Anda di halaman 1dari 20

TUGAS

SEMINAR AKUNTANSI KEUANGAN

IAS 2
INVENTORIES

Disusun Oleh:
Winda Arung Surya
1611070152

Kelas Karyawan – Ruang 6204

PROGRAM S1 AKUNTANSI

ABFI INSTITUTE PERBANAS


JAKARTA
IAS 2

PERSEDIAAN

1. PENDAHULUAN

Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi kegiatan
perusahaaan dagang. Sebagaian besar sumber daya perusahaan yang diinvestasikan
dalam bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang – barang ini
harus dicatat, dikelompokan, dan diikhtisarkan selama periode akuntansi. Pada akhir
periode, biaya dialokasikan diantara aktivitas periode berjalan dan aktivitas periode
mendatang yaitu diantara barang – barang yang berada dalam persediaan untuk
dijual periode mendatang.

Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur


maupun dagang. Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika
kegiatan bisnis berfluktuasi. Selama iklim usaha baik, penjualan menjadi tinggi dan
persediaan bergerak lebih cepat dari pembelian ke penjualan. Namun ketika kondisi
ekonomi menurun, tingkat penjualan juga menjadi menurun, persediaan bertumpuk
dan perlu dilakukan penjualan meskipun mengalami kerugian.

Pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice (2004:653) adalah sebagai
berikut : “ Kata persediaan ditujukan untuk barang- barang yang tersedia untuk
dijual dalam kegiatan bisnis normal, dan dalam kasus perusahaan manufaktur, maka
kata ini ditujukan untuk proses produksi atau yang ditempatkan dalam kegiatan
produksi“.

IAS 2 merupakan standard akuntansi keuangan international yang mengatur


mengenai persediaan. Tujuan dari IAS 2 adalah untuk menentukan perlakuan
akuntansi untuk persediaan. IAS 2 memberikan panduan untuk menentukan biaya
persediaan dan untuk selanjutnya mengakui beban, termasuk setiap penurunan-down
menjadi nilai realisasi bersih. Hal ini juga memberikan panduan rumus biaya yang
digunakan untuk menentukan biaya persediaan. IAS 2 menyatakan dasar penentuan
dan akuntansi untuk persediaan sebagai suatu aset, hingga pendapatan yang terkait
diakui. Standar juga memberikan pedoman mengenai penilaian persediaan dan
konsekuensi penghapusannya sebagai suatu beban (expense), dan perlakuan yang
harus di adopsi atas pendapatan terkait yang di akui.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai persediaan berdasarkan IAS 2, yaitu ruang
lingkup, dasar penilaian, pengukuran biaya perolehan, dan pengungkapan

2. PENILAIAN

Menurut IAS 2 dalam buku IFRS Interpretation and Application of International


Financial Reporting Standards, “Inventories are defined ad items that are held for
sale in the ordinary course of business; int the process of production for such sale; or
in the form of materials or supplies to be consumed in the production process or in
the rendering of services”, yang bila diartikan, Persediaan didefinisikan sebagai
barang-barang yang dimiliki untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari, dalam proses
produksi untuk penjualan tersebut, atau dalam bentuk bahan atau perlengkapan
untuk dikonsumsi dalam proses produksi atau pemberian jasa.

IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kas, dan kas
didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas konversi, termasuk kas lain
untuk membuat persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada
saat pelaporan persediaan. Dikatakan bahwa kas atas pembelian persediaan
mencakup harga beli, biaya angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan
(handling costs). Potongan tunai, rabat, dan jenis-jenis potongan pembelian lain
jika ada harus dikurangkan ke biaya persediaan. Dapat disimpulkan bahwa sampai
dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kas persediaan antara
IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh dikatakan sama persis,
karena memang untuk kasus kas perolehan persediaan tidak ada ruang untuk
penerapan konsep principles-based, sehingga mau tidak mau harus menggunakan
konsep rules-based.

Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23
mengatur bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan
sebagai bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa IFRS
justru sangat mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan,
atau justru menggunakan rules-based dan bukannya menggunakan principles-based.
Semestinya jika konsisten menggunakan principles-based, financing costs untuk
keperluan proses produksi yang panjang semacam ini tetap diperlakukan sebagai
period costs dan bukannya diperlakukan sebagai production costs, karena jika
manajemen memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar dalam proses
produksinya, maka financing costs tidak akan pernah terjadi.

IAS 2 menyebutkan bahwa biaya konversi untuk proses produksi persediaan


mencakup seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan proses produksi
persediaan, seperti biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead. Alokasi biaya
overhead harus dilakukan secara sistematis dan rasional, dan dalam kasus biaya
overhead tetap, yaitu yang jumlahnya tidak berubah-ubah menyesuaikan dengan
volume produksi, alokasi harus dilakukan berdasarkan tingkat produksi normal.
Dalam periode tingkat produksi turun secara tidak normal, sebagian dari biaya
overhead tetap harus dibebankan langsung ke periode terjadinya biaya, atau dengan
kata lain harus diperlakukan sebagai biaya periode (period costs), dan tidak
diperhitungkan sebagai bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus standard
pengukuran biaya produksi ini, sekali lagi dapat dirasakan bahwa IFRS membuat
aturan dengan cukup jelas tetang bagaimana pengukuran biaya produksi ha rus
dilakukan, sama sekali tidak berbeda dengan standard pengukuran biaya produksi
versi US GAAP, sehingga dapat disimpulkan baik IFRS maupun US GAAP tetap
menggunakan konsep rules-based, dan bukannya menggunakan konsep principles-
based. Berdasarkan paparan dalam paragraf ini, sama sekali tidak ada alasan untuk
bisa mengatakan IFRS menggunakan principles-based dan US GAAP menggunakan
konsep rules-based.

Biaya produksi selain bahan baku dan biaya konversi (biaya tenaga kerja langsung
dan biaya overhead) hanya akan dibebankan sebagai bagian dari biaya persediaan
pada saat biaya tersebut dipandang sangat diperlukan untuk membuat persediaan
dalam kondisi siap untuk dijual atau dilaporkan dalam laporan keuangan. Contoh
biaya semacam ini adalah biaya perancangan produk dan biaya persiapan produksi
untuk memenuhi kepuasan sekelompok pelanggan tertentu. Di sisi lain, seluruh biaya
riset dan pengembangan produk, berdasarkan IAS 38, tidak boleh diperlakukan
sebagai bagian dari biaya persediaan. Biaya lain yang juga tidak perperbolehkan
diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya administrasi dan
biaya penjualan atas persediaan, biaya sisa bahan-bahan produksi, serta biaya
penggudangan persediaan. Biaya lain yang harus dimasukkan sebagai bagian dar i
biaya overhead, dan oleh karenanya diperlakukan sebagai bagian dari biaya
persediaan adalah biaya perbaikan dan pemeliharaan mesin, biaya peralatan
produksi, biaya sewa peralatan produksi, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya
gaji pengawas produksi, biaya bahan-bahan produksi tidak langsung, biaya
pengendalian dan pengawasan kualitas produk, dan biaya atas peralatan kecil yang
tidak dikapitalisasi. Ketentuan dalam IFRS atas biaya produksi selain biaya bahan
baku dan biaya konversi, yang diuraikan dalam paragraf ini, juga memperjelas fakta
bahwa untuk kasus ini IFRS tidak menggunakan principles-based, tetapi menggunakan
rules-based sebagaimana yang terjadi pada US GAAP.

3. RUANG LINGKUP

Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif peng ukuran kas
persediaan, yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh IAS 2 disebut
sebagai benchmark treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut
sebagai allowed alternative treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1
Januari 2005 IFRS tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode
pengukuran kas yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.
Pembatasan penggunakan metode akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa
IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam
kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US GAAP.

Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan.


Permasalahan pokok dalam akuntansi persediaan adalah penentuan jumlah biaya
yang diakui sebagai aset dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut
sampai pendapatan terkait diakui. Pernyataan ini menyediakan panduan dalam
menentuan biaya dan pengakuan selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap
penurunan menjadi nilai realisasi neto. Pernyataan ini juga memberikan panduan
rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan.

Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada umumnya,
terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan,
kontraktor bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan akuntansi
untuk persediaan menjadi suatu masalah penting bagi perusahaan-perusahaan
tersebut.

Menurut IAS No.2 inventory atau persediaan adalah :

a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal


b. Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau
c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam
proses produksi atau pemberian jasa

Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut diatas :

a. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha
normal. Ini berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang
memang selalu dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi
atau pemberian jasa.

b. Perlengkapan yang dimaksudkan sebagai persediaan adalah perlengkapan


yang digunakan dalam proses produksi, sehingga perlengkpan kantor (seperti
alat tulis kantor) dengan tujuan untuk digunakan administrasi kantor dan bukan
untuk dijual, bukanlah bagian dari persediaan.

c. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan


secara regular dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya
bisa digunakan bersamaan dengan aset tetap.

IAS 2 diterapkan untuk semua persediaan, kecuali :

a. Barang dalam proses yang timbul menurut kontrak konstruksi (IAS 11


mengenai kontrak konstruksi)
b. Instrumen keuangan (misal saham, surat hutang, obligasi) yang dimiliki
sebagai persediaan (IAS 32 mengenai instrumen keuangan)
c. Aset biologis dan memproduksi yang terkait dengan aktivitas pertanian (IAS 41
mengenaipertanian).

IAS 2 ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang -pedagang komoditi
yang mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk
menjual, sesuai dengan praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan
tersebut diukur pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, maka
perubahan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual diakui dalam laporan
laba rugi pada periode terjadinya .
4. DASAR PENILAIAN

a. Nilai Realisasi Neto

Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi
estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat
penjualan. Nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap
untuk direalisasi dari penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai wajar
mencerminkan suatu jumlah di mana persediaan yang sama dapat dipertukarkan
antara pembeli dan penjual yang berpengetahuan dan berkeinginan di pasar. Nilai
realisasi neto adalah nilai khusus entitas sedangkan nilai wajar tidak tergantung pada
nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk persediaan bisa tidak sama dengan
nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.

IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk setiap
jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang
sejenis dan dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai
pedoman umum, penilaian harus dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk
mencegah kemungikan terjadinya kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss
kelompok persediaan lain, sehingga menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal
ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS melarang pengakuan unrealized gain
pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi penurunan nilai persediaan yang
dilakukan atas sekelompok persediaan, tidak atas item per item persediaan, adalah
merupakan mekanisme tidak langsung atau ?backdoor mechanism? untuk
mengakuiunrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu ditegaskan
bahwa tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas
item demi item persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa
IAS 2 sangat mengatur penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item
demi item demi untuk mencegah potensi pengakuan unrealized gain secara tidak
langsung, di sisi lain US GAAP tidak mengatur hingga sedetil ini, sehingga dapat
disimpulkan bahwa IFRS ternyata justru lebih condong ke rules-based dan bukannya
berbasis pada konsep principles-based.

Recoveries of previously recognized losses. Untuk kasus terjadinya kenaikan kembali


nilai persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net realizable value harus
dilakukan pada setiap periode pelaporan keuangan, dan pada saat tidak terdapat lagi
fakta adanya penurunan nilai persediaan, misalnya karena nilai persediaan
mengalami kenaikan kembali, maka penurunan nilai persediaan harus dibatalkan
dengan membuat jurnal koreksi, dan karena penurunan nilai persediaan telah
dimasukkan ke dalam laporan rugi-laba, maka jurnal koreksi atas penurunan nilai
persediaan juga harus direfleksikan dalam laporan rugi-laba. Juga ditegaskan bahwa
jurnal koreksi atau recovery hanya diperkenankan maksimum sebesar penurunan
nilai yang telah diakui pada periode sebelumnya. Dalam kasus ini perbedaannya
dengan US GAAP adalah bahwa dalam US GAAP penurunan nilai persediaan yang
telah diakui pada periode sebelumnya tidak boleh ditutup dengan kenaikan nilai
pada periode berikutnya. Dari sudut pandang istilah konsep principles-based dan
ruled-based, ternyata untuk kasus inipun keduanya lebih bisa dikatakan sama-sama
menggunakan ruled-based.

b. Nilai wajar

Nilai wajar adalah jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban
diselesaikan, antara pihak yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu
transaksi yang wajar.

c. Komoditi

Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa berjangka

d. Nilai Khusus Entitas

Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh suatu entitas
yang timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya pada akhir
umur manfaat atau yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian kewajiban.

Persediaan diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi bersih, tergantung


mana yang lebih rendah (the lower of the cost and net realizable value). Contoh
kasus terlampir pada Lampiran 1. Biaya persediaan harus meliputi semua biaya
pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada
dalam kondisi dan lokasi yang siap untuk dijual atau dipakai (present location and
condition).

Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak


lainnya(Kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas
pajak), biaya pengangkutan, biaya penanganan dan biaya lainnya yang secara
langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan dan jasa. Diskon
dagang, rabat dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam menentukan biaya
pembelian.

Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait


dengan unit yang diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk juga
alokasi sistematis overhead produksi tetap dan variabel yang timbul dalam
mengonversi bahan menjadi barang jadi. Overhead produksi tetap adalah biaya
produksi tidak langsung yang relatif konstan, tanpa memerhatikan volume produksi
yang dihasilkan, seperti penyusutan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan
pabrik,dan biaya manajemen dan administrasi pabrik. Overhead produksi variabel
adalah biaya produksi tidak langsung yang berubah secara langsung, atau hampir
secara langsung,mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tidak langsung
dan biaya tenaga kerja tidak langsung.

Pengalokasian overhead produksi tetap ke biaya konversi didasarkan pada


kapasitas fasilitas produksi normal. Kapasitas normal adalah produksi rata-rata yang
diharapkan akan tercapai selama suatu periode atau musim dalam keadaan normal,
dengan memerhitungkan hilangnya kapasitas selama pemeliharaan terencana.
Tingkat produksi actual dapat digunakan jika mendekati kapasitas normal.
Pengalokasian jumlah overhead produksi tetap pada setiap unit produksi tidak
bertambah sebagai akibat dari rendahnya produksi atau tidak terpakainya pabrik.
Overhead yang tidak teralokasi diakui sebagai beban pada periode terjadinya.
Overhead produksi variable dialokasikan pada unit produksi atas dasar penggunaan
actual fasilitas produksi.

Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang


biaya tersebut timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.
Misalnya, dalam keadaan tertentu diperkenankan untuk memasukkan overhead
nonproduksi atau biaya perancangan produk untuk pelanggantertentu sebagai biaya
persediaan.

Contoh biaya-biaya yang dikeluarkan dari biaya persediaan dan diakui


sebagai beban dalam periode terjadinya adalah:
 Jumlah pemborosan bahan, tenaga kerja, atau biaya produksi lainnya yang
tidak normal.
 Biaya penyimpanan, kecuali biaya tersebut diperlukan dalam proses
produksi sebelum dilanjutkan pada tahap produksi berikutnya.
 Biaya administrasi dan umum yang tidak memberikan kontribusi untuk
membuat persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.
 Biaya penjualan.

Suatu entitas dapat membeli persediaan dengan jangka waktu penyelesaian


yang ditangguhkan. Ketika pengaturan secara efektif mengandung elemen
pembiayaan, elemen itu, misalnya perbedaan antara harga pembelian untuk
persyaratan kredit normal dan jumlah yang dibayarkan, diakui sebagai beban bunga
selama periode pembiayaan.

Sepanjang pemberi jasa memiliki persediaan, mereka mengukur persediaan


tersebut pada biaya produksinya. Biaya persediaan tersebut terutama meliputi biaya
tenaga kerja dan biaya personalia lainnya yang secara langsung menangani
pemberian jasa, termasuk personalia penyelia, dan overhead yang dapat
diatribusikan. Biaya tenaga kerja dan biaya lainnya yang terkait dengan personalia
penjualan dan administrasi umum tidak termasuk sebagai biaya persediaan tetapi
diakui sebagai beban pada periode terjadinya.

5. PENGUKURAN BIAYA PEROLEHAN

METODE PENILAIAN PERSEDIAAN

Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang dapat
digunakan untuk menilai persediaan, yaitu :
1. First-in, first out (FIFO).
2. Last-in, first-out (LIFO).
3. Average cost.

Seperti yang sudah dibahas diawal, bahwa pada tanggal 1 Januari 2005 IAS 2 sudah
tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang
berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.

a. Metode First-in, First Out (FIFO).


Metode FIFO mengasumsikan persediaan yang dibeli pertama kali akan
dijual terlebih dahulu. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236)
pengakuan cost of goods sold dengan menggunakan metode FIFO
adalah sebagai berikut : “Under the FIFO method, the costs of the earliest
goods purchased are the first to be recognized as cost of goods sold”.
Sedangkan, untuk perhitungan persediaan akhir (ending inventory) dengan
menggunakan metode FIFO menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel
(2005:236) adalah sebagai berikut : “Under FIFO, the cost of ending
inventory is found by taking the unit cost of the most recent purchase and
working backward until all units of inventory are costed”.

Dengan menggunakan metode FIFO, perusahaan akan menghasilkan laba


yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode LIFO maupun
metode rata-rata karena biaya unit yang lebih rendah dari pembelian
persediaan pertama kali. Tetapi, dengan laba yang besar, maka perusahaan
juga akan membayar pajak yang lebih besar sehingga tidak dapat dilakukan
penghematan pajak jika menggunakan metode FIFO. Manajemen perusahaan
akan lebih memilih untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai
laba perusahaan yang besar akan menunjukkan bahwa kinerja manajemen
perusahaan tersebut bagus dan manajemen akan mendapatkan kompensasi
berupa bonus yang cukup besar dari perusahaan. Perusahaan yang
menggunakan metode FIFO pada saat terjadi inflasi akan menghasilkan laba
yang besar sedangkan pada saat terjadi deflasi, perusahaan yang
menggunakan metode FIFO akan menghasilkan laba yang kecil.

b. Metode Rata-Rata Tertimbang – AVERAGE


Metode rata-rata mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual
memiliki rata-rata biaya per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan
Kimmel (2005:238) perhitungan unit cost berdasarkan formula rata-rata
tertimbang adalah sebagai berikut : “Under this method, the cost of goods
available for sale is allocated on the basis of the weighted-average unit
cost”. Berikut adalah formula perhitungan unit cost berdasarkan
metode rata-rata tertimbang (weighted-average method) :

Setelah dilakukannya perhitungan unit cost, selanjutnya menurut Weygandt,


Kieso, dan Kimmel (2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari persediaan
akhir adalah sebagai berikut : “The weighted-average unit cost is then
applied to the units on hand. This computation determines the cost of the
ending inventory”.

Pada sistem periodik, metode rata-rata disebut metode rata-rata


tertimbang (weighted average method) dan pada sistem perpetual disebut
dengan metode rata-rata bergerak (moving average method) (Abdullah dan
Djalil, 2004) dalam Metallia (2007). Dengan menggunakan metode rata-rata,
perusahaan akan dapat melakukan penghematan pajak (tax saving)
dikarenakan laba yang di dapat perusahaan dengan menggunakan metode
tersebut akan lebih kecil. Tetapi, pada saat menggunakan metode rata-rata
akan dapat menghasilkan nilai akhir persediaan di antara FIFO dan LIFO.

c. Metode Last In First Out (LIFO)


Metode LIFO mengasumsikan persediaan yang terakhir dibeli akan dijual
terlebih dahulu. Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:237) menyatakan
bahwa pengakuan cost of goods sold dengan menggunakan metode
LIFO adalah sebagai berikut : “Under the LIFO method, the costs of the
latest goods purchases are the first to be assigned to cost of goods sold”.
Sedangkan, untuk mengetahui nilai persediaan akhir (ending inventory)
dengan menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : “Under the LIFO
method, the cost of ending inventory is found by taking the unit cost
of the oldest goods and working forward until all units of inventory are
costed”.
Dengan menggunakan metode LIFO, perusahaan akan menghasilkan laba
yang kecil sehingga dapat melakukan penghematan pajak. Pada saat inflasi,
perhitungan harga beli terakhir dibebankan ke operasi dalam periode
kenaikan harga sehingga mengurangi laba dan menghasilkan pengurangan
pajak.

Contoh Kasus atas metode penilaian persediaan terdapat pada Lampiran 2.

SISTEM PENCATATAN PERSEDIAAN

Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan ke dalam dua cara yaitu:

a. Sistem Periodic Atau Fisik (Physical Method)


Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem periodik ialah sistem
persediaan di mana jumlah yang ditentukan hanya berkala oleh perhitungan
fisik. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), dalam sistem
persediaan periodik, rincian catatan persediaan barang yang dimiliki tidak
disesuaikan secara terus menerus dalam satu periode. Harga pokok
penjualan barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi.

Menurut sistem ini setiap pembelian atau pemasukan maupun penjualan


(pengeluaran) persediaan tidak dicatat atau dibukukan kedalam perkiraan
persediaan. Pembelian barang dibukukan keperkiraan-keperkiraan
pembelian dan beberapa perkiraan lain seperti potongan pembelian dan
pengembalian pembelian. Penjualan dibukukan ke perkiraan penjualan.
Dengan sistem ini jumlah persediaan akhir diketahui setelah dilakukan
perhitungan fisik (invertory taking) terhadap barang yang ada digudang.
Selanjutnya setelah perhitungan fisik maka perlu dilakukan closing
(penutup) terhadap persediaan awal. Jadi dalam buku besar persediaan
hanya terdapat jumlah persediaan awan dan persediaan akhir. Bagi
perusahaan dagang jika menggunakan metode ini maka sistem
pencatatannya adalah sebagai berikut:

Saat Pembelian:

Purcahase Rp xxx

Cash/Account Payable Rp xxx

Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab
lainnya:

Cash/Account Payable Rp xxx

Purchase Return Rp xxx

Saat penjualan:

Cash/Account Receivable Rp xxx

Sales Rp xxx

Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx

Cash/Account Receivable Rp xxx

b. Sistem Perpetual atau Kontinyu (Perpetual Method)


Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), Dalam sistem
persediaan perpetual, rincian catatan mengenai setiap pembelian dan
penjualan persediaan disimpan. Sistem ini secara terus menerus
menunjukkan persediaan yang harus dimiliki untuk setiap jenis barang.
Berdasarkan sistem persediaan perpetual, harga pokok penjual ditentukan
setiap kali terjadi penjualan. Menurut Epstein dan Jermakowicz
(2007:p176), Sistem perpetual ialah sistem persediaan di mana pembaruan
catatan jumlah persediaan selalu dilakukan dan disimpan.
Menurut sistem ini, setiap saat harus dilakukan pencatatan atas
penambahan atau pun pengurangan persediaan akibat adanya
pembelian, pemakaian bahan baku dan penjualan sehingga jumlah maupun
nilai persediaan dapat diketahui sewaktu-waktu tanpa melakukan
perhitungan fisik. Untuk perusahaan dagang, pencatatan yang dilakukan
menurut metode ini adalah sebagai berikut:

Saat pembelian:

Merchandise Inventory Rp xxx

Account Payable/Cash Rp xxx

Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab
lainnya:

Account Payable/Cash Rp xxx

Merchandise Inventory Rp xxx

Saat penjualan:

Account Receivable/Cash Rp xxx

Sales Rp xxx

Cost of Good Sold Rp xxx

Merchandise Inventory Rp xxx

Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx

Cash/Account Receivable Rp xxx

Marchandise Inventory Rp xxx

Cost of Good Sold Rp xxx

Karena sistem perpetual dicatat setiap ada perubahan dalam persediaan,


maka saldo dalam perkiraan yang ada di neraca saldo adalah saldo
perkiraan persediaan akhir, sehingga tidak diperlukan ayat jurnal
penyesuaian.
Berikut terlampir ( Lampiran 3) Contoh kasus untuk perhitungan
pencatatan persediaan dengan menggunakan sistem perpetual dan periodik,
diambil dari buku Intermediate Accounting Kieso IFRS edition.

PENGUKURAN BIAYA PEROLEHAN

Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang
lebih rendah, Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya
konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan
lokasi saat ini.

a. Biaya Pembelian
Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya
(kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas
pajak), biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan biaya lainnya yang
secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan
jasa. Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam
menentukan biaya pembelian.

b. Biaya Konversi
Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait
dengan unit yang diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung.
Termasuk juga alokasi sistematis overhead produksi tetap dan variabel yang
timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang jadi. Overhead produksi
tetap adalah biaya produksi tidak langsung yang relatif konstan, tanpa
memerhatikan volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan
pemeliharaan bangunan dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan
administrasi pabrik. Overhead produksi variabel adalah biaya produksi tidak
langsung yang berubah secara langsung, atau hampir secara langsung,
mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tidak langsung dan
biaya tenaga kerja tidak langsung.

c. Biaya Standar
Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan
perlengkapan, tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar
di-review secara reguler dan, jika diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi
terakhir.

d. Metode Eceran
Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai
persediaan dalam jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan
memiliki marjin yang sama saat tidak praktis untuk menggunakan metode
penetapan biaya lainnya.
e. Biaya-biaya Lain
Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya
tersebut timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.
Misalnya, dalam keadaan tertentu diperkenankan untuk memasukkan
overhead nonproduksi atau biaya perancangan produk untuk pelanggan
tertentu sebagai biaya persediaan.

6. PENGUNGKAPAN

Dalam IAS 2 dijelaskan, bahwa dalam laporan keuangan harus


mengungkapkan:
1) Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran persediaan,
termasuk rumus biaya yang digunakan.
2) Total jumlah tercatat persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut
klasifikasi yang sesuai bagi entitas.
3) Jumlah tercatat persediaan yang dicatat dengan nilai wajar dikurangi biaya
untuk menjual.
4) Jumlah persediaan yang diakui sebagai beban selama periode berjalan.
5) Jumlah setiap penurunan nilai yang diakui sebagai pengurang jumlah
persediaan yang diakui sebagai beban dalam periode berjalan.
6) Jumlah dari setiap pemulihan dari setiap penurunan nilai yang diakui
sebagai pengurang jumlah persediaan yang diakui sebagai beban dalam
periode berjalan.
7) Kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai persediaan yang
diturunkan.
8) Nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan sebagai jaminan kewajiban.
Informasi tentang jumlah tercatat yang disajikan dalam berbagai
klasifikasi persediaan dan tingkat perubahannya masing-masing berguna bagi
pemakai laporan keuangan.Klasifikasi persediaan yang biasa digunakan adalah
barang dagangan, perlengkapan produksi, bahan, barang dalam penyelesaian, dan
barang jadi. Persediaan dalam pemberi jasa biasanya disebut pekerjaan dalam
penyelesaian.
Contoh pengungkapan Persediaan pada laporan keuangan terdapat pada
Lampiran 4.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Persediaan diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi bersih, tergantung mana
yang lebih rendah (the lower of the cost and net realizable value).
Lampiran 2
Contoh Kasus atas metode penilaian persedian.
Lampiran 3
Contoh kasus untuk perhitungan pencatatan persediaan dengan menggunakan
sistem perpetual dan periodik, diambil dari buku Intermediate Accounting Kieso
IFRS edition.
Lampiran 4
Contoh pengungkapan Persediaan pada laporan keuangan.

Persediaan pada PT. Unilever Indonesia, dimana Pengakuan Dan Pengukuran


Persediaan dinyatakan berdasarkan biaya terendah (termasuk biaya overhead pabrik tetap
dan variabel jika ada) dan nilai realisasi bersih. Biaya ditentukan atas dasar first-in-first-
out, atau rata-rata tergantung mana yang paling tepat dalam setiap kasus. Nilai realisasi
bersih adalah perkiraan harga jual dalam kegiatan bisnis biasa, dikurangi biaya
penyelesaian dan biaya penjualan. Biaya persediaan meliputi transfer dari ekuitas
keuntungan atau kerugian pada lindung nilai arus kas kualifikasi terkait dengan pembelian
persediaan.

Anda mungkin juga menyukai