Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Malnutrisi didefinisikan oleh WHO sebagai “ketidakseimbangan seluler antara


penyediaan nutrisi serta energy dan pemakaian oleh tubuh untuk medukung
pertumbuhan, pemeliharaan dan fungsi spesifik”. 1 Istilah Protein-Energy Malnutrition
(PEM) atau Kurang Energi Protein (KEP) digunakan untuk mendeskripsikan
sekelompok gangguan yang mencakup marasmus, kwashiorkor dan status intermediet
dari marasmus – kwashiorkor. Istilah marasmus diambil dari bahasa Yunani yaitu
marasmos yang berarti kurus atau terbuang. Marasmus terkait dengan kurangnya asupan
protein dan kalori dan dicirikan oleh kekurusan yang abnormal. Istilah kwashiorkor
pertama kali digunakan oleh William (1935) dan merujuk pada kurangnya asupan
protein dengan asupan kalori yang cukup, serta dicirikan oleh edema. 2,3
Kurang Energi Protein adalah bentuk paling umum dari defisiensi nutrisi pada
pasien rawat inap di US. Sebanyak 50% dari seluruh pasien yang berobat ke Rumah
Sakit memiliki malnutrisi dalam beberapa derajat. Pada sebuah survey yang terfokus
pada kelompok ekonomi rendah di United States, 22-35% dari anak usia 2-6 tahun
berada dibawah persentil 15 untuk berat badan. Survey lain menunjukkan 11% anak dari
ekonomi lemah memiliki pengukuran height-for-age dibawah persentil ke 5.
Pertumbuhan terhambat tampak pada 10% anak dipopulasi umum. 1
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi
oleh dunia dan kebanyakan masalah malnutrisi berasal dari negara berkembang, salah satunya
adalah Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13.0%
berstatus gizi kurang dan 4.9% diantaranya berstatus gizi buruk. Data yang sama
menunjukkan13.3% anak kurus, 6.0% anak sangat kurus dan 17.1% anak memiliki
kategori sangat kurus. Keadaan ini berpengaruh pada tingginya angka kematian anak. 4
Menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi
buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat. 1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kekurangan energy protein adalah kondisi yang dihasilkan oleh kurangnya energy
atau protein untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh, baik karena intake
yang inadekuat, kurangnya kualitas protein yang didapat dari makanan,
peningkatan kebutuhan terkait dengan penyakit atau peningkatan kehilangan
nutrient. 2 Malnutrisi didefinisikan oleh WHO sebagai “ketidakseimbangan seluler
antara penyediaan nutrisi serta energy dan pemakaian oleh tubuh untuk medukung
pertumbuhan, pemeliharaan dan fungsi spesifik”. Istilah Protein-Energy
Malnutrition (PEM) atau Kurang Energi Protein (KEP) digunakan untuk
mendeskripsikan sekelompok gangguan yang mencakup marasmus, kwashiorkor
dan status intermediet dari marasmus – kwashiorkor. 1 Istilah marasmus diambil dari
bahasa Yunani yaitu marasmos yang berarti kurus atau terbuang. Marasmus terkait
dengan kurangnya asupan protein dan kalori dan dicirikan oleh kekurusan yang
abnormal. 1 Istilah kwashiorkor pertama kali digunakan oleh William (1935) dan
merujuk pada kurangnya asupan protein dengan asupan kalori yang cukup. 1,2

2.1 Epidemiologi
Kurang Energi Protein (KEP) adalah masalah kesehatan yang serius dan tersebar luas
pada anak-anak di dunia. Sekitar 100 juta anak menderita KEP sedang hingga berat.
Pada tahun 1990an, angka kejadian anak dengan berat rendah pada negara berkembang
tercatat dari 177 juta- 149 juta pada beberapa negara, angka prevalensi dipengaruhi
oleh musim, ketersediaan makanan, kejadian infeksi dan status pembangunan
pelayanan kesehatan.

2
Gambar 1. Distribusi malnutrisi di dunia berdasarkan faktor risiko selektif.6

Penelitian Scheinfeld dan Mokashi (2010) menyatakan bahwa malnutrisi


mempengaruhi 32.5% anak pada negara berkembang. Secara geografis lebih dari
70% anak dengan malnutrisi tinggal di Asia, 26% di afrika dan 4 % di Amerika
latin. Pada tahun 2000, WHO memperkirakan 149,6 juta anak kurang dari 5 tahun
mengalami malnutrisi setelah dilakukan pengukuran berat badan menurut umur. 7
Malnutrisi berkontribusi signifikan terhadap peningkatan angka kematian anak
dibawah usia 5 tahun di seluruh dunia dan juga berkontribusi terhadap lebih dari
1/3 dari seluruh kematian pada anak. 2
Kurang Energi Protein adalah bentuk paling umum dari defisiensi nutrisi
pada pasien rawat inap di US. Sebanyak 50% dari seluruh pasien yang berobat ke
Rumah Sakit memiliki malnutrisi dalam beberapa derajat. Pada sebuah survey
yang terfokus pada kelompok ekonomi rendah di United States, 22-35% dari anak
usia 2-6 tahun berada dibawah persentil 15 untuk berat badan. Survey lain
menunjukkan 11% anak dari ekonomi lemah memiliki pengukuran height-for-age
dibawah persentil ke 5. Pertumbuhan terhambat tampak pada 10% anak dipopulasi
umum. 1
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi yang
3
dihadapi oleh dunia dan kebanyakan masalah malnutrisi berasal dari negara
berkembang, salah satunya adalah Indonesia.Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
tahun 2010, sebanyak 13.0% berstatus gizi kurang dan 4.9% diantaranya berstatus
gizi buruk. Data yang sama menunjukkan13.3% anak kurus, 6.0% anak sangat kurus
dan 17.1% anak memiliki kategori sangat kurus. Keadaan ini berpengaruh pada
tingginya angka kematian anak. 2 Menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi dan
anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu
ditangani secara cepat dan tepat.1

2.3 Etiologi
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa
faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara
lain faktor diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain.
1)
Peranan diet
Kwashiorkor telah dihubungkan dengan diet sejak pertama kali
dideskripsikan.2 Hubungan antara kwashiorkor dengan rendahnya intake
protein telah dipertanyakan kemudian. Sejauh ini, tidak ada penelitian yang
mendemonstrasikan bahwa anak dengan kwashiorkor mengonssumsi protein
lebih sedikit disbanding anak dengan marasmus. 2 Peranan diet antara lain
adalah difisit dari protein dan energy atau kalori. Pemberian ASI yang
berkepanjangan pada anak juga memegang peranan.
2)
Peranan sosial ekonomi
Kemiskinan adalah salah satu faktor utama KEP, yang mengakibatkan
rendahnya ketersediaan makanan dan kondisi hidup yang tidak tersanitasi. 4,7
Hal-hal ini merupakan penyebab utama dari infeksi dan penyakit lainnya.
Kurangnya perawatan pada anak, pengabaian dapat juga mengakibatkan KEP.7
Kurangnya pengetahuan dan tidak adekuatnya pemberian nutrisi selama sakit
juga mengarahkan pada KEP.

3)
Faktor Lingkungan7
4
Populasi lingkungan yang besar menjadi predisposisi meningkatnya biaya
untuk makanan dan sebagai faktor resiko penyakit infeksi. Malnutrisi juga
dapat disebabkan oleh penyakit, sama seperti penyakit yang menyebabkan
diare dengan menurunkan kemampuan tubuh untuk mengubah makanan
menjadi nutrisi yang dibutuhkan tubuh.
4)
Faktor Biologis
Bayi yang diberikan makanan untuk orang dewasa dengan cara yang tidak
dapat ditoleransi dan dicerna, atau anak yang pemberian ASInya dihentikan
tanpa penyesuaian dapat mengalami KEP.7
5)
Teori Radikal bebas
Golden & Ramdath (1987) mengajukan peningkatan radikal bebas sebagai
penjelasan dari temuan klinis pada kwashiorkor.5,2,8 Hubungan antara deplesi
antioksidan dengan kwashiorkor telah diinvestigasi tetapi teori tentang stress
oksidative sebagai penyebab utama masih diperdebatkan.5 Radikal oksigen
bebas memiliki potensi toksik untuk seluruh membran sel dan diproduksi
pada tubuh selama infeksi. Radikal bebas ini tidak direduksi dengan baik saat
makanan pada anak terdapat defisit mikronutrien seperti vitamin A,C dan E.
7,8

2.4 Patofisiologi
KEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam
makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan
biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut
malnutrisi primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada
umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta rendahnya
pengetahuan dibidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti
diatas disebabkan karena adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi
kronis ataupun kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan
nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan
nutrisi. Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai
5
dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka
kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD
(-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/”decompensated
malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila
stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah
marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai
dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik/compensated
malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi : gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan
sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.9
Ketidaktahuan tentang kandungan gizi dari makanan juga berperan menyebabkan
malnutrisi. Defisiensi besi sering ditemukan pada bayi yang diberi makan hanya diet
susu buatan. Beras yang sudah dikuliti/ dibersihkan sebagai makanan utama mungkin
kurang mengandung tiamin dan yodium sering tidak terdapat dalam makanan dan air
yang berasal dari tempat yang jauh dari laut apabila tidak diberikan suplemen.
Banyak contoh dapat dikemukakan, tetapi cukup dikatakan bahwa malnutrisi terjadi
secara luas dan mungkin parah atau ringan. Penyebab umum insufisiensi gizi
adalah:10

Ketidaktahuan dan kemiskinan. Kaum tuna wisma, usia lanjut, dan anak
miskin sering menderita malnutrisi energi protein (PEM) serta defisiensi trace
nutrient. Bahkan, kaum berada mungkin tidak menyadari bahwa bayi, remaja,
dan perempuan hamil memerlukan tambahan gizi.10

Alkoholisme kronis. Pecandu alcohol kadang-kadang menderita PEM, tetapi
lebih sering mengalami defisiensi beberapa vitamin, terutama tiamin,
piridoksin, folat, dan vitamin A karena kombinasi defisiensi gizi, gangguan
penyerapan di saluran cerna, penyimpangan pemakaian dan penyimpangan
nutrien, peningkatan kebutuhan metabolik, dan peningkatan kecepatan

6
pengeluaran. Tidak disadarinya kemungkinan defisiensi tiamin pada pasien
dengan alkoholisme kronis dapat menyebabkan kerusakan otak ireversibel.10

Penyakit akut dan kronis. Laju metabolik basal (basal metabolic rate, BMR)
menga lami percapatan di banyak penyakit (pada pasien dengan luka bakar
luas, BMR dapat meningkat dua kali lipat), sehingga kebutuhan harian akan
semua nutrien meningkat. Kegagalan menyadari kenyataan ini dapat
menganggu pemulihan.10

Pembatasan makanan secara sengaja. Anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan
gangguan makan lainnya yang tidak terlalu nyata mengenai banyak orang
yang khawatir akan citra tubuh atau mengidap ketakutan irasional terhadap
penyakit kardiovaskuler.10

Penyebab malnutrisi lainnya yang jarang adalah sidrom malabsorbsi,penyakit
genetik,terapi obat tertentu (yang menghambat penyerapan atau pengunaan
nutrien tertentu), dan nutrisi parenteral total (TPN).10

2.5 Klasifikasi
A. Klasifikasi menurut Gomez
Klasifikasi tersebut didasarkan atas berat badan individu dibandingkan
dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur. Gomez
mengelompokkan KEP dalam KEP-ringan, sedang, dan berat. Tabel di bawah
memperlihatkan cara yang dilakukan oleh Gomez.11

Derajat KEP Berat badan % dari baku*


0 (normal) ≥90%
1 (ringan) 90-75%
2 (sedang) 75- 60%
3 (berat) <60%

B. Klasifikasi KEP Menurut Waterlow

7
Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun.Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan
gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus
kering).Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan
gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan
terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.11

Derajat gangguan Stunting Wasting


(tinggi menurut umur) (berat terhadap tinggi)
0 > 95% > 90 %
1 95 – 90 % 90 – 80 %
2 89 – 85 % 80 – 70 %
3 < 85 % < 70 %

2.6 Gejala klinis


Gejala klinis untuk KEP ringan dan sedang, yang ditemukan hanya anak
tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiokor. Tanpa
mengukur/melihat BB bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain
adalah KEP berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.
1. Kwashiokor,3,4,9
a. Edema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada punggung kaki
(dorsum pedis ).
b. Wajah membulat dan sembab.
c. Pandangan mata sayu.
d. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit, rontok.
e. Perubahan status mental, apatis dan rewel.
f. Pembesaran hati.
g. Otot mengecil, lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk.
8
h. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.
i. Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut, anemia dan diare.

Gambar 2. Edema dan kelainan kulit pada kwashiorkor10

2. Marasmus3,4,9
Adapun gejala klinis pada marasmus adalah sebagai berikut:
a. Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit.
b. Wajah seperti orang tua.
c. Cengeng/rewel.
d. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
(pakai celana longgar)
e. Perut cekung.
f. Iga gambang.
g. Sering disertai , penyakit infeksi( umumnya kronis berulang), diare kronis
atau konstipasi/susah buang air.

9
Gambar 3. Marasmus10
3. Marasmus- kwashiorkor,3,4,9
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku median WHO-NCHS
disertai edema yang tidak mencolok.

2.7 Diagnosis,12,14
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada
kedua kaki atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD) dari median
(marasmus), atau ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor, marasmus, dan
marasmus-kwashiorkor). Walaupun kondisi klinis pada kwashiorkor, marasmus,
dan marasmus kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya sama. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
1. BB/TB < -3 SD atau < 70% dari median (marasmus)
2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor :
BB/TB > - 3 SD atau marasmus-kwashiorkor: BB/TB < -3SD)

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan,
pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema. Anak-
anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
10
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak
membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain
yang berat.

1. Anamnesis12,14
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):12,14
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan
diare (encer/darah/lendir)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus di atasi segera.

Anamnesis lanjutan12,14
Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratna ditangani:

 Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit

 Riwayat pemberian ASI

 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

 Hilangnya nafsu makan

 Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru

 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

 Batuk kronik

 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

11
 Berat badan lahir

 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain

 Riwayat imunisasi

 Apakah ditimbang setiap bulan

 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)

 Diketahi atau tersangka infeksi HIV.

2. Pemeriksaan Fisik12,14
Pada pemeriksaan fisik yang harus dicari adalah :
 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung
kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati
menentukan status dehidrasi pada gizi buruk)
 Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang melambat, nadi
lemah dan cepat) kesadaran menurun.
 Demam (suku aksilar ≥ 37,5°C) atau hipotermi (suhu aksilar < 36,5°C)
 Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung
 Sangat pucat

 Pembesaran hati dan ikterus

 Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau


adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)

12
Gambar 4. Pemeriksaan Pitting Udema 10
 Tanda defisiensi vitamin A pada mata :
 Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot

 Ulkus kornea

 Keratomalasia

Gambar 5. Bercak Bitot pada mata10

 Ulkus pada mulut

 Fokus infeksi : telinga, tenggorokan, paru, kulit

 Lesi kulit pada kwashiorkor :

o Hipo- atau hiper- pigmentasi


o Deskuamasi
o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seingkali dengan
infkesi sekunder (termasuk jamur)
 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)
 Tanda dan gejala HIV.

Catatan :
 Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting untuk
memeriksa mata dengan hati-hati untuk menghindari robeknya kornea.
13
 Pemeriksaan laboratorium terhadap HB dan atau Ht, jika didapatkan
anak sangat pucat.
 Pada buku Pedoman TAGB untuk memudahkan penanganan
berdasarkan tanda bahaya dan tanda penting (syok, letargis dan
muntah/diare/dehidrasi), anak gizi buruk dikelompokkan menjadi 5
kondisi klinis dan diberikan rencana terapi cairan dan makanan yang
sesuai.

2.8 Diagnosa Banding


Adanya edema serta asites pada bentuk kwashiorkor maupun marasmik-
kwashiorkor perlu dibedakan dengan : sindroma nefrotik, sirosis hepatis, payah
jantung kongestif, pellagra infantil.9

2.9 Penatalaksanaan

14
Gambar 6. Alur pemeriksaan anak gizi buruk12

1. Pada saat masuk rumah sakit12,13


 Anak dipisahkan dari pasien infeksi
 Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-30oC, bebas dari angin)
 Dipantau secara rutin
 Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera
keringkan.
Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan13:
 Fasilitas dan staf yang profesional (Tim Asuhan Gizi)
 Timbangan badan yang akurat
 Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar

15
 Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga
kemajuan selama perawatan dapat dievaluasi
2. Tatalaksana umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana
syok pada anak dengan gizi buruk. Lakukan penanganan ini hanya jika ada
tanda syok dan anak letargis atau tidak sadar.12,13
Kondisi I12,13
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare
atau dehidrasi. Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%) 15 ml/kgBB selama 1 jam pertama
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II12,13
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. Pada 2 jam pertama:
 Berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB
setiap pemberian.
 Catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit.
Kondisi III12,13
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana III,
dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)

16
2. Pada 2 Jam pertama:

berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap
pemberian

catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV 12,13
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula 10% melalui NGT
sebanyak50ml
3. Pada 2 jam pertama:

berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan
berat badan (NGT)

catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V12,13
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau di are atau
dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas

17
Gambar 7. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk12,13

Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang harus
dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), fase
rehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Di mana tindakan
pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sebagai berikut12,13 :
Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
12,13,14

Tanda-tanda hipoglikemia:
1. Hipogl ikemi adalah suatu keadaan di mana kadar gl ukosa darah yang sangat
rendah.
2. Anak gizi buruk, dianggap hipoglikemia bila kadar glukosa darah < 3
mmol/liter atau <54 mg/dl.
18
3. Hipoglikemia biasanya juga terjadi bersamaan dengan hipotermia.
4. Tanda lain hipoglikemia adalah letargis, nadi lemah, dan kehilangan kesadaran.
5. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat dan pucat, sangat jarang dijumpai pada
anak gizi buruk.
6. Kematian karena hipoglikemia pada anak gizi buruk, kadang-kadang hanya
didahului dengan tanda seperti mengantuk saja.
7. Di unit pelayanan kesehatan yang belum mampu memeriksa kadar glukosa darah,
setiap anak gizi buruk yang datang harus dianggap mengalami hipoglikemia. Oleh
karena itu harus segera mendapatkan perawatan dan penanganan sebagai penderita
hipoglikemia.
Cara mengatasi hipoglikemia12,13,14
1. Sadar (tidak letargis)
 Berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10%* secara oral atau
NGT (bolus) sebanyak 50ml
2. Tidak sadar (letargis)
 Berikan larutan Glukosa 10% secara intravena(iv) (bolus) sebanyak 5
ml/kgBB
 Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10%
secara oral atau NGT (bolus) sebanyak 50 ml.
3. Renjatan(syok)
 Berikan cairan intravena (iv) berupa Ringer Laktat dan Dextrose/Glukosa
5% dengan perbandingan 1:1 (=RLG 5%) sebanyak 15ml/kgBB selama 1
jam pertama atau 5 tetes/menit/kgBB
 Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% secara intravena (iv) (bolus)
sebanyak 5ml/kgBB

19
Pemantauan12,14 :
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30
menit.

Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan
glukosa atau gula 10 %.

Jika suhu rectal <35,5°C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran kadar
gula darah dan tangani sesuai keadaan (hiponatremia dan hipoglikemia).
Pencegahan :
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu,
lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang
malam.12,13
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia12,13
Hipotermia :
1. Adalah suatu keadaan tubuh dimana suhu aksiler <36°C
2. Hipetermia biasanya terjadi bersama-sama dengan kejadian hipoglikemia.
3. Hipoglikemia daan hipotermia pada anak gizi buruk biasanya merupakan tanda dari
adanya infeksi sistemik yang serius.
4. Semua anak gizi buruk dengan hiponatremia harus mendapat pengobatan untuk
mengatasi hipoglikemia dan infeksi.
5. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak mampu
memproduksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.
6. Setiap anak gizi buruk harus dipertahankan suhu tubuhnya dengan menutup
tubuhnya dengan penutup yang memadai.
7. Tindakan menghangatkan tubuh, adalah usaha untuk menghemat penggunaan
cadangan energi pada anak tersebut.

20
Keadaan ini pada anak gizi buruk dapat dengan mudah jatuh pada hiponatremia, cara
untuk mempertahankan (pencegahan) agar tidak hipotermia adalah12 :
1. Tutuplah tubuh anak termasuk kepalanya
2. Hindari adanya hembusan angin dalam ruang perawatan
3. Pertahankan suhu ruangan sekitar 25-30°C.
4. Jangan membiarkan anak tanpa baju terlalu lama pada saat tindakan pemeriksaan
dan penimbangan.
5. Usahakan tangan dari pemberi perawatan pada saat menangani anak gizi buruk
dalam keadaan hangat.
6. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yang basah oleh karena air kencing atau
keringat atau sebab-sebab yang lain.
7. Bila anak baru saja dibersihkan tubuhnya dengan air, segera keringkan dengan
sebaik-baiknya.
8. Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol, hal ini untuk menghindari ibu
anak/pengasuh lupa membungkus botol dengan kain akan menyebabkan kulit anak
terbakar.

Cara untuk memulihkan penderita gizi buruk yang mengalami hipotermia adalah12,13:
1. Bila suhu <36°C harus dilakukan tindakan menghangati untuk mengembalikan
kembali suhu tubuh anak.
1. Pemanasan suhu tubuh anak yang hipotermia adalah dengan cara “kangguru”, yaitu
dengan mengadakan kontak langsung kulit ibu dan kulit anak untuk memindahkan
panas tubuh ibu kepada tubuh anak dan anak digendong serta diselimuti seluruh
tubuhnya.

21
3. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan lampu. Lampu
harus diletakkan 50cm dari tubuh anak.
4. Suhu tubuh harus di monitor setiap 30 menit untuk memastikan bahwa suhu tubuh
anak tidak terlalu tinggi akibat pemanasan.
5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 37 0C.
Pemantauan :
1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,5 0C atau
lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan
bila suhu mencapai 36,50C.
2. Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam
hari.
3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.
Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi12,14
Biasanya terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang berlebihan
mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini disebabkan oleh
sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak dengan gizi buruk hanya
dengan menggunakan gejala klinis saja.Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala
dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.
Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana12,14
1. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kec uali pada kasus dehidrasi berat
dengan/tanpa syok.
2. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika
melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
 Beri 5ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
 Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml.kgBB/jam berselang-seling
dengan F75 dengan jumlah yang sama setiap jam selama 10 jam.

22
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang
keluar, dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan mempunyai
kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang lebih tepat adalah
ReSoMal.
 Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
 Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia<1th: 50-
100ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 thL 100-200ml setiap buang air
besar.
Resep ReSoMal12,14
ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, 3 mmol Mg per liter
Bahan Jumlah

Oralit WHO* 1 sachet (200ml)


Gula pasir 10 gr
Larutan mineral-mix** 8 ml
Ditambah air sampai menjadi 400
*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dehydrate, 1.5 g KCl, 13.5 g glukosa dalam 1 L
**Lihat resep larutan mineral mix14
Bila larutan mineral mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat dibuat
larutan sebagai berikut12,14:
Bahan Jumlah

Oralit 1 sachet (200ml)

Gula pasir 10 g

Bubuk Kcl 0,8 g

Ditambah air sampai menjadi 400 ml


Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat
diberikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan
MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis 0,3 ml.kgBB, maksimum 2 ml/hari.12

23
Larutan Mineral-mix12,14
Larutan ini digunakan pada pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal.
Jika tidak tersedia larutan mineral-mix siap pakai, buatlah larutan dengan
menggunakan bahan berikut ini :
Bahan Jumlah (g)
Kalium klorida (KCL) 89,5
Tripotassium citrate 32,4

Magnesium klorida (MgCl2, 6H2O) 30,5


Seng asetat (Zn asetat, 2H2O) 3,3
Tembaga sulfat (CuSO4, 5H2O) 0,56
Air tambahkan menjadi 1000 ml

Pemantauan12
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah jam
selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada
terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal
jantung dan kematian.
Periksalah

Frekuensi napas

Frekuensi nadi

Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin

Frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada
dieresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel berkurang serta
turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk
seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah
terjadi,sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.

24
Pencegahan12,13
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada
anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan
oralit standar.
 Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
 Pemberian F-75 sesegera mungkin
 Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit12,14
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na
plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan
paling sedi kit perlu 2 minggu untuk pemulihan.
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan
obati edema dengan pemberian diuretic)
Berikan :
 Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
 Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2
/kgBB/hari)
 Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
 Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan
langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1 liter formula, dapat
memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan).

Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi12


Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam, seringkali
tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena itu,
anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang ke
rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia
merupakan tanda infeksi berat12

25
25
Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin :

Antibiotik spektrum luas11,12,14

Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah
diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah
keadaan gizi anak menjadi baik12,13.
Bila ada komplikasi diare persisten diberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8
jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna
mempercepat perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan dan
infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.11,12,14
Pilihan antibiotik spektrum luas:
Bila tanpa komplikasi12,14:
 Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila
berat badan < 4 Kg)
Atau bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :

Ampisilin 50 mg/kgBB/i.mii.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan
dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari.
Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam
secara oral, dan12,14

Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i .mii .v. sekali sehari, selama 7 hari.12,14

Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan
kloramfenikol 25 mg/kg/BB/i.mii.v. setiap 6 jam selama 5 hari.12
Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai.
Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif.12
Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi pemberian
hingga 10 hari.12
Menurut penelitian Trehan,dkk penggunaan antibiotik wajib diberikan untuk
mengurangi tingkat mortalitas pasien KEP. Menurut penelitian, antibiotik spektrum
luas yangdigunakan adalah amoxixilin 80-90 mg/kgBB/hari atau Cefdinir 14
mg/kgBB/hari15.
26
26
Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap, termasuk lokasi
infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah vitamin dan mineral
telah diberikan dengan benar.12
Langkah Ke-6: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien12,14
Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral.Walaupun anemia biasa
dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai
anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-
2).Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari:

Suplementasi multivitamin

Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)

Seng (Zn) 2 mg/kgB B/hari

Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgB B/hari

Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10
mg/kgBB/hari - Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun :
200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI,
< 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat
suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda/gejala defisiensi
vit.A, berikan vitamin dosis terapi. 12

Langkah Ke-7: Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi12,14


Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai
masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan ≥ 50 g/minggu.Awal
fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah
dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal
jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi
makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.12
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula
khusus awal ke formula khusus lanjutan12,14 :

27
27

Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per
100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein
2.9 gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi
bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan
energi dan protein yang sama.

Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200
ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi:
 frekuensi nafas
 frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam
pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula. Setelah
normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.12

Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:


 Makanan/formula dengan j umlah tidak terbatas dan sering.
 Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
 Protein 4-6 gram/kgBB/hari
 Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula,
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-
kejar.
Pemantauan setelah periode transisi:
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :
 Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
 Evaluasi kenaikan BB setiap minggu
Bila kenaikan BB:
 kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :
cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat

28
28
diatasi.
 Baik (≥ 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan
Resep formula WHO F-75 dan F-10012,14
Bahan makanan Per 1000 ml F-75 F-75 (=sereal) F-100
Susu krim bubuk Gram 25 25 85
Gula pasir Gram 100 70 50

Tepung beras/maizena Gram - 35 -


Mi nyak sayur Gram 27 27 60
Larutan elektrolit Ml 20 20 20
Tambahan air s/d Ml 1000 1000 1000
Nilai gizi/1000ml

Energi Kkal 750 750 1000


Protein gram 9 11 29
Laktosa gram 13 13 42

Kalium mmol 40 42 63
Natrium mmol 6 6 19
Magnesium mmol 4.3 4.6 7.3
Seng mg 20 20 23

Tembaga mg 2.5 2.5 2.5


% energi protein - 5 6 12
% energi lemak - 32 32 53
Osmolaritas mOsm/l 413 334 419

Langkah Ke-8: Memberikan makanan untuk tumbuh kejar12,14


Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena keadaan
faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme

29
29
basal.12
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :
Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipoosmolar.
Berikan secara oral/nasogastrik
Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari
Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.

Formula khusus seperti F-75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus
disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas: (lihat tabel 2
halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas.Bila anak terlalu lemah, berikan
dengan sendok / pipet.
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan
pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap
tahap).Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa
formula melalui pipa nasogastrik.Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada
fase stabilisasi ini.
Pantau dan catat :
 Jumlah yang diberikan dan sisanya
 Muntah
 Frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja
 BB (harian)
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada
penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya
edema, baru kemudian BB mulai naik.

Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional12,14


Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenanya
berikan:
30
30
 Kasih sayang
 Lingkungan yang ceria
 Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
 Aktifitas fisik segera setelah sembuh
 Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah12,114


Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat
dikatakan anak sembuh.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah
penderita dipulangkan.
Peragakan kepada orangtua :
 pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien
yang padat
 terapi bermain terstruktur.
Sarankan:
 Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:

1.bulan I: 1x/minggu

2.bulan II: 1x/2 minggu

3.bulan III: 1x/bulan


 Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)

Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.

31
31
DAFTAR PUSTAKA

1. Scheinfeld NS. Protein energy malnutrition. WebMD LLC. 2015;p. 239-41 Diakses :
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview#a6
2. Kismul H, Van den Broeck, Lunde TM, Diet and kwashiorkor: a prospective study
from rural DR congo. Norway: Center for International Health, University of
Bergen.2014; p.1-2
3. Ahmed T, Rahman S, Cravioto A. Oedematous Malnutritions. Bangladesh:
International Centre for Diarrhoeal Disease Research. 2009; p. 651-54
4. Kementrian kesehatan Republik Indonesia.Pedoman pelayanan anak gizi buruk.
Kemenkes: 2011
5. Mane V, Naik TB, Mallapa O, Ambure O. Protein energy malnutrition among
preschool children: a cross-sectional study. India: International Journal of Scientific
Study. 2015; p.109
6. Simkis D, Edmond K, Troy S,Bassat Q. Mother and child nutrition in tropics and
subtropics. Oxford University press: 2016, p:237 Diakses dari:
http://www.oxfordjournals.org/our_journals/tropej/online/mcnts_chap7.pdf
7. Jamabo. Onwukwe. The incidence of marasmic kwashiorkor among children in port
Harcourt, Nigeria. Nigeria: Department of educational Psychology Guidence and
counselling.2010; p.97
8. Una L, Gupta S. Micronutrients and antioxidant status in children with protein
energy malnutrition. Bhopal: Department of pediatrics LN medical college. 2013;
p.38
9. Renny B, Abdul R, Retno HMA, dkk. Divisi Gizi & penyakit metabolik. Dalam:
Renny B. Abdul R, Retno HMA, dkk. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu kesehatan
anak RSUD Jayapura.
10. Vinay K. Ramzi S. C, Stanley L.R. Buku ajar patologi Robbins, Ed 7, Vol . Jakarta:
EGC.2007. hal 326
11. Robert M. K, Bonita F. Stanton, Joseph W, dkk. Nelson textbook of pediatrics,
twentieth edition. Canada:Elsevier.2016. hal 298.

32
32
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi
Buruk. Departemen RI,2011.
13. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman bagi rumah sakit
Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Word Health Organization:
Jakarta:2009,hal 193 – 194
14. WHO Library Cataloguing IN Publication Data. Management of severe malnutrition:
manual for physicians and other senior health workers. WHO. Geneva.2000, hal 2-
19. Diakses dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/95584/1/9789241506328.eng.pdf .tanggal 26
maret 2016
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku petunjuk Teknis Tatalaksana
Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI,2011.
16. Trehan I, Goldbach HS, LaGrone LN,et al. Antibiotics as part of the management of
severe acute malnutrition. N Engl J Med 2013;368;425-35.

33
33
34

Anda mungkin juga menyukai