Anda di halaman 1dari 8

1.

BUDAYA KERJA
budaya kerja adalah kumpulan sikap, keyakinan, dan pola perilaku yang
membentuk suasana biasa dalam suatu lingkungan kerja (Indeed Editorial Team
2021).
Indeed Editorial Team. What is work culture? 2021. Retrieved on 10 April 2021. Available at
https://www.indeed.com/career-advice/career-development/work-culture

Budaya kerja memainkan peran penting dalam proses kerja dengan membuat
karyawan melakukan yang terbaik. Suatu organisasi dikatakan memiliki budaya
kerja yang kuat apabila karyawannya mengikuti peraturan dan perundang-
undangan serta mentaati pedoman yang ada (Prachi Juneja2021).
Prachi J., Management Study Guide Content Team (Eds.) Work Culture - Meaning, Im-
portance & Characterics of a Healthy Culture. Retrieved on 10 April 2021. Available at
https://www.managementstudyguide.com/work-culture.htm

Schein (sebagaimana dikutip dalam Aldri Frinaldi, 2014) mengemukakan bahwa


budaya kerja pegawai adalah suatu cara pandang nilai, pemahaman cara kerja,
aturan, norma, pola pikir, dan perilaku setiap pegawai atau kelompok pegawai
atau pimpinannya dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
Scein, H. E. (1992). An organization culture and leadership. Yose Bass Publisher.

Budaya kerja yang dikaitkan dengan budaya organisasi, sebagaimana


dikemukakan oleh Hunger (2013), memiliki dua atribut penting, yaitu: (1)
intensitas; ini tentang seberapa banyak anggota unit bisnis menyetujui norma,
nilai, atau elemen budaya lain yang terkait dengan unit bisnis.
Hunger, D. J., & Thomas, L. (2013). Wheelen Manajemen Strategis (Translated ed.). Penerbit
Andi. (Original work published 1983).

Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasarkan pada pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pemacu yang dibudayakan
dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, aspirasi,
pendapat, pandangan, dan tindakan yang terwujud dalam pekerjaan.
Koentjaraningrat 2002).
Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan [Culture Mentality and
Development]. Gramedia.

Budaya kerja mempengaruhi perilaku kerja karyawan dan hasil organisasi (Smrita Sinha,
Singh, Gupta & Dutt, 2010).
Sinha, S., Singh, A.K., Gupta, N & Dutt, R. (2010). Impact of work culture on motivation and
performance level of employees in private sector companies. Acta Oeconomica
Pragensia,18(6), 48-67.

2. KOMITMEN AFEKTIF
Tabrani et al. (2018) mendefinisikan setiap dimensi sebagai berikut. Komitmen
afektif mengacu pada pelanggan yang memiliki mistik, koneksi psikosomatik ke
perusahaan yang menyebabkan mereka bertahan dalam hubungan.
Tabrani, M., Amin, M., & Nizam, A. (2018). Trust, commitment, customer intimacy and
customer loyalty in Islamic banking relationships. International Journal of Bank
Marketing, 36(5), 823–848. https://doi.org/10.1108/IJBM-03-2017-0054

komitmen afektif berperan peran penting dalam mengembangkan keterikatan


emosional wisatawan ke situs web hotel (Koo dkk., 2020)
Koo, B., Yu, J., & Han, H. (2020). The role of loyalty programs in boosting hotel guest loyalty:
Impact of switching barriers. International Journal of Hospitality Management, 84(1), 102328.
https://doi. org/10.1016/j.ijhm.2019.102328

Komitmen afektif mengacu pada keterikatan emosional, identifikasi dan


keterlibatan seseorang dalam organisasi yang tampak sebagai karakteristik
pribadi, karakteristik pekerjaan, pengalaman kerja yang menegaskan karakteristik
kinerja dan karakteristik struktural , Meyer dan Allen (1991)
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1991). A Three Component Conceptualization of Organizational
Commitment. Human Resource Management Review 1 (1) , 61-89.

Komitmen afektif dapat diukur dengan beberapa indikator (Busro, 2018), antara
lain: 1. Kepercayaan yang kuat dan menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi 2.
Loyalitas terhadap organisasi 3. Kesediaan menggunakan upaya untuk
kepentingan organisasi
1. Busro, M. (2018). Teori-teori Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Prenada Media.

3. KOMITMEN NORMATIF
Komitmen normatif menunjukkan penilaian individu yang merasa ada kebutuhan
untuk tetap menjadi anggota organisasi, Meyer dan Allen (1991)
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1991). A Three Component Conceptualization of Organizational
Commitment. Human Resource Management Review 1 (1) , 61-89.
Komitmen normatif didefinisikan sebagai kewajiban untuk tetap dalam suatu
hubungan karena mereka merasa seharusnya (Chai dkk., 2015; Shukla dkk., 2016;
Yao dkk., 2019).
Chai, J. C. Y., Malhotra, N. K., Dash, S., & Anil Bilgihan, Mohammad G. Nejad, D. (2015). The
impact of relational bonding on intention and loyalty. Journal of Hospitality and Tourism
Technology, 6(3), 203–227. https://doi.org/10.1108/JHTT-08-2014-0035

Komitmen normatif menunjukkan penilaian individu yang merasa ada kebutuhan


untuk tetap menjadi anggota organisasi. Komitmen normatif muncul dari nilai-
nilai diri karyawan yang bertahan menjadi anggota perusahaan karena adanya
kesadaran bahwa komitmen terhadap perusahaan merupakan suatu keharusan
atau kewajiban.
Komitmen normatif dapat diukur dengan beberapa indikator (Busro, 2018) antara
lain: 1. Kesediaan untuk bekerja 2. Tanggung jawab untuk mengembangkan
organisasi
Busro, M. (2018). Teori-teori Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Prenada Media.

4. KUALITAS KEHIDUPAN KERJA


Kualitas kehidupan kerja adalah situasi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan dalam pekerjaan lingkungan. Tujuan utamanya adalah
pengembangan lingkungan kerja yang sangat baik untuk karyawan maupun untuk
produksi. Fokus utama dari Kualitas Kehidupan Kerja adalah pekerjaan
lingkungan dan semua pekerjaan di dalamnya harus sesuai dengan manusia dan
teknologi (Davis & Newstrom, 1985)
Davis, K., & Newstrom, J. W. (1985). Perilaku dalam Organisasi (Alih Bahasa: Agus
Dharma).Jakarta: Erlangga.

kualitas kehidupan kerja sebagai setiap aktivitas (perbaikan) yang terjadi pada
setiap level dalam suatu Organisasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi
yang lebih besar melalui peningkatan martabat manusia
dan pertumbuhan (Flippo, 2005)
Flippo, E. B. (2005). Manajemen Personalia. Jilid 2. Edisi ke-6.Terjemahan. Erlangga. Jakarta

Konsep dari kualitas kehidupan kerja diadopsi dengan total lima subdimensi yaitu
lingkungan yang aman dan sehat, integrasi sosial dalam lingkungan kerja,
konstitusionalisme, total ruang kerja-kehidupan, dan sosial relevansi. Penelitian
ini mengadopsi 22 item dari skala Walton [4].
[4] Walton RE. QWL indicators: prospects and problems. In: Portigal AH, editor. Measuring
the quality of working life. A symposium on social indicators of working life. Ottawa: Labour
Canada; 1974.

Kualitas kehidupan kerja tergantung pada ketentuan


atribut-atribut ini untuk pencapaian kerja, dan prestasi kerja yang lebih baik dapat
menguntungkan pekerja dan
masyarakat luas [4].
[4] Walton RE. QWL indicators: prospects and problems. In: Portigal AH, editor. Measuring
the quality of working life. A symposium on social indicators of working life. Ottawa: Labour
Canada; 1974.

Kehidupan kerja berdasarkan gagasan keterlibatan dan penghargaan berdasarkan


kinerja [29].
[29] Permarupan Y, Al-Mamun P, Saufi RA. Quality of work life on employees job involvement
and affective commitment between the public and private sector in Malaysia. Asian Soc Sci.
2013;9(7):268–278

Kualitas Kehidupan kerja dikaitkan dengan struktur kerangka kerja, dimana


pekerja berinteraksi dengan aman dan sehat dengan memiliki integrasi sosial di
dalam dan di luar pekerjaan [26].
Orgambídez-Ramos A, Borrego-Alés Y. Empowering employees: structural empowerment as
antecedent of job satisfaction in university settings. Psychol Thou. 2014;7(1):28–36.

5. ETIKA KERJA
Etika kerja adalah sikap dan keyakinan tentang perilaku kerja dan multidimensi
karakteristik yang tercermin dalam pengambilan keputusan dan perilaku
(Miller, Woehr, & Hudspeth, 2002; Ravangard et al., 2014).
Miller, M. J., Woehr, D. J., & Hudspeth, N. (2002). The meaning and measurement of work
ethic: Construction and initial validation of a multidimensional inventory. Journal of
Vocational Behavior, 60(3), 451–489.

etika kerja karyawan dapat dianggap sebagai keseluruhan kerangka kerja, yang
mempengaruhi perilaku individu di tempat kerja (van der Walt, 2016)
van der Walt, F. (2016). Work ethics of different generational cohorts in South Africa. African
Journal of Business Ethics, 10(1). doi: 10.15249/10-1-101

Etika kerja sebagai salah satu bentuk etika kerja Islami dapat mencerminkan
sikap seseorang terhadap berbagai aspek pekerjaan, termasuk kegiatan prioritas
dan partisipasi, dan keinginan untuk memiliki peningkatan karyawan dan
mencapai yang lebih tinggi tujuan organisasi (Yousef, 2000)
Yousef, D. A. (2000). Organizational commitment as a mediator of the relationship between
Islamic work ethic and attitudes toward organizational change. Human Relations, 53(4),
513v537.

Etika kerja Islami sebagai pedoman bagi karyawan (khususnya umat Islam) dalam
meningkatkan kinerja, hasil terbukti dan benar. Imam, Abbasi, dan Munir (2015)
Imam, A., Abbasi, A. S., & Muneer, S. (2015). Employee Performance From The Lens Of Islamic
Work Ethics: Mediating Role Of Personality X And Y. Sci,Int,(Lahore), 415–422.

6. PENGALAMAN

mendorong diskusi dan pemrosesan terbuka dengan rekan-rekan, dan


menawarkan kesempatan pengembangan profesional untuk belajar dan
mempraktikkan strategi untuk menciptakan sebuah pengalamaan(US Center for
Substance Abuse Treatment 2014) .
US Center for Substance Abuse Treatment. 2014. Trauma-informed Care in Behavioral Health
Services. Treatment Improvement Protocol (TIP) Series, No. 57. Rockville, MD: US Substance
Abuse and Mental Health Services Administration.

kami mengidentifikasi pengalaman sebagai pengalaman


justru karena itu menantang kita, mengganggu kebiasaan kita
tindakan, itu memberi kita sesuatu yang
kami tidak memiliki jawaban yang telah ditentukan sebelumnya (elemen yang
menentukan
untuk kreativitas, Torrance, 1988).
Torrance, E. P. (1988). The nature of creativity as manifest in its testing. In R. Sternberg (Ed.),
The nature of creativity: Contemporary psychological perspectives (pp. 43–75). Cambridge:
Cambridge University Press.

pengalaman sering mengikuti logika


(lihat Beghetto, 2019), membuat lompatan kualitatif dalam berpikir tentang apa
yang "mungkin" terjadi, alih-alih menjadi
terjebak secara eksklusif oleh "apa adanya."
Beghetto, R. A. (2019). Abductive reasoning and the genesis of new ideas: Charles S. Peirce. In
V. P. Glăveanu (Ed.), The creativity reader (pp. 157–170). Oxford: Oxford University Press.
untuk semua pengalaman, tarikan masa depan adalah
tertanam dalam struktur tindakan dan interaksi
yang membentuknya. Fakta bahwa psikologis kita
berfungsi, secara keseluruhan, berorientasi pada masa depan
(Valsiner, 2007),
Valsiner, J. (2007). Culture in minds and societies: Founda tions of cultural psychology. New
Delhi, India: Sage.

7. TOTAL QUALITI MANAJEMEN

Total Quality Management dapat didefinisikan sebagai pengintegrasian manajer


dan karyawan dalam organisasi untuk terus meningkatkan kualitas produk/jasa
dan proses untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan (Jaca dan
Psomas, 2015).
Jaca, C., & Psomas, E. (2015). Total quality management practices and performance outcomes
in Spanish service companies. . Total Quality Management & Business Excellence, 26((9-10)),
958-970.

Kelly (2006) mendefinisikan TQM sebagai koordinasi upaya yang diarahkan untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan, meningkatkan partisipasi karyawan,
memperkuat kemitraan pemasok dan memfasilitasi suasana organisasi
peningkatan kualitas berkelanjutan dalam penyediaan layanan kesehatan.
Kelly D. (2006). Applying Quality Management in Health care. A Systems Approach. Chicago
Illinois: Health Administration Press.

TQM berfokus pada tiga prinsip yang meliputi peningkatan kualitas berkelanjutan,
fokus pelanggan dan kerja tim (Sethuraman, 2005).
Sethuraman H. (2005). Total Quality Management in Health care. Healthcare
Administration.com.

Prosedur TotalQualityManajemen termasuk komitmen dari manajemen puncak,


peningkatan komunikasi antar karyawan, terus menerus perbaikan proses dan
fokus pada kualitas di seluruh perusahaan (Lin & Su, 2013)
Lin, C., & Su, C. (2013). The Taiwan national quality award and market value of the firms: An
empirical study. International Journal of Production Economics, 144(1), 57–67.
https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2013.01.015

Dalam studi mereka, positif efek dari praktik Total Qualitiy Manajemen seperti
manajemen sumber daya (Modi & Mishra, 2011), karyawan manajemen (Sabella
et al., 2014), perencanaan strategi (Parvadavardini et al., 2016), dan manajemen
rantai pasokan (Lo et al., 2009) ditunjukkan.
Modi, S. B., & Mishra, S. (2011). What drives financial performance–resource efficiency or
resource slack?: Evidence from U.S. based manufacturing firms from 1991 to 2006. Journal of
Operations Management, 29(3), 254–273. https://doi.org/10.1016/j.jom.2011.01.002

Sabella, A., Kashou, R., & Omran, O. (2014). Quality management practices and their
relationship to organizational performance. International Journal of Operations & Production
Management, 34(12), 1487–1505. https://doi.org/10.1108/IJOPM-04-2013-0210

Parvadavardini, S., Vivek, N., & Devadasan, S. R. (2016). Impact of quality management
practices on quality performance and financial performance: Evidence from Indian
manufacturing companies.
Total Quality Management & Business Excellence, 27(5), 507–530. https://doi.org/10.
1080/14783363.2015.101541

Lo, C. K., Yeung, A. C., & Cheng, T. C. E. (2009). ISO 9000 and supply chain efficiency: Empirical
evidence on inventory and account receivable days. International Journal of Production
Economics, 118(2), 367–374. https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2008.11.010

8. Kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan untuk melindungi diri dari pikiran irasional
yang menjadi penyebab tekanan psikologis dan berperan penting dalam pengendalian
emosi yang dimanifestasikan karena stres kerja [10,11].

11. Kim, J.-H.; Song, J.-E.; Lee, S.-K.; Heo, S.-K.; Sung, Y.-H.; Lee, J.-E. The Effect of Emotional Intelligence on
Organizational Performance in Clinical Nurses—A Preliminary Study for an Education Program of Organizational
Performance. J. Korean Acad.Soc. Nurs. Educ. 2011, 17, 80–89. [CrossRef]
12. Baik, D.W.; Yom, Y.-H. Effects of Social Support and Emotional Intelligence in the Relationship between
Emotional Labor and Burnout among Clinical Nurses. J. Korean Acad. Nurs. Adm. 2012, 18, 271–280. [CrossRef]

Kim dan Bae [15] menilai bahwa kecerdasan emosional staf administrasi rumah sakit umum
meningkat dengan meningkatnya dalam ketahanan ego, loyalitas kepada organisasi, dan
dedikasi terhadap organisasi.
15. Kim, S.H.; Bae, S.Y. Analysis of the relationship between emotional intelligence and convergence factors in
hospital administrative staffs. J. Digit. Conv. 2021, 19, 185–192. [CrossRef]

dan kecerdasan emosional memberikan dampak negatif efek pada kelelahan [11-14].
11. Kim, J.-H.; Song, J.-E.; Lee, S.-K.; Heo, S.-K.; Sung, Y.-H.; Lee, J.-E. The Effect of Emotional Intelligence on
Organizational Performance in Clinical Nurses—A Preliminary Study for an Education Program of Organizational
Performance. J. Korean Acad.Soc. Nurs. Educ. 2011, 17, 80–89. [CrossRef]
14. Kim, Y.-J. The Influence of a General Hospital Nurse’s Emotional Labor, Emotional Intelligence on Job Stress.
J. Digit. Converg. 2014, 12, 245–253. [CrossRef]
Emosionalkecerdasan dianggap penting dan memiliki hubungan positif dengan
komitmen organisasi tetapi sering diabaikan karena komitmen organisasi sering dikaitkan
dengan kepuasan kerja (Yusof, 2011)
Yusof, M. (2011). The impact of self-efficacy, achievement motivation, and self-regulated learning strategies on
student’s academic achievement. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 15, 2623-2626.

Kecerdasan emosional ini pada akhirnya akan mempengaruhi komitmen mereka


organisasi perguruan tinggi kejuruan yang mereka layani (Nahid et al., 2012).
Nahid, H., et al. (2012) Cost Efficiency Of The Family Physician Plan in Fars Province, Southern Iran. Iranian
Journal of Medical Sciences, 37, 253-259

9. kecerdasaa intelektual

Menurut Robbins & Judge [6] IQ adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan
berbagai aktivitas mental. Semakin tinggi IQ seseorang, maka semakin tinggi pula
kemampuannya dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan kemampuan spasial,
numerik, dan linguistik.
Robbins S P and Judge T A 2013 Organizational Behavior. Boston: Pearson

Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang digunakan untuk mengukur kemampuan


analitis dan kognitif kemampuan. Pengukuran kecerdasan intelektual disebut intelligence
quotient (IQ).
sementara itu
Kecerdasan emosional, atau kadang disebut juga emotional quotient (EQ) adalah kecerdasan
yang digunakan dalam bertransaksi
dengan orang lain.
Menurut Goleman [4] kecerdasan emosional (EQ) lebih penting
daripada kecerdasan intelektual (IQ) dalam menentukan kinerja yang baik, namun Carusso [5]
berpendapat bahwa IQ juga penting dalam keberhasilan kerja.
Goleman D 1998 Working with Emotional Intelligence (New York: Bantam Books)
Caruso D R 1999 Applying The Ability Model of Emotional Intelligence to The World of Work
Von et al., 2011) menemukan bahwa intelektual kecerdasan memiliki efek positif baik secara
bersamaan dan sebagian pada kinerja.
Von S. S., Hell, B., & Chamorro-Premuzic, T. (2011). The hungry
mind: intellectual curiosity is the third pillar of academic
performance. Perspectives on Psychological Science, 6(6)
574–588. https://doi.org/10.1177/1745691611421204.

Anda mungkin juga menyukai