IAS 2
INVENTORIES
Disusun Oleh:
Winda Arung Surya
1611070152
PROGRAM S1 AKUNTANSI
PERSEDIAAN
1. PENDAHULUAN
Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi kegiatan
perusahaaan dagang. Sebagaian besar sumber daya perusahaan yang diinvestasikan
dalam bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang – barang ini
harus dicatat, dikelompokan, dan diikhtisarkan selama periode akuntansi. Pada akhir
periode, biaya dialokasikan diantara aktivitas periode berjalan dan aktivitas periode
mendatang yaitu diantara barang – barang yang berada dalam persediaan untuk
dijual periode mendatang.
Pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice (2004:653) adalah sebagai
berikut : “ Kata persediaan ditujukan untuk barang- barang yang tersedia untuk
dijual dalam kegiatan bisnis normal, dan dalam kasus perusahaan manufaktur, maka
kata ini ditujukan untuk proses produksi atau yang ditempatkan dalam kegiatan
produksi“.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai persediaan berdasarkan IAS 2, yaitu ruang
lingkup, dasar penilaian, pengukuran biaya perolehan, dan pengungkapan
2. PENILAIAN
IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kas, dan kas
didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas konversi, termasuk kas lain
untuk membuat persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada
saat pelaporan persediaan. Dikatakan bahwa kas atas pembelian persediaan
mencakup harga beli, biaya angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan
(handling costs). Potongan tunai, rabat, dan jenis-jenis potongan pembelian lain
jika ada harus dikurangkan ke biaya persediaan. Dapat disimpulkan bahwa sampai
dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kas persediaan antara
IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh dikatakan sama persis,
karena memang untuk kasus kas perolehan persediaan tidak ada ruang untuk
penerapan konsep principles-based, sehingga mau tidak mau harus menggunakan
konsep rules-based.
Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23
mengatur bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan
sebagai bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa IFRS
justru sangat mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan,
atau justru menggunakan rules-based dan bukannya menggunakan principles-based.
Semestinya jika konsisten menggunakan principles-based, financing costs untuk
keperluan proses produksi yang panjang semacam ini tetap diperlakukan sebagai
period costs dan bukannya diperlakukan sebagai production costs, karena jika
manajemen memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar dalam proses
produksinya, maka financing costs tidak akan pernah terjadi.
Biaya produksi selain bahan baku dan biaya konversi (biaya tenaga kerja langsung
dan biaya overhead) hanya akan dibebankan sebagai bagian dari biaya persediaan
pada saat biaya tersebut dipandang sangat diperlukan untuk membuat persediaan
dalam kondisi siap untuk dijual atau dilaporkan dalam laporan keuangan. Contoh
biaya semacam ini adalah biaya perancangan produk dan biaya persiapan produksi
untuk memenuhi kepuasan sekelompok pelanggan tertentu. Di sisi lain, seluruh biaya
riset dan pengembangan produk, berdasarkan IAS 38, tidak boleh diperlakukan
sebagai bagian dari biaya persediaan. Biaya lain yang juga tidak perperbolehkan
diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya administrasi dan
biaya penjualan atas persediaan, biaya sisa bahan-bahan produksi, serta biaya
penggudangan persediaan. Biaya lain yang harus dimasukkan sebagai bagian dar i
biaya overhead, dan oleh karenanya diperlakukan sebagai bagian dari biaya
persediaan adalah biaya perbaikan dan pemeliharaan mesin, biaya peralatan
produksi, biaya sewa peralatan produksi, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya
gaji pengawas produksi, biaya bahan-bahan produksi tidak langsung, biaya
pengendalian dan pengawasan kualitas produk, dan biaya atas peralatan kecil yang
tidak dikapitalisasi. Ketentuan dalam IFRS atas biaya produksi selain biaya bahan
baku dan biaya konversi, yang diuraikan dalam paragraf ini, juga memperjelas fakta
bahwa untuk kasus ini IFRS tidak menggunakan principles-based, tetapi menggunakan
rules-based sebagaimana yang terjadi pada US GAAP.
3. RUANG LINGKUP
Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif peng ukuran kas
persediaan, yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh IAS 2 disebut
sebagai benchmark treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut
sebagai allowed alternative treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1
Januari 2005 IFRS tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode
pengukuran kas yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.
Pembatasan penggunakan metode akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa
IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam
kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US GAAP.
Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada umumnya,
terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan,
kontraktor bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan akuntansi
untuk persediaan menjadi suatu masalah penting bagi perusahaan-perusahaan
tersebut.
a. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha
normal. Ini berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang
memang selalu dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi
atau pemberian jasa.
IAS 2 ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang -pedagang komoditi
yang mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk
menjual, sesuai dengan praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan
tersebut diukur pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, maka
perubahan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual diakui dalam laporan
laba rugi pada periode terjadinya .
4. DASAR PENILAIAN
Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi
estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat
penjualan. Nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap
untuk direalisasi dari penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai wajar
mencerminkan suatu jumlah di mana persediaan yang sama dapat dipertukarkan
antara pembeli dan penjual yang berpengetahuan dan berkeinginan di pasar. Nilai
realisasi neto adalah nilai khusus entitas sedangkan nilai wajar tidak tergantung pada
nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk persediaan bisa tidak sama dengan
nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.
IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk setiap
jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang
sejenis dan dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai
pedoman umum, penilaian harus dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk
mencegah kemungikan terjadinya kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss
kelompok persediaan lain, sehingga menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal
ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS melarang pengakuan unrealized gain
pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi penurunan nilai persediaan yang
dilakukan atas sekelompok persediaan, tidak atas item per item persediaan, adalah
merupakan mekanisme tidak langsung atau ?backdoor mechanism? untuk
mengakuiunrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu ditegaskan
bahwa tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas
item demi item persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa
IAS 2 sangat mengatur penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item
demi item demi untuk mencegah potensi pengakuan unrealized gain secara tidak
langsung, di sisi lain US GAAP tidak mengatur hingga sedetil ini, sehingga dapat
disimpulkan bahwa IFRS ternyata justru lebih condong ke rules-based dan bukannya
berbasis pada konsep principles-based.
b. Nilai wajar
Nilai wajar adalah jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban
diselesaikan, antara pihak yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu
transaksi yang wajar.
c. Komoditi
Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa berjangka
Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh suatu entitas
yang timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya pada akhir
umur manfaat atau yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian kewajiban.
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang dapat
digunakan untuk menilai persediaan, yaitu :
1. First-in, first out (FIFO).
2. Last-in, first-out (LIFO).
3. Average cost.
Seperti yang sudah dibahas diawal, bahwa pada tanggal 1 Januari 2005 IAS 2 sudah
tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang
berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.
Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan ke dalam dua cara yaitu:
Saat Pembelian:
Purcahase Rp xxx
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab
lainnya:
Saat penjualan:
Sales Rp xxx
Saat pembelian:
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab
lainnya:
Saat penjualan:
Sales Rp xxx
Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang
lebih rendah, Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya
konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan
lokasi saat ini.
a. Biaya Pembelian
Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya
(kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas
pajak), biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan biaya lainnya yang
secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan
jasa. Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam
menentukan biaya pembelian.
b. Biaya Konversi
Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait
dengan unit yang diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung.
Termasuk juga alokasi sistematis overhead produksi tetap dan variabel yang
timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang jadi. Overhead produksi
tetap adalah biaya produksi tidak langsung yang relatif konstan, tanpa
memerhatikan volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan
pemeliharaan bangunan dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan
administrasi pabrik. Overhead produksi variabel adalah biaya produksi tidak
langsung yang berubah secara langsung, atau hampir secara langsung,
mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tidak langsung dan
biaya tenaga kerja tidak langsung.
c. Biaya Standar
Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan
perlengkapan, tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar
di-review secara reguler dan, jika diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi
terakhir.
d. Metode Eceran
Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai
persediaan dalam jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan
memiliki marjin yang sama saat tidak praktis untuk menggunakan metode
penetapan biaya lainnya.
e. Biaya-biaya Lain
Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya
tersebut timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.
Misalnya, dalam keadaan tertentu diperkenankan untuk memasukkan
overhead nonproduksi atau biaya perancangan produk untuk pelanggan
tertentu sebagai biaya persediaan.
6. PENGUNGKAPAN