Anda di halaman 1dari 15

MHD DENNIS ANZARRY

2111070352

SEMINAR AKUNTANSI MANAJEMEN

IAS 2

INVENTORIES

1. PENILAIAN

IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kas, dan
kas didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas konversi, termasuk kas lain
untuk membuat persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada saat
pelaporan persediaan. Dikatakan bahwa kas atas pembelian persediaan mencakup harga
beli, biaya angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan (handling costs). Potongan
tunai, rabat, dan jenis-jenis potongan pembelian lain jika ada harus dikurangkan ke kos
persediaan. Dapat disimpulkan bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan
kententuan pengukuran kas persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya
membuat aturan yang boleh dikatakan sama persis, karena memang untuk kasus kas
perolehan persediaan tidak ada ruang untuk penerapan konsep principles-based, sehingga
mau tidak mau harus menggunakan konsep rules-based.

Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23
mengatur bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan
sebagai bagian dari kos persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa IFRS
justru sangat mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan, atau
justru menggunakan rules-based dan bukannya menggunakan principles-based.
Semestinya jika konsisten menggunakan principles- based, financing costs untuk
keperluan proses produksi yang panjang semacam ini tetap diperlakukan sebagai period
costs dan bukannya diperlakukan sebagai production costs, karena jika manajemen
memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar dalam proses produksinya, maka
financing costs tidak akan pernah terjadi.
2. PENDAHULUAN

Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif pengukuran


kas persediaan, yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh IAS 2 disebut
sebagai benchmark treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut sebagai
allowed alternative treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1 Januari
2005 IFRS tidak

membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga saat ini metode pengukuran kas
yang berlaku adalah metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan
penggunakan metode akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada
dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus
akuntansi persediaan menjadi lebih rules- based dibanding US GAAP.

Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan.


Permasalahan pokok dalam akuntansi persediaan adalah penentuan jumlah biaya yang
diakui sebagai aset dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut sampai
pendapatan terkait diakui. Pernyataan ini menyediakan panduan dalam menentuan biaya
dan pengakuan selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap penurunan menjadi nilai
realisasi neto. Pernyataan ini juga memberikan panduan rumus biaya yang digunakan
untuk menentukan biaya persediaan.

Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada
umumnya, terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan,
pertambangan, kontraktor bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan
akuntansi untuk persediaan menjadi suatu masalah penting bagi perusahaan-perusahaan
tersebut.

Menurut IAS No.2 inventory atau persediaan adalah:

a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal


b. Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau
c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa
Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut diatas:
a. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha
normal.
Ini berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang
memang selalu dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa.
b. Perlengkapan yang dimaksudkan sebagai persediaan adalah perlengkapan
yang digunakan dalam proses produksi, sehingga perlengkpan kantor (seperti
alat tulis kantor) dengan tujuan untuk digunakan administrasi kantor dan
bukan untuk dijual,
bukanlah bagian dari persediaan.
c. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan
secara regular dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya
bisa digunakan bersamaan dengan aset tetap.
3. RUANG LINGKUP
IAS 2 diterapkan untuk semua persediaan, kecuali:
a) pekerjaan dalam proses yang timbul dalam kontrak konstruksi, termasuk kontrak
jasa yang terkait langsung
b) persediaan yang terkait dengan real estat
c) instrumen keuangan
d) aset biolojik terkait dengan hasil hutan;
IAS 2 ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang-pedagang
komoditi yang mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk
menjual, sesuai dengan praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan tersebut
diukur pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, maka perubahan nilai
wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual diakui dalam laporan laba rugi pada periode
terjadinya.
4. DASAR PENILAIAN
a. Nilai Realisasi Neto
Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa
dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk
membuat penjualan. Nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas
berharap untuk direalisasi dari penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai
wajar mencerminkan suatu jumlah di mana persediaan yang sama dapat dipertukarkan
antara pembeli dan penjual yang berpengetahuan dan berkeinginan di pasar. Nilai
realisasi neto adalah nilai khusus entitas sedangkan nilai wajar tidak tergantung pada nilai
khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk persediaan bisa tidak sama dengan nilai wajar
dikurangi biaya untuk menjual.
IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk
setiap jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang
sejenis dan dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai pedoman
umum, penilaian harus dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk mencegah
kemungikan terjadinya kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss kelompok
persediaan lain, sehingga menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal ini penting
untuk diperhatikan mengingat IFRS melarang pengakuan unrealized gain pada laporan
rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas
sekelompok persediaan, tidak atas item per item persediaan, adalah merupakan
mekanisme tidak langsung atau? backdoor mechanism? untuk mengakui unrealized gain
yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu ditegaskan bahwa tuntutan dasar evaluasi
penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas item demi item persediaan. Paparan
dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa IAS 2 sangat mengatur penerapan net
realizable value, yaitu harus diterapkan item demi item demi untuk mencegah potensi
pengakuan unrealized gain secara tidak langsung, di sisi lain US GAAP tidak mengatur
hingga sedetil ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata justru lebih
condong ke rules-based dan bukannya berbasis pada konsep principles-based.
Recoveries of previously recognized losses. Untuk kasus terjadinya kenaikan
kembali nilai persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net realizable value
harus dilakukan pada setiap periode pelaporan keuangan, dan pada saat tidak terdapat
lagi fakta adanya penurunan nilai persediaan, misalnya karena nilai persediaan
mengalami kenaikan kembali, maka penurunan nilai persediaan harus dibatalkan dengan
membuat jurnal koreksi, dan karena penurunan nilai persediaan telah dimasukkan ke
dalam laporan rugi-laba, maka jurnal koreksi atas penurunan nilai persediaan juga
harus direfleksikan dalam laporan rugi-laba. Juga ditegaskan bahwa jurnal koreksi
atau recovery hanya diperkenankan maksimum sebesar penurunan nilai yang telah
diakui pada periode sebelumnya. Dalam kasus ini perbedaannya dengan US GAAP
adalah bahwa dalam US GAAP penurunan nilai persediaan yang telah diakui pada periode
sebelumnya tidak boleh ditutup dengan kenaikan nilai pada periode berikutnya. Dari
sudut pandang istilah konsep principles-based dan ruled-based, ternyata untuk kasus
inipun keduanya lebih bisa dikatakan sama-sama menggunakan ruled-based.

b. Nilai wajar
Nilai wajar adalah jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban
diselesaikan, antara pihak yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu transaksi
yang wajar

c. Komoditi
Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa berjangka

d. Nilai khusus entitas


Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh suatu
entitas yang timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya pada akhir
umur manfaat atau yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian kewajiban.
4.1 METODE PENILAIAN PERSEDIAAN
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang
dapat digunakan untuk menilai persediaan, yaitu:
1. First-in, first out (FIFO).
2. Last-in, first-out (LIFO).
3. Average cost.
Seperti yang sudah dibahas diawal, bahwa pada tanggal 1 Januari 2005 IAS 2 sudah
tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang
berlaku saat ini adalah metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.

a. Metode First-in, First Out (FIFO)


Metode FIFO mengasumsikan persediaan yang dibeli pertama kali akan dijual
terlebih dahulu. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) pengakuan cost of
goods sold dengan menggunakan metode FIFO adalah sebagai berikut: “Under the FIFO
method, the costs of the earliest goods purchased are the first to be recognized as cost of
goods sold”. Sedangkan, untuk perhitungan persediaan akhir (ending inventory) dengan
menggunakan metode FIFO menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) adalah
sebagai berikut: “Under FIFO, the cost of ending inventory is found by taking the unit
cost of the most recent purchase and working backward until all units of inventory are
costed”.

Dengan menggunakan metode FIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang


lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode LIFO maupun metode rata-rata
karena biaya unit yang lebih rendah dari pembelian persediaan pertama kali. Tetapi,
dengan laba yang besar, maka perusahaan juga akan membayar pajak yang lebih besar
sehingga tidak dapat dilakukan penghematan pajak jika menggunakan metode FIFO.
Manajemen perusahaan akan lebih
memilih untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai laba perusahaan yang
besar akan menunjukkan bahwa kinerja manajemen perusahaan tersebut bagus dan
manajemen akan mendapatkan kompensasi berupa bonus yang cukup besar dari
perusahaan. Perusahaan yang menggunakan metode FIFO pada saat terjadi inflasi akan
menghasilkan laba yang besar sedangkan pada saat terjadi deflasi, perusahaan yang
menggunakan metode FIFO akan menghasilkan laba yang kecil.
Sebagai ilustrasi, asumsikan bahwa PT XYZ menggunakan sistem persediaan
periodik. Biaya persediaan akhir dihitung dengan mengambil biaya dari pembelian paling
terakhir dan dikerjakan kembali sampai semua unit dalam persediaan diperhitungkan.

Penentuan persediaan akhir dan harga pokok penjualan ditunjukkan dalam ilustrasi tersebut:

Jika yang digunakan adalah sistem persediaan perpetual baik dalam kuantitas
ataupun nilai dolar, maka angka biaya dikaitkan dengan setiap penarikan barang.
Kemudian biaya dari 4.000 unit yang dikeluarkan pada tanggal 19 Maret akan terdiri
dari item-item yang dibeli
tanggal 2 Maret dan 15 Maret. Nilai persediaan akhir menurut metode FIFO dalam
sistem persediaan perpetual untuk PT. ABC adalah
dari apakah harga pokok penjualan dihitung seiring dengan barang dijual sepanjang
periode akuntansi (sistem perpetual) atau sebagai residu pada akhir periode akuntansi
(sistem periodik).

Salah satu tujuan dari FIFO adalah menyamai arus fisik barang, Jika arus fisik
barang secara aktual adalah yang pertama masuk, yang pertama keluar, maka metode
FIFO menyerupai metode identifikasi khusus. Pada saat yang sama, metode FIFO tidak
memungkinkan perusahaan memanipulasi laba karena perusahaan tidak bebas memilih
item-item biaya tertentu untuk dimasukkan ke beban.

b. Metode Rata-Rata Tertimbang - AVERAGE


Metode rata-rata mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual memiliki
rata-rata biaya per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238)
perhitungan unit cost berdasarkan formula rata-rata tertimbang adalah sebagai berikut:
“Under this method, the cost of goods available for sale is allocated on the basis of the
weighted-average unit cost”.

Berikut adalah formula perhitungan unit cost berdasarkan metode rata-rata tertimbang

Setelah dilakukannya perhitungan unit cost, selanjutnya menurut Weygandt,


Kieso, dan Kimmel (2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari persediaan akhir adalah
sebagai berikut: “The weighted-average unit cost is then applied to the units on hand.
This computation determines the cost of the ending inventory”.

Pada sistem periodik, metode rata-rata disebut metode rata-rata tertimbang


(weighted average method) dan pada sistem perpetual disebut dengan metode rata-rata
bergerak (moving average method) (Abdullah dan Djalil, 2004) dalam Metallia (2007),
menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode rata-rata, perusahaan akan dapat
melakukan penghematan pajak (tax saving) dikarenakan laba yang di dapat perusahaan
dengan menggunakan metode tersebut akan lebih kecil. Tetapi, pada saat menggunakan
metode rata-rata akan dapat menghasilkan nilai akhir persediaan di antara FIFO dan
LIFO.
Sebagai ilustrasi, asumsikan bahwa PT Agro Plaza menggunakan metode persediaan periodik,
dimana persediaan akhir dan harga pokok penjualan akan dihitung sebagai berikut:

Jika PT Agro Plaza memiliki persediaan awal, maka persediaan awal ini dimasukkan
dalam total unit yang tersedia dan total biaya barang yang tersedia untuk dijual ketika
menghitung biaya rata-rata per unit. Metode biaya rata-rata yang lain adalah metode rata-rata
bergerak, yang digunakan dalam sistem persediaan perpetual. Aplikasi metode biaya rata-rata
untuk catatan persediaan perpetual ditunjukkan dalam ilustrasi dibawah ini:
Dalam metode ini, biaya rata-rata per unit yang baru akan dihitung setiap kali
pembelian dilakukan. Sebagai contoh, pada tanggal 15 Maret, setelah 6.000 unit dibeli
dengan harga Rp
26.400 PT Agro Plaza memiliki 8.000 unit persediaan berharga pokok Rp 34.400 (Rp
8.000 + Rp 26.400). Dengan demikian, biaya rata-rata per unit adalah Rp 34.400 dibagi
8.000, atau Rp 4,3. Biaya per unit ini digunakan dalam kalkulasi biaya penarikan sampai
pembelian berikutnya dilakukan, ketika biaya rata-rata per unit yang baru dihitung. Oleh
karena itu, biaya dari 4.000 unit yang dikeluarkan pada tanggal 19 Maret adalah Rp 4.3
atau total harga pokok penjualan sebesar Rp 17.200. pada tanggal 30 Maret, menyusul
pembelian 2.000 unit seharga Rp 9.500, biaya per unit yang baru sebesar Rp 4.45
ditetapkan untuk persediaan akhir sebesar Rp 26.700.

Pemakaian metode rata-rata biasanya dapat dibenarkan dari sisi praktis, bukan
karena alasan konseptual. Metode ini mudah diterapkan, objektif, dan tidak dapat
dimanfaatkan untuk memanipulasi laba seperti halnya beberapa metode penentuan harga
persediaan lainnya.
4.2 SISTEM PENCATATAN PERSEDIAAN
Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan ke dalam dua cara yaitu:
a. Sistem Periodik Atau Fisik (Physical Method)
Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem periodik ialah
sistem persediaan di mana jumlah yang ditentukan hanya berkala oleh perhitungan
fisik. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), dalam sistem
persediaan periodik, rincian catatan persediaan barang yang dimiliki tidak
disesuaikan secara terus menerus dalam satu periode. Harga pokok penjualan
barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi.
Menurut sistem ini setiap pembelian atau pemasukan maupun penjualan
(pengeluaran) persediaan tidak dicatat atau dibukukan ke dalam perkiraan
persediaan. Pembelian barang dibukukan keperkiraan-keperkiraan pembelian dan
beberapa perkiraan lain seperti potongan pembelian dan pengembalian pembelian.
Penjualan dibukukan ke perkiraan penjualan. Dengan sistem ini jumlah persediaan
akhir diketahui setelah dilakukan perhitungan fisik (invertory taking) terhadap
barang yang ada digudang. Selanjutnya setelah perhitungan fisik maka perlu
dilakukan closing (penutup) terhadap persediaan awal. Jadi dalam buku besar
persediaan hanya terdapat jumlah persediaan awan dan persediaan akhir. Bagi
perusahaan dagang jika menggunakan metode ini maka sistem pencatatannya
adalah sebagai berikut:
Saat Pembelian:

Purchase Rp xxx

Cash/Account Payable Rp xxx

Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:

Cash/Account Payable Rp xxx


Purchase Return Rp xxx
Saat penjualan:

Cash/Account Receivable Rp xxx

Sales Rp xxx

Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx

Cash/Account Receivable Rp xxx

b. Sistem Perpetual atau Kontinyu (Perpetual Method)


Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), Dalam sistem
persediaan perpetual, rincian catatan mengenai setiap pembelian dan penjualan
persediaan disimpan. Sistem ini secara terus menerus menunjukkan persediaan
yang harus dimiliki untuk setiap jenis barang. Berdasarkan sistem persediaan
perpetual, harga pokok penjual ditentukan setiap kali terjadi penjualan. Menurut
Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem perpetual ialah sistem persediaan
di mana pembaruan catatan jumlah persediaan selalu dilakukan dan disimpan.
Menurut sistem ini, setiap saat harus dilakukan pencatatan atas penambahan
ataupun pengurangan persediaan akibat adanya pembelian, pemakaian bahan
baku dan penjualan sehingga jumlah maupun nilai persediaan dapat diketahui
sewaktu-waktu tanpa melakukan perhitungan fisik. Untuk perusahaan dagang,
pencatatan yang dilakukan menurut metode ini adalah sebagai berikut:
Saat pembelian:

Merchandise Inventory Rp xxx

Account Payable/Cash Rp xxx


Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:
Account Payable/Cash Rp xxx

Account Payable/Cash Rp xxx


Saat penjualan:
Account Receivable/Cash Rp xxx

Sales Rp xxx

Cost of Good Sold Rp xxx

Merchandise Inventory Rp xxx

Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx


Cash/Account Receivable Rpxxx
Marchandise Inventory Rp xxx
Cost of Good Sold Rp xxx
Karena sistem perpetual dicatat setiap ada perubahan dalam persediaan, maka saldo
dalam perkiraan yang ada di neraca saldo adalah saldo perkiraan persediaan akhir, sehingga
tidak diperlukan ayat jurnal penyesuaian. Untuk mengilustrasikan perbedaan antara sistem
perpetual dengan sistem periodik, PT ABC memiliki transaksi berikut selama tahun
berjalan:

Ayat jurnal untuk mencatat transaksi tersebut selama tahun berjalan ditunjukan dengna:
5. PENGUKURAN BIAYA PEROLEHAN

Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang
lebih rendah, Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi,
dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat
ini.

a. Biaya Pembelian
Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya
(kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas pajak),
biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan biaya lainnya yang secara langsung dapat
diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat
dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam
menentukan biaya pembelian
b. Biaya Konversi
Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan
unit yang diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk juga alokasi
sistematis overhead produksi tetap dan variabel yang timbul dalam mengonversi
bahan menjadi barang jadi. Overhead produksi tetap adalah biaya produksi tidak
langsung yang relatif konstan, tanpa
memerhatikan volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan
pemeliharaan bangunan dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan administrasi
pabrik. Overhead produksi variabel adalah biaya produksi tidak langsung yang
berubah secara langsung, atau hampir secara langsung, mengikuti perubahan volume
produksi, seperti bahan tidak langsung dan biaya tenaga
kerja tidak langsung.
c. Biaya standar
Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan
perlengkapan, tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar di-review
secara reguler dan, jika
diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi terakhir
d. Metode eceran
Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai
persediaan dalam jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan memiliki marjin
yang sama saat tidak
praktis untuk menggunakan metode penetapan biaya lainnya
e. Biaya-biaya Lain
Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya
tersebut timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini. Misalnya, dalam
keadaan tertentu diperkenankan untuk memasukkan overhead nonproduksi atau biaya
perancangan produk untuk pelanggan tertentu sebagai biaya persediaan

Anda mungkin juga menyukai