersensitivitas selular (lambat).

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari
satu sampai tiga basil, gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang
besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya di
bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun
tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli
yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat
sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus,
dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu
10 sampai 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut nekrosis
kaseasif. Daerah yang mengalami nekrosis kaseasi dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari
sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa
membentuk jangan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi
tuberkel.

Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi
primer disebut kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada
orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radio gram rutin. Namun, kebanyakan infeksi TB
paru tidak terlihat secara klinis atau dengan radiografi.

Respons lain yang dapat terjadi pada daerah rekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas ke dalam
bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding
kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat berulang kembali di bagian
lain dari paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.

Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut
fibrosis. Bila peradanga mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang
terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan perkijuan dapat mengental dan tidak dapat
mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan les mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu
lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari
kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebayan
limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena
akut yang biasanya menyebabkan TB miller, ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah
sehingga banyak organisme masuk ke sistem vaskular dan tersebar keorgan-organ tubuh.

EPIDEMIOLOGI

Angka insidensi kasus dan mortalitas TB menurun drastic sejak terdapat kemoterapi. Namun dari tahun
1985 hingga 1992 jumlah kasus TB meningkat hingga 20% (Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit
cdc, 2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecenderungan ini adalah sosioekonomi dan
masalah yang berkaitan dengan kesehatan (misalnya, alkoholisme, tuna wisma, meningkatnya kasus
AIDS dan infeksi HIV), dengan peningkatan insidensi dilakukan pencatatan khususnya di antara anggota
kelompok minoritas dan imigran-imigran dari daerah endemik TB yang masuk ke Amerika Serikat. Sejak
tahun 1993, morbiditas TB terus menurun dengan penyakit yang kebanyakan muncul dalam kelompok
risiko yang dikenali dengan baik dan area geografis yang dapat ditargetkan untuk upaya pengawasan
(CDC 1999).

Pada tahun 1998, terdapat 18.361 kasus baru TB yang dilaporkan ke CDC. Statistik ini memperlihatkan
angka kasus insidensi sebesar 68 per 100.000 pada masyarakat Amerika Serikat sebesar 41.3% kasus
muncul pada orang keturunan asing (CDC 2000d). Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa 10 hingga 15
juta orang akan terinfeksi TB. Lebih dari 80% kasus baru TB yang dilaporkan di tahun 1998 adalah
berusia lebih dari 25 tahun, dan kebanyakan dari mereka terinfeksi di masa lalu. Kira-kira 5 hingga 100
populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB paru 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi.
Pada 5% kasus akan berkembang menjadi penyakit klinis di masa yang akan datang sedangkan 99 sanya
tidak. Sekitar 10% individu yang terinfeks akan berkembang menjadi TB klinis seumur hidup mereka.
Namun, risiko yang lebih besar adalah pada individu yang imunosupresif khususnya bagi mereka yang
terkena infeksi HIV. HIV merusak limfosit dan monosit, yang keduanya merupakan sel pertahanan
primer untuk melawan infeksi TB. Berdasarkan data CDC tahun 1996, angka penyakit TB pada orang
yang terinfeksi HIV dengan tes tuberkulin kulit yang positif adalah 200 hingga 800 kali lebih besar dari
pada angka untuk seluruh penduduk Amerika Serikat (CDC,1998).

Jika mengingat kerentanan seseorang terhadap TB, dua faktor risiko harus diperiksa: risiko mendapatkan
infeksi dan risiko berkembangnya penyakit menjadi klinis aktif setelah timbul inteksi. Risiko
mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis penyakit bergantung pada keberadaan infeksi dalam
masyarakat, khususnya di antara orang yang ter indeksi HIV, imigran dari daerah prevalensi tinggi TB, ras
yang beresiko tinggi dan kelompok etnis minoritas (misalnya, Afrika Amerika, Amerika Indian, asli Alaska,
Asia, Kepulauan Pasifik dan Hispanik); dan bagi mereka yang menetap di lingkungan yang berisiko tinggi
untuk penularan TB, seperti fasilitas-fasilitas perbaikan, penampungan bagi tuna wisma, rumah sakit,
dan rumah-rumah perawatan.

TB RESISTEN OBAT

TB resisten obat muncul sebagai akibat pengobatan TH yang tidak optimal. TB resisten obat disebarkan
dengan cara yang sama dengan TB sensitif obat Resistensi obat dibagi menjadi dua jenis (1) resistensi
primer timbul pada seseorang yang terinfeksi pertama kali dengan organisme yang resisten, dan (2)
resistensi sekunder (resisten didapat), yang muncul selama pengobatan TB akibat tidak adekuatnya regi-
men atau gagal mengonsumsi obat yang sesuai.

TB resisten obat adalah masalah dunia. Horsburgh (2000) melaporkan hasil survey terbaru pada 35
negara bahwa, 12,6% TB sendiri resisten paling tidak terhadap satu macam obat, dan 2,2% resisten ter-
hadap dua macam obat yang digunakan untuk meng- obuti T yaitu isoniazid dan rifampisin. Penting
dicatat bahwa kebanyakan kasus TB adalah sensitif terhadap obat pada saat didiagnosis dan hanya men-
jadi resisten terhadap obat akibat terapi yang tidak optimal

WHO sedang mencoba untuk melawan TB yang resisten terhadap banyak obat dengan menitikberat-
kan usahanya tersebut dalam strategi pencegahan terhadap kasus TB resisten banyak obat generasi
baru. Program terapi observasi langsung (DOT) telah meningkatkan pemakaian obat ke seluruh dunia,
dan sekarang terdapat 119 negara yang memakai program Program ini telah sukses di banyak negara

dalam mencegah peningkatan kasus TB resist terhadap banyak obat, khususnya pada negara yang
jumlah kasusnya rendah, contohnya di Chili, yang hanya terdapat 0,4% kasus TB resisten terhadap
banyak obat. WHO bekerja sama dengan rekan kerja- nya di setiap negara untuk menetapkan
keefektitan Program DOT di daerah yang terdapat TB. DOT ber dasarkan pada ketetapan pemerintah
lokal dalam menggunakan berbagai segi usaha untuk mendeteks kasus dengan menggunakan sputum
yang diperiksa dengan mikroskop, terapi observasi langsung dengan regimen teraupetik standar,
mempertahankan supla obat agar tidak terputus dan mengawasi hasil-hasa sistem laporan standar.

DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS

Gejala akibat TB paru adalah batuk produktif yang berkepanjangan (lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan
hemoptisis. Gejala sistemik termasuk deman menggigil, keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu
makan, dan penurunan berat badan yang dicurigai menderita TB harus dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan fisik, tes tuberkulin Mantous foto toraks, dan pemeriksaan bakteriologi atau histo logi Tes
tuberkulin harus dilakukan pada semua orang yang dicurigai menderita TB klinis aktif, namun nilai tes
tersebut dibatasi oleh reaksi negatif palsu, khususnya pada seseorang dengan imuno supresif (misal, TB
dengan infeksi HIV). Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala TB, khususnya batuk produktif yang
lama dan hemoptisis, harus menjalani foto toraks, walaupun reaksi terhadap tes tuberkulin
intradermalnya negatif.

Berdasarkan CDC, kasus TB diperkuat dengan kultur bakteriologi organisme M. tuberculosis yang positif.
Sangat penting untuk menanyakan orang yang diduga terkena TB tentang riwayat terpajan dan infeksi
TB sebelumnya. Harus dipertimbangkan juga faktor-faktor demografi (misal, negara asal, usa, kelompok
etnis atau ras) dan kondisi kesehatan (misalnya, infeksi HIV) yang mungkin meningkatkan risiko
seseorang untuk terpajan TB.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Patogenisitas basil tidak berasal dari keracunan intrinsik apapun, tetapi dari kemampuannya
untukmenimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pejamu. Tuberkuloprotein yang berasal dari basil
agaknya menimbulkan reaksi tersebut. Respons peradangan dan nekrosis jaringan adalah akibat dari
respons hipersensitivitas selular (tipe lambat) dari pejamu terhadap basil TB. Reaksi hipersensitivitas TB
biasa- nya terjadi 3-10 minggu setelah infeksi. Individu yang terpajan basil tuberkel membentuk limfosit-
T yang tersensitisasi. Bila derivat protein tuberkulin yang telah dimurnikan (PPD) disuntikkan ke dalam
kulit individu yang limfositnya sensitif terhadap tuber- kuloprotein maka limfosit yang sensitif akan
meng- adakan reaksi dengan ekstrak tersebut dan menarik makrofag ke daerah tersebut.

Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)

Teknik standar (tes Mantous) adalah dengan menyuntikkan tuberkulin (PPT)) sebanyak 0,1 ml yang
mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intra- kutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal
lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Biasanya dianjurkan memakai spuit tuberkulin
sekali pakai dengan ukuran jarum suntik 26-27 G. Jarum yang pendek ini dipegang dengan permukaan
yang miring diarahkan ke atas dan ujung- nya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk
satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disun- tikkan
dengan tepat dan cermat (lihat Gbr.9-8).

Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48 sampai 72 jam sesudah
penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi
lengan bawah sedikit ditekuk Yang harus dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan
milimeter, pengukuran harus dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah Hanya
indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi dapat ditentukan
dengan inspeksi dan palpasi (meraba daerah tersebut dengan jari tangan). Tidak adanya indurasi sebaik-
nya dicatat sebagai "0 mm" bukan negatif.

Interpretasi tes kulit menunjukkan adanya ber- bagai tipe reaksi (Kotak 43-1). Daerah indurasi sebesar 5
mm atau lebih dianggap reaksi positif pada kelompok tertentu, dan mencerminkan adanya sensi- tivitas
yang berasal dari infeksi dengan basil Daerah indurasi yang diameternya sebesar 10 mm atau lebih juga
diklasifikasikan positif pada kelompok tertentu, sedangkan indurasi sebesar 15 mm atau lebih adalah
positif pada semua orang dengan fakator risiko TB yang tidak diketahui.

Reaksi positif terhadap tes tuberkulin mengindi- kasikan adanya infeksi tetapi belum tentu terdapat
penyakit secara klinis. Namun, tes ini adalah alat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasien
dan juga berguna untuk menentukan pre- valensi infeksi TB pada masyarakat.

Tes Anergi

Anergi adalah tidak adanya respons hipersensitivitas tipe lambat terhadap pajanan antigen terdahulu,
seperti tuberkulin. Anergi spesifik adalah tidakada- nya reaktivitas antigen seseorang, anergi
nonspesifiksecara keseluruhan adalah ketidakmampuan untuk bereaksi terhadap berbagai antigen
(Slovis, Pittman, Hass, 2000), Pada seseorang dengan imunosupresif, respon selular hipersensitivtlas tipe
lambat seperti reaks tuberkulin dapat menurun atau menghilang Penyebab anergi dapat berasal dari
infeksi HIV, sakit berat atau demam, campak (atau infeksi virus lain- mya, penyakit Hodgkin, sarkoidosis,
vaksinasi virus hidup dan pemberian obat kortikosteroid atau obat imunosupresi. Berdasarkan CDX
(2000), yaitu 10% hingga 25% pasien dengan penyakit TB memiliki reaksi yang negatif ketika diuji dengan
tes tuberkulin intradermal pada saat didiagnosis sebelum peng- obatan dimulai Kira-kira sepertiga orang
yang ter infeksi HIV dan lebih dari 60% pasien dengan AIDS dapat memperlihatkan hasil reaksi tes kulit
yang kurang dari 5 num, walaupun mereka termfeksi dengan M. tuberculosis Infeksi HIV dapat menekan
respons tes kulit karena jumlah CD4+ T limfosit yang menurun hingga kurang dari 200 sel/mm. Anergi
juga dapat muncul bila jumlah CD4+ T limfosit cukup

Anergi dideleksi dengan memberikan sedikitnya dua antigen hipersensitivitas dengan menggunakan
melode Mantoux Tidak adanya standarisasi dan hasil data, membatasi evaluasi keelektitan tes anergi.
Karena alasan ini, CDC (20000) tidak lagi menyaran kan les anergi untuk penapisan rutin TB di antara
1996) orang-orang yang menderita HIV positif di Amerika Senkat Slovis Pittman, dan Haas (2000)
berpendapat bahwa tes anergi tidak berguna dalam penapisan TB asimtumatik pada berbagai kelompok.
The American Thoracic Society (ATS) (2000) memberitahukan bahwa ts anergi tidak direkomendasikan
untuk digunakan dalam mengidentifikasi infeksi TB pada seseorang termasuk yang terinfeksi oleh HIV.

Vaksinasi BCG

Balle Calmette Guerin (BCG) satu bentuk strain hidup basil TB sapi yang dilemalkan adalah jenis vaksin
yang paling banyak dipakai di berbagai negara Pada vaksmas BCG, organisme in disuntikkan ke kulit
imtuk membentuk fokus primer yang berdinding berkapur dan berbatas tegas. BCG tetap berke-
mampuan untuak meningkatkan resistensi imunologis pada hewan dan manusia. Infeksi primer dengan
BCG memiliki keuntungan daripada infeksi dengan organisme virulen karena tidak menimbulkan

penyakit pada pejamunya. Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadap tes
tuberkulin. Derajat sensiti

vitasnya bervariasi, bergantung pads strain BCG yang dipakai dan populasi yang divaksinasi. Tes
tuberkulun kulit tidak merupakan kontraindikasi bagi seseorang yang telah divaksinast dengan BCG
Terapi penorgahan harus dipertimbangkan untuk siapa pun orang yang telah divaksinasi BCG dan hasil
reaksi tes tuberkulin kulitnya berindurasi sama atau lebih dari 10 mm, khususnya bila salah satu keadaan
dibawah ini juga menyertai orang tersebut (CDC, 1996)

1. Kontak dengan kasus TB 2. Berasal dari negara yang berprevalensi TB tinggi 3. Terus-terusan terpajan
dengan populasi yang ber- prevalensi TB tinggi contohnya, rumah penam pungan bagi tuna wisma, pusat
terapi.obat)

Walaupun BCG telah diterima luas di seluruh dunia, tetapi vaksinasi tidak direkomendasi secara luas
untuk melawan TB di Amerika Serikat karena resiko infeksi yang rendah dan keefektifan vaksin yang
bervariasi. Vaksinasi BCG hanya memiliki tingkat keefektifan 50% untuk mencegah semua bentuk TB
Berdasarkan rekomendasi dari CDC 1996, BCG jarang diindikasikan Penyedia perawatan kese hatan yang
mempertimbangkan vaksin BCG untuk pasien mereka, untuk mendiskusikan ke- adaan tersebut dengan
staf pengawasan TB di depar- temen kesehatan negaranya masing-masing (CDC,

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir tidak dapat membuat diag nosis
berdasarkan pemeriksaan ini saja karena hampir semua manifestasi TB dapat menyerupai penyakit-
penyakit lainnya.

Secara patologis, manifestasi dini TB paru biasanya berupa suatu kompleks kelenjar getah bening
parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus
bawah merupakan tempat-tempat yang sering me nimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan den
sitas yang lebih pekat. Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan gambaran penyakit yang
menyebar yang biasanya bilateral Ketidaknormalan apa pun pada foto dada seseorang yang positif HIV
dapat mengindikasikan adanya penyakit TB. Sebenarnya, seseorang yang positif HIV dengan penyakit TB
dapat memiliki foto dada yang normal (CDC, 2000a).

Anda mungkin juga menyukai