Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

305
24 Muharram 1445 H
11 Agustus 2023 M

KEMERDEKAAN
UNTUK SIAPA?

T eberapa hari lagi negeri ini akan merayakan Hari Kemer-


dekaan ke-78. Umur yang menunjukkan bahwa bangsa
ini semestinya sudah berada dalam kondisi makmur se-
jahtera, berkeadilan serta berdaulat tanpa tekanan dari pihak
asing dan tidak bergantung pada mereka.
Karena itu agenda penting dalam menyambut Hari Kemer-
dekaan adalah merenungi perjalanan negeri ini; apakah ke-
merdekaan ini sudah mendatangkan berkah yang menyejah-
terakan rakyat atau sebaliknya. Bukan justru sibuk dengan
agenda seremonial, lalu melupakan kondisi sesungguhnya.

Merdeka dan Keadilan Ekonomi


Setelah 78 tahun merdeka dari penjajahan fisik, mirisnya
Indonesia masih terjerat utang yang mencekik. Pada bulan

01
April Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang Peme-
rintah adalah Rp 7.849,89 triliun. Sama artinya tiap warga
Indonesia menanggung utang negara sebesar Rp 28 juta.
Apalagi menurut anggota Komisi XI DPR Misbakhun, utang
Pemerintah sebenarnya lebih dari Rp 20.000 triliun. Menurut
dia, angka itu merupakan akumulasi berbagai jenis utang.
Jumlah itu adalah akumulasi utang sejak NKRI berdiri pada
1945 dengan semua periode presiden. Jika utang ini dikelola
secara serampangan, ia bakal menjadi beban dan bom waktu
yang akan meletus menjadi krisis dahsyat melebihi krisis
moneter 97/98.
Prihatinnya lagi, dengan utang sebanyak itu nikmat kemer-
dekaan dan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Lapo-
ran Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse me-
nunjukkan: 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6%
total kekayaan penduduk dewasa di Tanah Air; 10% orang
terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Artinya,
pembangunan selama masa kemerdekaan ini hanya dinikmati
oleh sebagian kecil penduduk di negeri ini.
Ketidakadilan juga terjadi dalam kepemilikan lahan di Tanah
Air. Pada tahun 2022, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI
Saan Mustopa, tercatat 68 persen tanah di Indonesia dikuasai
1 persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Bahkan
ada satu korporasi yang menguasai lahan perkebunan sawit

02
dengan luas total 123.591 hektare, hampir dua kali lipat wilayah
DKI Jakarta yang luasnya 66.150 hektare.
Dengan ketimpangan seperti ini tidak aneh jika World Bank
melaporkan bahwa 40 persen warga Indonesia terkategori
miskin. Perhitungannya, garis kemiskinan ekstrem ditetapkan
sebesar 2,15 dolar AS perkapita perhari. Ini setara dengan Rp
967.950 perkapita perbulan. Artinya, warga yang berpengha-
silan di bawah itu patut disebut sebagai miskin. Sesuai hitu-
ngan World Bank, berarti ada 108 juta warga miskin Indonesia.
Dampak kemiskinan itu banyak. Ada 1,9 juta lulusan SMA
yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena tingginya biaya pen-
didikan. Ada 17 juta warga Indonesia terpapar gizi buruk yang
merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara. Ada 81 juta war-
ga milenial tidak memiliki rumah. Ada 14 juta warga menem-
pati hunian tidak layak huni. Jutaan rakyat Indonesia juga ter-
belit utang pinjol hingga puluhan triliun rupiah. Bahkan sudah
terjadi kasus bunuh diri dan pembunuhan akibat riba pinjol.

Merdeka dan Pembangunan


Perihnya lagi, Pemerintah malah terus melakukan pemba-
ngunan yang tidak memberikan keuntungan bagi rakyat. Pro-
yek IKN terus digarap meski sampai hari ini tidak ada kepastian
investasi. Bahkan Presiden Jokowi sampai mengobral konsesi
Hak Guna Usaha (HGU) sampai 190 tahun serta Hak Guna

03
Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) sampai 160 tahun bagi
investor di Ibu Kota Negara (IKN). Presiden juga sudah men-
janjikan lahan seluas 34 ribu hektar bagi pengusaha Cina untuk
berinvestasi di sana.
Ironinya, menurut Komisi Ombudsman, regulasi dari pemin-
dahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara saat ini masih memun-
culkan banyak permasalahan, terutama mengenai tata ruang
(RDTR). Ombudsman menilai banyak status tanah yang
tumpang-tindih. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
dan sejumlah NGO memperingatkan potensi konflik yang ke-
mungkinan melibatkan 16.800 orang dari 21 masyarakat adat
di sekitar IKN Nusantara.
Pemerintah juga terus ngotot melanjutkan pembangunan
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KJCB). Padahal proyek ini su-
dah molor dan menambah anggaran sampai Rp 110 triliun un-
tuk lintasan hanya sepanjang 142,3 kilometer. Padahal dana
sebanyak itu bisa dipakai pembangunan hampir 1 juta rumah
bersubsidi yang dibutuhkan rakyat.
Sementara itu sumber daya alam yang harusnya bisa me-
nyejahterakan rakyat justru banyak dikuasai korporasi lokal,
asing dan aseng. Contohnya smelter nikel di Tanah Air justru
banyak dikuasai perusahaan asal Cina yang membeli murah
bijih nikel dari perusahaan pribumi. Mereka juga mendapatkan
tax holiday dari Pemerintah selama 30 tahun. Diperkirakan

04
Indonesia tekor Rp 32 triliun dari investasi smelter nikel asal
Cina. Itu belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan
lingkungan di sekitar smelter nikel.

Merdeka dan Keadilan Hukum


Bangsa yang merdeka juga seharusnya menikmati
perlakuan hukum yang adil. Tidak pandang strata sosial dan
jabatan. Kondisi ini tampaknya masih jauh dari realita. Survei
Litbang Kompas Mei 2023 menemukan, penegakan hukum
masih menjadi bidang yang nilai kepuasan publiknya paling
rendah. Ini menandakan bahwa rakyat kian tidak percaya
dengan penegakan hukum di Tanah Air.
Publik melihat dengan mata terbuka bagaimana para ko-
ruptor seperti mendapatkan privilege dalam penegakan hu-
kum. Hukum sering dilihat tumpul ke atas, namun tajam ke ba-
wah. Kasus mega skandal keuangan Rp 349 triliun di ling-
kungan Kementerian Keuangan sampai hari ini tidak terde-
ngar kabarnya lagi. Begitu pula kasus Harun Masiku seperti
lenyap begitu saja.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluhkan para
koruptor sering mendapat hukuman ringan dan mudah men-
dapatkan remisi. Selain itu banyak mantan terpidana korupsi
yang bisa aktif kembali berpolitik dan menjadi pejabat atau

05
wakil rakyat. Bahkan ada tersangka korupsi yang masih juga
dilantik menjadi kepala daerah.
Pelanggaran hukum dan ketidakadilan justru seperti
dibiarkan oleh penguasa. Tewasnya 135 warga di stadion
Kanjuruhan Malang sampai hari ini tidak mendapatkan
keadilan. Bahkan Presiden Jokowi menyalahkan kondisi sta-
dion yang tidak layak pakai. Pengadilan juga memutuskan apa-
rat tidak bersalah karena kondisi itu disebabkan tiupan angin
yang menyebabkan gas air mata mengarah pada penonton.
Padahal keluarga korban ada yang kehilangan anak, saudara
dan tulang punggung mereka. Bahkan ada yang satu keluarga
tewas dalam peristiwa tersebut. Namun, tak ada pembelaan
yang pantas dari negara untuk mereka.

Bukan Kufur Nikmat


Mungkin ada orang yang menyatakan bahwa jika seorang
Muslim terus-menerus mencari kekurangan dalam perjalanan
kemerdekaan negara ini, maka itu adalah tanda kufur nikmat.
Padahal Allah SWT telah memerintahkan setiap hamba men-
syukuri nikmat-Nya dan melarang kufur nikmat. Allah SWT
berfirman:
ِْ ‫ﺌﻦ َﻛ َﻔ ْﺮُْﰎ اِ ﱠن َﻋ َﺬ‬
‫اﰊ ﻟَ َﺸ ِﺪﻳْ ٌﺪ‬ ْ َ‫ﺌﻦ َﺷ َﻜ ْﺮُْﰎ ﻷَ ِزﻳْ َﺪﻧﱠ ُﻜ ْﻢ َوﻟ‬
ِ
ْ َ‫َوا ْذ َﺎﺗَذﱠ َن َرﺑﱡ ُﻜ ْﻢ ﻟ‬
(Ingatlah) saat Tuhan kalian memaklumkan, “Sungguh jika ka-
lian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) untuk

06
kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), pasti azab-
Ku sangat berat.” (TQS Ibrahim [14]: 7).

Berkaitan dengan ayat ini, Imam Jarir Ath-Thabari menje-


laskan makna bersyukur: “Jika kalian bersyukur kepada Tuhan
kalian, dengan ketaatan kalian kepada-Nya dalam hal yang Dia
perintahkan kepada kalian dan yang Dia larang kepada kalian,
niscaya ditambahkan untuk kalian apa yang ada pada tangan-
Nya dan nikmat-Nya atas kalian.”
Menurut Imam al-Ghazali, makna syukur yang hakiki adalah
juga dengan ketaatan: “…Makna syukur adalah mengguna-
kan nikmat dalam menyempurnakan hikmah untuk apa nikmat
itu (diciptakan), yaitu ketaatan kepada Allah,” (Al-Ghaza-
li, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], Juz IV).
Kewajiban umat hari ini adalah merenungi apakah betul
mereka telah mensyukuri nikmat kemerdekaan dalam bentuk
ketaatan pada perintah dan larangan Allah? Apakah bangsa ini
telah menggunakan seluruh nikmat kemerdekaan ini di jalan
Allah, dengan menerapkan hukum-hukum-Nya untuk menata
negara dan masyarakat? Sayangnya tidak. Padahal jika saja itu
dilakukan, pastilah Allah akan menambah terus nikmat kemer-
dekaan dengan limpahan berkah yang menciptakan keadilan,
kemakmuran dan keamanan yang sentosa.

07
Akibat bangsa ini tidak mensyukuri kemerdekaan dengan
ketaatan kepada Allah, dengan cara melaksanakan semua
aturan-Nya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, Allah
menimpakan berbagai bencana karena mereka kufur nikmat,
yakni tidak menggunakan semua nikmat itu di jalan-Nya. Allah
SWT berfirman:

‫ﺖ ِآﻣﻨَﺔً ُﻣﻄْ َﻤﺌِﻨﱠﺔً َ�ْﺗِ َﻴﻬﺎ ِرْزﻗُـ َﻬﺎ َر َﻏ ًﺪا ِﻣ ْﻦ ُﻛ ِّﻞ‬


ْ َ‫اﻪﻠﻟُ َﻣﺜَﻼً ﻗَـ ْﺮﻳَﺔً َﻛﺎﻧ‬
‫ب ﱠ‬ َ ‫ﺿ َﺮ‬َ ‫َو‬
‫ف ِﲟَﺎ َﻛﺎﻧُﻮا‬ ِ ‫اﳋﻮ‬ ِ ‫اﻪﻠﻟِ ﻓَﺄَذَاﻗَـﻬﺎ ﱠ‬
‫ت ِﺄﺑَﻧْـﻌُ ِﻢ ﱠ‬ ٍ ‫ﻣ َﻜ‬
َْْ ‫اﳉُﻮ ِع َو‬ ْ ‫ﺎس‬ َ َ‫اﻪﻠﻟُ ﻟﺒ‬ َ ْ ‫ﺎن ﻓَ َﻜ َﻔ َﺮ‬ َ
‫ﺼﻨَـﻌُﻮ َن‬ْ َ‫ﻳ‬
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dulunya aman lagi tenteram. Rezekinya datang ke-
pada mereka melimpah-ruah dari segenap tempat. Namun,
(penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu
Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan
ketakutan karena dosa-dosa yang selalu mereka perbuat (TQS
an-Nahl [16]: 112).

Semua bencana hari ini terjadi akibat umat justru menjauh-


kan hukum-hukum Allah dari kehidupan. Mereka malah me-
ngambil hukum-hukum buatan manusia yang terbukti rusak
dan merusak.

08
Alhasil, jika bangsa ini ingin benar-benar merdeka, mereka
harus mau diatur oleh hukum-hukum Allah dalam semua as-
pek kehidupan mereka. Hanya dengan itulah mereka mampu
mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, yakni kehidupan yang
sejahtera, adil, makmur dan mendapatkan ridha Allah SWT.
WalLâhu a’lam. []

HIKMAH:

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:

‫ َو َﻋﻠَﻰ‬،‫ ﺛـَﻨَﺎءً َو ْاﻋِﱰَاﻓًﺎ‬:ِ‫ﺎن َﻋْﺒ ِﺪﻩ‬


ِ ‫اﻟﺸﻜْﺮ ﻇُﻬﻮر أَﺛَ ِﺮ ﻧِﻌﻤ ِﺔ ﷲِ ﻋﻠَﻰ ﻟِﺴ‬
َ َ َْ ُْ ُ ُ ُ
ِِ ِِ ِ
ً‫ﺎﻋﺔ‬
َ َ‫ﺎدا َوﻃ‬ ً َ‫ َو َﻋﻠَﻰ َﺟ َﻮا ِرﺣﻪ اﻧْﻘﻴ‬،ً‫ﻗَـ ْﻠﺒِﻪ ُﺷ ُﻬ ْﻮ ًدا َوَﳏَﺒﱠﺔ‬
Syukur adalah menampakkan adanya nikmat Allah atas hamba
melalui lisannya, yaitu berupa pujian dan pengakuan (bahwa ia
telah diberi nikmat); melalui hatinya, yaitu berupa persaksian
dan kecintaan kepada Allah; dan melalui anggota badannya,
yakni berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah.
(Ibnu al-Qayyim, Madârij as-Sâlikîn, 2/244). []

09

Anda mungkin juga menyukai