Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 21(3), Oktober 2021, 1347-1356

JIUBJ Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat universitas Batanghari Jambi
ISSN 1411-8939 (Online), ISSN 2549-4236 (Print)
DOI 10.33087/jiubj.v21i3.1746

Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri


Non Farmakologis Oleh Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah
RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015
Fitria Fajriani*, Yulastri Arif, Deswita
Program Studi Magister Keperawatan Universitas Andalas Padang
*Correspondence emai: fitriafajriani@gmail.com

Abstrak. Angka kenyamanan pasien atau pasien bebas dari nyeri merupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan di
ruang rawat inap. Salah satu upaya perawat untuk meningkatkan angka mutu tersebut adalah manajemen nyeri nonfarmakologis.
Irna non bedah memiliki angka nyeri yang cukup tinggi, namun angka tatalaksana nyeri yang dilakukan oleh perawat masih
rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan manajemen nyeri
nonfarmakologis oleh perawat pelaksana di Irna Non Bedah. Penelitian ini menggunakan desain analitik dengan pendekatan Cross
Sectional. Sampel penelitian ini sebanyak 89 orang yang diambil secara purposive. Instrumen penelitin ini dibuat oleh peneliti
yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh (59,6%) perawat pelaksana
kurang baik dalam melaksanakan manajemen nyeri nonfarmakologis. Berdasarkan uji statistic Chi-square, terdapat hubungan
yang bermakna antara pelatihan, pengetahuan, sikap dan motivasi terhadap pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis
dengan masing-masing Pvalue (0,001; 0,007; 0,001; 0,001). Faktor yang memiliki kontribusi paling besar terhadap pelaksanaan
manajemen nyeri nonfarmakologis adalah pelatihan. Oleh sebab itu diharapkan kepada institusi pelayanan untuk dapat membuat
program pelatihan yang berkelanjutan tentang manajemen nyeri nonfarmakologis.

Kata Kunci : Manajemen nyeri nonfarmakologis; pelaksanaan; perawat

Abstract. The comfort rate of patients or patients free from pain is one indicator of the quality of health services in inpatient
rooms. One of the nurse's efforts to improve the quality rate is non-pharmacological pain management. Non-surgical Irna has a
fairly high pain rate, but the number of pain management performed by nurses is still low. The purpose of this study was to
analyze the factors associated with the implementation of non-pharmacological pain management by nurses at Irna Non-Surgical.
This study uses an analytical design with a Cross Sectional approach. The sample of this study was 89 people who were taken
purposively. This research instrument was made by researchers who have been tested for validity and reliability. The results
showed that more than half (59.6%) of nurses were not good at implementing non-pharmacological pain management. Based on
the Chi-square statistical test, there is a significant relationship between training, knowledge, attitudes and motivation towards
the implementation of non-pharmacological pain management with each P-value (0.001; 0.007; 0.001; 0.001). The factor that has
the greatest contribution to the implementation of non-pharmacological pain management is training. Therefore, it is expected
that service institutions can create sustainable training programs on non-pharmacological pain management.

Keywords: Non-pharmacological pain management; implementation; nurses

PENDAHULUAN Manajemen nyeri terdiri dari manajemen nyeri


Nyeri merupakan alasan utama seseorang mencari Farmakologis dan Manajemen nyeri non-farmakologis.
pelayanan kesehatan. Menurut Potter dan Perry (2005) Manajemen nyeri non-farmakologis merupakan
nyeri dapat didefinisikan sebagai suatu sensasi yang intervensi keperawatan secara mandiri, sedangkan
bersifat lokal dan dapat berkisar dari ringan sampai manajemen nyeri farmakologis adalah tindakan
berat. Selain itu International Association for Study of kolaboratif bagi perawat. Manajemen nyeri non
Pain IASP (1979, dalam White, 2001), juga farmakologis dapat digunakan sebagai terapi tunggal
mendefinisikan nyeri sebagai sensori subjektif dan kepada pasien dengan nyeri ringan. Selain itu,
emosional yang tidak menyenangkan yang dapat terkait manajemen nyeri non farmakologis juga menjadi terapi
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau pelengkap dalam mengurangi dan mengontrol nyeri
menggambarkan kondisi terjadinya suatu kerusakan. pasien untuk nyeri sedang dan berat. Manajemen nyeri
Manajemen nyeri merupakan indikator mutu non farmakologis dapat memperkuat kerja analgetik dan
pelayanan keperawatan. Perserikatan Bangsa Bangsa mempersingkat durasi nyeri pasien.
(1948 dalam Chuandy, 2015) mendeklarasikan bahwa Manajemen nyeri non farmakologi, merupakan
penanganan nyeri merupakan salah satu hak asasi tindakan mandiri perawat untuk menghilangkan nyeri
manusia. Demikian pentingnya penanganan nyeri dengan menggunakan teknik manajemen nyeri, misalnya
menjadikan nyeri sebagai vital sign yang kelima, setelah dengan teknik biofeedback, Transcutan Electric Nervous
nafas, tekanan darah, nadi dan suhu, sehingga Stimulating ( TENS ), relaksasi, guided imagery, terapi
manajemen nyeri mutlak harus ada (Casey, 2011). musik, distraksi, terapi bermain, acupressure, aplikasi
1347
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

panas/ dingin, massage, dan hipnosis (Potter dan Perry, Tabel 2 memperlihatkan hampir seluruh perawat
2005). Penatalaksanaan nyeri non-farmakologis ini pelaksana di Irna non bedah berada pada usia dewasa
diberikan berdasarakan teori gate control dari Melzack awal (97,8%), dengan pendidikan Diploma III (96,6%).
dan Wall (1965) dalam Smeltzer & Bare (2002) Sedangkan lebih dari separuh (68,5%) perawat pelaksana
memiliki masa kerja > 5 tahun. Namun sebagian besar
METODE (79,8%) perawat pelaksana belum mengikuti pelatihan
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif desain manajemen nyeri. Lebih dari separuh (68,5%) perawat
Analitik dengan pendekatan Cross Sectional pelaksana di Irna non bedah memiliki pengetahuan yang
(Notoatmodjo, 2012). Sampel Penelitian ini adalah 89 baik tentang manajemen nyeri nonfarmakologis. Namun
orang perawat pelaksana di Irna Non Bedah RSUP M lebih dari separuh (58,4%) perawat pelaksana memiliki
Djamil Padang. sikap negatif dan motivasi rendah tentang manajemen
nyeri nonfarmakologis (62,9%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Faktor Pendorong Pelaksanaan Manajemen Nyeri
Oleh Perawat Pelaksana Di Instalasi Rawat Inap Non Non Farmakologis Oleh Perawat Pelaksana Di
Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015 Instalasi Rawat Inap Non Bedah RSUP Dr M Djamil
Padang Tahun 2015
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Manajemen Nyeri Faktor pendorong yaitu supervisi pelaksanaan
Nonfarmakologis Oleh Perawat Pelaksana Di Instalasi Rawat Inap manajemen nyeri non farmakologis oleh perawat
Non Bedah Rsup Dr M Djamil Padang Tahun 2015
Pelaksanaan Manajemen nyeri pelaksana di Irna non bedah RSUP Dr M Djamil Padang,
F % dalam bentuk kategorik sehingga dianalisis dengan
nonfarmakologis
Baik 36 40,4 proporsi dan disajikan dengan tabel distribusi frekuensi.
Kurang Baik 53 59,6 Secara rinci dapat dilihat dalam tabel 3

Tabel 1 memperlihatkan lebih dari separuh Tabel 3. Distribusi Frekuensi Faktor Pendorong Pelaksanaan
(59,6%) perawat pelaksana di Irna non bedah kurang Manajemen Nyeri Nonfarmakologis Oleh Perawat Pelaksana Di
Instalasi Rawa Inap Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun
baik dalam melaksanakan manajemen nyeri
2015 (n=89)
nonfarmakologis. Variabel Kategori f %
Supervisi ƒ Baik 43 48,3
Faktor Predisposisi Pelaksanaan Manajemen Nyeri ƒ Kurang baik 46 51,7
Nonfarmakologis Oleh Perawat Pelaksana Di
Instalasi Rawat Inap Non Bedah RSUP Dr M Djamil Tabel 3 memperlihatkan lebih dari separuh
Padang Tahun 2015 (51,7%) perawat pelaksana memiliki persepsi kurang
Faktor predisposisi pelaksanaan manajemen nyeri baik tentang supervisi kepala ruangan terhadap
nonfarmakologis dianalisis dengan proporsi dan manajemen nyeri nonfarmakologis.
disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Setelah
dilakukan uji normalitas didapatkan bahwa data variabel Hubungan Faktor Predisposisi (Karakteristik,
pengetahuan, sikap, motivasi dan supervisi tidak Pengetahuan, Sikap, Motivasi) dengan pelaksanaan
terdistribusi normal. Lebih rinci dapat dilihat dalam manajemen nyeri nonfarmakologis oleh perawat
tabel 2: pelaksana di Irna non bedah RSUP Dr M Djamil
Padang tahun 2015
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Faktor Presdisposisi
Pelaksanaan Manajemen Nyeri Nonfarmakologis Oleh Tabel 4. Hubungan Faktor Predisposisi Dengan Pelaksanaan
Perawat Pelaksana Di Instalasi Rawa Inap Non Bedah RSUP Manajemen Nyeri Nonfarmakologis Oleh Perawat Pelaksana Di Irna
Dr M Djamil Padang Tahun 2015 (n=89) Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2015

1348
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

*bermakna pada . < 0,05 pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil
Padang tahun 2015 dengan nilai p = 0,005.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa karakteristik
perawat pelaksana di Instalasi rawat inap Non bedah Pembahasan
RSUP M Djamil Padang yang berhubungan dengan Pelaksanaan manajemen nyeri non farmakologis oleh
pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis secara perawat pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M
signifikan adalah pelatihan manajemen nyeri (Pvalue = Djamil Padang tahun 2015
0,001). Selain itu faktor predisposisi yang memiliki Hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh
hubungan yang bermakna dengan pelaksanaan (59,6%) perawat pelaksana di Irna Non Bedah baik
manajemen nyeri nonfarmakologis oleh perawat dalam melaksanakan manajemen nyeri non
pelaksana di Irna non bedah RSUP Dr M Djamil Padang farmakologis. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
adalah pengetahuan (Pvalue = 0,007), sikap (Pvalue = dilakukan oleh Kursyati & Astuti (2012) yang
0,001) dan motivasi (Pvalue = 0,001). menyatakan bahwa lebih dari separuh perawat (51,5%)
tidak melaksanakan manajemen nyeri nonfarmakologis.
Hubungan Faktor Pendorong (Supervisi) dengan Menurut Bobak (2004) Manajemen nyeri
pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis oleh nonfarmakologis bukan sebagai pengganti obat.
perawat pelaksana di Irna non bedah RSUP Dr M Kombinasi manajemen nyeri nonfarmakologis dengan
Djamil Padang tahun 2015 manajemen nyeri farmakologis dapat digunakan untuk
Faktor pendorong adalah persepsi perawat mengontrol nyeri agar sensasi nyeri dapat berkurang
pelaksana terhadap supervisi Karu tentang manajemen serta masa pemulihan tidak memanjang. Menurut buku
nyeri nonfarmakologis. Penjelasan lebih rinci dapat panduan akreditasi RSUP Dr M Djamil Padang,
dilihat dalam tabel 5 Manajemen nyeri nonfarmakologis diberikan secara
tunggal kepada pasien dengan skala nyeri ringan. Untuk
Tabel 5. Hubungan Faktor Pendorong (Supervisi) Dengan skala nyeri sedang hingga berat manajemen nyeri
Pelaksanaan Manajemen Nyeri Nonfarmakologis Oleh nonfarmakologis diberikan secara kombinasi dengan
Perawat Pelaksana Di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil manajemen nyeri farmakologis.
Padang tahun 2015
Berdasarkan analisis kuesioner manajemen nyeri
nonfarmakologis, lebih dari separuh (65,1%) perawat
pelaksana hanya melakukan skrining nyeri saat pasien
baru masuk. Hal ini bertentangan dengan pernyataan
Morone & Weiner (2013) bahwa skrining nyeri
merupakan tanda-tanda vital kelima yang harus
diskrining setiap shift atau saat klien mengeluh nyeri.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa faktor pendorong Hampir seluruh (96,6%) perawat pelaksana
yaitu supervisi kepala ruangan tentang manajemen nyeri melakukan pengkajian kepada pasien yang mengeluh
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan nyeri. Namun, pengkajian yang dilakukan oleh perawat
pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis oleh tersebut belum sesuai dengan teori pengkajian nyeri.
perawat pelaksana di Instalasi rawat inap Non bedah Dapat dilihat bahwa lebih dari separuh perawat (66,6%)
RSUP M Djamil (Pvalue = 0,963) tidak mengkaji waktu dan periode nyeri pasien, kurang
dari separuh (25,8%) perawat pelaksana tidak mengkaji
Analisis Faktor Yang Paling Berhubungan Dengan skala nyeri pasien, dan kurang dari separuh (33,7%)
pelaksanaan manajemen nyeri non farmakologis. perawat pelaksana tidak mengkaji gambaran rasa nyeri
pasien.
Tabel 6. Hasil analisis multivariat regresi logistik antara Menurut Buyukyilmaz (2014) menyatakan bahwa
pelatihan, pengetahuan, dengan pelaksanaan manajemen nyeri tekhnik relaksasi, distraksi dan masase dapat
nonfarmakologis oleh perawat pelaksana di RSUP Dr M menurunkan intensitas nyeri pasien. Maka dapat
Djamil Tahun 2015
disimpulkan pelaksanaan manajemen nyeri di Irna Non
No Variabel B P value
Bedah RSUP M Djamil masih terbatas pada pengkajian
1 Pelatihan 0,341 0,005
2 Pengetahuan 0,249 0,014 saat pasien masuk, manajemen nyeri farmakologis dan
3 Motivasi 0,269 0,007 manajemen nyeri nonfarmakologis berupa relaksasi
nafas dalam. Menurut peneliti perawat pelaksana di Irna
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa variabel Non Bedah belum memahami pengkajian nyeri dan
yang paling dominan berhubungan dengan pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis secara komprehensif
manajemen nyeri nonfarmakologis adalah pelatihan saat memberikan intervensi pada pasien nyeri.
manajemen nyeri yang didapatkan oleh perawat

1349
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

Faktor Predisposisi Pelaksanaan Manajemen Nyeri c. Masa Kerja Perawat


Nonfarmakologis Oleh Perawat Pelaksana Di Irna Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015 lebih dari separuh perawat pelaksana (68,5%)
1. Karakteristik Perawat Pelaksana Di Instalasi Rawat memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Hal ini
Inap Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun sesuai dengan hasil penelitian Abdalrahim (2011)
2015 bahwa lebih dari separuh (69,09%) perawat
a. Usia Perawat Pelaksana praktisi memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perawat pelaksana yang bertugas di Irna Non Masa kerja adalah lamanya seseorang
Bedah RSUP Dr M Djamil Padang hampir seluruh bekerja pada suatu organisasi / institusi. Menurut
(97,8%) perawat pelaksana berada dalam tahap Siagian (2002) menyatakan masa kerja merupakan
usia dewasa awal. Hasil ini sesuai dengan jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam
penelitian yang dilakukan oleh Abdalrahim et al bekerja sejak mulai masuk lapangan pekerjaan
(2011), menyatakan bahwa lebih dari separuh hingga sekarang. Kurniadi (2013) menyatakan
perawat pelaksana (60%) berada dalam rentang bahwa terdapat hubungan yang positif antara masa
usia dewasa awal. Hal ini diperkuat oleh hasil kerja dan komitmen organisasi. Semakin lama
penelitian Zhang (2008) yang menyatakan bahwa masa kerja seseorang, maka pengetahuan,
hampir seluruh (93,9%) perawat pelaksana berada keterampilan seseorang akan meningkat. Menurut
dalam rentang usia dewasa awal. Usia dewasa peneliti, pengetahuan dapat diperoleh dari
awal merupakan usia yang produktif dan selalu pengalaman. Maka semakin lama perawat berada
penuh dengan ide-ide dalam bekerja, namun usia pada suatu institusi / unit dapat memberikan
dewasa awal belum memiliki banyak pengalaman pengalaman dan menambah pengetahuan dan
dalam melaksanakan tugasnya. keterampila perawat dalam tugasnya.
Usia berkaitan dengan tingkat kedewasaan d. Pelatihan
dan maturitas seseorang Menurut analisis peneliti Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
faktor usia dapat mempengaruhi pola pikir dan sebagaian besar (79,8%) perawat pelaksana belum
kondisi emosional perawat, namun peningkatan mendapatkan pelatihan penyegaran tentang
usia dapat menyebabkan penurunan kinerja manajemen nyeri nonfarmakologis. Hasil ini
perawat. Hal ini dapat dipengaruhi oleh penurunan sesuai dengan penelitian Zhang (2008) bahwa
fisiologis tubuh perawat tersebut. lebih dari separuh perawat (56%) belum
b. Pendidikan Perawat Pelaksana mendapatkan program pelatihan manajemen nyeri.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hasil ini juga didukung oleh penelitian Juwita
hampir seluruh (96,6%) perawat memiliki tingkat (2014) menyatakan bahwa sebagian besar (84,6%)
pendidikan diploma III keperawatan. Hasil ini perawat pelaksana tidak pernah mengikuti
sesuai dengan hasil penelitian Juwita (2014) pelatihan manajemen nyeri.
menyatakan bahwa sebagian besar perawat Pelatihan merupakan pendidikan informal
(89,7%) perawat pelaksana memiliki latar yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
belakang pendidikan D3 Keperawatan. Hasil ini dan keterampilan perawat dalam melaksanakan
berbeda dengan penelitian Nugroho (2004) yang asuhan keperawatan. Pelatihan dan pengembangan
menyatakan bahwa lebih dari separuh perawat staf diartikan sebagai usaha terencana organisasi
memiliki pendidikan rendah (SPK). Namun hasil untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan
penelitian ini bertentangan dengan penelitian dan kemampuan pegawai (Hariandja, 2002).
Elrahman et al (2013) yang menyatakan bahwa Menurut peneliti, pelatihan merupakan aspek
lebih dari separuh perawat praktisi (53,7%) penting untuk dilaksanakan oleh organisasi untuk
memiliki latar belakang ners (Sarjana meningkatkan kinerja perawat dalam pemberian
Keperawatan). Siagian (2002) menyatakan bahwa asuhan keperawatan.
pendidikan formal menyangkut kemampuan
intelektual yang berkaitan dengan kemampuan 2. Pengetahuan
individu menyelesaikan tugas dalam Hasil penelitian menunjukkan lebih dari
pekerjaannya. separuh responden (68,5%) menunjukkan
Latar belakang pendidikan seseorang akan pengetahuan yang baik tentang manajemen nyeri
mempengaruhi produktivitas dan kinerja orang nonfarmakologis. Hasil penelitian ini sesuai dengan
tersebut. Salah satu upaya untuk meningkatkan penelitian Al-shaer et al (2011) menjelaskan bahwa
kinerja perawat adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat tentang majemen
sumber daya keperawatan melalui pendidikan ke nyeri sudah cukup baik (61,2%). Pada penelitian
jenjang yang lebih tinggi. Alnems (2012) juga menyatakan bahwa separuh

1350
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

perawat (50%) memiliki pengetahuan yang baik 4. Motivasi


terhadap manajemen nyeri. Pernyataan diatas juga Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari
diperkuat oleh Penelitian Ampomah (2012), separuh separuh (62,9%) perawat memiliki motivasi yang
responden yang memiliki pengetahuan yang tinggi rendah terhadap manajemen nyeri nonfarmakologis.
tentang manajemen nyeri (50,7%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zuhriana
Keraf dan Dua (2001) menyatakan (2012) menyatakan bahwa sebagian besar (79,4%)
pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, perawat pelaksana memiliki motivasi kerja tinggi.
ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia Menurut pendapat Keith Davis dalam Mangkunegara
tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia (2005), bahwa faktor yang mempengaruhi pencapaian
dan kehidupannya. Potter & Perry (2005) kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor
mengemukakan bahwa yang mempengaruhi tingkat motivasi (motivation). Menurut Ilyas (2012) motivasi
pengetahuan adalah tahap perkembangan, latar dapat diartikan sebagai kondisi internal, kejiwaan dan
belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu. mental manusia seperti aneka keinginan, harapan,
Berdasarkan hasil analisis kuesioner kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong
memperlihatkan bahwa lebih dari separuh (68,5%) individu untuk berperilaku kerja untuk mencapai
perawat pelaksana memiliki pengetahuan yang kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
kurang baik tentang waktu dilakukannya skrinnig Berdasarkan analisis kuesioner, masih ada
nyeri. Selain itu lebih dari separuh (69,7%) perawat perawat yang memiliki motivasi rendah dalam
pelaksana belum mengetahui tentang instrument yang mengurangi rasa nyeri pasien, dan motivasi yang
digunakan untuk mengkaji skala nyeri pasien dan rendah dalam mengambil inisiatif dalam
lebih dari separuh (73%) perawat pelaksana tidak melaksanakan manajemen nyeri nonfarmakologis.
memahami tentang poin P (pencetus) & R Menurut asumsi peneliti hal tersebut bisa terjadi
(Regio/penyebaran) dalam pengkajian PQRST nyeri. karena tingginya beban kerja di ruangan dan
Intervensi nonfarmakologis dalam penelitian tingginya stress kerja perawat di Irna Non Bedah.
ini berupa relaksasi, distraksi dan masase. Berdasarkan hasil wawancara kepada 3 orang
Berdasarkan hasil analisis peneliti lebih dari separuh perawat pelaksana menyatakan bahwa beban kerja
(53,9%) perawat pelaksana telah memahami tentang perawat di ruangan cukup tinggi karena perbandingan
relaksasi nafas dalam. Namun sebagian besar (77,5%) antara perawat dan pasien tidak sesuai.
perawat pelaksana tidak mengetahui tentang distraksi
dan lebih dari separuh (67,4%) perawat pelaksana Faktor Pendorong Pelaksanaan Manajemen Nyeri
tidak memahami tentang terapi masase untuk pasien Nonfarmakologis Oleh Perawat Pelaksana Di Irna
nyeri. Maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015
perawat pelaksana masih belum memahami Supervisi
manajemen nyeri secara menyeluruh, khususnya Hasil penelitian ini menunjukkan lebih dari
tentang asesmen nyeri dan manajemen nyeri separuh perawat pelaksana (51,7%) memiliki persepsi
nonfarmakologis distraksi dan masase. kurang baik terhadap supervisi yang dilakukan oleh
kepala ruangan tentang manajemen nyeri
3. Sikap nonfarmakologis. Hasil ini berbeda dengan penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari yang dilakukan oleh Juwita (2014) didapatkan bahwa
separuh perawat (58,4%) memiliki sikap yang negatif lebih dari separuh (53,8%) perawat memiliki persepsi
terhadap manajemen nyeri non farmakologis pasien. yang baik terhadap supervisi yang dilakukan oleh kepala
Hasil ini berbeda dengan penelitian Alshaer et al ruangan terkait penatalaksanaan nyeri pasien. Supervisi
(2011) yang menyatakan bahwa pengetahuan dan dalam keperawatan dilakukan untuk memastikan
sikap perawat tentang majemen nyeri sudah cukup kegiatan dilaksanakan sesuai dengan visi, misi, dan
baik (61,2%). Sikap adalah respon seseorang yang tujuan organisasi serta sesuai dengan standar yang telah
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. ditetapkan (Keliat, dkk, 2006).
Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat Berdasarkan analisis kuesioner supervisi dapat
namun hanya bisa ditafsirkan terlebih dahulu dari dilihat bahwa lebih dari separuh (50,6%) perawat
perilaku yang tertutup.Menurut peneliti perawat pelaksana menyatakan kepala ruangan belum
belum memahami bahwa manajemen nyeri memotivasi perawat dalam melaksanakan manajemen
nonfarmakologis diberikan secara tunggal kepada nyeri nonfarmakologis. Lebih dari separuh (59,6%)
pasien dengan skala nyeri ringan. Sedangkan untuk perawat memiliki persepsi bahwa kepala ruangan kurang
skala nyeri sedang hingga berat manajemen nyeri memberikan arahan tentang manajemen nyeri
nonfarmakologis diberikan secara kombinasi dengan nonfarmakologis. Selain itu kurang dari separuh (34,8%)
manajemen nyeri farmakologis. perawat pelaksana merasa kesulitan menghubungi kepala

1351
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

ruangan saat menemukan masalah tentang manajemen keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan
nyeri. keterampilan (Kurniadi, 2013).
Menurut Kusnanto (2004) pada tingkatan
Faktor Predisposisi Yang Berhubungan Dengan pendidikan Diploma III keperawatan, perawat
Pelaksanaan Manajemen Nyeri Nonfarmakologis pelaksana masih banyak membutuhkan arahan dan
Oleh Perawat Pelaksana Di Irna Non Bedah RSUP bimbingan dalam menyelesaikan tugas yang
Dr M Djamil Padang mereka lakukan. Tidak adanya hubungan
1. Hubungan Karakteristik Perawat Dengan pendidikan dengan kinerja perawat dapat terjadi
Pelaksanaan Manajemen Nyeri Nonfarmakologis karena masa kerja perawat yang sudah lebih dari 5
a. Hubungan usia dengan Pelaksanaan Manajemen tahun, sehingga ilmu yang didapatkan saat
Nyeri Nonfarmakologis pendidikan sudah terlupakan jika tidak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih diaplikasikan di lapangan. Karena perawat
dari separuh (59,8%) perawat usia dewasa awal pelaksana di Irna non bedah sebagian besar adalah
baik dalam melaksanakan manajemen nyeri diploma III keperawatan, maka masih perlu
nonfarmakologis. Hasil ini sejalan dengan diberikan bimbingan dan arahan dalam
penelitian Nasution (2009) menunjukkan bahwa melaksanakan intervensi manajemen nyeri.
75,8% perawat dengan usia <39 tahun memiliki c. Hubungan Masa Kerja dengan Pelaksanaan
kinerja kurang baik. Berdasarkan uji statistik tidak Manajemen Nyeri Nonfarmakologis
terdapat hubungan yang bermakna antara usia Berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak
dengan pelaksanaan manajemen nyeri terdapat hubungan yang bermakna antara masa
nonfarmakologis oleh perawat pelaksana dengan kerja perawat dengan pelaksanaan manajemen
nilai P 1,000. nyeri nonfarmakologis dengan P value 0,585.
Hasil penelitian diatas sesuai dengan Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian
penelitian Ayla (2013) yang menyatakan bahwa AlShaer yang menyatakan bahwa ada hubungan
tidak ada hubungan yang signifikan antara usia yang signifikan antara masa kerja dengan
perawat dengan pengetahuan dan praktek pelaksanaan manajemen nyeri (p value= 0,012).
manajemen nyeri. Menurut peneliti, hal ini terjadi Siagian (2002) menjelaskan bahwa seseorang
karena sebaran usia responden dalam penelitian yang sudah lama bekerja pada satu organisasi
ini tidak bervariasi. tidak identik dengan produktivitas yang tinggi.
Menurut analisa peneiliti peningkatan usia Masa kerja yang lama menunjukkan pengalaman
dapat mencerminkan kematangan perawat dalam yang lebih dari seseorang dibandingkan rekan
berfikir dan bertindak, namun produktivitas / kerja lainnya.
kinerja perawat yang mengalami peningkatan usia Menurut Kurniadi (2013) menyatakan
akan mengalami penurunan. Hal ini dapat bahwa masa kerja yang lama cenderung membuat
disebabkan karena penurunan fungsi fisiologis perawat merasa lebih betah dalam suatu
tubuh perawat yang terjadi seiring dengan pekerjaan, berpengalaman, yang diakibatkan oleh
bertambahnya usia. adaptasi terhadap lingkungan, sehingga seseorang
b. Hubungan Pendidikan dengan Pelaksanaan akan merasa nyaman dengan pekerjaannya.
Manajemen Nyeri Nonfarmakologis Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan
Berdasarkan uji statistik menunjukkan teori Kurniadi dan Wursanto, dapat dilihat bahwa
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna lebih dari separuh perawat yang memiliki masa
antara tingkat pendidikan dengan pelaksanaan kerja lebih dari lima tahun, baik dalam
manajemen nyeri nonfarmakologis oleh perawat melaksanakan manajemen nyeri. Maka dapat
pelaksana (P value = 1,000). Hal ini sesuai dengan disimpulkan bahwa peningkatan masa kerja dapat
penelitian yang dilakukan oleh Alshaer (2011) menggambarkan pengalaman seseorang, namun
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan tidak dapat dijadikan tolok ukur produktivitas
antara tingkat pendidikan perawat dengan seseorang.
manajemen nyeri. Hasil ini juga sejalan dengan d. Hubungan Pelatihan dengan Pelaksanaan
hasil penelitian Yanti & Warsito (2013) yang Manajemen Nyeri Nonfarmakologis
menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna Hasil penelitian menunjukkan sebagian
antara pendidikan dengan kinerja perawat besar perawat pelaksana (83,3%) yang telah
pelaksana. Siagian (2002) menjelaskan bahwa mendapatkan pelatihan manajemen nyeri dapat
pendidikan formal menyangkut kemampuan melakukan pelaksanaan manajemen nyeri dengan
intelektual dan kemampuan individu dalam baik. Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan
menyelesaikan tugasnya. Semakin tinggi tingkat yang bermakna antara pelatihan dengan
pendidikan seseorang maka semakin besar pelaksanaan manajemen nyeri. Pendidikan dan

1352
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

pelatihan merupakan bagian dari investasi sumber Pengetahuan dan perilaku erat sekali
daya manusia (human investment). Semakin lama hubungannya, perawat dituntut harus mempunyai
waktu yang digunakan seseorang untuk pengetahuan dalam melaksanakan praktek asuhan
pendidikan dan pelatihan, semakin tinggi keperawatan pasien. Dalam jenjang pendidikan
kemampuan dan kompetensinya melakukan keperawatan, perawat sudah dikenalkan dengan
pekerjaan, maka semakin tinggi kinerjanya manajemen nyeri nonfarmakologis, sehingga perawat
(Simanjuntak, 2005). Pelatihan manajemen nyeri harusnya sudah memiliki pengetahuan yang baik
merupakan investasi rumah sakit bagi sumberdaya tentang manajemen nyeri. Selain pernah memperoleh
manusia perawat untuk terus dapat meningkatkan pengetahuan tentang manajemen nyeri, perawat juga
kemampuannya dalam manajemen nyeri. perlu untuk mempertahankan pengetahuan tersebut.
Abdalrahim (2011) mengemukakan bahwa Mempertahankan pengetahuan dapat dilakukan
pelatihan diperlukan untuk menambah dengan mengingat kembali (recall) (Notoatmodjo,
pengetahuan dan memperbaiki sikap perawat 2007). Oleh sebab itu perawat harus mendapatkan
dalam pelaksanaan manajemen nyeri. Sebab penyegaran informasi tentang manajemen nyeri
menurut Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa nonfarmakologis.
prilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dan sikap yang positif akan bersifar langgeng pengetahuan perawat tentang manajemen nyeri
(Lost Lasting). Pelatihan manajemen nyeri nonfarmakologis sudah baik. Peneliti berasumsi
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan mayoritas pengetahuan perawat sudah baik
sikap perawat, sehingga pelaksanaan manajemen disebabkan perawat sudah dibekali dengan adanya
nyeri dapat lebih optimal. Hal ini didukung oleh buku akreditasi individu yang salah satunya memuat
pernyataan Zhang et al (2008) menyatakan bahwa tentang pengkajian nyeri pasien. Namun pengetahuan
pelaksanaan program pelatihan manajemen nyeri perawat yang sudah baik tidak selalu mencerminkan
terutama untuk perawat sebagai pemberi bahwa perawat tersebut baik dalam melakukan
pelayanan lini pertama sangat dibutuhkan. Sebab manajemen nyeri. Hal ini dapat dilihat pada hasil
manajemen nyeri merupakan asuhan keperawatan penelitian, dimana kurang dari separuh perawat yang
yang memiliki dampak secara langsung kepada pengetahuannya baik, baik dalam pelaksanaan
pasien. manajemen nyeri. Menurut peneliti, ini terjadi karena
perawat hanya mengetahui teori manajemen nyeri,
2. Hubungan pengetahuan dengan pelaksanaan namun belum memahami poin-poin dalam
manajemen nyeri nonfarmakologis pengkajian dan intervensi nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan lebih dari
separuh (50,8%) perawat pelaksana yang memiliki 3. Hubungan sikap dengan pelaksanaan manajemen
pengetahuan yang baik, maka dapat melaksanakan nyeri nonfarmakologis
manajemen nyeri nonfarmakologis dengan baik Hasil penelitian menunjukkan sebagian
dibandingkan dengan perawat pelaksana yang perawat pelaksana (75%) yang memiliki sikap
memiliki pengetahuan kurang. Berdasarkan uji negatif, baik dalam melaksanakan manajemen nyeri
statistik menunujukkan bahwa terdapat hubungan non farmakologis. Berdasarkan uji statistik
yang bermakna antara faktor pengetahuan dengan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis. bermakna antara sikap perawat dengan pelaksanaan
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Astuti manajemen nyeri nonfarmakologis oleh perawat
(2012) bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan Pvalue=0,000. Hal ini sesuai dengan
antara pengetahuan perawat dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan Al Shaer et al (2011)
manajemen nyeri nonfarmakologis pada pasien pasca menyatakan bahwa sikap perawat memiliki pengaruh
operasi bedah mayor. Hasil ini juga diperkuat oleh yang kuat terhadap keberhasilan pelaksnaan
hasil penelitian Jho et al (2014) menyatakan bahwa manajemen nyeri.
pengetahuan perawat sangat berpengaruh terhadap Sikap merupakan konsep yang sangat penting
pelaksanaan manajemen nyeri. Faktor pengetahuan dalam komponen sosio-psikologis, karena merupakan
mempunyai pengaruh sebagai dorongan awal dalam kecenderungan bertindak dan berpersepsi. Sikap
berperilaku. Semakin tinggi tingkat pengetahuan adalah bentuk respons tertutup seseorang terhadap
seseorang maka semakin baik perilaku seseorang. stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan
Schechter, Berde, & Yaster (2003 dalam Stanley faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan seperti:
2013) menyatakan bahwa pengetahuan perawat senang/tidak senang, setuju/tidak setuju, baik/tidak
sangat mempengaruhi perilaku perawat dalam baik (Notoatmodjo, 2007).
memberikan manajemen nyeri yang adekuat.

1353
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

4. Hubungan motivasi dengan pelaksanaan manajemen Faktor Pendorong Yang Berhubungan Dengan
nyeri non farmakologis Pelaksanaan Manajemen Nyeri Nonfarmakologis Oleh
Hasil penelitian menunjukkan lebih dari Perawat Pelaksana Di Irna Non Bedah RSUP Dr M
separuh (73,2%) perawat pelaksana yang memiliki Djamil Padang
motivasi rendah, baik dalam melaksanakan Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap
manajemen nyeri nonfarmakologis. Berdasarkan uji Manajemen Nyeri Non Farmakologis
statistik terdapat hubungan yang bermakna antara Berdasarkan uji statistik didapatkan bahwa tidak
motivasi dengan pelaksanaan manajemen nyeri terdapat hubungan yang bermakna antara supervisi
perawat pelaksana di Irna non bedah RSUP Dr M kepala ruangan dengan pelaksanaan manajemen nyeri
Djamil Padang dengan P value 0,001. Hasil non farmakologis. Hasil ini sejalan dengan penelitian
penelitian ini sesuai dengan penelitian Makta, Noor yang dilakukan Pancaningrum (2011) didapatkan bahwa
& Kapalawi (2013) menunjukkan bahwa terdapat tidak ada hubungan yang bermakna antara supervisi
pengaruh secara signifikan motivasi terhadap kinerja kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana. Hasil
perawat pelaksana di RS Stella Maris. Sementara itu penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Juwita
hasil ini sesuai dengan penelitian Zuhriana (2012) (2014) dimana terdapat hubungan yang signifikan antara
bahwa terdapat hubungan bermakna antara motivasi supervisi kepala ruangan dengan pengelolan nyeri
dengan kinerja perawat dengan nilai p = 0,019. pasien.
Menurut Kurniadi (2013) menyatakan motivasi Hal ini terjadi karena supervisi yang terjadi di
merupakan karakteristik psikologi manusia yang ruangan lebih bersifat kepada pengawasan saja,
memberi kontribusi pada tingkat komitmen sedangkan dalam pelaksanaan manajemen nyeri perawat
seseorang. Sedangkan menurut Triwibowo (2013) pelaksana sangat membutuhkan bimbingan dan arahan.
motivasi diartikan sebagai kekuatan, dorongan, Keadaan tersebut didukung oleh hasil kuesioner yang
kebutuhan, semangat, tekanan, atau mekanisme mana lebih dari separuh perawat (59,6%) menyatakan
psikologis yang mendorong seseorang atau kepala ruangan kurang baik dalam memberikan arahan
sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu tentang manajemen nyeri. Selain itu 50,6% perawat
sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Menurut pelaksana juga mengatakan bahwa Kepala ruangan
Siagian (2002), motivasi merupakan akibat dari kurang memotivasi perawat untuk melaksanakan
interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang manajemen nyeri.
dihadapinya. Karena itulah terdapat perbedaan dalam Keadaan ini bertolak belakang dengan pernyataan
kekuatan motivasi yang ditunjukkan oleh seseorang Swansburg (2000) yang menyatakan bahwa aktivitas
dalam menghadapi situasi tertentu dibandingkan pada supervisi adalah mengajarkan, membimbing,
dengan orang-orang lain yang menghadapi situasi mengobservasi, dan mengevaluasi secara terus menerus
yang sama. dengan adil, sabar, serta bijaksana sehingga setiap
Menurut peneliti semakin tinggi motivasi perawat pelaksana dapat memberikan asuhan
perawat, maka perawat tersebut akan semakin baik keperawatan dengan baik, terampil, aman, cepat, tepat
dalam melaksanakan manajemen nyeri secara menyeluruh sesuai dengan standar. Supervisi
nonfarmakologis. Motivasi yang dimaksud dalam bertujuan untuk mengorientasikan, melatih kerja,
penelitian ini adalah motivasi internal perawat dalam memimpin, memberikan arahan, dan mengembangkan
melaksanakan manajemen nyeri nonfarmakologis. kemampuan perawat pelaksana. Menurut Sitorus (2011)
motivasi merupakan hal yang penting bagi individu supervisi merupakan proses formal dari belajar dan
sebagai penggerak dalam menjalankan kegiatan dan bimbingan profesional yang memungkinkan perawat
tugas secara bertanggung jawab untuk meraih praktisi untuk mengembangkan pengetahuan,
prestasi. Fenomena masih adanya perawat yang kompetensi dan menerima tanggung jawab dalam
memiliki motivasi yang rendah dalam pelaksanaan praktiknya dan meningkatkan perlindungan terhadap
manajemen nyeri dapat disebabkan oleh faktor pasien dan pelayanan keperawatan yang aman dalam
motivasi eksternal seperti ketidakjelasan jenjang karir situasi yang kompleks.
dan reward yang diberikan kepada perawat yang telah Pada penelitian ini yang dinilai adalah persepsi
melaksanakan manajemen nyeri dengan baik. Selain Perawat Pelaksana tentang supervisi Kepala Ruangan.
itu belum adanya SPO tentang manajemen nyeri Hubungan interpersonal dan komunikasi perawat
nonfarmakologis juga dapat menyebabkan motivasi pelaksana dengan kepala ruangan akan mempengaruhi
internal perawat menjadi rendah. Oleh sebab itu persepsi perawat pelaksana tentang supervisi Kepala
rumah sakit harus membuat program yang dapat ruangan.
meningkatkan motivasi internal perawat dengan Menurut peneliti kegiatan supervisi yang paling
memberikan stimulus dari eksternal perawat. berperan dalam meningkatkan keterampilan perawat
dalam melaksanakan manajemen nyeri nonfarmakologis
adalah supervisi klinik. Bann dan Holland menyatakan

1354
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

bahwa supervisi klinik berguna untuk memfasilitasi mengaplikasi pengetahuan tersebut dalam perilaku kerja
perawat praktisi pada praktek klinik secara teratur untuk dan kinerjanya.
mencapai, menopang dan mengembangkan secara kreatif
praktek yang berkualitas tinggi melalui fokus dukungan SIMPULAN
dan pengembangan. Mayoritas perawat pelaksana di Irna Non Bedah
Winstanley dan White (2008) menyatakan bahwa berada pada usia dewasa awal, memiliki latar belakang
kualitas supervisi klinik tergantung pada faktor eksternal pendidikan Diploma III Keperawatan dengan masa kerja
hubungan Supervisor dan Supervise yaitu organisasi dan lebih dari 5 tahun, serta mayoritas perawat belum pernah
budaya manajemen. Supervisi bertujuan untuk mendapatkan pelatihana manajemen nyeri
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan. Supervisi nonfarmakologis.
merupakan bagian dari fungsi pengarahan yang Lebih dari separuh perawat pelaksana di Irna Non
dilakukan oleh Supervisor untuk melakukan monitoring Bedah tidak kompeten dalam melaksanakan manajemen
kegiatan pelaksanaan keperawatan. Persepsi perawat nyeri nonfarmakologis.
pelaksana tentang supervisi juga dipengaruhi oleh Lebih dari separuh perawat pelaksana di Irna Non
pengalaman perawat di ruangan tentang supervisi Kepala Bedah memiliki pengetahuan yang baik, sikap yang
ruangan. Semakin baik pengalaman dan hubungan negatif, motivasi yang rendah dan persepsi yang kurang
interpersonal Perawat pelaksana dengan Kepala ruangan baik terhadap supervisi kepala ruangan.
maka persepsi perawat tentang supervisi akan semakin Ada hubungan yang bermakna antara faktor
baik. predisposisi (pelatihan, pengetahuan, sikap dan
motivasi) dengan pelaksanaan manajemen nyeri
Faktor yang paling dominan berhubungan dengan nonfarmakologis oleh perawat pelaksana di Irna Non
pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis di Bedah RSUP M Djamil Padang. Tidak ada hubungan
Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang yang bermakna antara faktor pendorong (supervisi)
Hasil penelitian multivariat dengan analisis regresi dengan pelaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologis
logistik menunjukkan bahwa variabel yang paling oleh perawat pelaksana di Irna Non Bedah RSUP M
dominan berhubungan dengan pelaksanaan manajemen Djamil Padang. Pelatihan adalah faktor yang paling
nyeri nonfarmakologis adalah pelatihan manajemen berkontribusi terhadap pelaksanaan manajemen nyeri
nyeri (p value = 0,005).. Hasil penelitian ini didukung nonfarmakologis oleh perawat pelaksana di Irna Non
oleh penelitian Swain (2008) yang menyatakan bahwa Bedah RSUP M DJamil Padang.
pelatihan memiliki peranan dalam meningkatkan
pengetahuan dan sikap perawat tentang manajemen nyeri DAFTAR PUSTAKA
sehingga terjadi peningkatan terhadap pelaksanaan Abdalrahim, M.S Majali, S.A, Stomberg, M.W, &
manajemen nyeri. Bergbom,I (2011) the effect of postoperative pain
Menurut peneliti pelatihan merupakan program management pain management program on
yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, improving nurses knowledge and attitudes toward
merubah sikap ke arah yang positif dan meningkatkan pain. Nurse Education in Practice. Diakses
keterampilan. Pendapat tersebut didukung oleh tanggal 24 Maret 2015
pernyataan Marquis & Huston (2010) mengartikan Alshaer D, HillP, D & Anderson, M.A (2011) Nurses
pelatihan sebagai metode yang terorganisir untuk Knowledge and attitudes regarding pain
memastikan bahwa individu memiliki pengetahuan dan assessment and intervention. Research for Pratice.
keterampilan tertentu sehingga dapat meningkatkan Diakses tanggal 15 Januari 2015
kemampuan afektif, kognitif dan psikomotor yang Ampomah, D K. (2012).Knowledge, Attitudes and
akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Beliefs About Pain Management: A Comparative
Menurut Mc.Cutchon et al (2006 dalam Nursalam Study Of United States-Born and West African ±
2012) menyatakan bahwa SDM Keperawatan memiliki born nurses worked at United States. Proquest
kebutuhan yang besar untuk mendapatkan pendidikan Dissertations and Theses. Diakses tanggal 14
dan pelatihan berkelanjutan dlam berbagai jenjang untuk Februari 2015
mendukung penerapan dalam melakukan tindakan. Ayla, Yava (2013). Knowledge and Attitudes of Nurses
Beazley et al (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan about Pain Management in Turkey. International
pengetahuan secara berkelanjutan merupakan suatu Journal of Caring Sciences. http://proquest.com/
bentuk transfer pengetahuan untuk mendukung staf diakses tanggal 10 September 2015
memperoleh kesuksesan atas pelayanan yang mereka Beazley, H, et.al. (2002). Continuity Management:
berikan. Maka dapat disimpulkan, perawat yang Preserving Corporate Knowledge and
mendapatkan pelatihan akan memiliki kinerja yang baik Productivity When Employees Leave.New York:
jika sudah memiliki pengetahuan yang cukup dan Wiley.

1355
Fitria Fajriani et al., Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Manajemen Nyeri Non Farmakologis Oleh
Perawat Pelaksana di Irna Non Bedah RSUP Dr M Djamil Padang Tahun 2015

Bobak, Lowdermilk. Jensen. (2004). Buku Ajar di ruang rawat inap rumah sakit umum dr.
Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC Pirngadi medan. USU : Tidak dipublikasikan.
Buyukyilmaz. (2014). Non- Pharmacological Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat ilmu
Intervention in Orthopedic Pain: A Systematic dan seni. Jakarta : PT Rineka Cipta
Review. Turki : International Journal of Caring Notoatmodjo, S. (2012). Promosi kesehatan dan
Sciences.diakses tanggal 24 Januari 2015 perilaku kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
Casey, Georgina. (2011). Pain- The fifth vital sign. New Nugroho, K (2004). Analisis faktor-faktor yang
Zealand ; Kai tiaki nursing journal diakses berhubungan dengan kinerja perawat pegawai
tanggal 20 januari 2015. daerah di Puskesmas Kabupaten Kudus.Tesis
Chuandy, Indra & Sugeng (2015). Konsep Pain Free FKM-UNDIP. Diakses tanggal 2 Oktober 2015
Hospital, Surakarta: Cermin Dunia Kedokteran dari http://www.eprint.undip.ac.id
El-Rahman, M.A. et al (2013). Knowledges and Attitude Nursalam. (2012). Manajemen Keperawatan: Aplikasi
Towards Pain Management, A Comparassion dalam Praktek Keperawatan Profesional, Edisi 3:
between Oncology and Non-Oncology Nurses in Salemba Medika
Jordan. International Journal of Advanced Pancaningrum, D. (2011). Faktor ± Faktor yang
Nursing Studies. Mempengaruhi Kinerja Perawat Pelaksana di
Hariandja, Marihot. (2002). Manajemen Sumber Daya Ruang Rawat Inap Dalam Pencegahan Infeksi
Manusia. Jakarta: Grasindo Nosokomial di Rumah Sakit Haji Jakarta Tahun
Ilyas (2012) Kinerja Teori penilaian dan penelitian. 2011. Tesis. Tidak dipublikasikan. Jakarta:
Depok: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Jho et al (2014) Knowledge, Practices, and Perceived Potter &Perry . (2005). Fundamental Keperawatan
Barriers Regarding Cancer Pain Management Volume 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
among Physicians and Nurses in Korea: A Siagian. (2002). Manajemen abad 21. Jakarta: Bumi
Nationwide Multicenter Survey. Medical Aksara
3URIHVVLRQDO¶V Knowledge and Practice for Swain (2008). The effect of education about pain
Cancer Pain in Korea management on The knowledge and attitudes of
Juwita, Lisavina (2014) Hubungan model supervise nurses.
kepala ruangan dengan kemampuan perawat Swansburg, C, R. (2000). Pengantar manajemen
pelaksana dalam pengelolaan nyeri di ruang keperawatan untuk perawat klinis. Jakarta: EGC
rawat inap RSUD Dr M Zein Painan tahun 2014. Kedokteran.
Tesis. FKep Unand Sitorus, Ratna. (2011). Manajemen Keperawatan di
Keraf.& Dua (2001). Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Ruang Rawat Inap. Jakarta: Sagung Seto.
Kanisius Smeltzer & Bare (2002) Buku Ajar Keperawatan
Kurniadi, Anwar .(2013). Manajemen keperawatan dan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol.
prospektifnya teori konsep dan aplikasi. Jakarta ; 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluy (dkk), EGC,
FKUI Jakarta.
Kusyati, E., & Astuti, L. P. (2012). Efektivitas Teknik Triwibowo, Cecep. (2013). Manajemen pelayanan
Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Nyeri keperawatan di rumah sakit. Jakarta : TIM
Persalinan Kala I Di Wilayah Kerja Puskesmas White, L. (2001). Foundations of nursing: caring for the
Tlogosari Wetan Semarang Tahun 2012. Jurnal whole person. New York: Delmar Thomson
Kebidanan, 4(2). Learning.
Makta, L., Noor, H. N. B., Sc, M., Kapalawi, I., & Mars, Winstanley, J., & White, E. (2008). Clinical supervision:
M. S. P. H. (2013). Pengaruh Motivasi Kerja Models, measures and best practice. Nurse
Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Di Unit Researcher, 10(4), 7-38. http://
Rawat Inap Rs. Stella Maris Makassar. search.proquest.com/ docview/ 200775851?
Morone, Natalia E.& Weiner (2013). Pain as the fifth accountid=17242
vital sign: exposing the vital need for pain Zhang,C.H ,Hsu, L,Zou, B.R,Li,J.F,Wang, H.Y &
educaton. Clinical therapeutics journal. Diakses Huang,J (2008) Effect of a pain education
tanggal 20 Januari 2015. program on QXUVH¶V pain knowledge, attitude, and
Marquis B,L & Huston C.J (2010). Management and pain assessment practice in China. Journal of Pain
Leadership in nursing health care.New York : and Symptom Management.
Spinger Pub Zuhriana (2012) Faktor Yang Berhubungan Dengan
Nasution, Ade Ira Zahriany. (2009) pengaruh Kinerja Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit
karakteristik individu dan psikologis terhadap Umum Daerah (Rsud) Bula Kabupaten Seram
kinerja perawat dalam kelengkapan rekam medis Bagian Timur. Tesis FIK UI.Tidak Dipublikasikan

1356

Anda mungkin juga menyukai